54. Manja

Siapa silent reader disini yang nungguin lanjutan cerita Raka-Runa tapi istiqomah ga mau klik bintang hayooo?

Cedih adek, Bang 😭😭

* * *

Demam adalah gejala atau tanda dari adanya suatu penyakit. Jadi jika kita mengalami demam, itu tandanya ada sesuatu yang buruk sedang terjadi di dalam tubuh kita. Masalahnya, demam adalah gejala non-spesifik, artinya banyak penyakit yang ditunjukkan dengan gejala demam. Mulai dari penyakit ringan sampai penyakit berat, bisa saja menunjukan gejala demam yang sama, bukan hanya terbatas disebabkan oleh penyakit infeksi saja.

Sama seperti diamnya perempuan.

Sama halnya seperti demam yang merupakan gejala non-spesifik dari banyak penyakit, diamnya perempuan juga merupakan pertanda banyak hal. Diamnya perempuan bisa berarti persetujuan, tapi di lain waktu bisa berarti ketidakpedulian. Diamnya perempuan bisa berarti penerimaan, tapi juga bisa berarti kemarahan.

Saat pasien datang dengan gejala demam, dokter dapat melakukan anamnesa (interview dengan pasien untuk menggali riwayat penyakit atau gejala penyerta lainnya), pemeriksaan fisik bahkan hingga pemeriksaan lab untuk mengetahui penyebab utama demam, menegakkan diagnosis dan memutuskan terapi yang dilakukan. Masalahnya, meski demam dan diamnya perempuan seperti kasus serupa, tapi Raka tidak dapat melakukan hal serupa untuk mengetahui penyebab utama diamnya sang istri. Keterdiaman Runa selama ini, apa penyebab utamanya? Karena dilarang bekerja, karena harus mencicil uang pinjaman ibunya, karena dituduh selingkuh dengan Ganes, karena mengira Raka selingkuh dengan Hani, karena Raka memaksakan hubungan suami-istri saat Runa masih marah, atau ada penyebab utama lain?

Antipiretik adalah obat dengan efek farmakologis sebagai penurun demam. Biasanya, obat-obat antipiretik ini juga memiliki efek lain yaitu analgetik, pereda rasa sakit. Makanya sering sekali kedua efek ini disebut bersamaan. Parasetamol adalah salah satu contoh obat analgetik-antipiretik (pereda sakit dan pereda demam) yang relatif aman sehingga paling sering digunakan. Itu mengapa parasetamol menjadi salah satu obat yang idealnya wajib tersedia di setiap rumah tangga, untuk berjaga-jaga jika ada anggota keluarga yang demam.

Parasetamol tidak memiliki efek samping mengiritasi lambung, sehingga relatif lebih aman untuk digunakan oleh pasien dari berbagai usia. Bahkan untuk bayi di bawah 2 tahun, dimana belum bisa menggunakan ibuprofen sebagai analgetik-antipiretik karena memiliki efek samping mengiritasi lambung, maka parasetamol adalah obat pereda nyeri dan demam pilihan.

Meski tidak memiliki efek samping mengiritasi lambung, namun parasetamol memiliki efek samping hepatotoksik (toksik terhadap liver, karena dimetabolisme di liver). Itu mengapa, penggunaan parasetamol dalam jangka waktu panjang tidak dianjurkan. Penggunaan parasetamol yang terus menerus dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan inflamasi dan kemudian dapat berkembang menjadi sirosis atau fibrosis.

Jadi kalau kita mengalami nyeri dan demam hingga lebih dari 3 hari, sebaiknya tidak lagi melakukan swamedikasi (pengobatan sendiri), namun langsung memeriksakan diri ke dokter, supaya diketahui penyebab sebenarnya nyeri dan demam tersebut. Karena pengobatan dengan parasetamol hanya mengobati gejala demam dan nyeri saja, bukan mengobati penyebab penyakit.

