35. Pengorbanan
Pagi itu ruang makan di rumah mertuanya yang tidak begitu luas itu terasa lebih penuh. Anin dan Juna sudah pulang dari berbulan madu dan ikut sarapan bersama mereka. Suasana sarapan yang biasanya tenang, hanya diisi dengan percakapan Raka, mertuanya dan Rumaisha, kini jadi lebih ramai. Anin dan Juna memperlihatkan foto-foto yang mereka ambil selama berbulan madu di Karimun Jawa, sambil menceritakan tiap lokasinya.
Tapi bukan karena ruang makan yang lebih penuh atau suasana sarapan yang lebih ramai itu yang mengganggu Raka. Melainkan karena kehadiran seseorang disana. Seseorang yang bukan bagian keluarga mereka - - secara teknis. Tapi jika dipikir-pikir lagi, berkat pernikahan Anin dengan Juna, orang itu kini bisa dianggap sebagai keluarga mereka.
"Lo ngajak ketemuan di rumah Ibu sore ini buat ngasih oleh-oleh. Tapi gue sore ini ada meeting sama klien. Jadi gue kesini sekarang aja lah, ngambil jatah oleh-oleh gue." Begitu yang Raka dengar dari lelaki berambut gondrong itu pada Arjuna, adiknya. "Saya boleh sekalian numpang sarapan disini kan, Ma?" lanjut lelaki itu, bertanya pada ibu mertua Raka.
Raya, adik Raka, sebagai adik iparnya Runa juga memanggil ibu Runa dengan panggilan "Mama Arimbi". Maka wajar saja jika lelaki gondrong itu memanggil "Mama" juga pada mertua Raka, karena lelaki itu kini adalah kakak ipar Anin. Tapi tetap saja Raka tidak suka mendengarnya.
Meski pagi itu Runa dan Ganes tidak duduk berdekatan dan tidak saling ngobrol karena Runa tampak asik ngobrol dengan Anin dan ibunya tentang pengalaman bulan madu Anin, tapi pemandangan lain mengganggu Raka. Lelaki yang bersikap sok dekat dengan ibu mertuanya, tampak akrab dengan Risyad dan Rumaisha juga.
Rumaisha adalah anak yang supel dan mudah akrab dengan orang baru. Sikapnya yang lucu dan terbuka membuatnya menjadi anak yang mudah dicintai. Tidak heran jika melihat gadis kecil itu akrab dengan Ganes. Tapi Risyad berbeda.
Sejak kecil Risyad cenderung asik dan fokus dengan dunianya sendiri. Beberapa orang menganggap Risyad hiperaktif jika sedang fokus pada hal yang disukainya. Dia bisa sangat cerewet dan banyak bertanya tentang hal yang menarik perhatiannya, tapi terhadap hal lain yang tidak disukainya, ia bisa sangat tidak peduli. Tidak banyak yang tabah menanggapi pertanyaan dan kecerewetan Risyad jika anak itu sudah dalam mode penasaran. Juga tidak banyak yang tahan menghadapi sikap dingin Risyad jika anak itu sedang dalam mode cuek. Jadi ketika Raka melihat Risyad terlibat percakapan seru dengan Ganes, Raka merasa cemburu. Saat itu Raka baru sadar, bahwa sudah beberapa bulan ini Risyad tidak pernah mengganggunya lagi: meminta diantar ke sekolah, meminta Raka datang untuk acara sekolah, meminta bantuan membuat tugas sekolah. Apakah itu berarti Risyad sudah tidak peduli pada dirinya?
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Karena kalau di awal, namanya pendaftaran. Ini jokes lama. Tapi Raka merasakannya saat ini. Selama ini dia tidak benar-benar menyadari, tapi ketika dirinya sadar, anak dan istrinya sudah berada terlalu jauh dari jangkauannya. Ternyata lelaki gondrong itu bukan hanya berhasil membuat istrinya nyaman, tapi juga mendapatkan penerimaan anak sulungnya yang tidak mudah menerima orang baru.
Raka mengecek arlojinya dan, beruntung, menemukan alasan untuk segera memisahkan Ganes dari anak-anaknya.
"Waktunya berangkat sekolah. Ayo, anak-anak!" kata Raka, kelihatan terlalu bersemangat, padahal itu hanya kamuflase untuk menutupi kemarahannya.
Rumaisha menjawab ajakan ayahnya dengan sama bersemangatnya, lalu pamit pada Ganes dengan ceria. Sementara Risyad terlihat kecewa karena obrolannya dengan Ganes harus terhenti karena harus berangkat sekolah. Dan melihat ekspresi Risyad tersebut, Raka merasa tambah marah.
