12. Pinjam
Ganes: Oleh2nya udah diterima, Run. Makasih banyak ya.
Ganes: Kamu nggak bilang2 mudik ke Solo, tahu2 kirim oleh2.
Ganes: Makasih lho, inget sama saya 😊
Runa tersenyum, sebelum mengetikkan balasannya.
Sama-sama 😊
"Aduh ini oleh-olehnya banyak banget. Makasih ya Run," kata seorang wanita berusia 60 tahunan. Dengan senyum dan tangan cekatan membongkar kardus berisi oleh-oleh dari Solo yang dibawakan Runa.
Runa segera memasukkan ponselnya ke dalam tas, kemudian membantu ibunya membongkar kardus oleh-oleh. Ia meletakkan sebagian di lemari dapur dan sebagian di meja makan.
"Ada Anin kan, Ma. Dia bisa ngabisin," kata Runa, sambil tertawa menyebut nama adik perempuannya semata wayang.
"Serundeng, abon dan serbat jahenya Runa simpan di lemari dapur ya Ma. Itu makanan lumayan awet, nggak perlu buru-buru habis," kata Runa kemudian. "Solo Prabu ini oleh-oleh kekinian nih Ma. Runa taruh di meja makan ya, biar cepet dimakan habis."
"Buat kamu, suami dan anak-anakmu di rumah, ada juga kan Run?"
"Tenang aja Ma. Ada itu mah," jawab Runa sambil tersenyum. Ia kemudian meraih tas tangannya dan mengeluarkan sesuatu. "Runa beliin batik juga buat Mama dan Anin nih."
"Aduh, masih nambah lagi?"
Runa menyerahkan dua bungkus pakaian kepada ibunya, yang disambut dengan senyuman lebar oleh beliau.
"Ini oleh-olehnya banyak banget," kata ibu Runa sekali lagi, "Beneran nggak apa-apa nih? Kamu udah minta ijin suamimu kan? Mama nggak enak kalau jadi banyak ngerepotin. Ini kan pakai uang suamimu."
"Uang Mas Raka kan uang Runa juga, Ma."
"Betul. Tapi itu kalau digunakan untuk kamu dan anak-anak. Kalau uangnya digunakan buat Mama, kamu tetep harus minta ijin suamimu."
"Santai aja, Ma. Lagian, ini juga emang Mas Raka yang ngingetin untuk bawain semua oleh-oleh ini buat Mama."
"Duh, alhamdulillah. Sampaikan makasih banyak buat Raka ya, Run. Mama beruntung punya mantu kayak dia," kata ibu Runa dengan senyum terharu.
"InsyaAllah nanti Runa sampaikan ke Mas Raka, Ma," kata Runa sambil mengangguk. Ia kemudian mengambil bungkus serbat jahe dan dua cangkir dari lemari dapur, lalu berinisiatif menyeduhnya. "Mas Raka juga tadi titip salam buat Mama, dan minta maaf karena nggak bisa kesini hari ini. Dia mesti ke RS kan. Tadinya kami mau kesini barengan sama anak-anak juga hari Sabtu atau Minggu nanti, biar Mama juga bisa ketemu cucu-cucu. Tapi kan ini Solo Prabu nya keburu basi nanti. Jadi Runa nganterin oleh-oleh sendirian dulu sekarang. Tadi sekalian abis anter Icad-May ke sekolah."
Runa meletakkan kedua cangkir serbat jahe yang sudah diseduh itu di hadapan ibunya dan untuk dirinya sendiri. Sementara itu ibu Runa telah menyiapkan dua slice Solo Prabu rasa coklat yang tadi dibawa Runa sebagai teman minum mereka.
"Kamu jadi repot deh, harus mampir kesini dulu," kata ibu Runa.
"Yaelah. Repot apaan deh Ma. Rumah sama-sama di Jakarta. Tinggal melipir doang ini mah."
Mereka kemudian tertawa bersama.
"Weekend besok tetep boleh banget lho main kesini lagi sama Raka, Icad dan May," kata sang ibu kemudian.