Sama halnya dengan diamnya perempuan. Karena diamnya perempuan hanyalah gejala, bukan penyebab utama, maka idealnya harus segera dicari tahu penyebab utama keterdiaman tersebut. Jangan dibiarkan berlarut-larut hingga hatinya sudah terlanjur keras.

* * *

Raka terbangun karena tepukan dan belaian lembut di lengannya. Runa sudah duduk di tepi tempat tidur, di sisinya. Jam dinding sudah menunjukkan waktu lewat jam 12 siang.

"Gimana rasanya, Mas?" tanya Runa. Kali ini dengan suara lembut, tidak mengomel seperti tadi pagi.

"Mendingan," jawab Raka singkat sambil tersenyum lemah.

Dia masih merasa lemas dan demam. Tapi tidak lagi menggigil seperti tadi pagi. Meski kini Runa sudah menyalakan AC kamarnya, Raka tidak lagi merasa kedinginan.

Runa meletakkan telapak tangannya di dahi Raka. "Masih anget," katanya. Ia lalu menggunakan termometer digitalnya untuk memastikan suhu tubuh Raka, sebab tangan-meter sangat subjektif dan tidak akurat. "Alhamdulillah udah turun jadi 38 derajat."

Runa memasukkan kembali termometer ke laci nakas, kemudian kembali menatap suaminya.

"Sholat Dzuhur dulu gih, Mas. Sambil aku siapin makan siang, trus nanti minum obat," kata Runa. "Udah kuat sholat biasa, atau mau sambil duduk?"

"Ngeledek ya? Masa sakit gini aja nggak kuat sholat."

Runa terkekeh. "Kirain kan."

"Aku tuh diminta bercocok tanam aja masih sanggup lho."

Raka mengatakan hal itu dengan wajah datar. Tapi karena sudah 10 tahun lebih mereka hidup bersama, hanya butuh 3 detik bagi Runa untuk menyadari bahwa suaminya sedang bercanda.

"Sak karepmu lah Mas," jawab Runa sinis.

Tapi mendapat sikap sinis seperti itu, Raka justru tertawa kecil.

* * *

Ketika Raka selesai sholat dan melipat sajadahnya, ia mendapati semangkuk sayur asem, sepiring nasi yang dilengkapi sambal terasi, orek tempe-teri-kacang dan empal gepuk, serta segelas besar air minum di meja kerjanya. Tapi Runa tidak terlihat keberadaannya di kamar itu.

Sayur asem dan empal gepuk adalah salah satu makanan kesukaan Raka. Itu mengapa Runa selalu punya persediaan empal di kulkas, yang siap dipanaskan jika sewaktu-waktu Raka menginginkannya. Tapi saat ini Raka sedang tidak berselera makan. Tadi pagi ia memaksakan diri sarapan karena Runa menyuapinya. Jadi sekarang alih-alih melangkah ke meja kerjanya untuk makan siang, Raka justru kembali bergelung di kasurnya.

Memang mudah bagi seorang dokter, perawat atau apoteker saat menasehati pasien untuk makan dan minum obat dengan teratur. Tapi saat diri sendiri yang sakit, terkadang para tenaga kesehatan tersebut tidak bisa menjalankan nasihatnya sendiri, saking lemas dan tidak berselera makan.

Orang-orang berekspektasi tenaga kesehatan adalah profesi dengan pola hidup yang paling sehat. Nyatanya, tenaga kesehatan (apalagi dokter) justru adalah profesi yang tidak memiliki pola hidup yang sehat dan bahkan nyaris tidak memiliki work-life balance, akibat kesibukan kerja yang tinggi.

Raka sudah memejamkan mata. Dia hampir saja benar-benar tertidur ketika telinganya sayup-sayup mendengar suara dari depan pintu kamarnya.

"Kalau Ayah udah bobo lagi, jangan dibangunin ya. Icad dan May ketemu Ayah nanti sore kalau udah sembuh ya."

"Oke, Bun," terdengar suara Rumaisha yang cempreng.

