37. Consent & Concern

Salah satu fasilitas yang disediakan oleh Prima Hospital untuk para dokter yang berpraktik disana adalah makanan. Setiap dokter yang jadwal praktiknya melewati jam makan siang atau jam makan malam akan mendapatkan kiriman makanan siang atau makan malam dari dapur RS. Pun dokter yang berpraktik di pagi atau sore hari akan dikirimi snack ke ruang praktiknya. Dengan demikian, para dokter dapat makan di sela-sela praktik, tanpa harus pergi ke kantin untuk makan.

Tapi selama 10 tahun terakhir, sejak menikahi Aruna, dr. Raka Pangestu tidak pernah memanfaatkan fasilitas yang disediakan Prima Hospital tersebut. Karena sejak menikah dengan Runa, bahkan meski saat itu Runa masih bekerja di Instalasi Farmasi Prima Hospital, Runa selalu menyediakan bekal snack dan makan siang untuk Raka. Raka hanya perlu ke kantin untuk makan malam, itupun hanya jika hari itu ia terpaksa pulang terlalu malam saat ada kasus emergency.

Jadi ketika sekarang Runa tidak ada, Raka merasa gamang. Siti, asisten rumah tangganya, memang menyediakan bekal makan siang. Tapi rasanya tidak selalu cocok dengan seleranya. Raka juga sempat ingin minta dapur RS untuk menyediakan makanan untuknya mulai sekarang, tapi Raka malu. Setelah 10 tahun tidak memanfaatkan fasilitas tersebut, jika tiba-tiba ia minta dikirimi makanan dari dapur RS, bukankah akan menimbulkan pertanyaan dan gosip?

Maka jika saat masakan Siti kurang cocok dengan seleranya, Raka terpaksa makan siang di kantin. Seperti siang itu, ia baru saja selesai praktik jam 2 siang, dan baru bisa makan siang pada waktu itu.

Ada 2 kantin di RS tersebut. Satu kantin untuk pengunjung RS, sementara satu kantin lainnya dikhususkan untuk karyawan RS, termasuk para dokter yang berpraktik disana. Ketika Raka memasuki kantin karyawan, kantin tersebut sangat sepi. Hanya ada karyawan kantin dan dua orang dokter perempuan yang sedang ngobrol di sudut kantin. Setelah mengangguk sopan kepada kedua dokter tersebut, Raka menuju kasir kantin dan memesan nasi soto dan es jeruk, kemudian memilih duduk di sudut kantin yang berseberangan dengan kedua dokter perempuan tadi.

Beberapa menit kemudian, ketika pesanannya sudah diantarkan ke mejanya, seorang dokter lagi memasuki kantin. Dokter lelaki itu melambai pada Raka, lalu melanjutkan langkahnya ke kasir kantin. Setelah memesan makanannya, lelaki tersebut melangkah mendekati Raka.

"Tumben makan di kantin?" sapa lelaki itu sambil duduk di hadapan Raka. "Istri lo lagi nggak bikinin bekal?"

"Pengen sesekali makan di kantin aja," jawab Raka ngeles.

"Lha, trus bekal dari bini lo dikemanain?" tanya lelaki itu lagi. Ketika Raka tidak menjawab dan tetap asik dengan sotonya, lelaki itu melanjutkan, "Gue mah kalau dibawain bekal enak, pasti udah males makan di luar. Si Runa kan masakannya enak."

"Masih inget aja lo rasa masakan istri gue, Bram? Masih belum move on?" sindir Raka akhirnya.

Pria yang duduk di hadapannya ini adalah Bram. Mantan pacar Runa dulu.

Mendapat respon Raka, Brampun tertawa. "Hei, chill, Bro! Hanya karena gue inget bahwa Runa pinter masak, bukan berarti gue inget rasa masakan istri lo. Juga bukan berarti gue belum move on."

Sadar bahwa dirinya sudah salah menuduh, lagi-lagi Raka berusaha ngeles. "Chill juga, Bro. Gue juga bercanda doang. Panik amat lo?" katanya sambil pura-pura tertawa. "Ngomong-ngomong, kok lo baru makan jam segini?" lanjutnya, mengalihkan pembicaraan.

"Baru selesai tindakan. Pasien emergency," jawab Bram.

"Emergency kenapa?"

