57. Tabiat
Satu hari ga ketemu Raka-Runa, pada kangen ga sih?
Kangen dong, plis. Biar saya seneng gt.
Hahaha. Dasar aku, dedek fakir vote.
* * *
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tabiat adalah perangai, perbuatan yang selalu dilakukan. Karena selalu dilakukan, hal tersebut mendarah daging sehingga sulit dihilangkan atau diubah dalam waktu singkat.
Misalnya Raka yang lempeng, tidak peka, blak-blakan, tidak romantis dan jarang mengucap kata cinta atau melakukan skinship. Itu sudah sifatnya, tabiatnya. Selama beberapa hari Raka memang sudah berubah menjadi lebih manis. Ia menemani Runa lembur tiap malam untuk menunjukkan perhatiannya. Malam itu Raka bahkan berhasil membujuk Runa untuk kembali tidur di kamarnya, bermodalkan permintaan maaf, kata cinta dan sebuah ciuman. Tapi setelah berhasil mendapatkan maaf dari Runa, Raka kembali menjadi Raka.
Lelaki itu tidak lagi menemani Runa bekerja hingga malam di sofa ruang tengah. Alih-alih, sepulang kerja, ia langsung tidur di kasurnya dengan wajah kelelahan. Tidak ada lagi pujian-pujian manis, atau belaian dan kecupan ringan seperti yang dilakukannya selama beberapa hari saat sedang gencar-gencarnya meminta maaf dan menarik simpati Runa.
Benar kata orang, kita memang tidak boleh menikahi seseorang sambil berharap kelak ia bisa berubah demi kita.
Berapa banyak orang yang sudah tahu bahwa calon suaminya temperamental dan suka memukul, tapi tetap menikahinya sambil berharap kelak lelaki itu akan berubah menjadi lembut saat sudah memiliki anak? Berapa banyak orang yang kecewa karena mengira calon istrinya yang tomboy bisa berubah menjadi ibu rumah tangga yang keibuan, ternyata tidak bisa?
Seseorang hanya bisa berubah jika dirinya sendiri yang bertekad berubah. Bahkan jika ia sudah bertekadpun, realisasinya tidak semudah itu. Itu mengapa, penting untuk menetapkan parameter kritis saat memilih pasangan. Jika sebelum menikah kita sudah mendeteksi "nilai mati" pada tabiat seseorang, lebih baik kita tidak nekat menikahinya hanya karena berharap orang tersebut bisa berubah menjadi yang kita inginkan.
Runa sudah tahu hal itu. Ia sudah tahu tabiat Raka sejak sebelum menikah. Ia sudah tahu kesibukan pria itu sejak sebelum menikah. Dan Runa menetapkan bahwa hal itu bukan "nilai mati". Ia mau berkompromi dengan sifat dan kesibukan Raka. Ia juga sudah menduga bahwa perubahan Raka hanya sementara. Ketika keinginannya untuk mendapatkan maaf dari Runa terwujud, Raka kembali menjadi Raka yang lempeng lagi.
What do you expect sih Run?, Runa menegur dirinya sendiri.
Raka adalah Raka. Tidak akan berubah secepat itu. Memangnya dia ksatria baja hitam?
"Makasih ya Bunda," kata sebuah suara berat, ketika Runa meletakkan secangkir kopi di hadapannya. Lelaki itu tersenyum pada Runa. Pagi itu ia memakai kaos polo berwarna hijau gelap dan celana jeans.
Lelaki itu menyesap kopinya sambil memerhatikan Risyad dan Rumaisha yang saling mengoper tomat dari piringnya. Bahkan meski Runa sudah mencoba banyak resep masakan, anak-anak itu tetap tidak suka tomat. Seperti halnya ayahnya saat kecil dulu.
"Hei anak-anak! Sarapannya cepetan. Abis ini Ayah anter ke sekolah!" kata lelaki itu menegur anak-anaknya. Kemudian ia menoleh pada Runa. "Bunda ikut ke sekolah juga kan? Nganterin catering?"
Raka tetaplah Raka. Lelaki lempeng yang blak-blakan dan tidak romantis. Dia tetap jarang memberikan pujian. Tapi kini ia lebih sering berterima kasih pada Runa atas hal-hal kecil yang Runa lakukan. Lelaki itu juga tetap enggan mengucap kata cinta dan melakukan skinship di depan orang lain, tapi ia menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda.
