11. Cerita Ipar

Di bab sebelumnya ternyata byk yg kangen sm suaminya Iva. Ternyata meski udh jd suami orang, pesonanya ga luntur ya. Uhuk! Makin matang emang makin menantang ya suami orang itu 🙊🙊

Bagi yang kangen sama suaminya Iva, pasti udah punya bukunya kan ya?

Bagi yang belum punya bukunya dan penasaran sama lanjutan cerita Iva dan suaminya, masih bisa pesan bukunya ke Karos Publisher lho di 0818-0444-4465 atau cari di google playbooks bit.ly/CeritaYangTidakDimulai

* * *

Meski bukan libur Hari Raya atau libur akhir tahun, tapi karena ada libur hari Kamis dan cuti bersama di hari Jumat, maka pada long weekend tersebut banyak orang dan keluarga yang berwisata ke luar kota atau mudik ke kampung halaman. Maka hari itu bukan hanya Raka dan keluarganya yang mudik ke Solo, tapi adik perempuan Raka yang selama ini bekerja sebagai dosen di Jogjapun mudik pada libur panjang tersebut. Rumah mertua Runa jadi semarak hari itu.

"Mbak Runa masakannya makin enak aja ihhh Mbak," puji Raya, adik Raka, ketika mencicipi kuah bobor buatan Runa.

Saat itu ibu Raka, Runa, dan Raya sedang berkumpul di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sementara Raka dan ayahnya sedang menemani Risyad dan Rumaisha main di ruang tengah.

"Nggak niat bikin usaha catering gitu Mbak?" tanya Raya kemudian.

Runa tertawa. "Kalo catering sih belum kepikiran, Ray. Belum nemu target pasar. Tapi mungkin kalo catering kecil-kecilan bekal anak sekolah, kepikiran juga sih. Ada ibu-ibu temennya Risyad yang suka nitip dibikinin bekal sekolah anaknya, karena dia berangkat kerja pagi dan nggak sempet nyiapin bekal."

"Nah boleh tuh! Mulai dari situ! Masakan Mbak enak-enak. Lumayan kan kalo bisa jadi duit."

"Tapi belum aku seriusin pesanan banyak orang sih. Soalnya kalau pagi-pagi kan juga sibuk nyiapin bekal Mas Raka dan anak-anak."

"Ish, ish, Mas Raka beruntung banget dapet Mbak Runa. Diurusin sampe segitunya."

"Makanya, kamu belajar sama Mbakyu-mu, gimana caranya jadi istri yang sregep dan pinter masak gini," celetuk ibu mertua Runa.

"Masak itu bakat, Bu," jawab Raya cuek. "Dari aku kecil kan Ibu selalu ngajak aku ke dapur, selalu ngajarin aku masak ini-itu. Tapi ya aku memang ndak minat dan ndak bakat, yo kepripun? Yowis aku nerima takdir aja."

"Gemblung!" gerutu sang ibu. "Cintanya laki-laki itu awalnya dari mata turun ke hati. Tapi dipertahankannya dari perut naik ke hati. Gimanapun, kamu harus bisa masak."

"Raya bisa masak, Bu. Selama ini aku di kos yo masak sendiri. Oseng-oseng. Hahaha," jawab Raya, lagi-lagi ngeles.

"Trus suamimu nanti mau dikasih makan oseng-oseng tiap hari? Bisa kering!"

"Ya kalau mau makan yang lain, order gofood lah!" jawab Raya cuek, sambil mencomot tahu bacem yang masih mengepul di hadapannya. "Lagian, ndak usah ngomongin suami dulu lah Bu. Calonnya aja ndak ada."

"Lha, waktu itu Ibu cerita, katanya lagi ada yang deketin kamu?" celetuk Runa, kepo.

Raya melirik ibunya. Niatnya pingin kesal. Tapi ekspresi ibunya sudah garang duluan. Raya jadi batal bersikap jutek.

"Ndak jadi, Mbak," jawab Raya.

"Coba adiknya dinasehatin gitu, Run. Supaya ndak terlalu pilih-pilih. Umurnya sudah 30 tahun," kata sang Ibu, meminta bantuan menantunya.

Runa tersenyum lalu membelai punggung ibu mertuanya. "Mau beli baju aja kita harus pilih-pilih supaya ndak salah beli, Bu. Kalau salah beli, ribet harus retur ke tokonya. Belum tentu bisa juga di-retur. Apalagi mau nikah yang sekali seumur hidup dan ndak ada opsi balikin barang, uang kembali. Sebisa mungkin, nikah sekali seumur hidup. Ya harus pilih-pilih tho Bu?"

Raya tersenyum semringah karena mendapat pembelaan dari kakak iparnya. "Nah! Tuh kan Bu!"

"Yowis kamu maunya yang seperti apa? Yang jelas gitu lho! Semua laki-laki ditolak," todong sang ibu. "Si Doni itu kenapa kamu tolak?"

"Pemarah, Bu."

"Masa sih? Kelihatannya baik?"

"Baik di depan Bapak dan Ibu. Tapi kalau lagi makan di restoran, trus makanan atau pelayanannya kurang memuaskan, dia bisa maki-maki ke waitressnya. Ndak elit banget marahnya. Bayangin, kalau aku jadi istrinya, trus tiap hari aku masakin oseng-oseng, opo yo aku ndak dimaki-maki saban hari."

