43. Beruntung

Ketika kembali ke kamar rawat ibunya, makan malam baru saja diantarkan. Jadi Raka segera membantu membukakan penutup piring dan gelas dan menyiapkan meja untuk ibunya.

"Wis nganter bojomu?" tanya ibu Raka pada puteranya.

"Sampun, Bu," jawab Raka sambil membantu ibunya duduk.

((percakapan Raka dan ibunya dalam bahasa Jawa. Tapi krn penulis terlalu malas untuk nulis 2x dg terjemahannya, jd dlm bhs Indonesia aja ya, hehehe))

"Kasihan Runa itu. Lagi banyak kerjaan, tapi nyempet-nyempetin kesini jaga Ibu. Sampai nitip anak-anak segala ke Mamanya," kata sang Ibu sambil mengambil sendok dan mulai makan. "Dia bawa laptop juga kesini. Jadi tadi setelah selesai urus Ibu, dia langsung kerja lagi."

Raka duduk di samping ranjang ibunya, menemani beliau makan malam dengan membuka kotak tupperware berisi tumis kangkung dan dendeng yang disiapkan asisten rumah tangga ibunya.

"Tadi dia cerita tentang kerjaan freelance-nya. Katanya, setelah sekian lama ndak kerja di bidang farmasi, sekarang ilmunya bisa terpakai lagi. Dia jadi semangat banget," lanjut sang ibu sambil tersenyum.

Raka hanya bergumam menanggapi.

"Lihat Runa antusias begitu, Ibu jadi kasihan lihatnya."

"Lha, kenapa malah kasihan tho Bu?" Akhirnya Raka menanggapi.

"Tadi pas dokter visite, ibu lihat Runa diskusi sama dokter tentang obat buat ibu. Meski udah lama ndak di farmasi, kelihatannya dia terus update ilmunya. Ibu jadi inget Raya."

Dahi Raka mengerenyit. Ini ibunya lagi cerita apa sih? Kok dari tadi lompat-lompat? Apa hubungannya Runa dan Raya?

"Runa itu pinter. Kalau dia kerja kantoran, mesti sudah jadi manajer sekarang. Dia juga lulusan S2 Farmasi Klinik. Kalau dia ngejar S3 seperti Raya, ya bisa jadi dosen juga seperti Raya. Tapi demi ngurus keluarga, dia banyak menahan diri, dan terpaksa puas menjadi ibu rumah tangga, ndak memanfaatkan gelar S2-nya. Makanya ibu ngerti banget kalau Runa sekarang antusias sama kerjaan barunya, meski itu cuma freelance."

"Raka juga sebenarnya kan ndak melarang Runa kerja, Bu. Raka juga ndak maksa Runa berhenti kerja. Tapi dia sendiri yang memutuskan ndak lanjut kerja kantoran."

Sang ibu mengangguk. "Betul, Runa sendiri yang memutuskan begitu. Tapi hanya karena itu adalah keputusan Runa sendiri, bukan berarti dia ndak mengorbankan banyak hal saat memutuskan memprioritaskan anak-anak. Dia mengorbankan cita-citanya. Makanya pas lihat dia serius mengerjakan kerjaannya kali ini, Ibu jadi tahu bahwa selama ini dia memendam keinginan seperti ini."

Terkesiap, Raka memandang ibunya dan mendengarkan dengan lebih serius.

"Ndak semua perempuan yang sudah sekolah setinggi itu mau merelakan gelarnya ndak terpakai. Contohnya adikmu, si Raya itu, pernah nolak laki-laki karena calonnya itu minta dia ndak kerja lagi."

"Sedikit banyak Ibu ngerti perasaan Runa. Dulu Ibu pernah di posisi itu juga," lanjut sang ibu.

"Eh?"

"Dulu kan Ibu kerja kantoran juga."

Kerut di dahi Raka makin dalam. Dia tidak ingat ibunya pernah bekerja kantoran. Sejauh ingatannya, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, yang selalu menemaninya sepenuhnya.

"Sampai kamu umur 3-4 tahun, kamu dirawat pengasuh. Tapi pas umur segitu, kamu ngomongnya belum lancar. Kalau jaman sekarang mungkin didiagnosis speech delay ya. Dulu mah Ibu mana ngerti ilmunya kan. Ibu cuma khawatir aja karena kemampuan bicara kamu lebih rendah dibanding anak-anak seusia. Ditambah kamu susah makan, jadi badannya kurus kecil. Icad dan May itu makannya susah, ya kayaknya nurun dari kamu, Ka."

