6. Cinta (tidak) Buta

Orang bilang, cinta itu buta. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Runa. Mungkin juga bagi banyak orang. Hanya karena kita menikahi seseorang yang kita pikir paling tepat menurut kita, tidak lantas membuat kita buta akan ketampanan atau kecantikan seseorang. Buktinya, banyak emak-emak yang termehek-mehek melihat ketampanan Hyun Bin atau Lee Min Ho meski di sisinya sudah ada suami yang siaga melebihi Kapten Ri Jeong Hyeok atau Kaisar Lee Goon.

Tidak perlu jauh-jauh membandingkan dengan aktor Korea, bahkan Runa sering melihat ibu-ibu dari pasien Raka memandang suaminya dengan mata berbinar. Tidak jarang juga Runa mendapati beberapa ibu dari teman-teman Risyad atau Rumaisha menatap suaminya dengan tatapan memuja. Jadi jelas bahwa status menikah tidak menghentikan kemampuan seseorang untuk dapat melihat ketampanan lelaki lain atau kecantikan perempuan lain yang bukan pasangannya.

Karena menikah tidak serta merta membuat buta itulah, maka saat bertemu dengan Prima Ganesha, Aruna Pramesti tidak bisa mengendalikan wajahnya untuk tidak merona.

Lelaki gondrong yang kini berdiri di hadapannya ternyata adalah lelaki yang sama dengan lelaki gondrong yang tadi dilihatnya sebelum memutuskan duduk di pinggir dinding kaca, di balik punggung lelaki itu. Tapi karena hanya sekilas, tadi Runa hanya melihat lelaki itu sebagai lelaki berambut gondrong biasa yang sibuk sendiri dengan laptop dan kopinya. Jadi ketika kini lelaki itu berdiri tepat di hadapannya, Runa baru menyadari bahwa meski berambut gondrong, wajah lelaki itu cukup menarik. Err... oke, kalau boleh jujur, sangat menarik. Kombinasi rambut gondrong yang nanggung (tidak pendek tapi juga tidak cukup panjang untuk dikuncir), kacamata berbingkai hitam, ransel dan laptop membuat penampilan lelaki itu tampak santai dan muda, tapi juga sekaligus tampak dewasa.

"Ternyata kamu juga udah disini dari tadi ya," kata Ganes sambil tersenyum lebar.

Itu jenis senyuman bunga matahari. Yang hangat, sekaligus menyilaukan.

"Eh, er...." Tiba-tiba saja Runa merasa gugup. Padahal, buat apa dia merasa gugup kan?

"Saya duduk di situ ya?" kata Ganes kemudian, sambil mengendikkan kepalanya ke kursi di hadapan Runa.

"I-iya," jawab Runa.

Rasanya Runa ingin memukul kepalamya sendiri karena bersikap memalukan, seperti orang udik yang baru pertama kali bertemu orang ganteng saja.

Meski dr. Raka Pangestu, suaminya sendiri, telah diakui luas ketampanannya oleh para emak-emak, tapi Prima Ganesha di hadapannya ini memiliki jenis ketampanan yang berbeda. Wajah Raka khas lelaki Jawa, serta tampak dewasa, tenang, tegas dan berkharisma. Sementara Ganes berkulit lebih cerah dan terlihat lebih santai dan ceria. Barangkali karena usia Ganes yang memang jauh lebih muda daripada Raka.

Saat lelaki itu sedang menunduk dan berhati-hati meletakkan cangkir kopi dan laptop di meja, Runa mengambil kesempatan 3 detik itu untuk merapikan rambutnya dan mengulum bibirnya agar tampak lebih cerah meski tidak sempat mengoleskan lipstik.

"Kamu udah lama di sini? Kenapa nggak langsung chat saya?" tanya Ganes sambil duduk di kursi di hadapan Runa, dan meletakkan ransel di bawah, dekat kaki kursinya.

Runa tidak mungkin menjawab supaya nggak terkesan nungguin banget kan? Jadi alih-alih menjawab, dia balik bertanya, "Kamu sendiri, datang jam berapa? Saya udah lihat kamu duduk di situ pas saya datang tadi."

