16. Starting Over

"Sudah selesai," kata seorang perempuan berjilbab dengan seragam sebuah bank, sambil menyerahkan sebuah buku dan kartu kepada Runa. "Ini buku tabungan dan kartu ATMnya, Mbak Runa."

Runa mengangkat wajahnya dan tersenyum pada perempuan itu. "Makasih bantuannya ya, Mbak Sinta."

Runa mengambil buku tabungan di hadapannya, dan mengecek saldo pertamanya.

"Kalau Mbak Sinta nggak bantu, pasti saya ngantrinya masih lama banget nih. Maaf saya jadi ngerepotin," kata Runa menambahkan.

"Santai aja, Mbak," jawab perempuan bernama Sinta itu. "Pasti abis ini Mbak Runa juga buru-buru mau jemput Risyad kan? Selama ini saya juga banyak ngerepotin Mbak, bikinin bekal tiap hari buat Yuri. Saya cuma bantu dikit gini doang kok, nggak repot sama sekali."

"Saya juga nggak repot kok, Mbak. Kan saya sekalian bikinin bekal buat Icad dan May juga," balas Runa. "Lagian, Mbak Sinta malah bantuin promoin menu bekalnya Yuri ke ibu-ibu wali murid."

Sinta tertawa senang. "Sekarang jadi banyak yang pesan dong, Mbak?"

"Lumayan. Berkat Mbak Sinta nih. Makasih ya Mbak," jawab Runa sambil tertawa juga.

"Makanya sekarang buka rekening tabungan baru ya?"

Runa tersenyum. "Iya, Mbak. Supaya jelas yang mana yang buat catering, yang mana uang belanja sehari-hari. Biar saya nggak bingung aja."

Sebelumnya, memang hanya Sinta (ibunya Yuri) yang memesan menu bekal sekolah pada Runa, karena kesibukannya bekerja membuatnya tidak bisa menyiapkan bekal sekolah yang menarik untuk Yuri. Dan karena hanya menambah menyiapkan 1 kotak bekal lagi, Runa tentu tidak repot sama sekali dan menyetujui permintaan itu. Karena tidak berniat jualan atau membuka usaha catering bekal sekolah, Runa tidak memberi harga pada bekal sekolah Yuri tersebut. Tapi Sinta berkeras tidak mau dibuatkan bekal gratisan, sehingga sejak beberapa bulan lalu Sinta secara resmi menjadi langganan tetap Runa.

Beberapa pekan yang lalu, Sinta sempat mengirimkan kolase foto-foto bekal sekolah Yuri ke grup WA wali murid kelas 1. Saat itulah mulai banyak ibu-ibu lain yang tertarik dan meminta Runa untuk membuatkan bekal sekolah juga untuk anak-anak mereka. Awalnya, hanya ada lima orang ibu yang memesan bekal sekolah tersebut. Kelima ibu tersebut, sama seperti Sinta, karena kesibukan bekerja tidak sempat menyiapkan menu bekal menarik untuk anak-anaknya. Tapi lama kelamaan, berkat testimoni dari Sinta dan kelima ibu tersebut, makin banyak ibu lain yang memesan bekal sekolah pada Runa.

Awalnya, Runa tidak menganggap serius permintaan ibu-ibu tersebut untuk membuka catering bekal sekolah. Toh selama ini uang bulanan yang diterimanya dari sang suami lebih dari cukup tanpa ia harus capek-capek menghasilkan uang sendiri. Namun kejadian baru-baru ini membuka pikirannya, bahwa ia juga harus mandiri secara finansial, sehingga jika ia memiliki kebutuhan pribadi, ia tidak bergantung pada suaminya. Saat itulah Runa memutuskan untuk mulai serius memulai usaha catering bekal sekolah skala kecil itu.

Runa menatap saldo pertamanya di buku tabungannya yang baru itu dengan sedih sekaligus terharu. Akhirnya ia punya uang sendiri. Uang yang bukan berasal dari pemberian suaminya. Uang yang bisa digunakannya tanpa harus meminta izin atau mengemis pada suaminya.

Sebelumnya ia sudah menjual setengah simpanan emasnya dan menjadikannya modal untuk memulai catering bekal sekolah tersebut. Dan karena ia tidak ingin mencampur-adukkan uang suaminya dengan modal dan laba usaha cateringnya, Runa memutuskan untuk membuka satu rekening pribadi yang hanya berisi uangnya sendiri. Ia ingin memisahkan dengan jelas, mana uang suaminya, dan mana uangnya sendiri. Dengan demikian, ia akan memiliki uangnya sendiri, yang bisa digunakannya sendiri tanpa merasa bersalah sudah mengambil uang suaminya.