Kemudian terdengar suara pintu dibuka. Perlahan Raka membuka matanya dan mendapati anak istrinya berdiri di depan pintu. Lalu ia tersenyum lemah kepada ketiganya.

"Ayah belum tidur lagi, Bun!" pekik Rumaisha girang. Gadis kecil itu kemudian berlari dan langsung naik ke ranjang Raka, lalu memeluk ayahnya yang masih terbaring. "Ayah masih sakit? Udah sembuh kan?"

Raka yang semula tidur menyamping, mengubah posisi tubuhnya menjadi telentang, dan membalas pelukan puterinya.

"Udah hampir sembuh kok, Sayang," jawab Raka lembut.

Perlahan Raka bangkit dari tidurnya lalu duduk bersandar di headboard ranjang. Dia melihat istrinya bukannya menghampirinya di ranjang tapi malah menghampiri meja kerja. Dan saat wanita itu menoleh padanya, Raka bersiap kena marah lagi.

"Kenapa makanannya belum dimakan, Ayah? Nggak suka? Mau dimasakin yang lain?" tanya Runa. Wajahnya kelihatan antara kesal dan khawatir.

Meski Runa kelihatan kesal, tapi Raka tahu bahwa perempuan itu tidak akan memarahinya dengan keras di hadapan anak-anak. Jadi Raka memanfaatkan kelemahan Runa yang satu itu.

"Lemes banget, Bun. Nggak bisa makan sendiri. Nunggu disuapin Bunda," jawab Raka.

Raka tidak sepenuhnya bohong karena dia memang merasa lemah dan tidak berselera makan. Tapi dia tidak sepenuhnya jujur juga. Kondisi tubuhnya tidak selemah itu hingga perlu disuapi. Ia hanya ingin memanfaatkan kesempatan untuk kembali lebih dekat dan mengambil hati istrinya.

Runa mendengus sebal. Tapi toh ia membawa nampan berisi makanan itu ke ranjang.

"Ih Ayah malu! Udah gede masih disuapin. May aja udah bisa makan sendiri," ledek Rumaisha.

Raka terkekeh kecil sambil mengacak rambut puterinya.

"May kalau lagi sakit juga minta disuapin Bunda atau Mbak Siti," kata Runa menyindir.

Kini giliran Rumaisha yang terkekeh.

"May suapin Ayah ya!" kata Rumaisha bersemangat.

Runa tersenyum dan menyodorkan nampan itu pada Rumaisha yang duduk di samping ayahnya, di ranjang.

"Makasih ya May," kata Runa, sambil tersenyum, mempersilakan Rumaisha untuk menyuapi ayahnya.

Rumaisha pun dengan semangat mencampur nasi dan sayur asem, lalu menambahkan orek tempe-teri di sendok, sebelum mengulurkan ke bibir ayahnya.

Meski sedikit kecewa karena gagal bermanja pada istrinya, tapi Raka juga senang karena bisa lebih dekat dengan anaknya.

"Enak, Yah?" tanya Rumaisha.

"Enak. Soalnya May yang nyuapin," jawab Raka pelan, sambil tersenyum.

Rumaisha tertawa lebar mendengarnya.

Sambil mengunyah makanannya, Raka menoleh pada Risyad yang duduk di pojok ranjang. Jauh dari jangkauannya. Wajahnya tampak murung.

"Icad?" panggil Raka pelan.

"Iya, Yah?" Anak lelaki itu mengangkat wajahnya dan memandang ayahnya yang duduk di hadapannya.

"Kenapa? Kok mukanya begitu?"

Risyad tidak segera menjawab. Tapi setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Risyad berkata, "Icad sedih."

"Kenapa? Karena Ayah sakit?" tanya Raka. "Ayah udah hampir sembuh kok.

"Ayah sakit karena kecapekan seharian main sama Icad kemarin kan?"

Raka terkejut. "Hei! Siapa yang bilang gitu?"

