56. Self-respect

Siapa yang udah bosen baca cerita yg berbelit-belit ini? Lambaikan bendera putih ke kamera.

Karena udh pd bosen, yowis kita selesaikan segera aja deh ya. Yuuukk cuzzz.

* * *

"Aku realistis aja, dek Iva. Kalau perempuannya mau sama aku, ya aku perjuangkan. Kalau ditentang keluarga, selama dia mau sama aku, ya aku perjuangkan. Kalau ada cowok lain mau mendekati, selama dia tetep pilih aku, ya aku pertahankan. Tapi kalau perempuannya ndak mau sama aku, aku ya capek lah berjuang sendirian. Itu bukan berarti aku menyerah atau gagal memperjuangkan. Itu artinya aku menghargai diriku sendiri, dengan hanya memperjuangkan orang yang mau diperjuangkan sama aku. Self-respect!"

Raka memang pernah mengatakan hal itu pada Haiva. Dulu, hampir sebelas tahun lalu. Itu salah satu prinsip hidupnya: Jangan menjadikan seseorang sebagai prioritas kalau dia hanya menjadikanmu sebagai pilihan; dan jangan memperjuangkan orang yang tidak mau diperjuangkan.

Sikap Runa terlihat seperti itu. Perempuan itu hanya menganggap Raka sebagai pilihan, bukan satu-satunya. Toh kalau tidak ada Raka, perempuan itu masih memiliki Ganes. Perempuan itu juga jelas sekali tidak mau memperjuangkan hubungan mereka. Melihat dua hal itu, mudah saja bagi Raka untuk memutuskan berhenti memperjuangkan dan memprioritaskan Runa.

Harusnya.

Tapi___

Persetan dengan self-respect!
Bodo amat dengan prinsip hidup!
Masa bodoh dengan harga diri!

Apa gunanya harga diri jika dirinya  harus kehilangan Runa dan anak-anak.

Raka meraih kembali tangan Runa yang tadi melepaskannya. Menggenggam tangan itu dengan erat. Dan meski Runa hendak mengenyahkan tangannya lagi, Raka bersikeras menggenggam.

Ia kemudian menunduk dalam, di hadapan istrinya.

"Maafin aku, Sayang. Maafin aku. Jangan tinggalin aku. Please..." kata Raka, mengiba.

Lama tidak terdengar jawaban Runa, membuat Raka kembali mengangkat kepalanya dan menatap istrinya. Saat itu ia melihat air mata mulai jatuh perlahan, satu-satu, di pipi istrinya.

Raka melepaskan genggamannya pada tangan kiri istrinya. Saat itu Runa langsung menghapus air matanya dengan tangan yang bebas. Begitupun dengan Raka, yang membelai pipi istrinya. Saat itu Runa tidak menolak sentuhan Raka, meski juga tidak terlihat terbuka.

"Aku minta maaf, aku nggak cerita tentang Hani," kata Raka. Ia mencoba menjelaskan perlahan. "Aku salah. Harusnya aku cerita tentang dia. Juga cerita saat aku ketemu dia lagi. Tapi aku takut kamu marah dan malah salah paham."

Runa menatap lelaki di hadapannya dengan sinis.

"Kamu benar, aku harusnya nggak perlu takut cerita tentang Hani, juga nggak perlu khawatir kamu akan marah kalau emang aku nggak merasa melakukan kesalahan. Tapi saat itu aku.... senang ketemu dia lagi. Apa itu artinya perasaanku goyah? Baper?"

Runa masih diam. Bodo amat! Mikir aja sendiri!

"Aku pertama kali ketemu dia lagi pas anaknya yang baru lahir masuk Perina karena hiperbilirubin. Aku dokternya. Dan sejak itu, dia selalu kontrol dan vaksinasi anaknya ke aku."

"Pantes Mas nggak pernah bisa lagi cuti di hari Sabtu. Bahkan ke Pekan Olahraga sekolah Icad aja, Mas nggak bisa," sambar Runa cepat, akhirnya bersuara. "Wanita karir kayak Hani, pasti kontrol anaknya tiap Sabtu kan?"

Wajah Raka memucat karena terpukul telak oleh dugaan Runa yang tepat sasaran. "I-iya..." jawab Raka gugup. "Iya, dia kontrol tiap hari Sabtu. Tapi aku nggak cuti di hari Sabtu bukan karena mau ketemu dia."

"Kemana suaminya?" lanjut Runa, mengabaikan pembelaan Raka.

Kali itu Raka yang tidak segera menjawab.

