40. Perempuan Kedua
Katanya, kalau kita mencintai dua orang di waktu yang sama, maka sebaiknya kita memilih orang yang kedua. Karena jika kita begitu mencintai orang pertama, maka di hati kita tidak akan tersisa ruang lagi untuk mencintai orang kedua.
Jadi sebenarnya, bagi Raka, Runa itu perempuan ke berapa? Begitulah Runa makin sering bertanya-tanya.
Jika Runa adalah perempuan pertama, dan Hani adalah yang kedua, bukankah itu berarti Raka tidak secinta itu pada Runa? Karena jika Raka sangat mencintai Runa, harusnya di hatinya tidak ada tempat lagi untuk mencintai Hani kan?
Tapi jika ditelaah lagi, Raka mengenal Hani lebih dahulu sebelum ia mengenal Runa. Jadi mungkin dalam kasusnya, Runa yang datang belakangan dalam hidup Raka dapat dianggap sebagai perempuan kedua. Maka jika demikian, Raka memang sudah seharusnya bersama Runa kan? Raka tidak mungkin bersama dirinya jika masih mencintai Hani kan?
Tapi ketika hari itu Runa melihat kedua orang itu untuk kedua kalinya, saling berbincang akrab di koridor Prima Hospital, Runa tiba-tiba menyadari bahwa dirinya mungkin tidak pernah jadi yang pertama atau yang kedua. Barangkali memang hanya ada Hani satu-satunya di hati Raka. Dan saat Hani pergi, Raka memilih Runa hanya sebagai pengganti.
Tidak banyak perempuan yang tahan dengan sikap Raka yang lugas dan lempeng, dan Raka juga tidak menyukai perempuan yang penuh kode. Barangkali itu mengapa Raka memilih Runa diantara sedikit pilihan yang tersedia, hanya untuk menggantikan Hani yang sudah pergi. Kini, ketika Hani datang kembali, barangkali Raka sadar bahwa dirinya tidak pernah benar-benar mencintai Runa.
Runa sengaja menghentikan langkahnya di ujung koridor, tidak ingin menginterupsi percakapan kedua orang yang pernah (dan mungkin masih) saling mencintai itu. Setelah mereka berpisah, barulah Runa menampakkan diri, melangkah menyusuri koridor dan menemui lelaki yang selama 10 tahun ini menjadi suaminya.
"Ngapain kamu disini?" Raka menyambut dengan tatapan heran dan dingin.
Memang Runa yang mengusulkan perceraian terlebih dahulu. Tapi ketika kini Raka bersikap dingin padanya, hati Runa tetap sakit.
Terakhir kali mereka bertemu, Raka masih memintanya untuk kembali. Waktu itu Raka juga masih minta maaf karena menemui Hani tanpa sepengetahuan Runa. Tapi kini sikap lelaki itu sangat dingin dan jauh. Bahkan dia sama sekali tidak tampak merasa bersalah sudah menemui mantannya lagi. Apakah dengan menunjukkan sikap itu berarti Raka sudah menyetujui usulnya untuk bercerai? Apakah perubahan sikap ini karena sekarang Hani sudah kembali padanya?
"Ngapain kamu bawa koper kesini?" tanya Raka lagi, sambil mengerling koper berukuran sedang yang dibawa Runa. "Mau nunjukin bahwa kamu udah bawa semua barangmu dan anak-anak keluar dari rumah? Udah nggak sabar banget buat cerai, kamu?"
Runa memejamkan matanya sesaat, demi meredakan rasa nyeri dan marahnya.
"Kalau itu yang kamu mau, aku akan bawa barang-barangku dan anak-anak keluar dari rumah," kata Runa. "Tapi nggak sekarang. Sekarang kita harus pulang ke Solo."
"Apa?" tanya Raka, tidak mengerti.
"Aku telepon kamu berkali-kali sejak tadi. Mungkin ponselmu ketinggalan di ruang praktik, atau kamu sengaja nggak mau angkat teleponku," jawab Runa, bercerita dengan cepat. "Raya mencoba telepon kamu, tapi gagal. Jadi dia telepon aku. Ibu serangan jantung. Bapak sudah bawa Ibu ke rumah sakit. Tapi Raya sedang conference di Jepang. Dia berusaha dapat tiket pulang secepatnya. Jadi kita harus segera ke Solo sekarang. Kasihan Bapak sendirian."
Runa bisa melihat wajah Raka berubah-ubah dengan cepat. Panik, takut, sedih dan bingung.
"Aku tadi mampir ke rumah. Aku sudah bawa beberapa bajumu. Kita bisa langsung ke bandara sekarang. Aku juga sudah langsung pesan tiket."
* * *
"Anak-anak gimana?" tanya Raka, ketika mereka sudah berada di ruang tunggu bandara.
Sejak di perjalanan dengan taksi menuju bandara, Raka sibuk dan panik mencoba menghubungi keluarganya di Solo. Ayahnya tidak mengangkat telepon, mungkin karena sedang sibuk mengurus ibu yang baru saja masuk rumah sakit. Raka kemudian menelepon ke rumah orangtuanya, tapi asisten rumah tangga disanapun tidak bisa menceritakan banyak hal karena ayah Raka belum memberi kabar apapun pada asisten rumah tangganya. Ketiadaan informasi itu yang membuat Raka khawatir dan bingung. Sesampainya di bandara, setelah check-in dan masuk ke ruang tunggu, barulah Raka sadar bahwa sedari tadi Runa ada di sisinya, memandunya selama perjalanan hingga mereka tiba di ruang tunggu itu.