"Oh ya?" Mata Ganes membesar bersemangat. "Kenapa tadi nggak langsung menyapa?"

Runa memutar bola matanya. "Ya mana saya tahu bahwa mas-mas yang sibuk sama laptopnya di pojok situ adalah mas-mas yang janjian sama saya?"

Ganes tertawa renyah. "Iya juga ya."

Runa balas tersenyum. "Jadi, udah di sini dari jam berapa?"

"Dari jam 7 sebenarnya. Sekalian sarapan di sini tadi. Maklum, bujangan. Nggak ada yang nyiapin sarapan."

"Curhat, Bang?"

Ganes tertawa lagi. Rambut gondrongnya bergerak-gerak memukau ketika lelaki itu tertawa lebar.

"Trus kenapa nggak langsung ngabarin saya bahwa kamu udah di sini?" tanya Runa, membalikkan pertanyaan Ganes di awal tadi.

Lelaki itu tidak segera menjawab. Ia menumpukan kedua sikunya di meja, mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Runa, menangkupkan kesepuluh jemarinya di bawah dagunya, baru kemudian menjawab, "Takut kamu merasa saya terlalu antusias ketemu kamu..."

Melihat Ganes mencondongkan tubuhnya maju, Runa memundurkan tubuhnya, pura-pura bersandar di kursinya dengan santai. Padahal gesture Ganes barusan sempat membuatnya berdebar sesaat.

"... trus kamu malah takut sama saya," lelaki itu melanjutkan.

"Sering ya pengalaman gitu?" tanya Runa.

"Nggak sering. Tapi pernah," jawab Ganes. "Karena saya datang terlalu cepat dibanding waktu yang dijanjikan, dia pikir sikap saya mencurigakan. Besok-besoknya, dia ga mau ketemu saya lagi."

Runa tertawa. "Kasian juga. Ganteng-ganteng, tapi disangka aneh."

Mata Ganes tampak membulat berbinar. "Barusan tadi kamu ngerayu saya?"

"Itu pujian. Bukan rayuan," jawab Runa sok cool, sambil meraih cangkir coklat panasnya dan menyesapnya, untuk mengalihkan wajah saltingnya saat dituduh merayu. "Hari ini kamu ngaku datang jauh lebih cepat dari waktu janjian, emang nggak takut saya anggap kamu aneh?"

"Nggak," jawab Ganes santai. Ia menarik lagi tubuhnya, dan mengikuti gesture Runa yang bersandar di kursi. "Soalnya ternyata kamu juga datang lebih awal kan? Jadi kita sama-sama antusias. Iya kan?"

"Nggak juga sih," Runa mengelak. "Saya juga ada keperluan pagi-pagi di luar rumah, jadi sekalian aja ke sini. Daripada pulang dulu."

Tatapan Ganes tampak tidak percaya dan menggoda, tapi Runa tidak terpengaruh. Ia tidak berusaha meyakinkan lelaki itu bahwa dirinya tidam antusias dengan pertemuan mereka. Makin ia mengelak, kan justru makin mencurigakan.

"So, shall we introduce ourselves officially?" Ganes menegakkan tubuhnya kembali dan mengulurkan tangannya pada Runa.

Meski merasa lucu, mengapa mereka harus berkenalan lagi padahal sudah saling mengenal di Madam Rose, tapi toh Runa menyambut uluran tangan itu.

"Prima Ganesha," kata lelaki itu ketika menjabat tangan Runa.

"Aruna Pramesti."

Ganes tampak tersenyum lebar ketika merasakan Runa membalasnya dengan jabat tangan yang mantap. Berbeda dengan perempuan lain yang pernah berkenalan dengannya melalui Madam Rose, yang jabat tangannya cenderung lembut dan kadang malu-malu. Ganes menduga-duga, entah ini memang menggambarkan kepribadian Runa yang tegas, atau karena Runa menganggapnya sebagai teman atau rekan kerja, alih-alih sebagai "teman kencan".