"Sudah cerai? Dia janda?" tanya Runa lagi, lebih mendesak.

"Aku... nggak berhak kepo atau ikut campur urusan keluarganya."

Runa menyeringai sinis. "Takdir. Jodoh banget, Mas ketemu lagi sama dia. Nggak ada suaminya. Mas seneng banget pasti."

"Takdir dan jodoh aku tuh kamu, Sayang," kata Raka. "Beneran, itu cuma perasaan antusias sesaat. Seperti kalau kita ketemu teman lama. Tapi aku nggak ada perasaan yang lebih ke Hani."

"Teman lama__" gumam Runa, mencibir. "Dia bukan sekedar teman! Dia mantan pacar kamu!"

Raka menunduk dalam, sekali lagi.

"Aku baca chat kalian," tukas Runa.

Raka sudah tidak kaget lagi mendengar pengakuan Runa. Darimana lagi Runa tahu nama Hani kalau bukan dari chat mereka kan. Lagipula dia tidak berhak marah jika Runa membuka aplikasi WhatsApp di ponselnya. Toh dirinya sendiri juga memata-matai chat antara Runa dan Ganes.

"Dia kelihatan nyaman banget curhat dan konsultasi sama kamu. Mas juga kelihatan sayang banget sama anaknya," kata Runa sinis.

"Ibu-ibu yang lain juga suka curhat tentang kesehatan dan tumbuh kembang anaknya ke aku," Raka membela diri.

"Tapi mereka curhat ke nomer hp konsultasi kamu. Bukan ke nomer hp pribadi kamu, Mas!" Runa membentak tidak sabar karena Raka terus mencoba membela diri.

Raka akhirnya bungkam, tidak mampu membela diri lagi. Tidak mampu mengelak lagi.

"Aku salah," kata Raka akhirnya, mengulang lagi pengakuan dosanya, dengan suara lemah. "Aku minta maa...f banget, Run. Tapi aku beneran nggak ada hubungan apapun sama Hani. Dan perasaanku ke dia, itu bukan cinta. Aku cuma cinta dan sayang sama kamu."

Runa terus memandang Raka dengan sinis. Tapi kini matanya juga berembun.

"Aku harus gimana Run? Apa yang harus aku lakukan untuk menunjukkan bahwa aku serius minta maaf. Bahwa aku jujur, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Hani. Juga nggak ada perasaan lebih, selain antusias sesaat."

"Kamu yang merasa bersalah, trus aku yang disuruh mikir gimana caranya minta maaf?"

Aduh, salah ngomong lagi, keluh Raka frustasi.

"Kalau gitu, tolong kasih aku waktu, Run. Aku akan buktikan semua kata-kataku tadi."

Embun di mata Runa makin mengambang. Lalu perlahan kembali menuruni pipinya.

"Aku capek, Mas," keluh Runa dengan suara lemah.

Aku juga capek, keluh Raka dalam hati. Hanya saja dia tidak mengutarakannya, daripada urusan makin ruwet.

"Aku capek berantem sama kamu, Mas. Aku capek sok cuek sama kamu. Aku capek. Aku tuh sayang sama kamu, tahu nggak?! Tapi aku juga sebel! Sebel banget, tahu nggak?!" Runa mulai mengeluh sambil terisak pelan.

Meski tidak ditunjukkan di wajahnya, perasaan Raka menjadi lebih ringan saat mendengar kata-kata Runa. Bukankah itu artinya dirinya masih memiliki kesempatan untuk dimaafkan?

"I-iya, tahu. Aku emang nyebelin."
Hati-hati Raka mengangkat tangannya, waspada kalau istrinya menolak sentuhannya. Tapi ketika Runa tidak menolak, perlahan Raka mengeringkan air mata istrinya.

"Kamu tahu nggak, gimana perasaanku pas lihat sikap kamu manis banget sama perempuan itu di depan IGD? Sama aku aja, kamu nggak pernah semanis itu, Mas. Kamu nggak pernah mau skinship sama aku di depan orang lain, tapi kamu enak banget ya tepuk-tepuk pundak perempuan itu, manis banget."

Raka hanya diam, menerima semua luapan amarah Runa yang selama ini tertahan.

"Kamu tahu nggak, gimana perasaanku pas tahu bahwa dia satu-satunya mantan pacarmu, dan bahwa kalian putus bukan karena udah saling nggak cinta, tapi karena keadaan yang memaksa kalian LDR. Kamu tahu nggak, gimana insecure-nya aku?!"

Mata Raka membulat bingung. "Dari mana kamu tahu cerita itu?"

