30. Menghibur

Awalnya saya memutuskan untuk mengakhiri cerita ini di wattpad sampai bab 29 aja, supaya banyak yang penasaran lalu nanti berkenan membeli bukunya.

Tapi krn saya penulis labil, jd saya memutuskan untuk lanjut posting cerita ini. Semoga saya ga di-kruwes-kruwes pembaca lagi. Hehehe.

Jadi, selamat membaca, Kakak. Semoga suka!

* * *

Barangkali karena itu adalah hari Minggu, hari yang biasanya dihabiskannya di rumah bersama istri dan anaknya. Maka ketika hari itu rumah kosong, Raka merasa hatinya juga sangat kosong.

Jika mengikuti kata hatinya, Raka bisa saja menahan agar tadi pagi Runa dan anak-anak tidak pergi meninggalkan rumah. Tapi kata-kata Runa ketika Raka menahannya, membuat Raka tertohok.

"Aku bilang ke anak-anak bahwa kami akan tinggal di rumah Eyangnya untuk menemani Eyang selama Tante Anin pergi liburan," kata Runa, dengan intonasi suara yang berusaha dikendalikannya. "Jangan sampai anak-anak lihat kita bertengkar. Aku pengin mereka melihat kita baik-baik aja, setidaknya sampai kita memutuskan mau dibawa kemana hubungan pernikahan kita."

"Mau dibawa kemana?" Raka membentak, meski dengan suara pelan. "Kamu serius, mau pisah? Nggak bisa! Hubungan kita nggak akan kemana-mana. Kita akan tetap bersama."

Runa kemudian memberikan tatapan lelah pada Raka. "Kita selama ini emang nggak kemana-mana. Aku terus yang mencoba mengerti kamu, dan kamu konsisten dengan ketidak-pekaan kamu. Aku capek. Aku perlu istirahat. Kamu mungkin juga capek dan nggak puas sama aku yang cuma di rumah aja dan nggak bisa dibanggakan. Kamu mungkin perlu orang lain yang setara sama kamu, yang bisa bikin kamu bangga?"

Makin didengarkan, omongan Runa makin ngaco. Entah apa yang ada di pikiran perempuan itu. Barangkali juga itu hanya cara perempuan itu untuk cari masalah sehingga ia punya alasan untuk minta cerai. Barangkali setelah itu, laki-laki bernama Ganes itu sudah siap menunggu.

Begitu yang dipikirkan Raka tentang istrinya.

Tapi demi tidak membuat anak-anaknya sedih jika melihat mereka bertengkar, Raka akhirnya terpaksa menyetujui permintaan Runa dan membiarkan mereka menginap sementara di rumah orangtua Runa. Barangkali setelah beberapa hari, pikiran Runa sudah lebih tenang dan akhirnya bisa bicara dengan lebih rasional.

Tapi baru satu hari hidup tanpa Runa dan anak-anak, Raka merasa hidupnya hampa. Ia barangkali tidak merasa sepi saat sibuk di RS, tapi ketika pulang di malam hari tanpa Runa yang menyambut sambil membawakan minum atau menawarkan beragam minuman, Raka merasa ada yang hilang.

Hampir tiap hari ia pulang malam saat anak-anak sudah tidur, sehingga ia sudah biasa hanya bertemu anak-anaknya di pagi hari. Meski demikian, saat ia pulang di malam itu dan tidak mendapati anak-anaknya tidur di kamar mereka, Raka merasa hatinya kosong.

Saat studi S3 dulu, Raka pernah pergi conference selama 1 minggu ke Colorado, USA. Saat itu ia merasa rindu pada Runa dan anak-anak yang ia tinggalkan di Belanda. Tapi rasa rindunya tidak sesakit saat ini, bahkan meski kini ia baru 1 hari tidak bertemu dengan ketiga orang kesayangannya.

Pada hari pertama tanpa Runa dan anak-anak, Raka masih bisa konsentrasi bekerja dan hanya merasa kosong ketika malam tiba. Tapi pada hari kedua, kekosongan itu menyebar dan membuat Raka tidak bisa lagi fokus bekerja.

