32. Make-up ***
Selesai praktik sore itu, Raka segera mengarahkan mobilnya ke rumah ibu Runa kembali. Ibu Runa menyambut dengan bingung karena menantunya berkunjung hingga dua kali dalam sehari.
"Kangen banget sama anak-anak ya, sampai kesini lagi?" tanya ibunya Runa. "Biasanya kalau mereka libur sekolah, mereka juga nginep disini sampai seminggu kan?"
"Raka mau ketemu Runa, Ma," jawab lelaki itu.
Mata ibu Runa mengernyit. "Runa lagi pergi. Emangnya kamu nggak WA dia dulu sebelum kesini?"
Raka sebenarnya sudah mengirim pesan bahwa akan datang, tapi pesan itu tidak berbalas.
"Kalian lagi berantem?" todong ibu Runa, tiba-tiba, ketika tidak mendapat jawaban dari menantunya.
Karena sikap mereka barangkali jelas sekali, Raka terpaksa mengaku. Sambil mengangguk, ia menjawab, "Iya, Ma. Maaf."
"Nggak apa-apa. Namanya juga rumah tangga. Pasti ada berantem-berantemnya," jawab sang ibu mertua sambil tersenyum. "Yang penting itu komunikasi. Dalam komunikasi itu ada waktunya bicara, ada waktunya mendengar. Jangan maunya bicara terus, jangan maunya didengarkan terus. Yang penting itu."
Raka mengangguk dengan rasa hati tersentil.
"Emang Runa pergi kemana Ma? Lama nggak? Sama siapa?" tanya Raka penasaran.
Ibu Runa menyebutkan nama sebuah restoran dengan makanan khas Indonesia yang cukup elit. "Makan malam sekalian ngomongin kerjaan penerbitan katanya."
"Sama Mbak Mira? Sama Ganes?" todong Raka langsung.
Karena melihat sepertinya menantunya sudah mengetahui tentang pekerjaan freelance Runa di penerbitan, terbukti karena Raka mengenal orang-orang yang terlibat di dalamnya, jadi ibu Runa merasa sah-sah saja memberikan informasi kepada menantunya.
"Oh, Raka masih inget kakaknya Juna yang kita ketemu pas nikahan Anin?" tanya sang mertua. "Iya, Runa ketemu sama Ganes katanya."
Urusan pekerjaan bisa didiskusikan saat makan siang, bukan makan malam. Dan kenapa juga harus di sebuah restoran mewah? Ini urusan kerjaan atau yang lain?, pikir Raka.
* * *
Awalnya Raka berencana ingin menginterupsi makan malam tersebut sesampainya di restoran itu. Tapi ternyata Runa makan malam bukan hanya dengan Ganes, tapi dengan seorang wanita lagi. Wanita berjilbab itu barangkali usianya sekitar 50 tahunan. Karena itulah Raka mengurungkan niatnya. Akhirnya dia memutuskan untuk makan malam di restoran itu, memilih meja di sudut yang cukup tersembunyi.
Dari mejanya, Raka tidak bisa mendengar jelas percakapan mereka, tapi terlihat mereka bertiga ngobrol cukup seru. Runa terlihat banyak tertawa dan tersenyum malam itu.
Banyak orang yang bilang bahwa Runa tampak awet muda. Meski sudah berusia hampir 40 tahun dan memiliki 2 orang anak, tapi banyak yang mengira perempuan itu baru berusia dua puluhan. Tapi barangkali karena sudah 10 tahun hidup bersama, Raka tidak benar-benar memperhatikannya. Dia mengakui kecantikan istrinya, tapi perempuan yang ada di meja seberang itu memiliki kecantikan yang berbeda. Barangkali juga karena selama ini Runa hanya mengikat rambutnya sederhana atau membiarkannya tergerai, sehingga ketika ia mengikat tinggi rambutnya, Runa terlihat mempesona. Apalagi dengan senyumnya, malam itu Runa terlihat menawan.
Saat itu Raka tiba-tiba sadar, sudah beberapa minggu ini dia tidak lagi melihat senyum Runa yang seperti itu. Dan nampaknya perpisahan dengan dirinya justru membuat Runa terlihat lebih bahagia. Apakah itu karena lelaki yang sekarang duduk di sampingnya?
Ketiga orang itu masih terus berbincang hingga beberapa lama setelah piring-piring diangkat dari meja mereka. Sampai kemudian Raka melihat Ganes mengangkat tangannya ke arah pramusaji. Sepertinya lelaki itu meminta tagihan. Saat itulah Raka juga meminta tagihannya kepada pramusaji.
