33. Mas
Apa yang Kakak2 lihat pada gambar di atas?
Jika Kakak melihat sepasang laki-laki dan perempuan sedang saling merangkul sambil menatap danau, itu betul.
Jika Kakak melihat sebuah janin, itu juga betul.
Itu yang kita sebut persepsi. Pengalaman masa lalu kita membentuk persepsi. Pengalaman masa lalu yang berbeda, tentu membentuk persepsi yang berbeda, padahal menghadapi masalah yang sama. Dan mempertentangkan siapa yang persepsinya benar, rasanya tidak akan pernah mencapai kata sepakat.
Bagi kita, perempuan dan ibu-ibu, wajar saja jika kita memiliki persepsi dan sudut pandang yang serupa dengan Runa. Sehingga lebih mudah bagi kita memahami perasaan Runa dan mendukungnya. Di saat yang sama, kita juga lebih mudah melihat kesalahan Raka.
Di sisi lain, bagi bapak-bapak yang membaca ini, atau bagi pembaca yang punya pengalaman masa lalu seperti Raka, tentu lebih mudah memahami sudut pandang Raka dan melihat kesalahan Runa.
Tidak ada yang salah dengan keduanya. Karena kita tidak bisa mengubah masa lalu yang membentuk diri dan persepsi kita. Di sisi lain, kita juga tidak bisa memaksakan persepsi kita pada orang lain.
Wajar saja jika banyak ibu-ibu yang membela Runa dan menyalahkan Raka, karena barangkali kita pernah punya pengalaman serupa dengan Runa. Tapi pembaca lain yang pernah diselingkuhi oleh pasangannya gara2 aplikasi kencan online, wajar juga baginya untuk menyalahkan Runa. Dan tulisan ini memang sengaja dibuat untuk membuka diskusi tentang hal itu. Sosok Runa dan sosok Raka memang ditulis sebagai sosok yang tidak sempurna.
Oleh karena itu, diskusi antara pendukung Raka dan pendukung Runa, tentu sah-sah saja. Dan saya senang membacanya, karena itu berarti cerita ini sudah berhasil menawan hati pembaca. Ciyeeee.
Namun demikian, semoga diskusi diantara kedua pihak tidak berakhir dengan perdebatan ya, Kak. Karena siapa tahu, apa yang kita pikir benar belum tentu sepenuhnya benar. Dan apa yang kita pikir salah, ada alasan di baliknya.
Bukan berarti saya menjustifikasi/ membenarkan perselingkuhan ya. Apapun alasannya perselingkuhan itu salah. Tapi... apakah memang Raka selingkuh? Sebaliknya, apakah memang Runa tidak selingkuh?
Baca terus kelanjutan cerita ini ya Kak. Barangkali kita jadi bisa melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda.
Kalau udah geregetan sama cerita ini dan males nungguin updatenya, boleh banget
- langsung pesan bukunya ke Karos Publisher di 0818-0444-4465, atau
- beli e-booknya di bit.ly/WYSNiaPutri atau
- baca extra partnya aja di Karya Karsa Karos Publisher, cari judul "Waktu yang Salah"
Semoga Kakak2 suka dg cerita ini. Dan semoga Kakak2 bisa menikmati cerita ini lebih dari sekedar cerita yang bikin tensi naik. Hehehe.
Karena kalo mau bikin tensi naik, ada cerita lain yang lebih menantang. Mampir ke cerita "Slice of Love" deh Kak. Cocok banget buat tarik urat. Hahahaha.
* * *
Sebelas Tahun Lalu
"Apoteker Aruna ada?"
"Sore, Dokter Raka!" jawab perempuan yang sedang membagi serbuk puyer. "Ada yang bisa saya bantu, Dok?"
"Runa sudah pulang?"
"Belum, Dok. Kayaknya masih konseling pasien. Dokter ada perlu?"
"Saya mau ketemu. Kalau gitu, saya tunggu dia aja. Saya boleh tunggu disini?"
"Eh? B-boleh, Dok, silakan."
Raka tersenyum kemudian duduk di salah satu kursi di ruang peracikan. Ia memang sengaja masuk melalui pintu belakang instalasi farmasi, sehingga langsung berada ruang tempat obat-obat disiapkan.
Di ruang peracikan itu berkumpul lima orang perempuan yang masing-masing sedang sibuk mempersiapkan obat dari resep yang ditanganinya. Seorang perempuan yang menyapa Raka tadi adalah salah seorang apoteker di instalasi farmasi tersebut, sementara empat orang gadis lainnya adalah asisten apoteker. Dan keempat gadis itu langsung mencuri-curi pandang pada dokter tampan yang duduk diantara mereka.