"Aku titip Icad dan May ke Mama. Aku udah bilang bahwa Uti sakit, jadi Icad dan May paham kalau ayah bundanya harus pergi," kata Runa. "Aku suruh Siti pindah ke rumah Mama sementara, supaya bisa bantu Mama urus May dan Icad. Aku juga udah nitip kunci rumah ke Pak RT dan nitip satpam komplek untuk awasi rumah selagi rumah kosong."
Rasanya Raka hampir menangis saat mendengar semua hal yang dilakukan Runa. Perempuan itu mengatur segalanya sedemikian rupa sampai beres, sehingga Raka tidak perlu memusingkan apa-apa lagi selain memikirkan keadaan ibunya.
Saat itulah Raka sadar, bahwa selama ini Runalah yang mengurus dan mengatur segala hal untuknya. Sehingga ia bisa mengerjakan penelitian doktoral dan bekerja dengan tenang, tanpa terbebani pikiran akan masalah-masalah lain. Uang belanja selalu cukup, bahkan mereka tidak pernah kekurangan untuk membayar cicilan rumah. Bahkan di saat uang beasiswa Raka di Belanda sempat terlambat turun selama 3 bulan, Runa masih dapat menyediakan makanan sehat untuk sekeluarga. Meski Runa sering curhat tentang anak-anaknya yang sulit makan, tapi toh berat badan, tinggi badan dan parameter-parameter perkembangan kedua anak itu normal. Dengan demikian, Raka tidak pernah pusing memikirkan gizi keluarga. Begitupun dengan pendidikan anak-anak. Raka tidak pernah mengkhawatirkannya, karena meski Risyad sempat didiagnosis hiperaktif dan kesulitan berkonsentrasi dalam belajar, toh sekarang anak itu langganan juara kelas.
Ternyata banyak hal yang sebenarnya harus dikhawatirkan, tapi selama ini Runa selalu menangani semua permasalahan itu sehingga Raka tidak pernah khawatir.
"Makasih, Run," lirih Raka. "Makasih sudah mengurus semuanya."
Runa mengangguk singkat.
Biasanya dalam kondisi seperti itu, perempuan itu akan mengangguk sambil tersenyum pada Raka. Senyum yang menenangkan. Lalu dia akan memberi pelukan. Pelukan yang menenangkan. Tapi kali itu tidak. Runa hanya mengangguk, tanpa senyum. Ia hanya duduk menemani, tanpa memeluk.
Dan Raka merindukan hal itu. Sejak bertengkar dengan Runa, dia kehilangan banyak hal.
"Maaf," lanjut Raka. "Maaf, tadi aku nggak bermaksud____"
"Kamu lagi khawatir sama Ibu," potong Runa, sebelum Raka menyelesaikan kata-katanya. "Kita bicarakan itu nanti setelah balik dari Solo," lanjutnya tegas.
Saat itu Raka tahu, Runa tidak ingin dibantah.
* * *
Sesampainya di Solo, tanpa berniat menaruh koper terlebih dahulu di rumah orangtua Raka, mereka segera menuju ke rumah sakit tempat ibu Raka dirawat. Ayah Raka akhirnya bisa dihubungi dan memberi tahu dimana sang istri dirawat.
Hari sudah sangat malam ketika Raka dan sampai di depan ruang rawat sang ibu. Sudah bukan jam kunjungan pasien. Tapi karena Raka adalah anak kandung pasien, ia diijinkan masuk oleh perawat.
"Alhamdulillah tadi penanganannya cepat. Sekarang Ibu sudah ndak apa-apa. Tapi tetep harus dirawat 3 hari ini untuk observasi," kata sang ayah ketika menyambut kedatangan Raka dan Runa. Ia perlu segera memberi tahu anak dan menantunya bahwa sang istri sudah stabil, agar anak dan menantunya tidak terlalu khawatir.
Saat itulah, Runa yang sejak di Jakarta tampak tenang, tiba-tiba menitikkan air mata.
"Lho, ngopo nangis tho, Ndhuk?" tanya ayah Raka. Kaget karena melihat tiba-tiba menantunya menangis. Begitupun dengan Raka yang melihat istrinya menangis.
"Runa lega, Pak. Alhamdulillah Ibu nggak apa-apa," jawab Runa sambil tersenyum dan menghapus air matanya.
Raka terpana melihat pemandangan itu. Karena sejak tadi Runa tampak tenang dan tetap mampu mengorganisir banyak hal, Raka pikir istrinya tidak sekhawatir dirinya. Jadi dia tidak mengira bahwa ternyata sang istri sangat mengkhawatirkan ibunya, hingga menangis lega ketika mengetahui sang Ibu sudah stabil.
Baru saja tadi siang ia bertemu Ganes yang mengatakan bahwa dirinya dan Runa sudah merencanakan masa depan bersama. Itu mengapa Raka bersikap ketus saat awal bertemu Runa tadi. Tapi jika memang Runa sudah memutuskan untuk bersama Ganes dan berpisah darinya, kenapa Runa masih begitu peduli pada keluarganya?
Raka teringat percakapannya dengan Runa ketika masih di Prima Hospital tadi sore. "Apa kita sebaiknya menunggu kabar dari Bapak dulu?" kata Raka tadi.
"Papaku meninggal karena serangan jantung. Aku cuma nggak mau kamu menyesal," jawab Runa.
Kalau memang Runa sedemikian berkeras ingin bercerai dengannya, kenapa perempuan itu masih begitu peduli pada dirinya?, pikir Raka.
* * *
Selamat berakhir pekan, berkumpul dengan keluarga tersayang, Kakak2 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top