Saat itu seorang pramusaji kantin mengantarkan nasi dan sate ayam pesanan Bram. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pramusaji tersebut, ia baru menjawab pertanyaan Raka sambil mulai memakan makanannya.

"Percobaan bunuh diri. Depresi karena pemerkosaan."

"Astaghfirullah," refleks Raka. "Pelakunya udah ketangkep?"

"Suaminya sendiri."

"Hah? Kok suaminya? Itu namanya bukan pemerkosaan dong," kata Raka mengoreksi.

"Nah, ini nih yang masyarakat banyak salah kaprah. Dikiranya kalau hubungan intim dilakukan oleh pacar atau suami-istri itu pasti atas dasar suka-sama-suka, sehingga nggak dianggap pemerkosaan. Padahal nggak selalu begitu," Bram balik mengoreksi.

"Emang ada tindak kekerasan?" tanya Raka.

"Nggak ada kekerasan fisik sih. Tapi kekerasan mental dan verbal."

"Maksudnya?"

"Yang membedakan hubungan intim dengan pemerkosaan itu bukan karena legalitas pernikahan, Bro. Tapi consent. Kesediaan kedua pihak. Meski belum menikah, kalau sama-sama setuju dan tanpa tekanan melakukannya, itu bukan pemerkosaan. Tapi meski suami-istri, kalau melakukan hal itu tanpa consent, dengan salah satu pihak memaksa, menekan atau mengancam, baik fisik maupun sekedar verbal, itu udah termasuk pemerkosaan."

Raka memerhatikan penjelasan Bram, dan benaknya merasa tercubit.

"Contohnya pasien gue ini," lanjut Bram. "Nggak dipukulin, nggak disiksa secara fisik. Nggak ada bekas apapun yang bisa dijadikan bukti penyiksaan. Tapi mentalnya disiksa secara verbal. Tadi gue rujuk ke psikolog, baru dia cerita bahwa selama ini suaminya sering menyepelekan, merendahkan, nggak menghargai, membanding-bandingkan dengan perempuan lain. Apalagi pasien gue ini kan ibu rumah tangga, bukan wanita karir. Makin lah depresi. Apalagi kalau suaminya lagi minta jatah suka maksa, nggak peduli dia lagi kecapekan ngurus 5 anak. Abis minta jatah, boro-boro bilang makasih, malah protes sama bentuk tubuh istrinya. Padahal kan dia yang menghamili sampai 5 kali."

Jleb!

"Emangnya dia nggak pernah bilang ke suaminya, supaya suaminya nggak begitu lagi?" tanya Raka. "Tapi emang biasanya perempuan penuh kode-kode sih ya."

"Gue belum nanya sampai segitunya ke psikolognya sih. Bisa jadi, dia udah coba protes ke suaminya, tapi diabaikan. Bisa jadi, dia nggak berani bilang, karena self-esteemnya juga udah dibunuh sama suaminya dengan celaan, hinaan, penyepelean selama ini," kata Bram."Tadi yang bawa ke RS kan kakaknya. Kata kakaknya sih si pasien ini udah pernah curhat ke dia, tapi dia pikir itu bukan masalah serius. Si kakaknya ini juga pernah nasehatin supaya adiknya ini jangan banyak ngeluh, jangan banyak protes, harus tetep bersyukur, udah bagus suaminya nggak pernah mukul, nggak kawin lagi dan bertanggung jawab dalam hal nafkah untuk keluarga, jadi kalau suaminya minta jatah ya jangan ditolak. Mungkin karena setelah curhat sama kakaknya trus malah dinasehatin gitu, makin lah dia depresi. Jadi bukan karena dia itu perempuan yang penuh kode. Bahkan orang yang terbuka sekalipun kalau kata-katanya selalu diremehkan atau diabaikan, lama-lama dia jadi orang yang memendam semua masalahnya sendirian."

Jleb!

"Kalau lo mah nggak ada masalah sama kode-kode perempuan ya?" tanya Bram.

"Maksudnya?"

"Runa kan orangnya to-the-point."

"Ya namanya perempuan tetep ada kode-kode lah dikit."

"Oh ya? Seinget gue, Runa tuh orangnya lugas banget. Nggak pernah kode. Kalau suka, dia bilang suka. Kalau nggak suka, dia bilang nggak suka. Susah basa-basi," kata Bram dengan tatapan menerawang, seperti sedang mengingat-ingat. "Kan itu salah satu alasan ibu gue nggak suka sama dia, jadi kami terpaksa putus."

