36. Ajaib
"Ayah kok sekarang nggak pernah antar kita sekolah lagi, Bun?" tanya Rumaisha.
Beberapa hari sudah berlalu sejak pertengkaran Runa dan Raka yang terakhir. Karena tidak mau lagi membuat Raka mengorbankan pekerjaannya demi keluarga, Runa melarang Raka untuk bertemu anak-anak di hari kerja.
"Kalau kamu kangen Icad dan May, silakan datang di hari libur. Kamu nggak perlu mengorbankan waktu kerjamu demi kami. Selain di hari libur, aku nggak akan mengijinkan kamu ketemu anak-anak." Begitu kata Runa saat mengusir Raka hari itu.
Saat keesokan harinya Raka masih mencoba datang untuk meminta maaf (lagi) dan mengantar anak-anak sekolah, Runa mengusirnya lagi.
"Jangan paksa aku bikin keributan. Kamu mau anak-anak lihat kita ribut, hah?!" ancam Runa saat itu.
Sejak itu, Raka tidak datang lagi. Meski lelaki itu masih terus mengiriminya pesan tiap hari.
"Ayah kan kerja, May," jawab Runa akhirnya, ketika Rumaisha menanyakan tentang ayahnya.
"Padahal May udah seneng Ayah anter sekolah terus," kata gadis kecil itu. Kekecewaan terpancar jelas di wajahnya. "Tante Anin udah pulang. Eyang udah nggak kesepian. Kita kapan pulang, Bun?"
Runa menoleh pada Risyad. Tidak seperti adiknya yang terus-terusan mengatakan kangen ayahnya dan menanyakan kapan pulang, Risyad tidak pernah mengatakan apapun terkait kepindahan mereka ke rumah eyangnya. Saat inipun Risyad hanya diam dan fokus dengan rubik 3x3 nya.
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah pernikahan. Runa sudah berusaha menjalaninya sebaik yang ia bisa. Tapi jika ia harus terus menjalaninya seumur hidup, dengan sikap Raka yang tidak berubah, Runa tidak yakin masih bisa tahan. Itu mengapa Runa sudah menetapkan hati untuk bercerai. Meski demikian, sampai saat ini Runa belum mengambil langkah hukum apapun. Anak-anaknya lah yang membuatnya selalu ragu melangkah. Ia takut keputusannya akan menyakiti anak-anaknya.
* * *
"Hari ini Bunda yang antar anak-anak lagi? Beberapa hari lalu, ayahnya anak-anak yang antar kan?" tanya ibu dari salah seorang teman Rumaisha. Runa biasa memanggilnya dengan Mama Erika.
"Iya, Mam. Kemarin ayahnya sedang agak senggang. Sekarang sibuk lagi," Runa menjawab sambil mencoba tersenyum.
Mereka duduk di pinggir halaman sekolah, seperti beberapa ibu lain juga, sambil memperhatikan anak-anak bermain. Risyad sudah masuk kelasnya, tapi Rumaisha yang masih TK masuk kelas 1 jam setelah Risyad. Itu mengapa Runa tetap menunggu disana sampai Rumaisha masuk kelas juga.
"Sekarang juga udah nggak sedia catering bekal lagi ya Bun?" tanya Mama Erika lagi.
"Lagi libur dulu, Mam," jawab Runa.
"Kenapa?"
"Saya lagi sibuk kerjaan lain 2 bulan ini. Takut nggak kepegang. Nanti kalau kerjaan saya udah selesai, saya buka pesanan bekal lagi, Mam."
"Oh alhamdulillah, cuma libur sementara. Kirain emang udah nggak terima pesanan bekal lagi."
Runa tersenyum sopan.
"Emang ada kerjaan apa, Bun?" tanya Mama Erika kepo. "Saya kira Bunda May nggak kerja kantoran?"
"Iya, emang nggak kerja kantoran, Mam. Saya freelance aja. Kebetulan lagi ngerjain terjemahan buku kesehatan, jadi butuh fokus."
"Wah, keren, Bun! Bunda May dokter juga ya, kayak ayahnya May?"
"Bukan, Mam. Saya farmasis, apoteker."
"Masih sodaraan ya sama dokter," kata Mama Erika sambil terkekeh dan mengangguk-angguk. Yang dibalas dengan senyum oleh Runa. "Apoteker itu yang belajar tentang obat-obat itu kan?"
"Iya, Mam."