Karena itulah akhirnya Raka memutuskan untuk mendatangi mereka ke rumah mertuanya.

"Raka mau antar anak-anak sekolah, Ma," kata Raka sambil mencium tangan mertuanya, ketika sang ibu mertua membukakan pintu rumahnya pagi itu.

"Oh iya, pas banget, anak-anak udah siap. Lagi pada sarapan," jawab sang mertua sambil tersenyum ramah. Dari senyum itu Raka menduga bahwa Runa belum menceritakan masalah rumah tangga mereka pada ibunya. Jadi benar, Runa menggunakan alasan menemani sang ibu selama Anin berbulan madu untuk menginap di rumah ibunya. "Kamu belum sarapan kan Ka? Yuk ikut sarapan bareng."

Ketika Raka memasuki ruang makan di rumah mertuanya, yang tepat bersisian dengan dapur, Runa yang sedang berada di dapur menoleh dengan ekspresi kaget. Tapi perempuan itu segera mengendalikan diri.

"Ayah!" Rumaisha menyambut dengan ceria. Gadis kecil itu turun dari kursi makannya dan menghambur memeluk Raka.

Raka segera merendahkan tubuhnya dan memeluk gadis kecilnya. "Kangen nggak sama Ayah?" tanya Raka.

"Kangen dong, Yah."

Raka tersenyum lebar dan mengacak pelan rambut puterinya. Setidaknya dia merasa dirindukan.

Laki-laki itu kemudian menoleh pada Runa. Perempuan itu tampak mengeringkan tangannya pada apron, lalu menghampiri Risyad yang masih duduk di kursinya, sarapan. Runa tampak membisikkan sesuatu, singkat, pada Risyad. Lalu Risyad turun dari kursinya dan mengikuti ibunya untuk menghampiri Raka.

Ketika sudah sampai di hadapan Raka, Risyad mengulurkan tangannya pada Raka. Setelah Raka mengulurkan tangan juga, Risyad mencium tangan ayahnya, lalu mundur dan kembali ke meja makan. Gantian, Runa yang maju menghadap Raka dan mengulurkan tangannya.

"Mas," sapa Runa sambil mencium tangan Raka.

Saat itulah Raka sadar bahwa dia merindukan panggilan itu dari istrinya. Saat itu juga Raka baru sadar bahwa sudah beberapa lama Runa tidak memanggilnya "Mas" lagi. Tapi sejak kapan tepatnya? Apakah sejak istrinya itu dekat dengan Ganes?

Sekarang istrinya itu kembali menyapanya dengan panggilan itu, pasti agar ibunya tidak curiga dengan hubungan mereka yang sedang tidak baik.

"Ayah mau jemput kita pulang?" tanya Rumaisha sambil memegang tangan ayahnya dan mengajaknya ke meja makan. "Tapi May masih mau nginep disini dulu. Kasihan Eyang kalau sendirian."

"Kalau gitu Ayah antar sekolah aja. Mau?" kata Raka sambil duduk di kursi makan, di sebelah Rumaisha.

"Mau!" jawab gadis kecil itu antusias.

"Tumben? Biasanya Ayah sibuk? Cuma antar kita ke sekolah pas ambil rapor aja?" tanya Risyad.

Jleb!

"Pasti Ayah kangen banget sama kalian," jawab ibunya Runa pada Risyad. Kemudian sang mertua beralih menatap Raka, "Maaf ya, Raka jadi kesepian karena mereka nemenin Mama."

"Nggak apa-apa kok, Ma," jawab Raka sambil tersenyum kecil.

Rakapun ikut sarapan di sana sambil ngobrol dengan Rumaisha dan ibu mertuanya. Runa sendiri hanya mengambilkan makan di piring untuk Raka, lalu ia sendiri makan dalam diam. Begitu juga dengan Risyad yang lebih banyak diam.