"Maaf ya Ayah. Lain kali Icad lebih mandiri, jadi Ayah nggak kecapekan nemenin Icad main."

Jantung Raka merasa tercubit. Sakit sekali. Apa sedemikian jauh dirinya dari Risyad sehingga anak itu merasa terlalu merepotkan ayahnya sendiri? Padahal semua permintaan anak itu selama ini kepada Raka masih wajar. Risyad tidak minta mainan mahal. Ia hanya minta lebih sering main bersama dengannya.

Siapa bilang Risyad menurun 100% dari Raka? Secara fisik, barangkali iya. Kesulitan makan dan kesulitan belajar, barangkali memang menurun dari Raka. Tapi secara emosi, Risyad menuruni kepekaan Runa. Kadang baper, kadang memendam.

"Cad, sini!" panggil Raka lembut, supaya putera sulungnya duduk mendekat.

Perlahan Risyad menggeser duduknya hingga berhadapan dengan ayahnya. Tapi Raka merasa itu masih kurang dekat. Jadi ia menarik anak itu hingga tepat di sampingnya, sehingga ia dapat merangkulnya.

Raka bukan tipe orang yang menyatakan sayang dengan kata-kata atau sentuhan. Tapi Risyad dan Rumaisha, yang dibesarkan oleh Runa, selalu mengungkapkan rasa sayang dengan kata-kata dan sentuhan. Jadi kali ini Raka menggunakan bahasa cinta itu saat menghadapi Risyad.

Raka merangkul bahu Risyad, dan merengkuhnya erat namun lembut.

"Ayah sakit karena capek. Tapi Ayah capek bukan gara-gara Icad," kata Raka memberi pengertian. "Ayah malah senang main sama Icad dan May. Jumat depan kita main lagi ya."

Raka menunduk dan menoleh pada anak lelaki yang dirangkulnya.

"Ya?" kata Raka lagi. Meminta persetujuan Risyad.

Anak lelaki itu akhirnya tersenyum dan mengangguk.

"Ayah minta dipeluk, boleh? Biar cepet sembuh."

Risyad tersenyum lebar. Tapi baru saja ia ingin memeluk ayahnya, Rumaisha sudah lebih dulu menubruk dan memeluk ayahnya. "Boleh, Yah!"

Tubuh Raka agak oleng karena Rumaisha menerjangnya tiba-tiba. Tapi toh ia tertawa. Memeluk kedua anaknya, lalu menciumi kepala Risyad dan Rumaisha bergantian.

Raka mengangkat pandangannya dan mendapati Runa sedang menatapnya. Tapi Raka tidak mengerti arti tatapan mata istrinya itu.

* * *

"Besok masuk kerja?" tanya Runa sambil membantu menyelimuti suaminya malam itu. "Kalau meeting departemen besok bukan giliran Mas presentasi, mending ijin nggak masuk dulu. Supaya benar-benar sembuh dulu."

"Besok aku nggak presentasi sih. Tapi kayaknya aku besok udah bisa masuk kerja lagi, udah mendingan kok ini," jawab Raka.

Runa menghela nafas. Tidak ada gunanya melarang atau membujuk Raka untuk tidak bekerja dulu besok.

Raka dan dedikasinya terhadap pekerjaan dan pasien, gerutu Runa.

"Makasih udah merawat aku hari ini," kata Raka lembut.

"Hmm."

"Makasih sudah merawat aku selama ini."

Dahi Runa berkerut tidak mengerti. Tapi dia malas membahasnya.

"Yaudah. Tidur ya Mas. Supaya bangun besok pagi udah bener-bener sembuh," kata Runa.

Runa baru saja akan melangkah pergi, ketika tangan Raka menahannya. Membuat Runa berdiri tertahan di sisi ranjang. Perempuan itu menunduk dan menatap suaminya.

"Tidur disini ya, Sayang?" pinta Raka. "Kamu tega kalau aku tidur di sofa lagi?"