Setelah berpamitan dengan Anin, Juna dan eyangnya, Risyad dan Rumaisha bergegas naik ke mobil Raka. Runa mengantar dan memastikan anak-anak duduk dan memakai seat belt nya dengan baik. Raka juga hampir bersiap menaiki mobil di belakang kemudi, sebelum ia menyadari bahwa Ganes sedang memerhatikan dirinya dan keluarganya dari ruang makan yang berada lurus dari pintu rumah yang terbuka. Saat itu Raka merasa kesabarannya hampir mencapai titik terendahnya.
Ketika Runa menutup pintu mobil setelah mengecek seat belt kedua anaknya, tanpa aba-aba Raka meraih lengan istrinya. Perempuan itu menoleh dengan ekspresi terkejut, dan saat itu dengan cepat Raka mencuri satu ciuman di bibir. Lelaki itu menahan senyum ketika mendapati Ganes menatap apa yang dilakukannya pada Runa dengan tatapan nanar. Dia sudah berhasil menandai teritorinya. Kepemilikannya. Perempuan ini adalah miliknya. Dia tidak suka orang lain mengambil miliknya, dan dia tidak akan membiarkannya.
Runa terperanjat, tapi ia berhasil menahan diri yang hampir saja refleks menampar Raka. Ia tidak ingin pertengkarannya dengan Raka diketahui keluarganya. Sudah cukup perang dingin antara dirinya dan sang suami menambah beban pikiran sang ibu. Ia tidak mau menambah beban pikiran tersebut dengan mempertontonkan perang dunia ketiga. Jadi yang bisa ia lakukan hanya mendorong dada bidang suaminya menjauh dengan sebuah gerakan yang tidak begitu kentara, lalu melempar tatapan penuh amarah.
* * *
Ketika Anin sudah berangkat kerja diantar oleh Juna dan ibunya pergi ke pasar untuk berbelanja nebeng pada Ganes, barulah Runa bisa berhenti berpura-pura menutupi kemarahan di dalam dirinya akibat perlakuan Raka yang seenaknya.
Apa-apaan itu tadi, lelaki itu seenaknya memaksa mencium dirinya?
Selama 10 tahun menikah, Runa sangat tahu bahwa Raka adalah tipe orang yang tidak suka mengumbar kemesraan di depan publik. Jangankan mengumbar kemesraan, hanya bergandengan tangan di mall atau di kondangan saja, dia enggan. Jadi kenapa tiba-tiba lelaki itu bertindak senorak itu?
Setelah dua malam lalu Raka memaksakan berhubungan suami-istri, sekarang lelaki itu juga memaksakan ciuman. Sebenarnya ada apa sih dengan laki-laki itu?
Perasaan marah dan kesal itu membuat Runa tidak mampu berkonsentrasi bekerja, bahkan meski ia sudah duduk di depan laptopnya selama beberapa lama. Ia baru saja memutuskan hendak keluar rumah saja, mencoba menulis di tempat lain agar merasa lebih segar, ketika pintu rumah ibunya diketuk. Betapa sialnya, ternyata wajah suaminya yang muncul di balik pintu.
"Kenapa sepi? Kemana yang lain?" tanya Raka sambil langsung nyelonong masuk dan duduk di sofa di ruang tamu.
"Anin kerja, diantar Juna. Mama belanja," jawab Runa seperlunya.
"Ganes?"
"Kerja juga."
"Kirain dia nemenin kamu disini. Atau jemput kamu pergi."
Runa yang hampir ngeloyor masuk lebih jauh dan mengabaikan suaminya, akhirnya mengurungkan niatnya. Ia berbalik, dan menatap Raka dengan kesal. Apa sih maunya laki-laki ini? Ngajak berantem lagi?
Raka membalas tatapan sebal Runa, tapi tidak terlihat terganggu dengan hal itu.
"Anin dan Juna udah pulang. Mama nggak sendirian lagi. Aku juga mau jemput kamu dan anak-anak pulang. Ayo aku bantu beres-beres," kata Raka.
"Pulang kemana?"
"Ke rumah kita."
"Itu rumah kamu. Lagian, aku sudah minta cerai, kamu lupa?"
Raka meraup wajahnya frustasi. Ia menunduk, menjambak rambutnya sesaat, lalu kembali menegakkan duduknya.
"Aku sudah minta maaf, Aruna. Aku harus gimana lagi?" tanya Raka sambil menatap istrinya. Kali ini suaranya mengiba.
Merasa ada yang aneh dengan pertanyaan Raka, mata Runa menyipit.