Setelah dua hari sarapan dan makan malam disiapkan oleh Siti di meja makan, saat itulah Raka sadar bahwa selama ini Runa benar-benar sudah meladeni dan menyiapkan segala keperluannya. Bahkan untuk mengambil makan di piringpun, Runa yang melakukannya.

"Kamu nggak bikin catering bekal?" tanya Raka pada Runa, berusaha memancing memulai percakapan.

"Libur dulu," jawab Runa singkat. Jelas sekali perempuan itu enggan bicara dengannya.

Selesai sarapan dan berpamitan dengan Eyang-nya, Risyad dan Rumaisha menuju mobil Raka. Risyad memilih duduk di belakang dan Rumaisha duduk di depan.

Runa juga mengantar anak-anaknya ke mobil Raka. Memastikan mereka menggunakan sabuk pengaman dengan benar. Lalu mundur.

Tapi kemudian Raka segera mendekat.

"Aku mau ngobrol sama kamu," kata Raka, berbisik. Ia mengambil kesempatan untuk bicara dengan Runa saat ibu mertuanya tidak melihat, karena beliau sedang membereskan meja makan.

Runa diam. Ia hanya menatap Raka dengan tatapan menelisik.

"Ayo pulang, Sayang. Kita bicara baik-baik. Apapun yang kamu mau, akan aku penuhi. Kalau kamu perlu tambahan uang bulanan, aku nggak keberatan."

Runa mundur, memberi jarak dari Raka, lalu menatap suaminya dengan jijik.

"Ternyata kamu masih menganggap aku serendah itu," kata Runa pelan, sambil menggelengkan kepala.

Raka segera tahu bahwa dia melakukan kesalahan. Tapi saat dirinya akan mendekati Runa lagi, perempuan itu segera menepis.

"Kita belum siap bicara," kata Runa tegas. "Anak-anak harus berangkat sekarang. Nanti telat."

Merasa frustrasi, tapi Raka tidak bisa memaksa lebih lanjut karena akan menimbulkan keributan yang akan membuat mertuanya curiga. Akhirnya Raka cukup puas hanya dengan kesempatan mengantarkan anak-anak sekolah.

* * *

"Nanti Ayah jemput kita sepulang sekolah?" tanya Rumaisha saat mereka telah tiba di depan gerbang sekolah.

"Maaf ya, Sayang. Ayah nggak bisa. Kan Ayah kerja."

"Tapi besok pagi Ayah anter ke sekolah lagi kan?"

"Iya dong!"

"Asiiikk!!!" pekik Rumaisha girang. "Kalo gitu, May tinggal di rumah Eyang aja ah, supaya tiap hari Ayah anter sekolah. Kalo di rumah kita, Ayah malah nggak bisa anter sekolah."

Jleb!

"Tapi Ayah sedih dan kesepian kalau May dan Icad nggak di rumah," kata Raka dengan wajah sedih.

Rumaisha lalu tersenyum dan menepuk-nepuk bahu ayahnya.

"Jangan sedih ya, Yah," kata Rumaisha menghibur. Gayanya lucu sekali dan membuat Raka tertawa.

"Anak Ayah sudah besar. Sudah bisa menghibur Ayah," puji Raka.

"Kan Ayah yang ngajarin," jawab Rumaisha.

Raka mengernyit. "Kapan?" tanya Raka. Seingatnya, ia belum pernah mengajari hal seperti ini pada puteri kecilnya.

"Minggu lalu. Abis cobain baju buat nikahan Tante Anin," jawab Rumaisha.

"Ha?"

"May, Mas Icad dan Bunda kan jemput Ayah ke Rumah Sakit. Tapi waktu itu Ayah lagi menghibur Tante yang lagi sedih. Jadinya kami pulang lagi," jawab Rumaisha lugu. Ia kemudian kembali menepuk-nepuk bahu ayahnya. "Kata Bunda, Ayah tepuk-tepuk bahu Tante karena sedang menghibur Tante yang sedih. Iya kan Yah? Begini kan caranya menghibur orang yang sedih?"

Raka menatap gadis kecilnya dengan tatapan ngeri.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top