13. Sebelas Tahun Lalu
Every life have their own struggle
* * *
Sebelas tahun lalu...
"Jadi Dokter Raka dan Haiva itu tunangan?" tanya Runa sambil mengedip-ngedipkan matanya.
Saat itu mereka baru saja keluar dari ruang rawat seorang pasien. Raka baru saja mengajaknya menjenguk seseorang, yang ternyata adalah mantan teman kuliahnya dulu, yang sudah lama tidak bertemu. Saat bertemu lagi kali itu, Haiva justru sebagai pasien. Dan baru saja ia mendengar gosip asik bahwa Haiva dan Raka bertunangan. Pantas saja dokter anak asal Solo yang ngomongnya ceplas-ceplos macam Suroboyoan ini mengajaknya menjenguk. Ternyata untuk menghibur tunangannya.
"Makanya kalau punya telinga, dipakai yang benar. Jangan cuma dijadikan asesori," jawab Raka. Nada bicaranya sih tidak marah-marah, tapi saking dinginnya jadi terkesan jutek. "Kami belum sejauh itu."
"Sejauh apa?" tanya Runa tidak mengerti.
"Kedua orangtua kami berusaha menjodohkan kami. Tapi kami belum memutuskan apa-apa."
"Oh? Baru calon tunangan?" gumam Runa sambil mengangguk-angguk. "Tapi kalau udah ada restu dari orangtua, biasanya lancar. Semoga Dokter Raka dan Haiva juga lancar-lancar."
Raka menatap apoteker klinis yang ceria itu. Ia tahu, keputusannya untuk mengajak perempuan itu menjenguk Haiva bukan keputusan yang salah. Keceriaan perempuan itu menular. Seperti juga sekarang, saat perempuan itu tersenyum menyemangati hubungannya dengan Haiva, ada rasa hangat yang menjalar di dadanya.
"Kamu sendiri, katanya lagi dekat dengan Dokter Bram?" tanya Raka iseng.
Untuk sepersekian detik, raut hangat gadis itu membeku. Tapi kemudian gadis itu tersenyum kembali.
"Aduh! Beda kasta, Dok. Nggak mungkin saya sama dr. Bram," jawab Runa santai. "Dokter diem-diem gini ternyata mantau gosip tentang saya ya? Hati-hati lho, kalau terlalu perhatian sama saya, nanti Dokter Raka bisa naksir."
Perempuan itu kemudian ngeloyor pergi sambil cekikikan karena sudah berhasil mengejek Raka.
* * *
Langkah Runa berhenti mendadak ketika ia membuka pintu ruang rawat dan mendapati pemandangan yang tidak diduganya. Temannya, Haiva, yang diakui Raka sebagai calon tunangannya, kini terlihat sedang berciuman dengan lelaki lain di dalam sana. Dan yang membuat Runa lebih canggung lagi adalah karena ia menyaksikan adegan tersebut saat ia berkunjung bersama Raka.
Pria setinggi 178 cm itu dengan tenang menutup kembali pintu ruang rawat tersebut ketika Runa masih salah tingkah melihat adegan ciuman di seberang sana. Kemudian lelaki itu berbalik dan melangkah pergi.
"Jangan lama-lama berdiri di situ. Dikira mau ngintip," tegur Raka. Membuat Runa akhirnya mundur dan pergi mengikuti Raka.
"Sabar ya, Dok," kata Runa sambil menjajari langkah lelaki itu.
Pasti Raka patah hati karena melihat calon tunangannya malah berciuman dengan lelaki lain kan. Itu mengapa Runa berusaha menghiburnya.
"Saya lapar, mau makan malam. Mau menemani saya?" tanya Raka tiba-tiba.
Dan karena merasa kasihan dengan lelaki itu, Runa pun menyetujui ajakan tersebut. Merekapun makan malam di sebuah warung sate di dekat rumah sakit.
"Meski orang tua kami menjodohkan kami, saya tahu bahwa sejak awal Haiva nggak ada perasaan apa-apa sama saya," kata Raka. Ia meminum es teh manis sambil menunggu pesanan satenya datang.
"Tapi Dokter Raka sendiri sayang sama Iva?" tanya Runa hati-hati. "Pasti Dokter kaget lihat yang barusan. Sabar ya Dokter."
"Anehnya, saya nggak merasa sedih," jawab Raka. Tatapannya separuh menerawang, sambil bergumam. "Saya merasa kesal karena kalah bersaing. Tapi saya nggak sedih karena merasa kehilangan. Jadi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin saya juga nggak cinta sama Iva."