Sang ibu tertawa meledek. Raka cuma bisa garuk-garuk kepala yang tak gatal. Ini bukan pertama kalinya sang ibu mengatakan bahwa Raka menurunkan gen-susah-makan kepada anak-anaknya.

"Jaman dulu belum lazim Klinik Tumbuh Kembang, terapi wicara, dan macem-macem fasilitas terapi kayak sekarang. Jadi pas Ibu merasa perkembangan kamu terlambat, akhirnya Ibu memutuskan berhenti kerja, supaya bisa fokus menemani kamu belajar bicara, juga persiapan untuk sekolah.

Jadi waktu kalian pulang dari Belanda dan Runa memutuskan untuk berhenti kerja karena Icad sulit adaptasi dan kesulitan konsentrasi belajar, Ibu jadi ingat dengan keputusan Ibu dulu. Kami berhenti kerja dengan alasan yang sama. Anak. Kalau sekarang diingat-ingat lagi, Icad itu semirip itu sama kamu lho Le. Gen dari kamu semua kayaknya. Sama-sama kesulitan di masa prasekolah, tapi setelah ditelateni, bisa jadi rangking satu pas sekolah. Kalau bukan karena ibunya sendiri yang telaten, kamu dan Icad mungkin ndak bisa lancar sekolahnya."

Meskipun sambil memasang wajah malas ketika mendengar cerita narsis ibunya, Raka mengakui klaim tersebut. Dia melihat sendiri ketelatenan Runa menemani Risyad bermain dan belajar di masa-masa prasekolahnya. Jadi kalau sekarang Risyad bisa berprestasi di sekolah, Raka mengakui bahwa itu adalah berkat Runa.

Sang ibu sudah selesai dengan makan siangnya dan sekarang mengupas jeruk.

"Dulu, di awal berhenti kerja, Ibu masih berharap nanti ada waktunya Ibu bisa kembali kerja kantoran lagi. Eh ndilalah pas hamil adikmu, Ibu beberapa kali keguguran. Akhirnya sampai Raya lahir, Ibu ndak kerja lagi. Dan setelah Raya lahir, umur Ibu sudah terlalu tua untuk mulai kerja kantoran lagi.

Kali ini Runa beruntung ketemu kakak iparnya Anin itu. Dikenalin ke dunia kepenulisan dan penerbitan, dikenalin ke bosnya yang sekarang, jadi dia bisa dapet kerjaan itu. Meski cuma sementara, meski cuma freelance, Runa serius mengerjakannya. Mungkin karena sebesar itu keinginannya agar ilmunya bermanfaat."

Lho, kok malah ibunya bersyukur menantunya bertemu Ganes? Andai ibunya tahu bahwa Runa minta cerai gara-gara lelaki itu, pasti beliau akan menyesali kata-katanya barusan.

"Katanya honornya lumayan," lanjut sang ibu bercerita. "Pantesan dia giat banget."

"Padahal tanpa Runa kerja kantoran, Raka juga bisa memenuhi semua kebutuhannya. Insya Allah Raka masih sanggup dan bisa jamin Runa dan anak-anak ndak bakal kekurangan."

"Perempuan itu bekerja di luar rumah ndak melulu karena uang kok. Bisa jadi karena keahliannya dibutuhkan banyak orang, yang terutama perempuan juga: dokter kandungan dan bidan misalnya. Dan kalaupun memang karena uang, bisa jadi itu karena dia perlu merasa aman secara finansial kalau-kalau suaminya pelit, sakit, meninggal atau selingkuh. Bisa jadi juga supaya dia perlu merasa mandiri dan ndak terlalu merepotkan atau bergantung pada suami, misal untuk keperluan pribadinya atau untuk ngasih ke orangtua dan keluarganya. Bisa jadi juga supaya dia ndak dipandang rendah. Kan banyak suami yang mikir ibu rumah tangga itu ndak sibuk apa-apa, jadi memandang rendah kontribusi istrinya dalam rumah tangga. Padahal kalau mau hitung-hitungan, bayar gaji pengasuh, pembantu, guru privat sekaligus ya mahal lho. Ibu rumah tangga mengerjakan semua itu bahkan tanpa digaji."

Deg!

"Ibu dulu merasa seperti itu juga?" tanya Raka, takut-takut mendengar jawaban ibunya.