Seperti hari Jumat itu misalnya.
Dia tetap dr. Raka Pangestu yang berdedikasi, yang tetap tidak mengosongkan jadwal praktiknya di hari Sabtu karena banyak pasiennya yang kontrol di hari Sabtu. Yang tetap pergi pagi-pagi sekali sebelum sarapan bersama anak-anak. Yang pulang hingga malam hari saat anak-anak sudah tidur. Yang tetap sibuk di kamar untuk membaca atau menulis artikel ilmiah sepulang kerja. Yang menghabiskan hari Minggu dengan tidur seharian. Yang tetap pergi sewaktu-waktu jika ada pasien darurat. Tapi setidaknya sekarang setiap Jumat ia memberikan waktu untuk anak-anak.
Raka memang tidak banyak berubah. Tapi perubahan kecil yang ditunjukkan Raka cukup untuk membuat Runa percaya, bahwa lelaki itu bertekad memperbaiki rumah tangga mereka.
* * *
Raka keluar dari kamar mandi, dengan kaos dan celana selutut setelah mandi, tepat ketika Runa meletakkan secangkir susu jahe dan segelas air putih di nakas di sebelah ranjang.
"Minumnya, Mas," kata Runa.
"Makasih, Sayang."
"Sama-sama."
Runa baru saja akan keluar kamar, kembali lembur, ketika Raka memanggilnya kembali.
"Aku mau ngomong sebentar. Kesini deh, Run," kata Raka, yang kini sudah duduk di ranjang, sambil menepuk sisi ranjang di sebelahnya, meminta Runa duduk di situ.
Runapun menutup kembali pintu kamar dan menuruti Raka, duduk di sisinya. Setelah mereka duduk berhadapan di ranjang, Raka menoleh sesaat untuk mengambil sesuatu dari laci nakas. Sepertinya dia sudah mempersiapkannya.
Kartu debit.
Itu kartu debit yang selama ini digunakan Runa untuk keperluan anak-anak dan keperluan sehari-hari. Ke nomer rekening itulah Raka mentransfer uang tiap bulannya. Dan kartu itulah yang sudah dikembalikan Runa kepada Raka saat ia memutuskan pergi dari rumah.
Raka meraih tangan Runa, lalu meletakkan kartu itu ke genggamannya.
"Tolong diterima lagi ya, Sayang," kata Raka lembut.
Runa memandang kartu debit itu, kemudian beralih menatap suaminya.
"Aku tahu kamu sudah punya penghasilan sendiri sekarang, dari catering dan menerjemahkan buku," kata Raka. "Tapi kamu dan anak-anak tetap tanggung jawabku. Jadi tolong ini diterima lagi ya, Run."
Runa berpikir beberapa saat hingga akhirnya menjawab, "Makasih, Mas."
Raka yang sejak tadi wajahnya terlihat tegang, perlahan tersenyum makin lebar ketika mendapati respon Runa.
"Aku yang makasih ke kamu," kata Raka. Membuat Runa mengernyit. "Jangan pernah dibalikin lagi ke aku ya, Run. Aku sedih. Jangan tinggalin aku lagi."
Dan dengan kata-kata itu, Runa kembali tersentuh.
"Meski kamu juga punya rekening pribadi, tapi please, jangan lagi ngomong tentang memisahkan uangmu dan uang ini. Semua uang yang ada di rekening ini milik kamu."
Runa baru saja akan mencibir, ketika Raka melanjutkan kata-katanya.
"And by saying that, i'm being serious," kata Raka. "Ini semua uang kamu. Uang kamu sepenuhnya untuk kamu gunakan. Boleh kamu pakai untuk apapun keperluanmu, juga untuk keluargamu. Dan kalau kurang, kamu nggak perlu segan minta sama aku. Ya, Run?"
Runa masih skeptis tentang hal ini. Bagaimanapun, meski Raka telah menjelaskan maksudnya dengan jelas, di alam bawah sadar Runa sudah terpatri bahwa uang di rekening itu adalah uang Raka.