Meski kaget dengan penuturan Raka, Runa bingung harus menanggapi bagaimana. Jadi ia hanya diam saja sambil mengangguk-angguk. Jika Raka memang tidak cinta pada Haiva, artinya Runa tidak perlu menghibur lelaki itu kan? Dia jadi menyesal karena sudah menyetujui menemani lelaki itu makan malam.
Tidak lama setelah itu, dua porsi sate-lontong dan sate-nasi terhidang di hadapan mereka. Beruntung demikian sehingga mereka bisa sibuk makan, dan Runa tidak perlu bingung menjalin percakapan dengan Raka. Selain urusan pekerjaan dan menjenguk Haiva, Runa memang tidak terlalu banyak interaksi dengan dokter anak yang bicaranya ceplas-ceplos itu.
"Dari awal kami dijodohkan, Iva sudah bilang bahwa dia cinta sama laki-laki lain. Dan kelihatannya laki-laki itu juga begitu," kata Raka, di sela-sela memakan satenya.
Runa mengangkat wajahnya dari piring dan menaruh perhatian pada Raka, meski masih diam. Dia tidak menduga Raka akan melanjutkan pembicaraan itu. Tapi barangkali lelaki itu sedang butuh teman curhat, jadi Runa memutuskan untuk berbaik hati meladeni.
"Iva bilang, dia udah pisah sama laki-laki itu karena orang tuanya nggak setuju. Tapi kelihatannya mereka masih saling sayang. Susah memang, kalau orangtua nggak cocok sama pilihan kita," lanjut Raka. "Apa itu juga yang terjadi sama kamu dan dr. Bram?"
"Eh?" Karena kaget, tangan Runa yang siap menyuap sate jadi mengambang di udara selama sepersekian detik. "Dokter Raka masih aja mantau gosip tentang saya? Saya dan dr. Bram ga ada hubungan apa-apa, Dok. Gosip aja itu," akhirnya Runa menjawab sambil nyengir.
"Nggak usah pura-pura," kata Raka tenang, "Saya nggak sengaja lihat kalian ngobrol di koridor dekat kamar jenazah beberapa hari lalu."
Wajah Runa yang tadinya cengengesan, kini berubah. Tidak ada gunanya lagi berpura-pura tidak pernah ada hubungan dengan dr. Bram. Pun tidak ada gunanya lagi berpura-pura tidak ada masalah apapun. Jika Raka sudah mendengar percakapannya dengan Bram beberapa hari lalu di koridor dekat ruang jenazah, artinya Raka pasti sudah tahu bahwa dirinya dan Bram akhirnya putus hubungan karena orangtua Bram tidak setuju dengan Runa.
"Saya pengen hidup yang sederhana dan tenang aja, Dok," kata Runa kalem. "Jodoh itu wajib diperjuangkan. Tapi kalau setelah diperjuangkan, orangtua tetap nggak setuju, ya nggak usah maksa. Saya males seumur hidup harus berhubungan sama mertua yang nggak suka sama saya."
* * *
"Gue dan Mas Raka... nggak bisa lebih jauh lagi, Run."
Runa mendengarkan penjelasan orang di seberang sana dengan perasaan bingung.
"Mas Raka bilang, dia tertarik sama lo," kata suara itu lagi. "Tapi lo nolak dia, karena nggak mau merusak hubungan pertunangan kami?"
Runa memejamkan matanya sesaat. Meredakan debar di dada, juga perasaan bersalah yang menggelayuti.
"Orang yang udah hampir nikah, apalagi sambil LDR, pasti banyak godaannya, Va," kata Runa, mencoba kalem menjawab. "Dokter Raka pasti cuma galau doang. Pas lagi jauh dari lo dan jarang ketemu lo, eh malah ketemu gue mulu. Makanya dia pikir dia suka sama gue. Padahal dia cuma lagi bingung aja."
Meski saat kuliah dulu tidak bersahabat dekat dengan Haiva, Runa jelas tidak berniat menjadi pelakor tunangan temannya.
"Yowis kalo menurut lo gitu," kata Haiva akhirnya. "Gue juga nggak maksa lo nerima Mas Raka kalau lo nggak tertarik sama dia. Gue cuma mau ngasih info aja bahwa gue dan Mas Raka sama-sama nggak ada perasaan apa-apa. Kebetulan aja kami dijodohin. Tapi kami belum resmi tunangan. Dan Mas Raka juga udah minta maaf ke orangtua kami karena kami sudah memutuskan nggak akan melanjutkan rencana tunangan itu."
"Va...."