"Wah, kebetulan!" seru Mama Erika antusias, sambil menjentikkan jari. "Mau nanya dong, Bun. Saya dapet promo produk kesehatan ini dari sepupunya suami saya. Katanya kalau kita minum air yang dialirkan melalui produk ini, bisa menyembuhkan banyak penyakit. Trus kalau produk ini ditempelin di bagian tubuh yang sakit, bisa menghilangkan sakitnya. Bener ya Bun? Kalau apoteker, belajar tentang produk kesehatan gini nggak sih Bun?"
Runa melihat foto produk kesehatan yang ditunjukkan Mama Erika di ponselnya. Lalu tersenyum. Ia kemudian menatap teman ngobrolnya itu.
"Mama Erika butuh jawaban jujur atau jawaban yang nyaman didengar?" tanya Runa hati-hati, masih sambil tersenyum.
Mendengar pertanyaan itu, Mama Erika jadi waspada. "Eh, kenapa, Bun? Promonya nggak bener ya Bun?"
Runa mengangguk. "Khasiatnya overclaimed, Mam."
"Tuh kan!" seru Mama Erika sambil menjentikkan jari. "Saya bilang sih sama suami saya. Saya udah curiga, nggak masuk akal nih. Tapi sepupu suami saya ini sampai nunjukin chat testimoni konsumennya yang sembuh dari sakit batu ginjal setelah minum air yang dialirkan melalui produk ini, trus produknya ditempel di perut."
"Kalau sakit batu ginjal ringan, asalkan minum air yang banyak, batu ginjalnya masih bisa luruh dan sembuh kan Mam. Jadi itu sembuh karena minum air, bukan karena minum air yang dialirkan ke produk, juga bukan karena produk yang ditempel di perut bisa memecah batu ginjal."
"Nah kan!" seru Mama Erika lagi. "Dia juga nunjukin testimoni konsumen yang sembuh sakit kepalanya setelah ditempel produk ini."
"Itu namanya efek plasebo, Mam. Sugesti. Berasa sembuh. Rasa sakit itu sebenarnya gejala, bukan penyebab penyakit. Jadi kalau sakit kepalanya sembuh setelah ditempel produk, belum tentu penyebab penyakitnya sembuh juga."
"Tapi dia juga nunjukin bukti ilmiah, Bun. Jurnal penelitian bahwa produknya banyak digunakan di dunia medis."
Mama Erika kemudian menunjukkan screenshoot artikel ilmiah yang dimaksud oleh sepupu suaminya itu.
Runa mengambil ponsel sendiri dan mencari judul artikel penelitian tersebut, kemudian membaca keseluruhan hasil penelitian dari artikel yang ditunjukkan Mama Erika. Kemudian tersenyum.
"Yang ditulis di artikel penelitian ini adalah biomaterial yang digunakan dengan cara ditanam atau diimplan di jaringan yang sakit, untuk meminimalkan bekas luka dan mempercepat regenerasi jaringan sehingga menjadi sehat kembali. Bahan ini digunakan di dunia kedokteran gigi. Tapi bahan yang ditulis di artikel ini beda dengan produk yang ditempel dan dialiri air tadi, Mam. Namanya doang sama, trus diklaim sebagai manfaat produk itu deh," kata Runa menjelaskan.
"Ya ampun! Jadi semua klaimnya dia nggak bener dong ya? Padahal udah sampe nunjukin jurnal penelitian segala, ternyata itu dua produk yang beda. Dia juga nunjukin berita bahwa produknya dapet award dari kementerian sebagai produk dengan penjualan tertinggi atau gimana gitu."
"Award dari kementerian? Kementerian Kesehatan?"
"Kayaknya bukan deh. Kemarin dia bilang, dari kementerian perdagangan atau kementerian apa ya gitu?"
"Kalau klaim sebagai obat atau suplemen ya harus berdasarkan registrasi di BPOM. Kalau klaimnya sebagai alat kesehatan ya harusnya terdaftar di Kementerian Kesehatan lah, bukan berdasarkan award Kementerian lain," jawab Runa.
Ia kemudian mengetikkan sesuatu di ponselnya dan menunjukkannya pada Mama Erika, hasil pencariannya di laman pencarian di http://infoalkes.kemkes.go.id/
"Tuh kan, yang terdaftar di Kementerian Kesehatan adalah produk untuk dental care, bukan untuk ditempel atau dialiri air," kata Runa.