"Ada yang mau Dokter diskusikan ke Mbak Runa? Barangkali saya bisa bantu?" tanya perempuan yang tadi menyambutnya lagi. Kali ini tangan cekatannya sudah selesai membungkus puyer dan sedang memasukkan ke dalam kemasan plastik dan memberi penandaan di etiket.
"Nggak kok. Saya cuma pengin jemput."
Mata perempuan itu membulat. Seperti bingung, tapi juga antusias. Seperti seekor elang yang mengincar mangsanya. Apalagi keempat gadis yang lain yang langsung saling lirik dengan tatap mata penuh isyarat.
"Mbak Laras, konselingnya udah kelar. Ak___"
Runa yang baru saja datang dari ruang konseling seketika terdiam ketika melihat lelaki yang duduk di ruang peracikan itu.
"S-sore, Dokter," sapa Runa kikuk. "Lagi diskusi sama Mbak Laras ya Dok? Kalau gitu saya___"
"Aku dateng buat jemput kamu," kata Raka.
Runa melirik Laras dengan kikuk, yang dibalas dengan cengiran jahil. Dari sudut matanya, ia juga mendapati keempat asisten apoteker yang bekerja disana menatapnya dengan penuh minat. Ia kemudian melempar pandangan kesal pada lelaki yang duduk tak jauh dari tempat Laras. Yang ditanggapi dengan wajah datarnya.
"Udah jam pulang kerja kan? Ayo pulang," kata Raka melanjutkan. Wajahnya tetap datar. Sepertinya ia tidak merasa bersalah kalau sikapnya sudah memicu gosip di instalasi farmasi.
"Emm, Dokter___"
"Dan sampai kapan kamu akan terus panggil aku begitu? Bukannya sudah waktunya kamu mulai panggil aku Mas?"
Saat itu juga wajah Runa memerah. Antara malu pada Laras dan keempat asisten apoteker yang sedang menonton, dan kesal pada Raka yang nampaknya tidak peka bahwa sikapnya akan segera menciptakan gosip hangat di Prima Hospital.
* * *
Diantara wajah Runa yang memerah menggemaskan antara malu dan kesal, sejak saat itu hingga kini Runa memanggil Raka dengan panggilan Mas. Bahkan setelah anak-anak lahir, ketika tidak di depan anak-anak, Runa tetap memanggilnya Mas. Dan kini Raka baru sadar bahwa sudah beberapa waktu ini ia tidak mendengar panggilan itu lagi ketika mereka bicara berdua. Perempuan itu hanya memanggilnya Mas di beberapa kesempatan di hadapan orang lain, barangkali supaya orang lain tidak mengetahui permasalahan rumah tangga mereka.
Raka menyesal. Harusnya ia bisa lebih peka. Ketika Runa sudah mulai berhenti memanggilnya demikian, harusnya ia sadar bahwa ada sesuatu yang membuat Runa marah.
Awalnya Raka pikir Runa marah padanya karena tidak suka dilarang bekerja, dan karena kecewa tentang pinjaman uang mertuanya. Tapi ternyata perempuan itu juga marah karena memergoki percakapannya dengan Hani seminggu yang lalu.
Bukannya ingin membela diri, tapi memang Raka hanya ingin membantu Hani. Mungkin sedikit banyak hubungan mereka di masa lalu membuatnya terlalu peduli pada perempuan itu. Tapi sungguh, Raka tidak pernah bermaksud mengkhianati Runa.
Meski demikian, Raka paham jika Runa marah padanya. Apalagi karena dirinya tidak langsung jujur menceritakan siapa Hani. Dan karena itu ia berusaha meminta maaf. Setelah bertahan-tahun berhasil dengan cara itu, Raka pikir kali ini Runa juga akan memaafkannya setelah mereka berakhir di tempat tidur. Tapi ternyata dugaannya kali ini salah. Sepertinya ia justru membuat perempuan itu makin marah karena memaksanya berhubungan.
Begitu sadar dari keterkejutannya akibat kemarahan Runa, Raka segera melarikan mobilnya, hendak mengejar Runa yang pergi dengan taksi online. Tapi ternyata taksi online itu tetap tidak terkejar. Ketika ia sampai di depan rumah mertuanya, ia sudah melihat lampu di kamar Runa sudah menyala, yang berarti perempuan itu sudah sampai di rumah mertuanya. Kalau saja tidak ingat bahwa saat itu sudah jam 11 malam, tentu ia akan mencoba bicara dengan Runa malam itu juga. Tapi akhirnya Raka menahan diri.
