17. Sweet Things
Semua orang tahu bahwa perasaan pertama yang kita rasakan di pagi hari akan berpengaruh besar terhadap perasaan kita selama seharian penuh. Itu mengapa penting untuk memulai hari dengan sesuatu yang menenangkan atau menyenangkan, karena perasaan senang atau tenang itu dapat mempengaruhi mood kita seharian. Anehnya, meski banyak orang tahu tentang teori tersebut, tapi banyak stasiun tv yang menayangkan berita toksik (seperti gosip selebritas) justru di pagi hari. Atau jangan-jangan, bagi orang Indonesia, mengetahui aib orang lain justru memberi ketenangan atau kesenangan, karena kita jadi menganggap diri kita lebih baik daripada si seleb yang digosipkan? Entahlah.
Mengetahui bahwa hal yang mempengaruhi moodnya di pagi hari akan mempengaruhi moodnya sepanjang hari, Runa selalu menghindari tontonan atau bacaan yang berat atau yang toksik di pagi hari. Meski demikian, pagi itu nasibnya kurang beruntung. Setelah selesai memposting promo menu catering bekal sekolah di akun instagramnya, saat Runa sedang memindai cepat timelinenya, saat itulah ia menemukan pengumuman naskah novel yang diterima pada event lomba menulis yang diikutinya beberapa bulan lalu.
Kata orang, satu-satunya cara agar tidak patah hati adalah dengan tidak jatuh cinta. Orang yang tidak mencintai tidak akan merasakan patah hati kan? Pun, satu-satunya cara agar tidak kecewa adalah dengan tidak pernah berharap.
Runa, yang kali itu baru pertama kalinya mencoba menulis fiksi pada sebuah lomba menulis yang diselenggarakan sebuah penerbit, sebenarnya sudah sadar bahwa kemungkinan naskahnya diterima lebih kecil dibanding peserta lain yang sudah lebih berpengalaman dalam menulis novel. Pun demikian, karena Runa sudah melakukan banyak hal untuk menulis novel tersebut, bahkan termasuk menginstall aplikasi Madam Rose demi melakukan riset tentang perjodohan online, ia sempat berharap naskahnya menjadi salah satu yang diterima. Karena sempat berharap itulah, maka ketika membaca pengumuman di akun instagram penerbit penyelenggara lomba menulis novel tersebut dan tidak menemukan namanya atau judul naskahnya diantara lima naskah yang diterima, Runa merasa kecewa. Dan kekecewaan tersebut mempengaruhi moodnya sepagian itu.
Setelah sepuluh tahun menikah, betapapun tidak pekanya Raka, ia menyadari ada yang aneh dengan sikap Runa pagi itu.
"Bunda kenapa?" tanya Raka pada istrinya yang sedang meletakkan kotak bekal di hadapan Risyad dan Rumaisha.
"Kenapa apa, Yah?" Runa bertanya balik. Tidak mengerti maksud pertanyaan suaminya. Langkahnya yang semula hendak segera kembali ke dapur, terhenti.
"Bunda sakit? Kelihatan lemes gitu. Nggak enak badan?" tanya Raka.
"Oh," kata Runa singkat. Ternyata kekecewaannya tergambar jelas di wajahnya, sampai suaminya yang tidak peka itu bahkan menyadarinya. "Nggak apa-apa kok, Yah."
Dahi Raka berkerut dan matanya menyipit, menelisik.
Raka meraih tangan istrinya yang sudah berbalik hendak kembali ke dapur. Menahannya, hingga perempuan itu menoleh pada suaminya.
"Duduk dulu," kata Raka pelan. "Sarapan dulu sini. Temenin aku. Sambil cerita, ada apa?" lanjutnya, lembut tapi tegas.
Runa melirik kedua anaknya yang sedang menghabiskan sarapannya sambil melirik padanya. Tatapannya beralih pada meja dapur, tempat sejumlah box bekal sekolah berjejer. Sudah rapi semua sebenarnya. Tinggal mengemas semua box bekal tersebut ke bagasi mobilnya. Tapi mungkin nanti dia bisa minta bantuan Siti, sang ART.
Runa pun menuruti perintah sang suami dan duduk di sebelah suaminya.
