27. Periculum In Mora

Mau survey dulu ah. Siapa Kakak2 dsni yg juga udh pernah baca Formulasi Rasa, Cerita yang Tidak Dimulai dan Yang Tidak Termiliki?

Kakak2 yg sudah pernah baca ketiga cerita itu pasti sadar bhw saya biasa menyelipkan info2 ttg dunia farmasi dalam cerita2 saya. Di Waktu yang Salah inipun demikian, meski sedikit berbeda. Kalau biasanya saya menyelipkan info ttg teori kefarmasian atau ttg industri farmasi, yang belum tentu relate dengan semua orang, maka di cerita ini saya menyelipkan info2 kesehatan yang semoga bermanfaat bagi masyarakat luas.

Setidaknya sejauh ini ada 5 informasi kesehatan yg sudah saya selipkan dalam cerita ini. Apakah ada Kakak2 yg inget, info ttg apa sajakah itu?

Menurut Kakak2, apakah info kesehatan yg saya selipkan tsb terlalu banyak atau ga relevan dg cerita?

Atau ada Kakak2 yg ingin saya menambahkan info2 kesehatan lagi di cerita ini? Kalau iya, Kakak2 ingin saya membahas apa? Barangkali nanti bisa saya sisipkan pembahasannya.

* * *

"MasyaAllah Bu Arimbi ini beruntung banget. Puterinya cantik-cantik."

Runa baru saja keluar dari ruang ganti, ketika mendengar calon ibu mertua Anin - - Bu Nunik - - memuji ibunya

"Alhamdulilah, Bu," Runa mendengar ibunya menanggapi pujian calon besannya sambil tersenyum.

Kali itu keluarga Anin dan keluarga Arjuna sedang berkumpul di kantor Wedding Organizer untuk fitting seragam keluarga untuk pernikahan Anin-Juna minggu depan.

"Gimana Nin?" tanya Runa sambil berputar, sambil memamerkan kebayanya pada Anin dan sang penata busana Wedding Organizer yang juga menyewakan pakaian pengantin dan seragam keluarga.

"Bagian pinggangnya masih bisa saya kecilin sedikit ini, Mbak," kata sang penata busana. "Biar pas badan. Badan mbaknya bagus soalnya."

Runa mematut dirinya di cermin lalu bertanya pada adiknya, "Gimana Nin?"

"Kalo dibuat pas badan, bagus juga sih Mbak. Jadi kelihatan seksi kan," jawab Anin. "Tapi nanti aku insecure karena lebih cantik Mbak daripada pengantinnya."

"Bisa aja kamu," kata Runa, tertawa. Ia lalu menoleh pada sang penata busana dan memutuskan, "Nggak usah dikecilin, Mbak, segini udah oke. Jangan terlalu pas badan, nanti saya sesak nafas."

Sang penata busana tertawa lalu menyetujui permintaan Runa.

"Mbak Runa ini, kalau nggak sedang jalan sama anak-anak, pasti nggak ada yang menyangka bahwa Mbak Runa sudah punya 2 anak. Masih langsing banget," celetuk Bu Nunik tiba-tiba.

Runa tertawa senang. Dan karena merasa dipuji, Runa balas memuji Bu Nunik. "Tante juga nggak kelihatan seperti udah punya anak berumur 30 tahunan. Tante masih kelihatan 40 tahunan gitu lho."

Tidak ada perempuan yang tidak senang dipuji awet muda. Oleh karena itu Bu Nunik gantian tertawa mendengar pujian Runa.

"Bisa aja nih Mbak Runa," kata Bu Nunik, masih sambil senyun-senyum senang. "Mbak Runa nikah muda ya?"

"Eh? Nggak kok, Tante. Emang kenapa?"

"Anak-anak udah pada besar, tapi Mbak Runa masih kelihatan 20 tahunan. Kirain Mbak nikah muda."

"Saya udah 36 tahun ini, Tante."

"Ah masa? Beneran saya kira Mbak Runa palingan 1-2 tahun lebih tua daripada Anin."

"Berarti muka Anin yang kelihatan lebih tua ya, Bu?" celetuk Anin dengan gaya merajuk.

Bu Nunikpun tertawa dan merangkul bahu calon menantunya. "Bukan gitu maksudnya, calon mantu Ibu yang paling cantik."

Runa kemudian melihat Anin dan calon mertuanya itu tertawa bersama. Ia sungguh berharap rumah tangga adiknya kelak akan diwarnai dengan hubungan mertua-menantu yang harmonis, tidak seperti yang di sinetron indosari.

"Duh, andaikan kita baru ketemu nih, Mbak Runa, dan saya nggak tahu Mbak udah punya anak, pasti saya bawaannya pengin ngejodohin sama anak sulung saya, kakaknya Juna."