"Siap, Ma! Nanti Runa kabari lagi ya, kapan datengnya. Kalo hari Sabtu, mungkin agak siangan, nunggu Mas Raka selesai praktik dulu. Kalau hari Minggu, kita bisa dateng dari pagi."
Ibu Runa mengangguk. Memahami kesibukan menantunya.
"Si Anin gimana kabarnya, Ma? Udah ada progress sama pacarnya?" tanya Runa kemudian. Mumpung ketemu, bisa sekalian rumpi untuk tahu kabar terbaru adiknya kan.
"Oiya, Mama lupa cerita," kata sang ibu sambil menepuk dahi. "Pas banget long weekend kemarin Juna kemari. Dia bilang, mau melamar Anin."
"Alhamdulillah!!!" seru Runa serta merta, dengan senyum lebar.
"Kemarin tuh baru obrolan antar mereka aja sih. Kalau lamaran resmi dari keluarga Juna, masih nunggu ayahnya pulih. Beberapa waktu lalu kan sempat dirawat karena hipertensinya kambuh."
Runa mengangguk. "Yang penting udah ada itikad baik, Ma. Artinya Juna serius sama Anin. Runa senang banget dengernya."
Ibu Runa tersenyum dan ikut mengangguk. Beliau menyesap serbat jahenya pelan-pelan, lalu melirik putri sulungnya itu.
"Run..." panggil ibu Runa kemudian.
"Ya, Ma?"
"Mumpung ngomongin Anin, Mama sebenernya mau minta tolong sesuatu sama kamu."
"Ya, Ma?" Runa langsung bersiap mendengarkan dengan lebih seksama. "Runa bisa bantu apa?"
"Anin dan Juna sebenarnya udah bilang, bahwa rencananya pesta pernikahan mereka mau sederhana aja. Tapi Mama kok rasanya gimana gitu ya?"
"Gimana, Ma?"
"Dulu pas kamu nikah, Papa masih ada. Jadi meski kamu dan Raka udah nyiapin dana buat pernikahan kalian, Papa Mama masih bisa nambahin supaya resepsinya lebih baik."
Runa mengangguk. Ia ingat bahwa pesta pernikahannya memang jadi lebih meriah karena Papanya juga ikut membantu sejumlah uang meski dirinya dan Raka sudah berencana untuk menikah dengan biaya mereka berdua saja.
"Sekarang, meski Anin dan Juna udah bilang bahwa ingin resepsi yang sederhana aja, Mama rasanya pingin bantu mereka juga, Run. Masa hanya karena Papa udah nggak ada, trus resepsi nikahan adikmu jadi sederhana banget. Njomplang sama resepsimu dulu. Kasian Anin."
Runa mendengarkan. Ia sepertinya sudah tahu kemana arah pembicaraan ini.
"Tapi Mama nggak ada uang sebanyak itu sekarang. Tadinya Mama kepikiran mau pinjem ke Pegadaian, menggadaikan perhiasan Mama. Tapi kalau barangkali kamu dan Raka ada uang, boleh nggak Mama pinjem sama kalian aja? Nanti Mama kasih perhiasan Mama buat jaminan. Rasanya nggak was-was kalau perhiasan Mama dijaminkan di kamu daripada di Pegadaian kan."
"Duh, nggak usah ngasih jaminan segala, Ma. Kayak sama siapa aja sih. Ini kan sama anak dan menantu sendiri," jawab Runa dengan perasaan tidak enak. "Emang Mama butuh berapa?"
"Kalau boleh, dua puluh juta, Run," jawab sang ibu, hati-hati.
Meski kaget, Runa menahan diri agar tidak tampak terkesiap. Dua puluh juta bukan nominal uang yang kecil. Tapi itu juga bukan nominal yang besar untuk sebuah resepsi pernikahan. Runa teringat, meski dulu ia dan Raka sudah mempersiapkan resepsi dengan tabungan mereka sendiri, tapi berkat tambahan dana dari ayah Runa, resepsi pernikahan mereka bisa lebih meriah. Jadi Runa sangat paham kalau sekarang ibunya ingin memberikan hal yang sama untuk adiknya.