Uangku kan uangmu juga.

Runa sudah tidak percaya lagi dengan kata-kata Raka itu. Omong kosong! Karena kenyataannya tidak seperti itu. Bagaimanapun, itu adalah uang hasil kerja keras suaminya, yang hanya bisa digunakannya atas ijin suaminya. Jadi mulai sekarang ia akan berusaha supaya bisa memiliki penghasilan sendiri. Jika kondisinya tidak memungkinkan untuk bekerja kantoran karena tanggung jawabnya terhadap Icad dan May, maka ia harus mengusahakan cara lain agar tetap bisa menghasilkan uang dari rumah. Ia ingin mandiri dan tidak mau lagi bergantung pada suaminya.

* * *

"Boleh minta nomer rekening kamu?"

Runa bengong sesaat, tidak bisa menjawab pertanyaan yang didengarnya dari orang di seberang telepon.

"Sori, Gan. Gimana?" tanya Runa. Ia meminta orang di seberang untuk mengulangi kata-katanya karena dirinya bingung menanggapi pertanyaan orang tersebut barusan. Ia pasti salah dengar kan?

"Gan! Gan!" kata lelaki di seberang telepon. Suaranya seperti sedang menggerutu. "Saya bukan agan-agan Kaskus atau penjual di olshop."

Sontak Runa tertawa mendengar protes lelaki tersebut.

"Sori, Nes!" Runa meminta maaf di sela tawanya. "Maaf ya, Bapak Prima Ganesha. Gimana tadi? Suara kamu kurang jelas tadi."

"Saya minta nomer rekening kamu dong."

Runa tertegun. Ternyata dirinya tadi tidak salah mendengar. Tapi kenapa ujug-ujug lelaki itu meminta nomer rekeningnya?

"Buat apaan?" tanya Runa.

"Supaya bisa saya bobol."

Runa tertawa lagi. Disusul oleh tawa juga di seberang sana.

Sejak pertemuan perkenalan mereka di restoran cepat saji 24 jam waktu itu, Runa dan Ganes memang belum pernah saling bertemu lagi. Mereka juga sudah tidak kontak lagi via aplikasi Madam Rose karena Runa sudah meng-uninstall aplikasi tersebut dari ponselnya. Tapi karena Ganes sudah meminta nomer WhatsApp Runa, lelaki itu bisa terus melanjutkan menghubungi Runa melalui nomer tersebut.

Awalnya Runa merasa agak sungkan, karena meski tidak sering, ia rutin ngobrol dengan lelaki itu via pesan WA. Di satu sisi ia merasa tidak nyaman karena sering ngobrol dengan lelaki yang bukan suaminya, juga tidak punya urusan apapun dengannya. Tapi di saat yang sama, ia juga tidak bisa menampik perasaan nyaman saat ngobrol dengan Ganes, baik melalui pesan WA atau telepon singkat seperti saat ini. Pembawaan Ganes yang santai, jarang serius dan suka bercanda, membuat perasaan Runa ringan tiap ngobrol dengan lelaki itu, apapun topiknya.

Perasaan tidak nyaman dan perasaan nyaman di waktu yang bersamaan ini membuat Runa gamang. Dalam hati kecilnya Runa bertanya-tanya sendiri, apakah hal seperti ini lazim dan lumrah terjadi? Apakah dirinya berdosa karena merasa nyaman ketika bersama lelaki lain yang bukan siapa-siapanya? Apakah ini termasuk selingkuh hati? Tapi apa salahnya jika dia merasa nyaman? Toh selama ini percakapannya dengan Ganes tidak pernah mengarah pada hal-hal terkait perselingkuhan. Ganes juga sudah tahu bahwa dirinya adalah perempuan bersuami dengan dua orang anak, dan berusia enam tahun lebih tua daripada dirinya. Lelaki itu menghormatinya dan sejauh ini percakapan mereka sebatas pekerjaan dan hobi mereka dalam hal menulis, kuliner, film dan fotografi. Jadi Runa menyimpulkan, wajar saja kan kalau ia merasa nyaman berinteraksi dengan sabahat barunya itu?