"Aku minta maaf soal uang untuk Mama. Aku janji nggak akan mengulangi lagi. Kapanpun dan berapapun keluargamu butuh sesuatu, kamu bebas ambil dari rekening keluarga. Kalau kurang, bilang aja ke aku."
Runa memandang jijik. Bahkan saat meminta maafpun, Raka tetap tahu bagaimana caranya merendahkan istrinya. Dipikirnya Runa marah hanya semata karena masalah uang?
"Kalau kamu mau terus usaha catering atau nulis novel atau kerja di penerbitan, aku... nggak keberatan."
Padahal Runa bisa dengan jelas melihat ketidak-ikhlasan di wajah Raka.
"Tapi tolong jangan dekat-dekat Ganes. Aku nggak suka. Kamu istriku. Aku juga nggak suka lihat dia mendekati anak-anakku."
Kali ini dahi Runa makin mengkerut.
"Aku nggak ada apa-apa sama Hani. Kami beneran hanya sebatas dokter dan pasien. Jangan salah paham."
"Aku dan Ganes juga cuma teman kerja. Jadi kamu juga jangan salah paham."
"Kok kamu malah belain laki-laki itu?!"
Runa kaget. Dirinya hanya mengatakan fakta tentang hubungannya dengan Ganes. Kenapa Raka jadi malah marah lagi? Orang ini sebenarnya niat minta maaf nggak sih?
"Jangan-jangan kamu memang udah nggak tahan pengen buru-buru cerai ya? Supaya bisa sama si Ganes itu?" tuduh Raka, tajam. "Aku udah minta maaf, Run. Aku bahkan mengorbankan jadwal praktikku beberapa hari ini untuk menunjukkan kesungguhanku mau berubah. Tapi setelah semua yang aku lakukan, kamu tetap berkeras ingin cerai?"
Runa menggeleng dengan perasaan lelah dan sesak. Laki-laki di hadapannya tidak sedang meminta maaf. Dia sedang memaksakan maaf. Laki-laki ini memiliki ego yang terlalu tinggi untuk bisa meminta maaf. Jika pernikahan ini dilanjutkan, bukankah dirinya yang akan selalu harus mengalah?
"Dua minggu lalu kamu yang nuduh aku selingkuh. Tapi tetep aku yang minta maaf karena membuat kamu salah paham. Tapi toh setelah aku berhari-hari minta maaf, kamu tetap nggak mau maafin aku dan tetap nuduh aku selingkuh.
Setelah aku pergi dan kamu sadar ketahuan ketemu mantan, baru kamu minta maaf ke aku? Kalau kamu nggak ketahuan ketemu mantan, apa kamu bakal minta maaf sama aku? Kalau aku yang minta maaf, kamu nggak wajib maafin aku, tapi kalau kamu yang minta maaf, aku harus maafin kamu?"
Raka tiba-tiba merasa takut.
"Sadar nggak kamu? Kamu nggak suka lihat aku dan anak-anak dekat dengan Ganes, bukan karena kamu cemburu. Bukan karena kamu nggak mau kehilangan kami. Kamu cuma benci kalah dari orang lain. Kamu nggak suka barang milikmu diambil orang lain. Kamu benci dikalahkan Ganes. Tapi kamu lupa, aku dan anak-anak bukan benda mati tanpa hati yang bisa dimiliki lalu diabaikan. Kami punya hati yang bisa merasakan siapa yang benar-benar peduli sama kami."
Runa melangkah ke pintu rumah ibunya. Membukanya lebih lebar. Dan berdiri disana, dengan wajah memerah karena menahan tangis dan menguatkan hati.
"Pengorbanan dr. Raka tiga hari ini pasti berat banget. Yang saya lakukan selama ini nggak sebanding lah dengan pengorbanan Dokter. Karena itu, ayo kita berpisah. Supaya saya dan anak-anak nggak merepotkan Dokter lagi. Dan supaya Dokter nggak perlu berkorban apa-apa lagi."
* * *
"Saya merasa kesal karena kalah bersaing. Tapi saya nggak sedih karena merasa kehilangan. Jadi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin saya juga nggak cinta sama Iva."
* * *
Banyak orang yang menyayangkan perpisahan jika hanya disebabkan masalah komunikasi. But, the thing is, masalah komunikasi itu bukan sekedar hanya.
Komunikasi adalah salah satu pilar penting dalam pernikahan selain visi-misi, cinta, kepercayaan dan komitmen.
Komunikasi adalah proses pertukaran informasi DUA ARAH. Kalau salah satunya hanya mau bicara dan yang lain hanya dipaksa mendengar, itu namanya siaran radio.
Masalah komunikasi bukan masalah sepele. Bukan sekedar hanya atau cuma.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top