51. Jumat

Novel ini sebenarnya konsepnya sederhana. Tentang perempuan yang selingkuh saat rumah tangganya mulai terasa gersang. Tapi pas udah nulis cerita ini, kenapa jadi panjang banget ya? Ternyata masalah rumah tangga yang kelihatan sederhana pun, ternyata nggak sesederhana itu ya.

Ada masalah apa sih dengan hidupku? Kok aku nggak bisa ya nulis novel yang cuma 30 bab aja gitu, kayak penulis lainnya?!

왜?!!

Kakak2 yg setia baca cerita ini, boleh kasih masukan ga? Hal2 apa yang lebay dan sebenarnya nggak perlu ada di cerita ini? Atau hal2 apa yang harus ditambahin di cerita ini? Sebelumnya, makasih sarannya, Kakak2.

Semoga Kakak2 tetep suka sama cerita Raka-Runa-Ganes-Hani ini 😘😘

* * *

Some people talk to you in their free time.
Some other people free their time to talk to you.

* * *

Kejutan Raka itu tidak berakhir di hari Jumat pagi itu saja. Raka ternyata tidak hanya mengambil libur untuk jadwal praktik paginya, tapi ia mengambil libur sepanjang hari. Jadi setelah mengantar Risyad dan Rumaisha ke sekolah, Raka pulang bersama Runa, lalu tinggal di rumah sepanjang pagi itu.

Runa yang sedang dikejar-kejar tenggat waktu penyelesaian buku terjemahannya langsung fokus pada laptopnya begitu sampai di rumah. Ia duduk di ruang makan, fokus pada laptopnya. Mengabaikan Raka yang juga duduk di sana bersama laptopnya sendiri, di hadapan Runa.

Runa sebenarnya tegelitik ingin memprotes Raka yang ikut-ikutan kerja di ruang makan dan mengganggu konsentrasinya. Tapi kemudian Runa teringat bahwa dirinya sedang memasang mode ngambek dan cuek. Jadi akhirnya ia hanya diam, mengabaikan Raka yang memilih bekerja di hadapannya, alih-alih di kamar seperti biasa.

Kejutan berikutnya terjadi menjelang siang, ketika Runa hendak bersiap menjemput Risyad dan Rumaisha. Raka berinisiatif menjemput kedua anak itu. Meski tidak menduga, tapi Runa cukup senang dengan inisiatif itu, sehingga dirinya punya lebih banyak waktu untuk fokus pada pekerjaannya.

Tidak hanya sampai di situ kejutan yang diberikan Raka. Ketika anak-anak sudah sampai rumah, Raka mengajak Risyad untuk sholat Jumat bersama di masjid dekat rumah mereka. Biasanya pada hari Jumat, karena tidak ada yang menemani Risyad sholat Jumat di masjid dekat rumah, Runa akan menunggu di sekolah lebih lama agar Risyad bisa sholat Jumat bersama guru-gurunya di sekolah. Tapi kali ini Risyad bisa sholat Jumat di masjid dekat rumah bersama ayahnya.

Sepulang sholat Jumat, Raka juga membelikan ikan cupang untuk Risyad, dari pedagang yang berjualan di depan masjid. Jadi begitu sampai rumah, sepanjang makan siang, Risyad heboh bercerita pada ibunya tentang rencananya memelihara ikan cupang pemberian sang ayah.

Bukan hanya itu, Raka bahkan menemani Risyad dan Rumaisha mengerjakan tugas sekolah dan bermain di sore hari. Sore itu sambil membantu Risyad menyelesaikan Rubik's Cube 5x5-nya, Raka juga berperan sebagai pasien untuk Rumaisha yang sedang bermain peran sebagai dokter.

"May nanti kalau sudah besar mau jadi dokter beneran?" tanya Raka selagi anak perempuannya itu pura-pura menyuntik lengannya.

"Iya dong Yah. Jadi dokter. Supaya keren kayak Ayah."

Raka tertawa sambil mengacak rambut anak perempuannya.

"Kalo Icad, mau jadi dokter juga?" tanya Raka kemudian kepada anak lelakinya.

Risyad mengangkat kepalanya dan mengalihkan perhatiannya dari rubiknya.