"Ish, ish! Nggak bener banget tuh orang jualannya. Klaimnya bohong. Padahal dia sampai berani bilang bahwa dokter dan apotek cuma tukang obat dengan memanfaatkan orang yang lagi sakit. Eh ternyata dirinya sendiri yang jualan produk nggak bener."
Runa tertawa. "Lha saya mah bangga kalau dibilang tukang obat. Lha wong obat yang saya jual sudah terbukti aman, efektif dan bermutu kok. Terbukti semua obat yang pernah saya jual sudah registrasi di BPOM, dan semua alat kesehatan yang saya jual sudah terregistrasi di Kemenkes. Saya nggak pernah jualan produk yang diklaim produk kesehatan tapi promonya berdasarkan award dari Kementerian Perdagangan. Saya juga nggak pernah memanfaatkan penyakit orang lain untuk jualan produk supaya bisa dapet reward jalan-jalan ke luar negeri."
"Iya tuh Bun! Saya udah merasa sih dagangan sepupu suami saya nggak bener nih. Masa nawarin produk kesehatan, tapi lebih semangat cerita tentang reward jalan-jalan ke luar negeri, bukan tentang khasiat produknya," kata Mama Erika berapi-api. "Dia nawarin produk ini nih ke mertua saya yang lagi sakit tumor. Saya sih udah curiga. Tapi dia ngasih banyak testimoni konsumen, jurnal penelitian dan award Kementerian segala. Saya jadi bingung membantahnya. Untung sekarang saya bisa nanya sama Bunda May. Nanti saya cerita deh sama suami saya, supaya nggak usah beli produk gituan. Tega banget sih, keluarga sendiri lagi tertimpa musibah sakit tumor, malah ditipu pake produk abal-abal, cuma supaya dia dapet bonus jalan-jalan. Tapi kalau nanti ditegur, takutnya persaudaraan malah rusak."
Runa hanya bisa tersenyum miris.
"Saya udah lama sih merasa sepupu suami saya nih nggak bener. Tapi mertua saya suka sungkan nolak tawaran dari dia, karena ayahnya dia - - yang adalah kakaknya ibu mertua saya - - dulu banyak bantu keluarga suami saya pas mereka masih susah. Jadi sampai sekarang ibu mertua saya selalu merasa berhutang budi sama keluarga mereka. Makanya kalau sepupu suami saya ini minjem duit, pasti dikasih sama ibu mertua saya. Tapi emang dasar orang nggak bener ya, bilangnya minjem tapi nggak pernah dibalikin. Ya kalau emang niatnya minta, harusnya bilang terus terang ya. Bilang minta gitu. Jangan bilang minjem, tapi ternyata ngarep nggak bayar hutang. Yang begini ini kan yang bikin hubungan persaudaraan retak."
Jleb!
Tiba-tiba Runa merasa tersindir.
Ya kalau emang niatnya minta, harusnya bilang terus terang ya. Bilang minta gitu. Jangan bilang minjem, tapi ternyata ngarep nggak bayar hutang.
Bukankah ini yang dilakukannya pada Raka? Dia bilang ingin meminjam uang, tapi mengharapkan Raka peka dan mau mengerti sehingga ia tidak harus membayar hutang.
Runa memang tetap kesal karena ketidak-pekaan Raka. Tapi kalau sekarang dipikir-pikir lagi, mungkin Raka juga tidak sesalah itu ya? Mungkin dirinya juga bersalah karena tidak berterus terang dan berharap suaminya dapat membantu keluarganya bukan berupa pinjaman.
* * *
Adakah pembaca cerita ini yang merasa tersindir setelah membaca bab ini? Alhamdulillah. Berarti misi saya berhasil. Semoga Kakak2 yg masih jualan produk kesehatan pseudosains segera bertaubat. Jangan lagi memanfaatkan rasa sakit seseorang untuk jualan produk yang bahkan tidak ada bukti efektivitasnya. Mohon maaf kalau kata2 saya nggak berkenan di hati Kakak.
Apakah setelah baca ini jadi sebel sama saya, trus nggak mau lagi baca cerita atau beli buku saya? Wkwkwk.
Adakah Kakak2 yang pernah jadi "korban"? Nggak tega nolak dan terpaksa beli dagangan teman/sodara, meski sudah tahu bahwa itu produk bohongan?
Setelah membaca bab ini, apakah ada Kakak2 yang mulai pro lagi sama Raka? Ternyata dia ga salah2 amat kan ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top