"Makasih sudah mau ketemu, Run," kata Ganes kemudian, ketika mereka sudah saling melepaskan jabat tangan mereka.

"Sama-sama," jawab Runa sambil tersenyum. "Ini sudah pertemuan ke berapa yang dijadwalkan via Madam Rose?"

Ganes tertawa. "Ini yang ke-lima."

"Niat banget ya, Bapak, nyari jodohnya," kata Runa mengejek.

"Biasa aja sih, nggak niat-niat banget. Minimal, jadi nambah temen ngobrol kan."

Ganes memang pernah bercerita bahwa ia sengaja mencari kenalan di Madam Rose dengan berbagai tipe dan latar belakang yang berbeda. Selain untuk memperluas lingkup pergaulan, juga untuk riset materi tulisannya.

"Sampe lima kali banget ya? Susah nyari yang cocok?" sindir Runa. Padahal jelas tidak mungkin dengan wajah setampan Ganes akan susah mencari perempuan yang mau dengannya.

Ganes tertawa lagi. "Mungkin kali ini yang terakhir," katanya kemudian, sambil menatap perempuan di hadapannya.

Runa mencebik sambil tersenyum mengejek.

"Runa sendiri?" tanya Ganes membalikkan. "Ini pertemuan ke berapa?"

"Pertama."

Alis Ganes naik. Antara sangsi dan bingung. "Oh ya?"

Runa mengangguk.

"Why?"

"Kenapa why?" tanya Runa, tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Ganes.

"Kamu sudah instal Madam Rose lumayan lama. Mungkin match beberapa kali juga dengan orang lain. Kenapa sebelumnya belum pernah janjian ketemuan sama orang lain?"

"Kenapa harus ketemuan kalau bisa ngobrol di Madam Rose aja?"

"Kenapa nggak ketemuan kalau bisa ketemuan kan?"

"Kan emang saya daftar Madam Rose bukan buat nyari jodoh. Cuma buat riset."

"Seriously? Padahal kan bisa sambil menyelam minum air?"

"Bisa sih. Tapi saya ga mau sambil minum air. Nanti kembung."

Ganes tertawa. "Berarti saya yang pertama berhasil ngajak Runa ketemuan? Saya harus bangga dong ya?"

"Lebay!"

Kemudian mereka tertawa lagi bersama.

Ganes meraih cangkir kopinya dan menyesapnya hingga habis sebelum melanjutkan interogasinya, memuaskan rasa penasarannya.

"Jadi biasanya Runa nolak diajak ketemu sama match yang lain?"

Runa mengangguk.

"Jadi kenapa sekarang bersedia ketemu sama saya?"

Runa tampak menimbang sejenak sebelum menjawab, "Karena kamu sopan. Dan nggak memaksa."

Dahi Ganes tampak berkerut halus.

"Kebanyakan yang sempat saya kenal di Madam Rose memang bertujuan cari pasangan," Runa melanjutkan penjelasannya. "Entah pasangan untuk serius, atau sekedar have fun. Saya nggak nyari keduanya. Jadi sekedar ngobrol di Madam Rose aja udah cukup buat riset saya. Jadi kalau mereka terlalu gencar ngajak ketemuan, saya malah ngeri."

Niat awal Ganes instal Madam Rose juga sebenarnya untuk riset materi tulisannya. Tapi seiring berjalannya waktu, ia menikmati berkenalan dengan orang-orang baru dan tidak menutup kemungkinan jika ia berhasil menemukan jodoh melalui aplikasi tersebut. Jadi meski memahami alasan Runa, di saat yang sama ia juga tidak mengerti mengapa Runa harus begitu membatasi diri hanya menggunakan aplikasi tersebut untuk riset. Padahal kan apa salahnya kalau bisa sekalian ketemu jodoh kan?

"Abis ini saya juga mau un-instal Madam Rose kok," kata Runa menambahkan.

"Kenapa?"

"Soalnya, kayaknya materi buat tulisan saya udah cukup sih."