Ketiga orang itu akhirnya keluar dari restoran. Wanita 50 tahunan itu dijemput sebuah mobil di lobby restoran dan pamit meninggalkan Runa dan Ganes. Saat itulah Raka melangkah mendekati kedua orang itu.
"Yuk, aku antar."
Raka mendengar Ganes menawarkan diri mengantar istrinya pulang. Itu mengapa Raka langsung datang mendekat, menginterupsi.
"Runa pulang sama saya," kata Raka menyapa. Yang disambut dengan tatapan bingung dan kesal.
* * *
Runa bisa saja menolak diantar Raka. Tapi ia khawatir Raka akan marah lagi dan mengkonfrontasi Ganes. Ia tidak ingin membuat Ganes susah. Itu mengapa, meski enggan tapi Runa akhirnya menyetujui diantar Raka.
Runa kira Raka akan mengantarnya pulang ke rumah ibunya. Tapi ternyata Raka mengarahkan mobilnya ke rumah mereka.
"Kalau obrolan kita berakhir buruk, setidaknya Mama dan anak-anak nggak mendengar," kata Raka beralasan. "Siti belum tidur. Kita bicara di kamar aja," lanjutnya.
Runa mengikuti suaminya melangkah ke kamar mereka, sambil mengetikkan pesan singkat pada ibunya, bahwa mungkin ia akan pulang malam.
Setelah masuk ke kamar mereka, Runa sengaja tidak duduk di kasur. Ia memilih duduk di kursi riasnya dan menunggu suaminya bicara. Raka menyadari bahwa istrinya membentangkan jarak darinya, tapi ia mencoba mengerti.
"Aku minta maaf, Sayang," kata Raka memulai, dengan suara lembut. Ia duduk di kasur yang berhadapan dengan kursi rias tempat Runa duduk.
Runa menelengkan kepalanya, memandang lelaki di hadapannya. Sangsi apa benar lelaki ini sudah tahu kesalahannya.
"Minggu lalu kamu dan anak-anak jemput aku ke Rumah Sakit? Dan kamu lihat aku bersama seorang perempuan kan?"
Runa mengernyit.
"May yang cerita."
Oh pantes, pikir Runa. Laki-laki tidak peka seperti Raka memang harus diberitahu secara lugas oleh seseorang. Tidak bisa mengharapkan dia sadar dengan sendirinya.
"Itu ibunya pasienku. Pasienku itu tiba-tiba deman kejang. Makanya ibunya panik. Waktu kamu lihat aku di IGD, aku sedang menghibur ibunya setelah memberikan penanganan."
Runa mendengarkan dengan seksama. Dia sungguh berharap Raka bisa jujur tanpa dirinya harus menginterogasi.
Melihat Runa hanya diam, Raka mulai merasa gentar.
"Ibunya pasienku itu... teman lamaku."
Runa merasa hatinya nyeri. Raka ternyata tidak jujur. Kalau Rumaisha tidak menceritakan bahwa mereka melihat Raka dan perempuan itu, barangkali selamanya Raka juga tidak akan mengaku.
Runa menghela nafas, lalu bangkit dari duduknya. Tapi dengan cepat Raka berdiri dan menyambar tangan Runa, lalu menariknya hingga terduduk. Kali ini di kasur, di sisinya.
"Aku minta maaf. Dia mantan pacarku," kata Raka akhirnya. Kepalanya tertunduk. Tangannya menggenggam kedua tangan istrinya.
"Makasih sudah jujur," kata Runa tenang. Meski hatinya mulai bergemuruh.
"Tapi aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia," lanjut Raka, mencoba meyakinkan Runa.
Tapi justru karena pernyataan itu, Runa makin curiga. Jika memang Raka tidak ada hubungan apa-apa dengan perempuan itu, Raka tidak perlu panik dan menjelaskan hal itu kan?
"Kami cuma teman. Sama seperti kamu dan Ganes."
"Dan kamu pernah menuduh aku selingkuh sama Ganes," sindir Runa. "Apa seperti itu juga hubungan kamu dan Hani?"
Raka tampak terkesiap. Barangkali dia tidak menyangka bahwa Runa tahu nama perempuan itu. Barangkali juga karena ia merasa terpojok oleh pernyataan Runa barusan.
"Pasti sulit merawat anak tanpa bantuan ayahnya. Apalagi posisinya di kantor tinggi, pasti sibuk. Pasti sulit membagi waktu untuk pekerjaan dan anaknya. Makanya kamu support dia kan?"
"Run..."
"Aku yang ibu rumah tangga doang, pasti nggak sebanding sama dia."