"Bu..." Runa mendengar Juna menegur ibunya. Sementara Runa cuma bisa tersenyum salah tingkah.

"Tapi anak sulung saya baru 30 tahun sih. Mbak Runa pasti nggak suka yang lebih muda. Hehehe," Bu Nunik melanjutkan, lalu terkekeh sendiri.

"Bu!" Kali ini Juna menegur lebih tegas. Ia lalu menoleh pada Raka yang duduk di sampingnya. "Aduh, maaf ya Mas Raka. Ini Ibu saya bercandanya emang suka ceplas-ceplos," kata Juna, meminta maaf untuk sikap ibunya, dengan ekspresi sungkan.

Lalu terdengar suara Bu Nunik. "Maaf ya Mas Raka. Saya bercanda doang lho ini."

"Iya, Tante," Raka menjawab singkat sambil mengangguk dan tersenyum kecil, demi kesopanan.

Tapi sepertinya Bu Nunik belum berniat untuk berhenti bicara tentang Runa.

"Punya istri cantik kayak Mbak Runa gini, pasti Mas Raka sering cemburu ya Mas?" tanya Bu Nunik pada Raka. Raka baru sempat tersenyum ketika Bu Nunik sudah melanjutkan pertanyaannya, "Tapi Mas Raka juga ganteng gini, pasti Mbak Runa juga sering cemburu?"

Raka hendak menanggapi, tapi kalah cepat dibanding Runa.

"Kami udah 10 tahun nikah, Tante. Masa masih cemburu-cemburuan?" kata Runa, mengulang teori Raka.

"Eh jangan salah, Mbak Runa," sergah Bu Nunik. "Cemburu itu harus tetep ada. Asal bukan cemburu buta. Kalau sama sekali nggak cemburu, patut curiga jangan-jangan udah nggak cinta lagi."

Bu Nunik terkekeh, sementara Runa dan Raka hanya tersenyum kecil sebagai sopan santun. Sementara Juna memutar mata lelah menghadapi ibunya yang cerewet.

"Ngomong-ngomong, kakaknya Juna sibuk banget ya Bu?" tanya ibunya Runa kepada Bu Nunik tiba-tiba. Runa menangkap kesan bahwa ibunya ingin mengalihkan pembicaraan agar tidak lagi menyinggung perasaan Raka.

"Selain pekerjaan tetapnya, dia juga suka terima proyek freelance gitu, Bu Arimbi," jawab Bu Nunik. Sepertinya siasat ibunya Runa berhasil, karena kemudian Bu Nunik bersemangat menceritakan tentang putera sulungnya, kakaknya Arjuna. "Makanya kalau weekend gini dia sibuk ngerjain proyek freelance nya itu, Bu. Jadinya dia nggak ikut datang pas lamaran Juna, dan nggak bisa dateng juga sekarang. Tapi ukuran badan kakaknya Juna mirip ukurannya Juna kok, makanya dia minta diwakilin Juna aja untuk fitting hari ini. Maaf ya Bu."

"Nggak apa-apa kok Bu. Tapi nikahan Anin-Juna minggu depan, kakaknya Juna bisa hadir kan Bu?"

"Bisa, Bu. Saya udah ancam dia, kalau nggak dateng, saya nggak mau mengakui dia sebagai anak lagi."

Kemudian Bu Nunik dan Bu Arimbi tertawa bersama.

"Dia kadang gitu sih Bu. Udah punya rencana sendiri yang kadang susah digugat. Sibuk terus dia," lanjut Bu Nunik, curhat. "Makanya sampai 30 tahun begini belum nikah juga. Malahan adiknya, Juna, melangkahi nikah duluan."

"Laki-laki mah nikah setelah 30 tahunan ga masalah, Bu," jawab ibunya Runa mencoba bersimpati. "Mungkin ingin mapan dulu. Atau cari yang bener-bener pas dulu."

"Nyari yang bener-bener pas kan ya nggak mungkin dapet ya Bu," kata Bu Nunik. "Ini contohnya saya sama bapaknya anak-anak," lanjutnya sambil menepuk paha suaminya yang sejak tadi diam saja. "Saya ini cerewet banget, bapaknya pendiam banget. Tapi ya alhamdulillah sampai sekarang bapaknya anak-anak masih tabah. Hehe. Pernikahan itu kan nggak harus yang 100% cocok. Yang penting mau saling memahami, mengalah, menghargai, mendukung, menyayangi. Saling. Timbal balik. Bukan cuma 1 pihak aja. Iya nggak Bu?"

* * *

Runa baru saja keluar dari ruang ganti, dan sudah mengganti kebaya seragam dengan bajunya yang biasa, ketika Raka menghampirinya bersama Risyad dan Rumaisha.