"Kalau gitu, saya boleh minta nomer WhatsApp Runa?" tanya Ganes cepat. Secepat itu juga ia mengeluarkan ponselnya dan bersiap mencatat.

Runa tampak ragu dan tidak segera menjawab.

"Selama ini kita cuma kontak via chat Madam Rose. Kalau Runa un-instal aplikasinya, kita nggak akan bisa ngobrol lagi kan," kata Ganes memberi alasan. "Kalau kita punya nomer WA masing-masing, kita tetep bisa saling ngobrol meski Runa sudah nggak pakai Madam Rose lagi. Jadi berapa nomer WA atau nomer telepon Runa?"

Runa menatap lelaki di hadapannya. Masih ragu apakah keputusan bijak untuk memberikan nomer ponselnya pada orang yang baru dikenalnya di aplikasi kencan online tersebut? Bukankah tujuannya untuk riset sudah terlaksana, dan seharusnya ia memutuskan hubungan dengan Madam Rose dan segala yang terkait dengannya?

"Apa nomer WA juga nggak boleh?" tanya Ganes. "Sebagai teman ngobrol, juga nggak boleh?"

Lama-lama, Runa merasa tidak enak hati juga jika terus mengelak, padahal kan memang tidak ada salahnya punya teman ngobrol baru. Jadi akhirnya Runa menyebutkan nomer WhatsApp nya pada Ganes.

Lelaki itu mengulangi menyebutkan nomer WA Runa, menyimpannya, lalu tampak mengetikkan sesuatu.

"Saya kirim pesan WA ke Runa. Coba dicek," kata Ganes beberapa detik kemudian.

Runa mengambil ponselnya dari tas, membuka aplikasi WA dan menemukan pesan dari nomer baru.

Tes! Hi Runa!

Hanya tertulis seperti itu. Dan hal itu membuat Runa tertawa.

"Kamu ngetes?" tanya Runa, masih sambil tertawa.

"Cuma memastikan kamu ngasih nomer WA kamu yang bener, bukan nomer WA orang lain."

"Astaga Ganes!" Runa tertawa salah tingkah. Jujur saja, sesaat tadi memang terpikir olehnya untuk memberi nomer WA asal-asalan saja pada Ganes. Toh setelah ini mereka tidak perlu saling bertemu lagi kan? Tapi untung saja dirinya tidak jadi melakukannya. Kan malu banget kalau langsung ketahuan bohong.

"Jadi akhirnya novelmu udah selesai? Makanya kamu nggak butuh Madam Rose lagi buat riset?" tanya Ganes setelah tawa mereka mereda.

"Belum selesai sih. Bulan depan deadlinenya. Tapi semua info yang saya butuhkan dari Madam Rose sudah saya catat."

Ganes mengangguk-angguk.

"Kamu sendiri, udah selesai novelnya?" tanya Runa sambil mengerling laptop Ganes di meja. "Tadi saya lihat kamu sibuk banget sama laptop. Lagi nulis novel itu?"

"Oh, bukan. Tadi itu saya lagi ngerjain kerjaan saya. Saya nulis novel kan cuma iseng-iseng aja, dan saya nggak ikut kompetisi menulis yang ada tenggat waktunya, jadi nggak buru-buru harus selesai. Jadi kalau kerjaan saya lagi senggang, barulah saya lanjut nulis dikit-dikit."

"Jadi kerjaan Ganes sebenarnya apa?" tanya Runa penasaran. "Foto profilnya kayak fotografer, tapi ternyata bukan. Saya kira penulis, ternyata itu iseng-iseng juga. Tapi kayaknya kamu pernah cerita, kerja di penerbitan buku ya?"

Ganes menyeringai. "Kerjaan saya serabutan. Saya hobi fotografi dan jalan-jalan, jadi kadang jadi kontributor foto dan artikel buat majalah. Saya suka nulis cerita, jadi suka kirim naskah cerpen atau cerbung juga."