"Soal pinjaman Mama waktu itu, aku beneran minta maaf, Run. Beneran aku nggak bermaksud pelit sama kamu atau Mama," lanjut Raka. "Salah seorang temanku pernah cerita. Mertuanya tersinggung karena dia ngasih uang ke mertuanya padahal mertuanya pengen minjem, bukan minta. Mertuanya merasa terluka harga dirinya kalau dikasih cuma-cuma. Makanya waktu itu aku nanya lagi ke kamu, menegaskan Mama mau minjem atau minta. Aku khawatir kalau Mama pengen minjem trus malah aku kasih cuma-cuma, nanti Mama malah tersinggung. Makanya aku malah ngomong begitu. Maaf aku nyakitin hati kamu. Tapi beneran, bukan maksudku perhitungan ke Mama. Aku cuma pengen menjaga pride Mama. Maaf kalau caraku justru bikin kamu sedih dan tersinggung. Aku emang nggak peka."
Perlahan mata Runa berembun saat mendengarkan penjelasan Raka.
"Maaf juga Mas, harusnya aku ngomong terang-terangan," akhirnya Runa meminta maaf juga, sambil menunduk.
Raka meremas tangan Runa yang masih ada di genggamannya.
"Kamu dulu perempuan yang blak-blakan. Nggak pernah kode-kode. Tapi mungkin aku pernah melakukan sesuatu atau ngomong sesuatu yang menyinggung kamu dan bikin kamu sekarang jadi sering sungkan atau ragu mengatakan yang sebenarnya kamu rasakan. Kalau memang aku pernah melakukan itu ke kamu, aku minta maaf, Run."
Runa mulai terisak pelan. Dan Raka meraih tubuh Runa lalu memeluknya.
"Aku nggak PD, Mas," kata Runa di sela isaknya. "Aku cuma ibu rumah tangga biasa. Nggak punya penghasilan sendiri. Jadi waktu aku minta uang buat Mama, aku takut ngerepotin Mas. Aku malu banget. Boro-boro mau jujur minta ke Mas, waktu aku bilang minjem aja, aku malu banget. Bagaimanapun Mas bilang bahwa semua uang di rekening itu punyaku, aku tetep sungkan memakainya untuk keperluan pribadiku, apalagi buat dikasih ke Mama. Karena aku tetap merasa itu uang Mas. Aku merasa nggak berdaya. Aku sedih dan kecewa karena Mas nggak mau ngasih uang ke Mama, tapi aku nggak bisa bilang jujur karena aku malu. Makanya sejak itu aku pengen punya uang sendiri, supaya aku merasa punya harga diri. Nggak merasa insecure mulu."
Raka terhenyak dengan kejujuran istrinya. Raka memang kesal dengan sikap Runa yang tidak terang-terangan meminta uang untuk Mama, tapi sekarang akhirnya ia tahu alasannya. Karena untuk berkata jujur, harga diri Runa merasa terluka.
"Maaf, aku nggak tahu kamu merasa seperti itu. Maaf aku nggak peka," kata Raka meminta maaf sambil membelai lengan istrinya yang masih dipeluknya. "Lain kali, bilang jujur aja ya, Sayang. Suaminya ini parah banget emang tingkat kepekaannya."
Runa melepaskan diri dari pelukan Raka. Ia menghapus air matanya, lalu terkekeh pelan.
Melihat itu, Raka merasa lebih lega. Satu masalah lagi selesai diklarifikasi.
* * *
Pagi itu, seperti biasa Runa bangun lebih awal, sebelum Raka, karena harus menyiapkan pesanan catering. Setelah sholat Subuh, ia membuka ponselnya untuk mengecek sekali lagi jumlah pesanan yang harus disiapkannya pagi ini. Tapi saat membuka ponselnya, mata Runa terpaku pada notifikasi di akun instagramnya.
Tiba-tiba saja banyak orang yang mengikuti akunnya. Dan mereka bukan orang-orang yang dikenal Runa.
Kemudian Runa menemukan 1 postingan yang menandai dirinya. Akun (at)drrakapangestu.
Itu bukan postingan baru, melainkan repost dari postingan di akun IG Runa. Di akunnya, Runa memang senang posting foto-foto bekal sekolah yang dibuatnya. Atau makanan-makanan yang dimasaknya di rumah. Dan salah satu foto itu yang di-repost oleh Raka.
Sekarang paradigma makanan sehat bukan lagi "Empat sehat lima sempurna". Makanan sehat adalah makanan dengan gizi seimbang.
Banyak ibu yang mengeluh anaknya susah makan. Padahal setelah ditelusuri, ternyata anaknya makan dengan gizi yang cukup kok. Sang anak memang tidak suka makan nasi, tapi dia makan roti, makan sereal, makan mi. Jadi buat ibu-ibu, berhenti menganggap bahwa karbohidrat itu hanya nasi.