"Nggak mau ah. Icad nggak mau jadi dokter," jawab Risyad, yakin.

"Kenapa?" tanya Raka penasaran.

"Nanti sibuk, jarang di rumah."

Deg!

"Icad pengen jadi kayak Om Ganes aja ah. Kerjanya santai. Nggak harus nunggu hari Minggu doang buat main sama Icad."

* * *

Karena keberadaan sang ayah di rumah yang menemani kegiatan mereka seharian adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi, hal itu membuat anak-anak antusias menghabiskan waktu dengan ayahnya. Bahkan setelah selesai makan malam, Risyad menolak tidur.

"Ayah biasanya sibuk. Jadi mumpung Ayah nggak sibuk, Icad mau main yang lama sama Ayah. Kalau Icad tidur sekarang, besok-besok belum tentu Ayah punya waktu buat main sama Icad lagi," kata Risyad, berkeras tidak mau tidur, dan tetap ingin main bersama ayahnya.

Risyad baru setuju untuk tidur setelah Raka membujuknya dan menemani kedua anaknya hingga tertidur. Hanya perlu waktu 10 menit untuk menidurkan Rumaisha. Tapi butuh waktu 1 jam untuk meyakinkan Risyad bahwa ini bukan terakhir kalinya sang ayah akan menemani di rumah. Masih ada hari-hari lainnya, jadi Risyad bisa tidur dulu malam ini.

"Jangan janji kalau cuma harapan palsu," komentar Runa menyambut Raka yang baru saja keluar dari kamar anak-anak dan menghampiri istrinya di ruang tengah.

Saat itu Runa sudah kembali membuka laptopnya, duduk bersila di depan meja. Dengan drama Korea (entah apa judulnya) diputar di layar tivi, tapi mata Runa fokus pada laptopnya.

"Maksudnya?" tanya Raka duduk di sofa, di balik tubuh Runa.

"Kalau kamu cuma libur 1 hari ini, jangan ngasih harapan ke anak-anak bahwa kamu bakal sering menemani mereka seperti hari ini."

"Mulai sekarang aku memang mengosongkan jadwal praktik hari Jumat. Kecuali kalau untuk mendampingi operasi cito."

Runa mendengus pelan. Tampak tidak yakin dengan rencana Raka.

"Selama ini, kadang pas hari Minggu pun aku nggak bisa main sama anak-anak saking udah capek kerja," kata Raka. "Jadi aku memutuskan untuk mengurangi jadwal praktikku 1 hari. Senin, Rabu dan Sabtu aku nggak mungkin nggak ke RS. Jadi aku pilih mengosongkan jadwal praktik tiap hari Jumat. Sekalian supaya aku bisa nemenin Icad sholat Jumat."

Runa mengapresiasi keputusan Raka. Namun di sisi lain, ia juga masih meragukan, seberapa lama suaminya bisa bertahan mendampingi anak-anak tiap hari Jumat?

"Berapa banyak yang kamu korbankan untuk libur seharian ini?" tanya Runa kemudian. "Yakin nggak menyesal kehilangan fee praktik seharian? Berapa banyak pasien tuh biasanya di Jumat sore. Pasti banyak kan?"

"Quite some," jawab Raka. Otomatis otaknya menghitung jasa dokter yang diterimanya per pasien dikali dengan jumlah pasien yang biasa mengunjunginya di Jumat sore. "But it's worth it. Seperti kamu bilang, aku sendiri yang harus mendekatkan diri dengan anak-anak kalau aku nggak mau kehilangan rasa sayang dan respect mereka. Kalau aku nggak mau mereka menemukan sosok ayah pada laki-laki lain."

Runa tampak mencebik. Skeptis pada kata-kata Raka barusan. Karena beberapa hari yang lalu Raka juga melakukan hal serupa ini, lalu mengatakan bahwa dia sudah berkorban banyak untuk menunjukkan keinginannya untuk berubah. Jadi wajar saja kalau kali ini Runa juga mengantisipasi hal serupa terjadi lagi.

"Kamu boleh mengungkit-ungkit pengorbanan kamu mengosongkan jadwal praktik di depanku. Tapi awas aja kalau kamu mengungkit pengorbanan di depan anak-anak. Mendingan sekalian aja kamu nggak usah pernah ambil libur di hari kerja," kata Runa memperingatkan.