Mata Runa bergerak cepat. Mencari jawaban terbaik supaya Raya tidak kena getahnya, karena sudah membocorkan cerita itu.

"Kamu nggak perlu tahu!" jawab Runa kemudian. Sengaja Runa memasang wajah galak, supaya Raka tidak menuntut jawabannya.

"Kamu tahu nggak perasaanku waktu baca chat kalian?!" Runa melanjutkan amarahnya. "Dia bergantung banget sama kamu. Kamu juga perhatian banget sama dia. Aku sakit hati, Mas."

Runa berhenti sesaat karena luapan emosi membuat dadanya sesak. Saat itulah Raka mengambil kesempatan menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Lalu sekonyong-konyong pertahanan diri Runa runtuh. Tangisnya makin keras di dada Raka, sambil memukul-mukul dada lelaki itu.

"Mentang-mentang dia wanita karir yang sukses, kamu memuji dia sebegitunya. Apa karena aku cuma ibu rumah tangga yang di rumah aja, jadinya kamu nggak menghargai aku, Mas? Pantesan ya kamu malu kalau aku gandeng tangan kamu di depan orang lain. Kamu malu kan punya istri kayak aku? Kamu lebih bangga kan punya istri yang keren kayak Hani? Iya kan?!"

"Hei! Run! Nggak gitu, Run. Kamu salah paham. Bukannya aku nggak bangga sama ka___"

Lalu Runa mendorong Raka dan melepaskan diri dari pelukan Raka.

"Udah lah Mas. Kalau kamu mau sama Hani, sana gih, balik lagi sama mantan kamu yang membanggakan itu! Lagian seperti yang kamu bilang, aku udah punya rencana masa depan sama Ganes. Jadi yaudah."

Raka tentu saja masih curiga pada hubungan Runa dengan Ganes. Dia juga masih cemburu. Dia bahkan yakin, bukan hanya dirinya yang baper saat bertemu Hani, tapi Runa juga pasti sempat baper terhadap Ganes. Hanya saja kali ini dia tidak mengutarakan pikirannya ini, daripada Runa lebih tersinggung lagi dan malah makin berkeras untuk pergi.

Tapi saat ini, andaipun hati Runa sudah goyah dan condong kepada Ganes, Raka tidak peduli. Persetan dengan harga diri! Dia ingin mempertahankan pernikahan ini. Bahkan jika dirinya harus berlutut memohon pada Runa, dia akan melakukannya. Dia ingin mempertahankan Runa. Dan selama status Runa masih sebagai istrinya, dia masih punya kesempatan untuk memenangkan hati Runa kembali.

"Terserah kalau kamu punya rencana masa depan sama Ganes. Yang penting masa kini-mu adalah aku. Dan aku, sekarang, nggak akan melepaskan kamu."

"Kenapa? Nggak mau dianggap kalah dari Ganes ya?"

"Karena aku cinta banget sama kamu! Dan ya, kalau aku kehilangan kamu, itu kekalahan terbesar dalam hidupku. Kasih aku waktu untuk membuktikan bahwa aku layak dimaafkan."

Ketika menyadari maksud perkataan Raka, perlahan wajah Runa semburat merah.

"Tau ah! Aku sebel sama kamu, Mas! Aku kesal! Aku benci!"

"Tapi tadi katanya sayang?" tanya Raka. Menggoda, tapi juga berhati-hati.

Runa mengeringkan air mata di pipinya yang memerah.

"Bodo amat!" tukas Runa. Lalu ia bangkit dari ranjang

Tapi dengan cepat Raka menarik tangan Runa hingga terduduk kembali.

"Aku cinta sama kamu," kata Raka. Pelan tapi tegas.

Raka bukan tipe orang yang menyatakan cinta dengan kata-kata dan sentuhan. Tapi kali itu Raka menutup pernyataan cintanya dengan sebuah ciuman di bibir. Bukan ciuman memaksa, bukan ciuman menggebu. Hanya ciuman yang dalam. Dan manis. Dan menenangkan.

Apa aku harus lebih sering marah supaya bisa sering dicium begini?, pikir Runa dengan mata memejam.

* * *

Udah kan? Udah nggak mbulet lg kan? Selesai deh konfliknya.

Udah puas, Kak?

Ada yang masih belum puas?

Semoga nanti bisa puas pas baca bukunya ya.

Buat yang udah capek baca cerita mbulet, setidaknya sampai bab ini ceritanya udah nggak muter2 lagi ya. Jadi nggak hipertensi baca cerita ini.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top