Alis Runa naik. Sangsi pada jawaban lelaki itu. Meski penampilannya tidak "wah", tapi lelaki itu juga tidak tampak lusuh. Apakah honor sebagai kontributor di majalah memang cukup untuk hidup sehari-hari?

"Bapak tuh anak pejabat ya? Atau sebenarnya CEO perusahaan penerbitan misalnya? Kerjaan serabutan, tapi kok laptopnya Apple Macbook?" sindir Runa.

Sontak Ganes menyemburkan tawa geli. "Kebanyakan baca wattpad tuh," katanya.

"Jadi pekerjaan tetapnya apa dong, kalau bukan anak pejabat atau CEO?"

"Penerjemah," jawab Ganes akhirnya, setelah tawanya reda. Ia menyebutkan nama sebuah perusahaan penerbitan mayor sebagai tempat kerjanya. Penerbit tersebut memang banyak menerbitkan buku-buku terjemahan dari luar negeri. Jadi masuk akal jika Ganes mengaku sebagai penerjemah tetap di kantor tersebut. "Saya certified translator juga, jadi sering dapet proyek menerjemahkan dokumen beberapa perusahaan, meski itu bukan penghasilan tetap saya."

Runa mengangguk-angguk, mencoba mencerna. Sejak muda, dunia dan lingkup pergaulannya hanya berkutat dengan bidang-bidang pekerjaan eksakta. Baru beberapa tahun terakhir ini saja dia mulai mengeksplorasi jenis pekerjaan lain yang sebenarnya sangat menarik dan cukup menjanjikan secara finansial, dan dengan waktu kerja yang lebih fleksibel dibanding pekerjaan di bidang eksakta.

"Runa sendiri, sibuk apa selain sebagai penulis?" tanya Ganes kemudian.

"Saya bukan penulis," kata Runa mengoreksi, sambil terkekeh. "Ini saya baru ikut kelas menulis, trus coba-coba ikut kompetisi menulis. Selama ini cuma nulis opini pendek-pendek di blog atau komunitas menulis online aja."

"Oh. Kalau gitu, sehari-hari sibuk apa? Sibuk banget kayaknya, sampai saya susah ngajak ketemuan pas weekend, tapi malah available pas weekdays gini?"

Runa meletakkan cangkir coklatnya yang sudah tidak panas lagi dan kini sudah kosong. Lalu tersenyum dan menjawab, "Saya ibu rumah tangga."

Dahi Ganes kembali berkerut. Lelaki itu menegakkan duduknya, lalu mencondongkan diri di meja. Mungkin ingin menajamkan pendengarannya.

"I__bu rumah tangga?" tanya Ganes bingung.

"Anak saya dua orang. SD dan TK.  Sehari-hari lumayan sibuk sama mereka. Makanya waktu saya cuma agak bebas pas weekday pagi begini, abis nganter anak sekolah, sebelum jemput mereka pulang."

Lelaki berambut gondrong itu tampak kaget dengan jawaban Runa. Mata di balik kacamata frame hitamnya itu nampak membesar.

"Berapa___ usia Runa?" tanya Ganes kemudian hati-hati.

Runa tertawa. "Itu pertanyaan sensitif buat perempuan, Bang," kata Runa memperingatkan. Tapi toh akhirnya ia menjawab juga, "Saya 36 tahun."

"Serius? Saya pikir sekitar 25 tahun?"

Tawa Runa makin lebar. Perempuan mana yang tidak suka jika dikira lebih muda dari usia sebenarnya kan?

"Saya bahkan belum 30 tahun," kata Ganes dengan suara lemah. Runa sudah menduga itu sih. Dilihat dari penampilannya, dia memang menduga lelaki itu berusia di akhir 20 tahunan. "Apa itu artinya saya harus manggil Mbak?"

Runa terkekeh lagi. "Lebay ah! Panggil nama aja, kayak selama ini."

Seketika, Ganes rasanya ingin mengumpat. Kenapa wajah semenggemaskan ini sudah berusia hampir 40 tahun? Dan kenapa perempuan dengan tawa semenarik ini sudah jadi isteri orang?

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top