"Aku pergi duluan ya Run, ada panggilan urgent dari RS," kata Raka, terlihat terburu-buru. Ia memindahkan genggaman Risyad dan Rumaisha kepada Runa. Kemudian menyerahkan kunci mobil pada Runa. "Mobilnya kamu aja yang bawa. Aku naik ojek ke RS supaya lebih cepat. Pamitin sama Mama dan besannya Mama ya."

"Tapi Mas, ini kan hari Minggu. Waktu libur kamu."

"Ada pasien gawat. Cito. PIM."

"Tapi kan ada dokter jaga IGD, Mas! Astaghfirullah!" kata Runa, menahan suaranya agar tidak berteriak. "Kan nggak harus kamu yang turun tangan. Pokoknya kamu nggak boleh pergi! Aku mesti ngomong apa ke Mama dan keluarganya Juna?" kata Runa mendesis, sambil mencengkeram pergelangan tangan suaminya.

"Kakaknya Juna aja bisa nggak dateng sekarang. Padahal dia bukan dokter yang pekerjaannya melibatkan hidup-mati pasien. Udah mending aku dateng sekarang," kata Raka berkeras. "Aku nggak ada waktu untuk jelasin sekarang. Nanti aku jelasin sepulang dari RS."

"Mas!"

Meski dilakukan dengan lembut dan tidak kasar, tapi saat Raka berusaha melepaskan genggaman Runa pada pergelangan tangannya, Runa merasa sakit hati.

Tapi Runa tidak bisa menahan Raka lagi karena detik itu juga ponsel pribadi Raka berdering.

"Berapa suhunya? Berapa lama kejangnya? Kamu udah di RS? Aku kesana sekarang! Kamu tenang dulu ya, jangan histeris."

Runa mengernyit mendengar percakapan suaminya di telepon. Tapi kemudian perhatiannya teralih ketika Bu Nunik menghampirinya.

"Mas Raka ada urusan mendadak?" tanya Bu Nunik.

"Ada pasien gawat darurat, Tante. Maaf ya Mas Raka harus pergi buru-buru, jadi belum sempat pamit," jawab Runa, sungkan.

"Iya, nggak apa-apa, Mbak. Tante ngerti kok. Risiko jadi dokter ya begitu. Harus siap dihubungi pasien kapanpun. Untung tadi Mas Raka udah sempat fitting."

Runa tersenyum dan berterima kasih atas pengertian Bu Nunik. Tapi ketika perempuan 60 tahunan itu berlalu, Runa kembali kepikiran dengan suaminya.

* * *

Selesai fitting, kedua keluarga memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah restoran. Setelah itu barulah mereka pulang. Runa mengantarkan ibu dan adiknya pulang dulu sebelum mampir ke Prima Hospital. Tadi ia sempat menelepon Raka dan ternyata Raka masih belum pulang. Jadi Runa berinisiatif untuk menjemput suaminya supaya bisa pulang bersama.

Runa menggandeng tangan kedua anaknya menuju IGD. Ia berniat ingin menunggu di depan ruang tunggunya saja sampai suaminya selesai bekerja.

Tapi ketika Runa hampir sampai di IGD, ia melihat sudah ada 2 orang yang duduk di kursi tunggu di depan IGD. Anehnya, Runa merasa mengenal salah seorang diantaranya.

"Masa kritisnya sudah lewat. Fatih ditangani tepat waktu. Kamu jangan nangis lagi."

Runa samar-samar mendengar sang lelaki dengan sneli dokter menghibur perempuan yang duduk di sampingnya, sambil menepuk-nepuk bahu perempuan itu.

"Kamu harus kuat, Hani! Ayahnya nggak ada, jadi Fatih butuh ibunya yang kuat."

* * *

Gimana, Kakak2? Puas dengan bab ini?

Kira2 apa yg akan dilakukan Runa ya?

* * *

Dokter dan Apoteker memiliki metode komunikasi tertulis yang unik. Surat cinta dari dokter kepada apoteker biasa kita sebut dengan Resep.

Berbeda dengan surat cinta lazimnya, surat cinta yg ditulis oleh dokter untuk apoteker ini menggunakan bahasa latin. Semua instruksi pada resep ditulis dlm bahasa latin. Pun perintah2 juga ditulis dlm bahasa latin.

"Periculum in mora" (PIM) adl bahasa latin yang digunakan di dunia medis dan farmasi, yang artinya "Danger in delay" atau "Berbahaya bila ditunda".

Dokter biasanya menuliskan kata PIM!, Cito! atau Statim! pada resep yang diinginkan dokter untuk diprioritaskan dan disiapkan sesegera mungkin oleh sang apoteker krn akan membahayakan pasien jika ditunda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top