Fakta yang baru saja dikatakan Bram membuat Raka tidak suka. Apa itu berarti Bram dan Runa putus bukan karena sudah tidak saling cinta, tapi karena terpaksa keadaan?

Setelah bertahun-tahun ia tidak merasa cemburu pada Bram karena toh dirinya yang berhasil mendapatkan Runa, tiba-tiba saja hari itu Raka merasa cemburu dan insecure. Apakah Runa menerima dirinya hanya karena pelarian setelah putus dari Bram?

Lalu tiba-tiba juga sebuah kesadaran menamparnya. Apakah perasaan cemburu dan insecure ini juga yang dirasakan Runa ketika melihatnya bertemu Hani, mantan pacarnya?

Apalagi ketika kesadaran lain menghantam pikirannya, Raka merasa kepalanya mau pecah.

Bahkan orang yang terbuka sekalipun kalau kata-katanya selalu diremehkan atau diabaikan, lama-lama dia jadi orang yang memendam semua masalahnya sendirian.

Apakah hal itu yang terjadi pada Runa sehingga sekarang dia suka memendam perasaan dan hanya berkode-kode? Apa tanpa sadar dirinya pernah meremehkan atau mengabaikan pendapat istrinya itu?

* * *


Tiga tahun lalu...

"Tadi kamu sengaja ke RS dan ke ruanganku cuma untuk nunjukin ke dr.Tiana bahwa kamu itu istriku?"

"Masih untung aku nggak ngelabrak dia ya Mas. Aku cuma pura-pura mampir jemput kamu pulang, trus ngajak dia ngobrol santai."

"Ya ngapain juga kamu mesti ngelabrak dia, Run?!"

"Supaya dia tahu jelas bahwa kamu punya istri, bukan single atau duda! Barangkali dia nggak tahu karena dia dokter baru di Prima Medika, yang baru kenal kamu setelah kamu pulang dari Belanda. Mentang-mentang kamu nggak pakai cincin kawin, dia pikir kamu masih available, makanya seenaknya nebeng pulang bareng terus sama kamu. Kamu bilang, kamu udah kasih tahu dia tentang statusmu, tapi kenapa dia nekat nebeng kamu melulu? Kamu juga, Mas, biasanya bisa tegas nolak, tapi kenapa nggak pernah nolak kalau dia minta nebeng? Kalau bukan karena aku mergokin bau parfum perempuan di mobilmu, kamu juga pasti nggak cerita. Bahkan setelah aku bilang bahwa aku nggak suka kalau kamu terus-terusan nebengin dia pulang, kamu cuek aja. Ya kalau kamu nggak mau bertindak, biar aku yang bertindak."

"Bertindak ngapain sih Run? Lagian apa salahnya sih nebengin pulang doang, kan rumahnya searah. Kamu juga tadi udah ketemu Tiana kan? Kamu tahu pasti, dia bukan tipeku. Kamu nggak usah cemburu lah."

"Aku cuma meminimalkan risiko, Mas. Meski Tiana bukan tipemu, tapi kalau kamu tiap hari ketemu dan pulang bareng dia, bisa jadi kamu simpati lalu naksir kan?"

"Kecurigaan kamu berlebihan, Run."

"Bodo amat kalau menurutmu aku lebay. Aku cuma berjaga-jaga, menjaga rumah tangga kita, Mas."

"Terserah kamu lah! Yang jelas, aku nggak suka kalau kamu posesif dan cemburu nggak jelas kayak tadi. Norak dan nggak elegan, tahu nggak sih Run. Aku tahu kamu orangnya to-the-point, tapi bisa kan nggak usah bertindak selugas tadi. Aku kan malu sama kolegaku. Aku nggak mau lihat kamu begitu lagi. Jangan diulangi lagi!"

"Norak?! Jadi kalau lain kali aku mergokin kamu selingkuh lagi, kamu mau aku gimana, Mas? Diem-diem aja, kode-kode doang, lalu langsung mengajukan cerai gitu?"

"Jangan ngomong sembarangan tentang cerai, Run! Dan nggak akan ada lain kali, karena kali inipun aku nggak selingkuh."

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top