"Ayah ingat, Bunda ikutan lomba nulis novel?" kata Runa, sambil mengambil nasi, sup ayam sosis, ayam goreng dan (ekstra) sambal ke atas piringnya. Mungkin suaminya benar, ia harus sarapan dulu. Barangkali sarapan bisa memperbaiki moodnya. Kalaupun tidak bisa memperbaiki mood, setidaknya dengan sarapan dirinya jadi punya kekuatan untuk menghadapi kekecewaan.
Raka mengangguk. "Yang sampe bikin kamu instal Madam Rose?"
Runa terkekeh. Tumben suaminya tidak secuek itu pada dirinya. Ternyata meski terlihat acuh, sang suami masih memperhatikan hal-hal yang diceritakannya.
"Naskah itu nggak lolos seleksi lomba," kata Runa melanjutkan, dengan wajah lesu.
"Oh, jadi karena itu..." kata Raka sambil manggut-manggut. "Pantesan kamu lesu banget gitu pagi-pagi. Tumben."
Runa hanya menghela nafas sambil melanjutkan sarapannya.
"Sabar ya Bun," kata Raka, terlihat berusaha menenangkan. "Yang penting Bunda udah mencoba. Jadi nggak penasaran lagi kan."
Runa mengangguk lesu. Memang dia harus bersabar. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain menerima pengumuman tersebut dengan sabar kan.
"Tiap orang tuh ada bakatnya, Bun. Mungkin Bunda emang kurang berbakat nulis fiksi. Mungkin Bunda bakatnya nulis non-fiksi. Buktinya, kalo Bunda nulis tentang kesehatan di blog atau facebook Bunda, banyak yang share."
Kalau dipikir-pikir, iya juga sih. Runa jadi terpikir bahwa mungkin dirinya lebih berbakat menulis opini dan tulisan non fiksi seperti itu.
"Bunda juga jago nulis papernya Ayah," kata Raka melanjutkan, mencoba menghibur istrinya. "Bikin konten instagram dan thread twitter juga banyak yang like. Emang Bunda tuh bakatnya disitu kayaknya."
Meski masih kecewa dengan kegagalannya, Runa mencoba mengulas sebuah senyum kecil ketika mendengar kalimat penghiburan suaminya.
"Lagian, novel kemarin itu kan novel cinta-cintaan gitu doang kan? Palingan cuma bakal bikin pembacanya galau dan halu doang. Nah, mending Bunda fokus seriusin nulis konten-konten kesehatan gitu, Bun. Impact-nya kan jadi bisa mengedukasi masyarakat. Lebih bermanfaat gitu. Nah, mumpung Bunda udah lama belum update konten IG drrakapangestu, bisa mulai dari situ, Bun."
Runa yang semula mulai berbesar hati ketika mendengar kalimat penghiburan suaminya atas kegagalannya pada lomba menulis novel tersebut seketika merasa ilfeel. Ia meminum teh hangat di hadapannya sambil diam-diam memutar bola mata dengan malas.
Kirain tulus menghibur. Ternyata ujung-ujungnya minta dibikinin konten IG. Huh!
Kalau dulu ia mengikuti lomba menulis novel itu hanya untuk menantang dirinya menulis sesuatu yang baru, tapi belakangan Runa juga berharap naskahnya bisa diterima dan ditetbitkan supaya royalti yang diterimanya kelak bisa membantu melunasi hutangnya pada sang suami. Jadi kini, Runa bukan hanya kecewa karena naskahnya ditolak, tapi juga kecewa karena gagal mendapatkan uang tambahan.
Jadi ketika sekarang suaminya malah memintanya membuat konten edukasi kesehatan di akun IG suaminya, Runa jadi makin kesal. Meski mungkin menulis konten edukasi kesehatan memang berdampak luas pada masyarakat, tapi dia tidak mendapat keuntungan finansial dari tulisan tersebut. Jadi, apa untungnya dirinya mengelola akun IG suaminya kalau hanya demi membantu menaikkan popularitas sang suami tanpa memberi keuntungan finansial bagi dirinya sendiri? Hih! Nggak sudi!
"Nah! Misalnya kayak gini nih!" kata Raka melanjutkan dengan bersemangat, sambil menunjuk Runa yang sedang menyesap teh hangatnya. "Masyarakat perlu tahu bahwa minum teh setelah makan itu nggak bener. Tanin di dalam teh akan menghambat absorbsi nutrisi. Terutama absorbsi zat besi. Terutama buat ibu hamil dan menyusui yang rentan mengalami anemia, perlu diingetin untuk nggak minum teh terlalu banyak apalagi setelah makan, karena bakal menghambat absorbsi zat besi dari makanan dan memperparah anemia. Jadi, salah banget tuh iklan yang bilang apapun makananannya, minumnya harus teh."