"Merasa gimana?"

"Merasa ndak aman secara finansial, ndak mandiri dan diremehkan?"

"Pas awal berhenti kerja, iya, Ibu merasa marah sekaligus merasa ndak berdaya karena harus bergantung sepenuhnya sama Bapak. Tapi Bapak ndak pernah meremehkan apa yang Ibu lakukan untuk keluarga. Tiap ada yang muji prestasi kamu dan Raya, Bapak pasti membanggakan Ibu karena berhasil membimbing kalian belajar. Bahkan sampai Bapak sudah jadi camat dan makin sibuk sehingga pulang dalam keadaan capekpun, Bapak masih sering mijitin Ibu kalau melihat Ibu kecapekan dengan urusan rumah. Itu berarti Bapak mengakui bahwa urusan rumah itu sama melelahkannya dengan pekerjaan kantoran. Hal-hal kecil kayak gitu sangat berarti buat Ibu.

Bapak itu ya kayak kamu. Ndak ceriwis kayak Ibu. Ndak romantis. Ndak suka muji atau merayu. Tapi sikapnya kepada Ibu, juga caranya membanggakan Ibu di depan keluarga besarnya dan orang-orang lain, bikin Ibu merasa berharga. Semua yang Ibu lakukan untuk keluarga jadi terasa setimpal. Makanya Ibu ndak pernah lagi merasa ndak berdaya atau merasa disepelekan, meski Ibu ndak kerja kantoran lagi."

Piring sang ibu sudah bersih. Pun dengan jeruknya. Jadi Raka membantu merapikan piring, mangkuk dan gelas di hadapan ibunya, lalu menyingkirkan meja makan pasien dari hadapan ibunya.

"Masalahmu dan Runa berat banget ya Le?" tanya sang ibu, tiba-tiba. Membuat gerakan tangan Raka yang sedang merapikan meja makan pasien jadi terhenti sesaat. "Sampai-sampai Runa pergi dari rumah dan pulang ke rumah ibunya?"

Raka memandang ibunya dengan kaget dan bingung. Bagaimana bisa ibunya tahu tentang kondisi rumah tangga mereka saat ini? Apakah Runa yang cerita? Tapi bukankah Runa justru berpura-pura baik-baik saja di depan orang tuanya, supaya kondisi sang ibu yang baru pulih dari serangan jantung tidak makin parah?

"Runa itu orangnya ekspresif, ndak pernah malu nunjukin rasa sayangnya ke kamu. Kamu aja tuh yang malah ndak suka disayang-sayang di depan orang lain. Makanya waktu Ibu dan Bapak ke Jakarta buat nikahan Anin dan nginep di rumahmu, Ibu langsung sadar bahwa ada yang beda dengan Runa. Sikapnya ke kamu dingin. Selama kalian disini, juga kelihatan begitu. Dia menghindari kamu."

Bahkan ibunya sudah menyadari perbedaan sikap Runa saat itu? Padahal Raka saja tidak sadar dengan perubahan sikap itu sampai Runa memutuskan untuk pergi dari rumah. Ternyata dirinya se-tidak-peka itu.

"Ibu kepikiran tentang kalian," lanjut sang Ibu, terlihat sedih.

Raka menatap ibunya dengan pandangan bertanya-tanya. "Jangan-jangan Ibu sakit ini karena kepikiran tentang kami?"

"Mungkin juga. Mungkin karena kecapean juga."

Raka meraih tangan ibunya dan membelainya dengan sayang. "Maaf ya Bu, Ibu jadi kepikiran dan sakit. Mulai sekarang Ibu ndak usah khawatir ya. Kami akan baik-baik aja."

Ibu Raka mengangguk. "Kalian harus baik-baik aja!"

Raka menatap mata ibunya.

"Bahkan saat dia berantem sama kamu, Runa masih peduli sama Ibu, sampai ngajak kamu kesini," kata sang ibu. "Teman-teman Ibu yang lain banyak yang  konflik sama menantunya. Lha ini Runa malah segitu baiknya sama Ibu. Ibu beruntung banget punya mantu kayak Runa."

Tangan kiri sang ibu balas membelai punggung tangan Raka yang sedang membelai tangan beliau.

"Kamu yang rugi kalau sampai kehilangan perempuan sebaik Runa."

* * *

First published: 22.07.21
Reposted: 14.09.22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top