Nah, buat ibu-ibu yang anaknya memang punya masalah makan, barangkali bisa mampir dan lihat-lihat akun istri saya (at)aruna.pramesti yang suka bikin variasi masakan dan tampilan makanan yang lucu-lucu. Barangkali anak-anak jadi berselera makan.
Sudah terbukti selera makan saya meningkat tajam hingga perut tidak bisa six-pack lagi, tapi berubah jadi perut ba-pack ba-pack ^_^
Runa tertawa membaca caption yang mengiringi repost foto tersebut. Garing sekali sih lawakan suaminya ini.
Ternyata ini yang membuat semalam Raka tidur lebih malam daripada Runa.
Suara tawa Runa membuat Raka terbangun.
"Kaget aku. Pagi-pagi buta ada suara perempuan ketawa. Kirain kuntilanak," kata Raka, dengan tampang datarnya yang mengantuk.
Runa tahu Raka sedang tidak bercanda. Tapi toh Runa tertawa lagi.
"Follower IGku nambah drastis nih. Gara-gara promo Mas," kata Runa.
Raka bangkit dari tidurnya. Menggaruk kepalanya hingga rambutnya makin acak-acakan.
Sudah lama Runa tidak terlalu memperhatikan. Tapi kalau dilihat lagi sekarang, ternyata wajah Raka saat baru bangun tidur, ganteng juga. Dan lucu. Dan imut. Jadi pengen cium.
Eh?
"Aku nggak bisa bantu kamu nyiapin catering, karena aku juga harus ke rumah sakit pagi-pagi. Aku nggak bisa nemenin kamu kerja tiap malam, karena udah kecapekan. Tapi setidaknya ini hal kecil yang bisa aku lakukan untuk mendukung kamu," kata Raka.
Suaranya datar dan masih setengah mengantuk. Tapi kata-kata itu terdengar manis di telinga Runa.
"Kamu udah dari kamar mandi kan?" tanya Raka, memecah pikiran Runa.
Runa mengangguk.
"Oke. Aku mandi kalau gitu."
Lalu Raka turun dari rancang. Sambil garuk-garuk kepala. Mengambil handuk. Lalu masuk kamar mandi.
Sudah. Begitu saja. Pagi yang datar. Seperti juga pagi-pagi biasa bersama Raka. Tanpa ada kecupan selamat pagi, seperti yang sering dibaca Runa di wattpad tentang kehidupan pernikahan yang manis.
Tapi Runa merasa bahagia pagi itu.
* * *
Wohoooo. Dua ribu kata lho ini.
Jangan pelit2 vote n komen ya Kak. Makasiii 😘😘
Siapa yg ikut senyum2 baca bab ini?
Seringkali yg bisa bikin ibu rumah tangga bahagia ya emang apresiasi sederhana doang kok. Meski tanpa apresiasi, ibu rumah tangga tetap mengurus anak dan rumah dengan ikhlas, tapi dengan sedikit apresiasi, para ibu rumah tangga akan melakukannya dengan lebih bahagia. Dan rasa bahagia itu yang membuat seorang ibu rumah tangga lebih mudah memaklumi banyak hal.
Kadang, sejak awal seorang perempuan sudah menyadari dan menerima kekurangan seorang lelaki saat ia setuju menikah. Tapi ketika dalam kehidupan rumah tangga ia merasa tidak puas (misal karena merasa perannya disepelekan), jadinya dia mulai merasa tidak puas juga dan tidak bisa menerima kekurangan suaminya yang sebelumnya bisa ia maklumi.
Hal yg sama berlaku sebaliknya. Para suami yang tadinya bisa menerima kekurangan istri, ketika merasa tidak puas dengan pernikahannya, bisa jadi dia mempermasalahkan kekurangan istri yang sebelumnya tidak ia permasalahkan.
Makanya, masalah rumah tangga itu lebih sering bukan karena masalah besar, tapi justru karena masalah2 kecil yang bertumpuk dan tidak terselesaikan. Menyebabkan rasa tidak puas di sana-sini, lalu jadi mengungkit kekurangan masing2, padahal sebelumnya kita bisa menerima kekurangan tsb. Jadi jangan sepelekan masalah kecil ya Kak. Tetep perlu dikomunikasikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top