"Gue nggak bisa bohong. Gue cintanya sama orang lain," kata Haiva. "Meski orangtua gue juga belum tentu setuju sama orang itu, tapi jelas gue nggak mau melanjutkan hubungan sama Mas Raka. Setidaknya gue dan Mas Raka pernah mencoba, dan kami sama-sama sepakat bahwa kami gagal saling menumbuhkan rasa. Dia malah naksirnya sama lo."
Perempuan di seberang telepon itu lalu tertawa. Sementara Runa masih diam saja. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Mas Raka nggak terikat sama siapapun sekarang," kata Haiva melanjutkan. "Tapi kalau lo tetep mau nolak dia sih nggak apa-apa. Sesekali boleh juga dia merasakan ditolak, biar dia nggak kepedean diidolakan banyak cewek dan emak-emak. Hahaha."
* * *
"Ternyata Dokter serius?" tanya Runa, ketika Raka menyatakan ketertarikan padanya untuk kedua kalinya.
Sebelumnya Raka memang pernah satu kali mengatakan tertarik pada dirinya. Tapi Runa menganggapnya hanya candaan atau kegalauan sementara, dan tidak serius menanggapinya. Pun saat Haiva meneleponnya dan menjelaskan status hubungan Haiva-Raka, Runa tetap tidak berekspektasi apa-apa terhadap Raka. Ekspektasi hanya akan mendatangkan kekecewaan. Sampai akhirnya saat itu Raka kembali mengemukakan topik tersebut.
"Memangnya saya kelihatan seperti orang yang kurang kerjaan, sampai bercanda tentang hal seperti itu?" Raka balik bertanya. Nadanya sih datar saja, tapi mampu membuat Runa merasa bersalah karena sudah menyepelekan pengakuannya.
"Seberapa serius?" tanya Runa.
"Maksudnya?"
"Seberapa serius Dokter pengen saya jadi pacar Dokter?"
"Saya bukan pengen kamu jadi pacar saya. Saya pengen kamu jadi istri saya," jawab Raka. Lagi-lagi dengan nada datar, tanpa sedikitpun kesan mesra atau merayu. Runa jadi bertanya-tanya: Raka sedang melamar seseorang atau melamar pekerjaan? "Jadi ibu buat anak-anak saya." Kali itu Raka melanjutkan sambil menatap Runa. Mantap dan tegas.
Kali itu akhirnya benteng yang melindungi perasaan Runa selepas insiden patah hatinya dengan Bram, roboh.
"Gimana kalau saya nggak bisa jadi ibu dari anak-anak Dokter?"
"Maksudnya?"
"Misal, kalau saya nggak bisa memberi keturunan?"
"Apa ada masalah?" tanya Raka. Kali itu akhirnya wajah datar Raka terusik. Akhirnya lelaki menunjukkan ekspresi khawatir.
"Nggak ada sih, Dok," jawab Runa. Meski salah tingkah mendapati perubahan ekspresi Raka, Runa berusaha bersikap santai. "Kan tadi hanya pengandaian."
"Apa ini cuma cara untuk menolak saya?"
Runa menggeleng dan tersenyum. "Kan tadi Dokter sendiri yang bilang, katanya pengin saya jadi ibu buat anak-anak Dokter. Nah, kalau motivasi Dokter menikah seperti itu, trus ternyata istri Dokter nggak bisa memberi keturunan, itu artinya Dokter akan meninggalkan istri Dokter kan?"
Raka menatap mata Runa, serius.
"Bahkan pasangan yang sama-sama sehatpun bisa mendapat tantangan saat mengusahakan keturunan. Apa Dokter pengen saya check-up dulu? Kalau kira-kira ada masalah dengan kesehatan saya dan berpotensi nggak bisa jadi ibu dari anak-anak Dokter, apa Dokter akan berubah pikiran?"
Baru kali itu Raka terpikir akan hal ini. "Perempuan lain biasanya tersipu-sipu saat diajak menikah dengan alasan menjadi ibu dari anak-anaknya. Tapi kamu malah langsung berandai-andai buruk."
"Saya bukan perempuan yang biasanya, kalau gitu." Runa mengangkat bahunya, cuek. "Lagian, saya cuma mengembalikan pertanyaan Dokter. Kalau Dokter ingin istri yang bisa jadi ibu dari anak-anak Dokter, artinya kalau nanti saya nggak bisa ngasih anak untuk Dokter, saya harus siap-siap ditinggalkan kan?"
Raka termangu. Dia tidak menduga gombalannya soal "menjadi ibu untuk anak-anak saya" justru berakhir dengan sikap antisipatif Runa. Jujur saja, Raka tidak siap untuk pertanyaan itu. Juga tidak siap dengan jawabannya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top