"Kalau si Wahyu? Yang arsitek di pengembang perumahan bonafid itu? Kalem koyo'e."

"Tapi anak pertama dari 3 bersaudara. Laki-laki satu-satunya. Ayahnya udah meninggal. Tulang punggung keluarga. Adik-adiknya masih kuliah. Dulu dia dikuliahin sama Pakdenya. Sekarang pas anak si Pakde udah lulus kuliah dan nyari kerja, maksa Mas Wahyu supaya nyariin kerjaan atau nerima anaknya di kantornya. Trus saking baiknya, Mas Wahyu tipe yang nggak bisa nolak permintaan orang, apalagi kalau dia berhutang budi sama orang itu. Raya sih males bayangin, Bu, seumur hidup Raya harus ikutan nanggung dan bayar hutang budi Mas Wahyu. Wis, mending aku mundur."

"Temenmu yang dosen Fisika itu?"

"Bentar lagi dia lanjut S3 ke Jerman, Bu. Ndak bisa LDRan. Jadi istrinya mesti ikut dia kesana."

"Trus apa masalahnya?"

"Lha Raya kan sudah dosen PNS di kampus. Ndak bisa seenaknya ijin cuti 3-4 tahun nemenin suami. Nggak bisa pakai alasan sekolah juga, lha wong Raya sudah S3. Opo yo Raya mesti resign?"

Sang ibu terdiam sesaat. "Kalau misal kamu sekarang resign, trus setelah kalian pulang dari Jerman, trus kamu melamar jadi dosen di PTS, bisa? Mbak Runa juga resign buat nemenin Mas Raka sekolah ke Belanda."

"Bisa sih. Tapi dia pengennya punya istri yang ndak kerja. Aku yo wegah," jawab Raya lugas. "Kalo Mas Raka kan ndak melarang Mbak Runa balik kerja lagi, tapi Mbak Runa yang milih fokus sama anak-anak. Lha kalau Raya kan memang pingin kerja, Bu. Kuliah sampai S3 itu biaya, tenaga dan waktunya banyak. Kalau setelah itu Raya ndak kerja, rasane eman-eman. Kepingin ini-itu mesti minta suami."

"Kan menafkahi istri itu memang tanggung jawab suami. Mas Raka dan Mbak Runa yo ngono."

"Tapi Mas Raka kan laki-laki bertanggung jawab. Sayang banget sama Mbak Runa dan anak-anak. Semua kebutuhan terpenuhi. Atau kalau kayak suaminya Nia Ramadhani gitu, dia minta uang sebanyak apapun pasti ada. Lha kalau nanti suamiku ndak seperti itu, pripun, Bu? Gaji dosen kan ndak se-wah pendapatan pengusaha, Bu. Mau beli skincare mesti nyisih-nyisihin uang belanja. Kalau pingin ngasih sesuatu ke Ibu atau Bapak, mesti minta uang sama suami. Kalau memang karena Raya ndak mampu nyari uang sendiri, ya Raya bisa pasrah aja. Tapi ini kan Raya lulusan S3 lho, bisa nyari uang sendiri, bisa mandiri. Kenapa harus minta uang sama suami kalau bisa nyari uang sendiri kan?"

Runa sudah menyelesaikan semua masakannya, menyajikan bobor bayam pada mangkuk besar, kemudian membawanya ke meja makan. Ia juga menata tahu-tempe bacem, bandeng goreng dan sambal. Telinganya masih terus mendengar perdebatan mertua dan adik iparnya, namun pikirannya melantur kemana-mana.

"Sekarang aku ngerti kenapa dulu Mbak Hani minta putus sama Mas Raka," kata Raya kemudian.

Serta merta pendengaran Runa fokus lagi pada obrolan mertua dan adik iparnya.

Hani? Putus sama Mas Raka?

Seingat Runa, Raka tidak pernah bercerita tentang mantan pacarnya yang bernama Hani.

"Pas Mbak Hani ngajak Mas Raka ikut dia sekolah ke Jerman, sementara Mas Raka ndak bisa serta merta ninggalin sekolah dan kerjaannya di Indonesia. Wajar kalau mereka putus. Aku ngerti sekarang alasan mereka. Susah memang kalau dua orang punya rencana hidup yang beda."

"Alhamdulillah mereka putus lah," kata sang ibu mertua Runa. "Jadinya Mas-mu bisa sama Mbak Runa. Hani itu terlalu ambisius sama karir. Bukannya jelek sih, cuma Ibu kurang cocok aja. Kalau Mbak Runa kan penurut. Telaten juga sama anak-anak. Adem hati Ibu lihat cucu-cucu Ibu terawat dengan baik."

Runa masih sok menyibukkan diri menata meja makan, pura-pura tidak mendengarkan percakapan ibu mertua dan adik iparnya yang masih di dapur.

Saat perempuan lain diuji oleh mertua yang nyinyir, Runa merasa bersyukur karena ibu mertuanya sangat sayang padanya. Ia juga tahu harusnya ia bahagia karena dipuji oleh mertuanya. Tapi entah kenapa Runa tidak bisa tersenyum kali itu. Percakapan ibu mertua dan adik iparnya siang hari itu membuatnya banyak berpikir hari itu.

* * *

Ada yang setuju sama Raya?

Atau nggak setuju sama Raya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top