"Kalau boleh, Mama mau nyicil selama 1 atau 2 tahun. Tiap bulan kan Mama masih nerima uang pensiun Papa dan Mama. Jadi insyaAllah Mama masih bisa nyicil. Pasti Mama balikin kok. Kan Mama pinjem, bukan minta kok. Perhiasan Mama, kamu pegang aja sebagai jaminan."
Mendengar ibunya memohon seperti itu, Runa merasa sangat tidak enak. Dirinya dibesarkan di keluarga yang sederhana dan tidak pernah berlebihan. Orangtuanya juga selalu mengajarkan hidup sederhana. Kalau memang tidak mampu, tidak perlu memaksakan diri dengan berhutang. Kalau sekarang Ibunya sampai ingin pinjam uang padanya, atau bahkan menggadaikan perhiasannya ke Pegadaian, itu pasti karena alasan kuat. Dan Runa sangat memahami kalau ibunya melakukan itu untuk memberikan kebahagiaan yang sama untuk Anin untuk pernikahannya, seperti yang pernah dilakukan orangtuanya untuk pernikahan Runa.
"Duh, Ma, santai aja sih," kata Runa cepat. Ia meraih tangan kanan ibunya dan menepuk-nepuknya lembut. "Mas Raka pasti ngasih kok. Nggak usah pakai jaminan segala. Kayak sama siapa aja."
Wajah ibu Runa yang awalnya khawatir, kini langsung berbinar lega.
"Beneran boleh?"
"Boleh, Ma!" jawab Runa, meyakinkan ibunya.
"Tapi kamu tetep minta ijin Raka ya. Itu kan uangnya dia. Kalau dia merasa lebih tenang kalau ada jaminannya, beneran nggak apa-apa perhiasan Mama kalian pegang aja."
"Ish Mama! Apaan sih," kata Runa, tidak nyaman. "Nanti Runa ngomong sama Mas Raka. Tapi insyaAllah diijinin kok sama Mas Raka. Jadi Mama nggak perlu khawatir."
Sang Ibu balas menggenggam tangan Runa dengan mata berkaca-kaca. "Makasih banyak ya Run. Maaf ya Mama merepotkan. Sekali ini aja kok."
"Mama nggak ngerepotin kok," jawab Runa menenangkan. Selama inipun ibunya tidak pernah meminta bantuan apapun padanya, jadi Runa merasa kali ini waktu yang tepat untuk menunjukkan baktinya.
"Oiya, tolong jangan bilang Anin bahwa Mama pinjem uang sama kamu buat dia ya. Nanti dia kepikiran," pinta sang ibu kemudian.
Runa tersenyum. "Iya, Ma. Tenang aja."
* * *
Meski Runa mudah saja meyakinkan ibunya bahwa Raka pasti akan bersedia meminjamkan uang, sebenarnya Runa sendiri bahkan tidak seyakin itu. Selama ini Raka memang meminta Runa untuk mengalokasikan uang bulanan untuk dikirimkan kepada ibu Raka dan ibu Runa. Selama 10 tahun pernikahan ini juga ibu Runa belum pernah meminta atau meminjam uang kepada Raka dan Runa, sehingga harusnya Raka tidak akan terlalu perhitungan untuk meminjamkan sekali saja kali ini. Tapi 20 juta jelas bukan nominal uang yang kecil. Jadi Runa was-was juga jika Raka tidak mengijinkan Runa meminjamkan uang itu.
Runa mengamati saldo di rekeningnya. Kalau hanya 20 juta, tentu ada. Ia selalu bisa menyisihkan sejumlah uang dari uang belanja yang diberikan Raka tiap bulannya. Tapi seperti kata ibunya, itu bukan benar-benar uangnya. Semua itu uang Raka. Sejak 8 tahun lalu, Runa tidak pernah punya penghasilan sendiri. Ia sepenuhnya bergantung pada Raka. Maka ketika kini ia membutuhkan uang tersebut, ia merasa tidak memiliki apapun.