Raka turun dari sofa tempatnya semula duduk. Ia kemudian ikut bersila di sisi Runa, yang meski sambil bicara padanya sekaligus tetap sambil bekerja dengan laptopnya.

Raka meraih tangan kanan Runa, membuat Runa terpaksa berhenti mengetik di laptopnya. Runa menoleh pada lelaki di sisinya, lalu menatap dengan sebal karena aktivitasnya terganggu.

Raka menggenggam tangan istrinya, lalu berkata, "Maafin kata-kataku waktu itu, Sayang. Maaf, aku salah. Aku menyesal. Aku harusnya tahu, semua yang aku lakukan buat kalian itu bukan pengorbanan, karena kalian adalah prioritas buatku."

* * *

Runa sungguh berharap bisa mempercayai kata-kata Raka saat lelaki itu mengatakan akan mulai mendekatkan diri lagi dengan anak-anak. Tapi ketika hari Minggu tiba dan Raka justru tidak bergabung untuk sarapan bersama anak-anak, harapan Runa perlahan runtuh.

Seseorang memang tidak bisa serta-merta berubah.

Padahal tadi malam Raka masih menemani Runa bekerja di ruang tengah, seperti yang selalu dilakukannya tiap hari sejak Runa kembali ke rumah itu. Runa juga masih memergoki Raka tidur di sofa ruang tengah, demi membujuk Runa agar mau kembali tidur di kamar mereka, alih-alih kamar anak-anak. Tapi setelah Raka bangun dan masuk ke kamar untuk sholat Subuh, lelaki itu belum lagi menampakkan batang hidungnya.

"Bapak beneran dari tadi pagi belum mampir ke dapur buat sarapan, Ti?" tanya Runa pada Siti akhirnya, ketika pada jam 9 pagi Raka tidak juga keluar dari kamar.

"Belum, Bu. Saya belum lihat Bapak sarapan."

Meski belum berbaikan dengan Raka, tapi Runa tidak bisa membohongi diri bahwa dirinya tidak mengkhawatirkan keadaan suaminya. Hari Minggu memang seringnya dimanfaatkan Raka untuk istirahat seharian setelah kelelahan bekerja selama seminggu. Tapi Raka tidak pernah melewatkan sarapan, makan siang dan makan malam. Meski di masa kecilnya dia adalah anak yang susah makan, tapi ketika dewasa Raka justru adalah orang yang mudah merasa lapar. Itu mengapa, ketika Raka melewatkan sarapannya, Runa merasa ada yang aneh.

Runa mengetuk pintu kamar Raka. Dia tahu bahwa itu akan terlihat aneh di hadapan Siti dan anak-anak. Ngapain mengetuk pintu untuk masuk ke kamar sendiri kan? Tapi setelah berminggu-minggu tidak lagi tinggal di kamar Raka, Runa merasa agak canggung ketika masuk kembali ke kamar itu.

Meski demikian, rasa canggung itu segera berganti dengan rasa khawatir ketika melihat Raka bergelung di dalam selimut. Pendingin ruangan juga tidak dinyalakan. Sepertinya Raka merasa kedinginan. Tapi kenapa? Apa pria itu sakit?

Kecurigaan Runa terbukti ketika ia sedikit menyibak selimut Raka, dan menemukan lelaki itu bergelung dengan wajah merah karena demam tinggi, ekspresi kedinginan, nafas yang berat dan keringat membasahi ranjang.

Runa meraba dahi Raka dan terkejut karena suhunya sangat panas. Dengan cepat ia mengambil termometer di laci nakas dan memeriksa suhu tubuh Raka.

"Astaghfirullah, Mas!" pekik Runa ketika membaca angka yang tertera di termometer digital itu. "Kenapa diam aja sih kalau sakit?! Kamu udah nggak anggap aku istrimu lagi?!"

Runa membentak sambil gantian menatap wajah Raka yang lemah dan termometer digital di tangannya.

Empat puluh derajat celsius.

* * *

Sedang apa Kakak2 di Jumat siang yg penuh berkah ini?

* * *

Ada yang masih ingat, apa maksud kata Cito di dunia medis?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top