Ia mengirim pesan beberapa kali kepada Runa. Juga meneleponnya. Tapi hingga pagi hari, tidak ada satu panggilanpun yang diterima, tidak ada satu pesanpun yang terbaca. Pun ketika dirinya datang kembali ke rumah mertuanya pagi itu untuk menjemput Risyad dan Rumaisha lagi, Runa tetap bersikap dingin padanya.
Kalau pada hari sebelumnya Runa masih berpura-pura memanggilnya Mas, mencium tangan dan menyambutnya dengan sopan di hadapan sang ibu dan anak-anak supaya mereka tidak menyadari pertengkaran mereka, pagi itu Runa bahkan tidak repot-repot berpura-pura mencium tangannya lagi. Sepertinya perempuan itu sudah tidak peduli jika ibunya atau anak-anak tahu bahwa mereka sedang bertengkar.
Setelah Runa memastikan Risyad dan Rumaisha naik mobil dan memasang seat beltnya dengan benar, Raka memberanikan diri meraih lengan Runa dan mengajaknya bicara. Tapi perempuan itu menepis tangannya.
"Sayang..." panggil Raka membujuk.
Seumur-umur, Raka jarang melakukan hal ini. Selama ini Runa selalu sangat pengertian terhadapnya. Saat dirinya melakukan kesalahan atau saat Runa marah, asalkan ia meminta maaf, perempuan itu pasti akan memaafkan dengan memaklumi kesalahannya. Belum pernah Runa terlihat semarah ini hingga Raka perlu membujuk dan mengiba-iba permohonan maaf seperti saat ini.
"Jangan sentuh aku!" bisik Runa tajam, sambil menepis genggaman Raka. "Nanti anak-anak terlambat," ia kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Kalau gitu, habis nganter anak-anak, aku kesini lagi ya?"
"Nggak usah. Nanti kasihan pasien-pasien kamu kalau kamu telat praktik."
"Jadwal hari ini sudah aku cancel. Demi bicara sama kamu."
"Wah, besar banget pengorbanan kamu demi ngobrol doang sama aku," sindir Runa tajam. "Aku harus merasa tersanjung nggak nih, karena akhirnya kamu mengutamakan aku dibanding pasien-pasienmu?"
"Run... aku beneran minta maaf."
"Trus kalau kamu minta maaf, aku harus maafin?"
"Run..."
Terlihat malas, Runa langsung masuk kembali ke dalam rumah mertuanya.
Mengingat jam masuk sekolah anak-anak, Raka terpaksa mengalah. Ia tidak lagi memaksa bicara dengan Runa kali itu. Tapi dia sudah berencana untuk kembali menemui Runa setelah mengantar anak-anak sekolah.
Tapi ternyata rencananya untuk bicara dengan Runa gagal. Ketika ia kembali ke rumah mertuanya setelah mengantar anak-anak sekolah, ternyata Runa sudah pergi.
"Katanya mau kerja, Ka. Dia nggak bisa fokus nulis di rumah, jadi mau coba nulis di tempat lain. Di kafe atau resto fastfood mungkin," jawab sang ibu mertua memberi info. "Masalah kalian kali ini sebenarnya apa? Kenapa Runa sampai kelihatan marah banget?"
Saat itu Raka termangu. Apa sebenarnya masalah mereka?
Setelah sepuluh tahun rumah tangganya adem-ayem saja, kenapa dalam beberapa waktu belakangan ini tiba-tiba semua masalah bertumpuk? Apakah selama ini mereka sebenarnya tidak baik-baik saja, hanya saja Runa yang selalu menahan diri?
* * *
Kata orang, kalau lagi berantem sama pasangan, kita harus inget2 kebaikan pasangan atau momen2 manis dengan pasangan,,, sebagai pengingat apakah kebaikan atau momem2 manis itu layak diabaikan hanya karena satu atau dua kesalahan. Makanya kali ini kita lihat salah satu momen manis mereka.
Apakah kenangan2 manis ini cukup kuat sebagai alasan untuk membuat mereka tetap bersama? Atau permasalahan mereka sudah terlalu kompleks dan fatal?
* * *
1200 vote n 300 komen utk update bab selanjutnya, gmn?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top