"Maksud kamu apa?"
"Apa kamu malu punya istri kayak aku? Pasti lebih membanggakan kalau punya istri yang keren kayak Hani ya?"
"Run, kamu salah paham!" jawab Raka cepat. "Kami beneran nggak ada hubungan ap___"
"Kalian mungkin memang nggak ada hubungan apa-apa. Tapi perasaanmu goyah saat ketemu dia kan?"
"Sayang..."
"Sejak awal aku kenalan dan ketemu Ganes, aku selalu cerita ke kamu. Aku juga nggak pernah sembunyi-sembunyi saat ngobrol sama dia di telepon, di depan kamu. Tapi kamu... kalau bukan karena May, kamu nggak akan cerita tentang mantan pacar kamu itu kan?"
Raka membuka mulutnya, bersiap membela diri. Tapi tidak ada sepatah kata pembelaanpun yang bisa diucapkannya.
"Aku tahu, kalian putus bukan karena sudah nggak cinta. Hanya karena keadaan yang nggak memungkinkan. Sekarang, saat keadaan memungkinkan, apa kamu nyesel dulu nggak nunggu dia pulang dari Jerman dan justru nikah sama aku?"
Runa bangkit dari duduknya. Membuat Raka panik melihatnya.
"Selama aku di rumah Mama, kamu punya waktu untuk mempertimbangkan. Pilih Hani atau aku."
Raka ikut berdiri. "Kamu serius, Run? Semudah itu kamu nyuruh aku milih? Gimana kalau aku milih dia? Kamu nggak mau memperjuangkan pernikahan kita? Jangan egois. Anak-anak___"
"Egois?" Runa balik bertanya, sinis. "Bahkan setelah sepuluh tahun ini aku terus berjuang mempertahankan pernikahan kita, kamu tetap nggak sadar kan? Kalau aku egois, aku bisa berkeras tetap kerja disini dan nggak nemenin kamu sekolah ke Belanda. Kalau aku egois, aku bisa berkeras kembali bekerja setelah kembali ke Indonesia. Toh masalah anak harusnya kita handle berdua, bukan hanya aku sendiri. Dan setelah semua hal itu, kamu masih bilang bahwa aku nggak memperjuangkan pernikahan kita?"
"Jadi kamu nggak ikhlas melakukan semua itu?"
"Ini bukan masalah ikhlas atau nggak ikhlas!" bentak Runa, kesal. "You don't get the point, don't you?"
Runa lalu membalik badan dan melangkah menuju pintu kamarnya, hendak keluar.
"Kita belum siap bicara," pungkas Runa. "Kita bicara lagi kalau kamu sudah memutuskan."
Runa baru saja membuka pintu kamarnya ketika Raka dengan cepat menutupnya kembali.
Lelaki yang berdiri di balik punggung Runa itu melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Runa. Ia meletakkan dagunya di bahu Runa, lalu mengecup telinga Runa.
"Sayang, tolong, jangan pergi. Jangan tinggalin aku," pintanya dalam bisikan di telinga Runa.
Lalu lelaki itu mulai menyesap leher Runa dan mengulum telinganya. Tangannya membelai perut yang dipeluknya.
Tapi Runa berusaha melepaskan diri. "Stop. Aku nggak mau!" kata Runa tegas.
Raka selalu begini, keluh Runa.
Selama sepuluh tahun pernikahan mereka, Runa bukannya tidak pernah marah atau mengemukakan pendapatnya. Tapi tiap kali mereka berselisih paham, Raka akan selalu menggunakan cara ini. Sex. Dia selalu merayu Runa hingga mereka berakhir di tempat tidur. Dan setelahnya, masalah yang mereka perdebatkan seperti menguap. Pada akhirnya Runa akan selalu mengalah.
Tapi kali ini Runa tidak mau itu terjadi. Dia tidak mau melakukan hal itu. Dia tidak mau masalah ini dianggap selesai begitu saja setelah mereka berhubungan, padahal masalah mereka belum selesai sama sekali.
Tapi meski Runa sudah berkelit mencoba melepaskan diri, Raka terus mendesak dan mendominasi.
Raka melepaskan pelukannya, lalu membalik tubuh Runa hingga mereka berhadapan. Lalu dengan cepat ia melumat bibir istrinya. Ia mencengkeram bahu Runa, lalu mendesaknya mundur hingga terjatuh di tempat tidur.
"Aku nggak mau, Mas! Jangan paksa aku!" bentak Runa tegas.
Tapi Raka tidak peduli.
Dengan cepat dia sudah mengukung tubuh Runa di bawah tubunya, lalu memaksa membuka pakaiannya dan mencumbunya.