Hari itu suaminya pulang tidak terlalu malam sehingga mereka sekeluarga bisa makan malam bersama. Setelah selesai makan malam bersama dan suaminya masuk ke kamar mereka, Runa menyusul sambil membawakan secangkir serbat jahe dan segelas air putih.
"Dapet salam dari Mama, Say," kata Runa sambil meletakkan cangkir serbat jahe dan segelas air putih itu di nakas, di sebelah sisi ranjang Raka.
Suaminya itu tampak sedang fokus mengetik sesuatu di ponselnya. Tapi mendengar suara istrinya, Raka mengangkat wajahnya.
"Kata Mama, makasih buat semua oleh-olehnya," lanjut Runa, sambil naik ke ranjang.
Raka tersenyum. "Mama suka?"
"Suka banget. Makanya Mama titip sampaikan makasih ke kamu karena udah beliin oleh-oleh buat Mama."
"Kan kamu yang beliin oleh-oleh."
"Tapi kan uangnya dari Mas."
"Uangku kan uang kamu juga, Sayang."
Runa tersenyum manis, lalu merapat duduk di samping suaminya dan merangkul lengannya. Raka yang sebelumnya sedang membuka aplikasi chat berwarna hijau segera menutup aplikasi itu, kemudian meletakkan ponselnya di nakas.
"Sejak makan malam tadi, Mas sibuk WA. Sama siapa sih?" tanya Runa kepo.
"Eh?" Raka nampak kaget sesaat, namun kemudian menjawab dengan tenang. "Biasa. Ibunya pasien. Konsultasi, anaknya demam abis vaksin."
Runa melirik ponsel yang baru saja diletakkan Raka di nakas.
Salah satu hal yang membuat banyak ibu menjadi pasien Raka adalah karena Raka bersedia memberikan nomer ponselnya kepada para ibu tersebut sehingga mereka bisa berkonsultasi tentang anak mereka meski tidak bertemu langsung di Poli Anak. Untuk hal tersebut, Raka memiliki dua ponsel. Satu ponsel untuk urusan pribadi dan pekerjaan, dan satu ponsel lagi untuk konsultasi para pasiennya. Dan seingat Runa, ponsel yang baru saja Raka letakkan di nakas adalah ponsel pribadinya, bukan ponsel untuk konsultasi.
Meski merasa agak aneh, tapi Runa tidak mempermasalahkannya karena dia sedang punya misi lain sekarang.
"Ada gosip baru," kata Runa memulai. "Anin kayaknya bakal nikah."
"Alhamdulillah!" jawab Raka antusias. "Sama pacarnya yang lebaran kemarin ketemu kita di rumah Mama? Siapa namanya? Arjuna?"
"Iya, sama si Juna."
"Alhamdulillah kalo gitu. Kapan?"
"Itu sih belum diomongin. Baru Juna yang melamar ke Mama. Nanti kalau udah ada lamaran resmi dari orangtuanya Juna, baru diobrolin waktunya."
"Semoga tahun ini deh. Niat baik harus disegerakan."
Runa mengangguk sambil tersenyum.
"Mas..." panggil Runa sambil membelai lengan suaminya pelan dan mesra.
"Hmmm?"
"Terkait rencana nikahan Anin itu, Mama lagi perlu bantuan. Boleh nggak?"
"Perlu bantuan apa?"
"Mama mau minjem uang buat nambahin biaya resepsi Anin. Boleh nggak, Mas?"
"Hmmm?" Kali itu fokus Raka sepenuhnya beralih pada istrinya. Dahinya berkerut, mata di balik kacamatanya menyipit.
Saat itu Runa tahu bahwa suaminya dalam mode serius.
"Mama tadinya pengen gadaiin perhiasannya ke Pegadaian buat minjem uang. Tapi aku bilang, mungkin kita bisa bantu. Menurut Mas gimana?"
"Butuh berapa?"
"Emmm... Dua puluh juta, Mas," jawab Runa hati-hati.
Raka tidak segera menjawab. Ia menatap istrinya yang juga sedang menatapnya dengan ketar-ketir.
"Anin pengen resepsi yang kayak gimana emang?" tanya Raka pelan.