Runa mencebik. "Silakan aja kalau mau tidur di sofa lagi. Toh aku tetep nggak bakal tidur disini. Dan itu nggak akan bikin aku makin simpati sama Mas. Aku malah bakal marah karena Mas bikin aku sia-sia merawat Mas seharian ini."

Bertumpu pada tangan Runa yang masih digenggamnya, Raka bangkit dari tidurnya. Ia lalu menarik tangan Runa, hingga perempuan itu terduduk di ranjang, berhadapan dengannya.

"Kamu nggak mau tidur di sini lagi, apa karena terakhir kali aku maksa kamu di kamar ini?" tanya Raka hati-hati.

Runa tidak menjawab. Tapi juga tidak mengalihkan pandangannya dari Raka.

"Aku minta maaf. Aku gelap mata waktu itu. Aku takut kamu ninggalin aku."

Dahi Runa kembali berkerut.

"Tidur di sini lagi ya, Sayang? Aku janji nggak bakal macem-macem tanpa persetujuan kamu. Lagian, kalau kamu tidur sama anak-anak terus, kasihan kalian jadi berdesakan. Kasihan juga adek bayi kalau kena tendang May. Dia kan heboh kakinya kalau tidur."

Runa menghela napas. Kemudian melepaskan genggaman tangan Raka di pergelangan tangannya. Membuat Raka  mencelos.

"Kenapa mesti takut aku bakal ninggalin kamu? Bukannya kalau aku pergi, Hani udah siap menggantikan?"

"Run, berapa kali ak___"

"Dan nggak usah khawatir soal bayi. Aku udah cek. Aku nggak hamil. Jadi kalau selama ini kamu ragu mau menceraikan aku karena mikirin aku hamil, kamu nggak perlu khawatir lagi. Kamu nggak perlu nunggu 9 bulan sampai bayi lahir hanya untuk cerai sama aku dan mulai lagi sama Hani."

* * *

Wah kesempatan tuh Pak Raka. Mumpung Runa ga jadi hamil. Bisa lancar proses cerainya dan lbh cepet balik sm Hani.

* * *

Banyak yg nungguin update cerita ini ga sih?

Repost cerita ini mengingatkan saya bahwa saat saya post bab ini pertama kali, saat itu saya lg berduka. Salah seorang sahabat saya meninggal. Padahal usianya baru 32 tahun. Meninggalkan 2 orang anak yang masih kecil2. Saya rasanya patah hati saat mendengar kabar duka tersebut.

Dia meninggal bukan krn Covid. Ga ada gejala apapun. Tiba2 td malam istrinya menemukan dia sudah duduk dengan kepala telungkup di meja kerjanya, di depan laptop yang masih menyala. Setibanya di RS, belum sempat dilakukan penanganan apapun, dia sudah dinyatakan wafat.

Istrinya shock. Ditinggalkan tanpa sepatah kata apapun. Bahkan tanpa pertanda apapun. Malam sebelumnya dia masih makan malam (bahkan makan es krim) bareng anak-anaknya.

Jadi mendengar kabar itu, saya nangis2. Sambil marah2 ke suami. Trus mengungkit topik pertengkaran kami tiap hari: mi instan. Sebab meski saya masak makanan beraneka ragam, suami saya tuh demen bgt minta dibikinin mi instan. Kalo ga dibikinin, dia balik marah ke saya. Ampun deh, rumah tangga gini banget, tiap hari berantemnya receh bgt, karena mi instan.

"Kamu tuh makan yang bener! Jangan mi instan mulu tiap hari! Kamu harus sehat dong! Tekanan darahnya dijaga! Pokoknya nggak boleh ninggalin aku dan anak-anak duluan!"

Abis marah2 gitu, saya nangis2 lagi, trus melukin dia lagi.

Mengingat hal itu lagi setahun kemudian membuat mood saya mellow.

Semoga Kakak2 suka cerita ini n berkenan vote n komen yg banyak ya. Biar mood saya membaik lagi.
Makasih Kakak2 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top