* * *
Runa menatap kosong pada layar laptopnya yang menampilkan naskah novelnya. Sejak kembali dari mengantar Risyad dan Rumaisha ke sekolah, satu jam sudah berlalu dan Runa masih belum berhasil merevisi satu kalimatpun dari naskah novel tersebut. Makin dibaca, dirinya memang makin menyadari bahwa naskah tersebut jauh dari layak untuk diterbitkan. Jika dirinya adalah pembaca, tentu dirinya juga kecewa membeli novel seperti itu. Runa tahu bahwa banyak kekurangan pada cerita tersebut, tapi Runa juga bingung bagaimana harus merevisinya. Dia tahu ada yang salah, tapi tidak tahu dimana salahnya. Dia tahu bahwa alur konfliknya kurang greget, tapi tidak tahu bagaimana mengubahnya sehingga cerita itu bisa membuat pembaca lebih penasaran pada alurnya.
Apakah benar kata suaminya bahwa dirinya memang tidak berbakat menulis cerita fiksi seperti ini?
Runa pernah beberapa kali menulis di grup menulis di facebook. Dan memang tulisannya terkait edukasi kesehatan selalu disukai dan dibagikan lebih banyak dibandingkan cerpen fiksinya. Apakah itu berarti dirinya memang harus menyerah mencoba menulis cerita fiksi?
Runa masih menatap hampa pada layar laptopnya ketika ia mendengar bel rumahnya berbunyi. Kemungkinan itu adalah pengantar paket. Tapi seingatnya beberapa hari ini ia tidak berbelanja apapun melalui aplikasi belanja online.
"Kiriman makanan buat Kak Runa," kata driver ojek online yang menyerahkan sebuah tas kain pada Runa ketika ia membukakan pintu.
"Tapi saya nggak pesan makanan apa-apa, Pak. Bapak salah antar, mungkin?" kata Runa bingung.
"Alamatnya bener kok Kak. Nama Kakak, Runa kan?" kata sang driver mengkonfirmasi.
"Iya sih. Tapi saya nggak pesan makanan apapun di aplikasi."
"Ini kiriman dari Kak Ganes, Kak."
"Eh?"
Meski bingung, akhirnya Runa mau menerima paket itu. Apalagi melihat ekspresi sang driver yang khawatir kalau sampai paketnya tidak diterima.
Runa meletakkan tas kain itu di atas meja makan, membukanya dan mendapati satu box berisi satu lusin slice cake, kue dan pastry manis. Juga ada gelas kertas berisi hot chocolate.
Dan ada selembar kertas terselip di sana.
Hot chocolate and sweet things for sweet lady.
Tanpa bisa ditahan, bibir Runa refleks menyungingkan senyum.
Ia baru saja mengambil ponselnya dan akan mencari nama Ganes di aplikasi WhatsAppnya ketika justru nama lelaki itu muncul di layar. Lelaki itu meneleponnya.
"Cakenya udah sampai kan?" tanya lelaki itu ketika Runa mengangkat teleponnya.
"Udah. Banyak banget! Dalam rangka apa ngirim kue sebanyak ini?"
"Nggak dalam rangka apa-apa sih. Pengen ngirim aja."
"Bohong!" tuduh Runa tidak percaya.
Lelaki di seberang telepon itu tertawa.
"Saya nggak sengaja lihat pengumuman pemenang lomba menulis novel yang kamu ikuti. Dan nggak ada nama kamu di situ," kata Ganes akhirnya.
"Ya ampun!" pekik Runa tercekat.
"Saya tahu sih, kue-kue itu nggak bisa mengobati kekecewaan Runa. Tapi semoga bisa sedikit memperbaiki mood Runa dan bikin sisa hari Runa hari ini lebih manis."
Runa hati-hati menyentuh dadanya. Kenapa tiba-tiba jantungnya berdebar-debar?
Ini bahaya!, pikir Runa.
Tapi kenapa senyum di bibirnya tidak juga surut?
* * *
Siapa Kakak2 yg ikut senyum2?
Atau malah makin ngeri sama pergerakan Ganes?
Si brondong makin meresahkan ya Bund!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top