"Anin sih rencananya mau resepsi sederhana aja," jawab Runa membela adiknya. "Dia udah nyiapin tabungan buat biaya resepsi kok. Sama kayak kita dulu, Mas. Tapi Mama tetep pengen bantu nambahin. Kayak pas resepsi kita dulu, kan Papa juga nambahin uang buat keperluan resepsi kita. Nah sekarang Mama juga pingin bantu Anin. Tapi karena Papa udah nggak ada dan Mama udah pensiun, jadi keuangan Mama terbatas. Ini aja si Anin nggak tahu bahwa Mama mau ke Pegadaian. Jadi bukan karena Anin pengen resepsi yang berlebihan, tapi karena Mama pengen ngasih bantuan yang sama ke Anin, seperti dulu bantu kita."
"Hmmm..." Raka tampak berpikir agak lama. Membuat Runa khawatir. Ia berharap suaminya bisa maklum dan tidak marah jika ibunya membutuhkan uang dalam jumlah banyak. "Kata Mama tadi, pinjam kan ya? Berarti akan dibayar kembali?"
"Gimana Mas?"
"Bukannya aku nggak mau bantu keluargamu, lho. Jangan salah paham," kata Raka buru-buru. "Aku cuma mau memastikan aja, ini pinjaman atau bukan."
* * *
"Assalamualaikum Mama," kata Runa ketika menelepon ibunya pagi itu.
"Waalaikumsalam Run. Tumben telpon pagi-pagi?"
"Mas Raka udah setuju mau bantu, Ma. Nanti Mas Raka transfer 20 juta ke rekening Mama ya."
"Ya Allah. Beneran, Run? Alhamdulillah."
Runa mendengar suara ibunya yang sangat bahagia, hingga dirinya ikut tersenyum lebar.
"Nanti pas hari Sabtu atau Minggu kalian kesini, ingetin Mama buat kasih perhiasan Mama ke Raka buat jaminan ya Run. Trus Mama boleh bayarnya nyicil 1 tahun atau 2 tahun, Run?"
Runa merasakan sesuatu berdenyut nyeri di dadanya. Tapi ia mempertahankan intonasi suaranya agar tidak terdengar aneh oleh ibunya.
"Apaan sih Ma. Kata Mas Raka, nggak usah dibalikin. Nggak usah minjem. Mas Raka emang mau bantu Mama dan Anin."
"Lho kok gitu? Jangan lah. Mama nggak enak. Kan emang Mama niatnya mau minjem, bukan minta. Uang segitu kan nggak kecil. Apalagi ini bukan uang kamu, tapi uangnya Raka. Mama jadi nggak enak."
Sekali lagi Runa merasa jantungnya nyeri.
"Ma.... selama ini kami belum pernah ngasih apa-apa ke Mama..."
"Tiap bulan kan kamu udah transfer ke Mama," potong sang ibu.
"Ya tapi kami belum pernah ngasih sesuatu yang besar. Kali ini, biarin kami bantu Mama, ya? Ijinin kami berbakti."
"Ya ampun, Run. Selama ini kalian juga udah jadi anak berbakti kok," kata sang Ibu. Dari seberang telepon, Runa bisa menduga bahwa ibunya sedang menahan tangis. Begitupun dirinya. Meski untuk alasan yang berbeda. "Nanti Mama telpon Raka deh, untuk bilang makasih."
"Kalau di RS, Mas Raka sibuk Ma. Mama WA Mas Raka aja kali ya, nggak usah telepon," kata Runa. "Dan nggak usah bahas soal nyicil atau jaminan perhiasan. Kan Mas Raka udah bilang bahwa nggak usah dibalikin. Takutnya kalau Mama ungkit masalah itu, Mas Raka tersinggung."
"Oh? Gitu ya?" tanya sang Ibu. "Padahal tadinya sekalian bilang makasih, Mama juga mau mastiin bahwa Mama bakal balikin meski dengan nyicil."
"Nggak usah, Mama. Kebaikan Mas Raka, diterima aja ya."