"Nanti nomer rekening kamu, tolong di-WA ke saya ya, Run," kata Ganes, mengulang untuk ketiga kalinya.

"Buat apaan sih?" Runa juga mengulang pertanyaannya.

"Mau transfer duit."

"Duit apaan?"

"Kan waktu itu kamu bantu saya proof-read hasil terjemahan novel yang saya kerjain."

Runa ingat, beberapa pekan lalu Ganes memang meminta tolong pada dirinya untuk mengecek apakah hasil terjemahan yang dikerjakannya sudah tepat atau belum. Saat itu Ganes sedang menerjemahkan sebuah novel dengan latar belakang medis dan farmasi, dan lelaki itu meminta tolong pada Runa untuk mengecek apakah hasil terjemahannya, terutama untuk istilah-istilah medis dan obat, sudah tepat dan sesuai konteks atau belum. Runa tentu dengan senang hati membantu karena latar belakang pendidikannya jadi kembali bisa terpakai. Selain itu, Runa jadi terbuka wawasannya bahwa dunia medis dan farmasi juga bisa diangkat menjadi sebuah novel romance yang menarik, dan tidak melulu menjadi novel thriller atau detektif.

Saat itu, sebelum minta bantuan Runa, Ganes memang sudah mengiming-imingi sejumlah honor jika Runa mau membantunya mengecek hasil terjemahannya. Tapi saat itu Runa tidak peduli tentang honor tersebut. Baginya, dia sudah merasa sangat bahagia karena kemampuannya dipercaya dan latar belakang pendidikannya akhirnya ada manfaatnya. Itu saja cukup bagi Runa. Jadi saat Ganes menanyakan nomer rekening tabungannya, Runa tidak menyangka bahwa lelaki itu serius saat bicara tentang honor proof-read.

"Emang beneran ada anggaran honor proof-read gitu dari perusahaan penerbitan?" tanya Runa sangsi.

"Diambil dari honor saya," jawab Ganes. "Jumlahnya nggak besar sih, sori ya."

"Lho, bukan gitu maksud saya," jawab Runa cepat. "Justru saya yang merasa nggak enak kalau honor kamu jadi harus dipotong sebagian buat saya. Toh saya nggak bantu banyak."

"Nggak bantu banyak gimana? Lha file yang kamu kirim aja banyak coretannya. Artinya banyak istilah terjemahan yang kamu perbaiki dan sesuaikan," kata Ganes. "Salah satu yang menantang dari menerjemahkan tulisan dengan istilah medis adalah bukan hanya untuk menerjemahkan letterlijk, tapi juga bagaimana supaya pembaca awam bisa memahami terjemahan tersebut. Dan background pendidikan Runa banyak membantu dalam hal ini. Jadi saya merasa sangat terbantu."

Runa tersenyum mendengar perkataan Ganes. Akhirnya setelah sekian lama, latar belakang pendidikannya dapat memberi manfaat. Terlebih, setelah selama ini dirinya hanya bagaikan bayangan sang suami, kini akhirnya kemampuannya diakui oleh seseorang.

"Jadi berapa nomer rekening Runa?" tanya Ganes lagi. Keukeuh. Kali ini untuk keempat kalinya.

Mendengar keteguhan Ganes dalam bertanya, Runa kembali tertawa.

"Saya nggak hapal. Nanti saya cek dulu ya nomer rekening saya," jawab Runa akhirnya. Dia masih merasa tidak layak mendapatkan honor itu sih, tapi daripada diteror dengan pertanyaan yang sama terus, jadi Runa memilih mengelak seperti itu.

"Beneran lho ya! Saya tunggu nomer rekeningnya! Jangan cuma ngeles doang!"

Sontak Runa tertawa lagi karena Ganes sudah menuduhnya dengan tepat sasaran.

Coba dihitung, hanya dalam waktu lima menit mereka ngobrol, sudah berapa kali Runa bisa tertawa? Seingat Runa, sudah lama dia tidak tertawa sesering ini saat bicara dengan lelaki lain.

Apakah ini wajar?

"Ngomong-ngomong," terdengar suara Ganes ketika tawa Runa mulai reda. "Apa kita bisa ketemu, Run?"

* * *

Apa yang terjadi kalau perempuan sudah nggak mau bergantung sama suaminya sendiri?

Apa yang terjadi kalau seorang perempuan lebih banyak tertawa bersama laki-laki lain dibanding bersama suaminya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top