"Aku sayang sama kamu, Run," katanya berkali-kali, sambil menciumi tubuh perempuan itu. Tidak peduli Runa sudah mendorong tubuhnya berkali-kali.
"Lepas! Aku nggak mau!" bentak Runa sekali lagi. Kali ini diiringi dengan isak tangis dan air mata.
Tapi lagi-lagi Raka terus mendesak. "Kamu akan menyukainya. Aku tahu kamu suka kalau aku melakukan ini kan?" Kemudian ia mulai mencium, menjilat dan melumat dimana-mana.
Runa, meski tidak menginginkan hal itu, tapi saat lidah Raka bermain di bagian bawah tubuhnya, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mendesah. Dia juga merasakan dirinya basah.
Raka mendesak makin kuat hingga akhirnya berhasil masuk dan bergerak dengan cepat. Tangan dan bibirnya tidak tinggal diam. Ia menjelajah di sekujur tubuh Runa. Setelah sepuluh tahun menikah, lelaki itu tahu benar dimana titik-titik sensitif Runa. Dan dia menjamahnya dengan sangat lihai.
Dan karena hal itulah, Runa merasa hancur. Ia tidak menginginkan ini, tapi toh dia bisa mencapai orgasme. Ia merasa refleks tubuhnya mengkhianati pikirannya. Saat itu tiba-tiba Runa merasa menjadi pelacur.
Air mata itu luruh ketika Raka bergerak makin cepat dengan ritme yang tidak beraturan. Dan ketika lelaki itu mencapai puncaknya, menggeramkan namanya di telinga dan mengungkapkan cinta, Runa benar-benar hancur.
Setelah keduanya meredakan nafas yang memburu, Runa akhirnya berhasil mendorong dada Raka, menyingkirkan tubuh lelaki itu dari atas tubuhnya. Ia kemudian bangkit dan memunguti tas dan pakaian yang tadi dilepas paksa oleh Raka, lalu masuk ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar mereka.
Di tempat tidur, Raka menghela nafas, lelah dan puas. Ia berharap setelah ini istrinya tidak marah lagi padanya. Selama bertahun-tahun cara ini selalu berhasil meredakan amarah Runa, karena Raka selalu tahu bagaimana memuaskan perempuan itu di tempat tidur.
Setelah memakai kembali celananya, Raka menatap pintu kamar mandi dan menyadari bahwa Runa sudah terlalu lama di dalam sana.
Khawatir, Raka mulai mengetuk pintu kamar mandi. Tapi tidak ada jawaban juga dari dalam. Hingga lelaki itu harus menggedor lebih keras.
Saat itulah akhirnya Runa membuka pintu kamar mandi dan keluar. Ia sudah memakan kembali pakaiannya dan sedang menggenggam ponsel di tangannya.
Raka tersenyum lebar, bersiap memeluk Runa kembali. Tapi ekspresi dingin Runa membuatnya menahan diri.
"Kamu... kenapa? Sakit?" tanya Raka hati-hati. Apakah tadi dirinya bergerak terlalu kasar?
"Aku pikir selama ini kamu anggap aku pembantu atau pengasuh anakmu," lirih Runa. "Tapi malam ini ternyata kamu juga anggap aku pelacur."
Seketika wajah Raka memucat. Apa maksudnya ini?
"Aku sudah bilang nggak mau. Tapi kamu tetap memaksa," lanjut Runa sedih. "Aku pulang sekarang."
Raka menyambar tangan Runa. "Pulang kemana? Ini rumah kamu," katanya lembut.
Tapi Runa tidak melunak. Ia melepaskan tangan Raka.
"Ayo kita cerai," kata Runa pelan, tapi tegas.
Perkataan itu membuat Raka terpukul. Sampai ia tidak sadar bahwa Runa sudah keluar dari kamar mereka. Sebuah taksi online sudah menunggu di luar rumah mereka.
Raka pikir, seperti yang selama ini terjadi, Runa akan melunak setelah mereka melakukan hal tersebut. Dia tidak menyangka Runa justru makin marah.
Beberapa orang mengira make-up sex sebagai bentuk permintaan maaf dan akan memperbaiki keadaan setelah pertengkaran. Nyatanya, hal itu tidak menyelesaikan masalah sama sekali. Barangkali itu hanya cara mengindar sementara, tapi tidak dapat menyelesaikan sumber permasalahan.
Dalam kasus Raka kali ini, ironisnya, hal itu justru baru saja menghancurkan segalanya.
* * *
1200 vote + 400 komen utk update bab berikutnya, gaes?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top