"Alhamdulillah. Makasih banyak ya Runa dan Raka. Mama terharu banget ini. Maaf, Mama jadi ngerepotin."
"Ihhh apaan sih Ma. Nggak ngerepotin kok," jawab Runa. "Eh, udahan dulu telponnya ya Ma. Runa masih ada urusan."
"Iya Run. Sekali lagi makasih banyak ya Run. Sampaikan makasih juga ke Raka."
"Iya Ma. Sama-sama. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Runa menutup panggilan teleponnya dengan mata berkaca-kaca. Ternyata bisa berbakti pada orangtua, rasanya semenyenangkan ini. Ketika tadi ibunya mendengar bahwa beliau tidak perlu mengembalikan uang 20 juta tersebut, Runa bisa mendengar suara ibunya yang bahagia dan menahan tangis haru. Dan Runa ikut bahagia karena itu.
Andai memang benar Raka tidak menganggap itu sebagai pinjaman, tentu kebahagiaan Runa paripurna.
Sayangnya tidak demikian.
Meski dirinya mengatakan pada ibunya bahwa Raka tidak meminta sang Ibu untuk mengembalikan uang itu, kenyataannya Raka tidak mengatakan hal seperti itu. Runa sendiri yang memutuskan seperti itu. Ibunya tidak perlu menyerahkan perhiasannya sebagai jaminan, juga tidak perlu mencicil membayar pinjaman. Biar Runa yang melakukan semuanya, mencicil membayar uang 20 juta tersebut kepada suaminya. Ibunya tidak perlu tahu tentang itu.
Karena selama pernikahan mereka, keluarga Runa tidak pernah meminta apapun, dan Runa-Raka belum pernah memberikan hal besar pada orangtuanya, Runa pikir Raka akan berbaik hati dan akan memberikan begitu saja uang 20 juta itu tanpa ibunya harus mengembalikan. Uang 20 juta memang tidak sedikit, tapi Runa tahu bahwa tabungan Raka lebih banyak dari itu. Tapi Runa terpaksa menelan kekecewaan ketika mendapati sikap Raka.
Runa membongkar kembali catatan lamanya. Disitu tertulis berapa tabungan terakhir yang dimilikinya sampai bulan terakhir dia bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Jumlahnya lebih dari 20 juta. Semua itu sudah diambilnya dan digunakannya untuk membeli emas, sehingga kini uang yang ada di rekeningnya murni adalah tabungan dari sisa uang belanja yang diberikan Raka tiap bulan.
Uangku kan uang kamu juga, Sayang.
Bullshit!, maki Runa dalam hati.
Tapi itu kalau digunakan untuk kamu dan anak-anak. Kalau uangnya digunakan buat Mama, kamu tetep harus minta ijin suamimu.
... ini bukan uang kamu, tapi uangnya Raka.
Lalu ia teringat kata-kata Raya, adik iparnya, beberapa hari lalu.
Kalau pingin ngasih sesuatu ke Ibu atau Bapak, mesti minta uang sama suami. Kalau memang karena Raya ndak mampu nyari uang sendiri, ya Raya bisa pasrah aja. Tapi ini kan Raya lulusan S3 lho, bisa nyari uang sendiri, bisa mandiri. Kenapa harus minta uang sama suami kalau bisa nyari uang sendiri kan?
Raya benar! Kalau dirinya bisa menghasilkan uang sendiri, ia bisa berbakti pada ibunya tanpa harus meminta-minta pada suaminya.
Ia harus bisa menghasilkan uang sendiri.
Selama ini, ia pikir asal Raka bisa mencukupi semua kebutuhan dirinya dan anak-anak, ia bisa tenang menjadi ibu rumah tangga yang fokus pada anak-anak saja. Nyatanya, ia masih memiliki keinginan pribadi yang belum selesai. Ia belum pernah benar-benar memberi kepada orangtuanya. Meski terlambat, mungkin sekarang saat yang tepat untuk memulainya.
Ia bisa menghasilkan uang sendiri.
Ia tidak perlu bergantung dan meminta lagi pada Raka untuk keperluan dan keinginan pribadinya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top