10. Full-time vs Working Mom

Salah satu alasan mengapa Runa tidak terlalu suka berpergian, terutama setelah ada anak-anak, adalah karena berpergian tidak pernah menjadi urusan sederhana. Kalau dulu saat masih single, berpergian kemanapun cukup dengan membawa sebuah tas ransel atau sebuah koper. Tapi sejak ada anak-anak, berpergian ke luar kota sama artinya dengan pindah rumah. Ia bisa membawa 2 koper besar, padahal hanya akan menginap selama 3 hari. Bukan hanya harus menyiapkan pakaian, tapi saat akan berpergian Runa juga harus menyiapkan bekal makanan dan cemilan yang cukup selama perjalanan. Ia juga harus menyiapkan buku dan sejumlah mainan agar kedua anak itu bisa betah dan tidak rewel selama perjalanan.

Setelah semua kehebohan mempersiapkan mudik ke Solo sejak kemarin, akhirnya Runa bisa agak beristirahat ketika telah sampai di bandara dan check-in bagasi. Kini mereka berempat sudah duduk tenang menunggu boarding. Risyad duduk tenang membaca ensiklopedia yang dibawanya, sementara Rumaisha dengan lahap memakan cemilan dari kotak bekalnya.

Runa duduk bersandar rendah di kursinya, merenggangkan dan meluruskan kakinya, mencoba menghilangkan rasa pegal di seluruh tubuhnya.

"Capek ya Bun?"

Kalimat tanya itu didengarnya bersamaan dengan sebuah tangan yang singgah di bahunya, dan mulai memijit pelan.

Runa mengangguk sambil memejamkan matanya, menikmati pijatan lembut di pundaknya.

"Tiap travelling pasti heboh ya," kata lelaki itu. "Makasih ya, Bunda selalu nyiapin semuanya buat kami."

Runa membuka matanya dan mendapati lelaki yang duduk di sampingnya itu tersenyum padanya. Ia membalas senyum itu sambil menepuk pelan paha suaminya itu.

"Nanti kalau udah sampai rumah Ibu, pijitin ya Yah," kata Runa sambil tersenyum merayu.

"Siap!" jawab Raka cepat. "Mau pijat plus plus atau pijat xx?"

"Dih! Kalo itu mah malah situ yang keenakan."

"Lha emang situ nggak keenakan juga? Lha wong bisa sampai mendesah-desah kok..."

Runa langsung membekap mulut suaminya dan melotot.

"Ya ampun, Mas! Bahasanya diayak dikit napa. Di bandara lho ini. Ada anak-anak juga," Runa berbisik sewot.

Raka tertawa puas, meski bukan dengan suara keras, karena berhasil menggoda istrinya. Ia kemudian melingkarkan lengannya di sepanjang bahu Runa dan membiarkan istrinya menyandarkan kepala di bahunya.

Runa memejamkan matanya. Menikmati momen langka ini. Kebahagiaannya sebenarnya sederhana saja. Bisa menikmati waktu dengan suami dan anak-anaknya seperti sekarang. Dan mendapat apresiasi kecil dari suaminya seperti barusan. Itu saja sudah cukup baginya. Tubuhnya barangkali tetap lelah. Tapi hatinya membuncah bahagia. Sayangnya, hal ini tidak bisa terjadi setiap saat. Raka hanya bersikap manis dan perhatian seperti ini jika dalam mode santai dan tidak sibuk. Sehari-hari, saat lelaki itu sibuk dari pagi hingga malam di rumah sakit, sikapnya tidak pernah semanis atau seperhatian ini.

Kalau dipikir-pikir lagi, Runa jadi merasa barangkali dirinya yang sudah menuntut terlalu banyak.  Setiap hari Raka pasti sudah kelelahan bekerja sehingga tidak ada waktu dan tenaga lagi untuk memanjakan dan memperhatikannya. Barangkali itu mengapa kehidupan rumah tangga mereka mulai terasa membosankan. Tapi bukan berarti suaminya itu tidak cinta lagi atau sudah bosan padanya kan? Buktinya, saat ada waktu berlibur, suaminya kembali punya waktu untuk memperhatikan dirinya.

"Aruna?"

Mendengar seseorang memanggil namanya, Runa membuka matanya dan menegakkan duduknya. Matanya membola ketika menemukan seseorang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Dia tidak menyangka akan bertemu orang itu di tempat seperti ini.

* * *

"Nggak nyangka ketemu lo disini!" kata perempuan di hadapan Runa dengan antusias. "Sama-sama tinggal di Jakarta bertahun-tahun, tapi ketemunya malah di Bandara pas mau mudik."

"Iya ih! Kalo nggak sengaja janjian, kagak pernah ketemu ya kita, meski sama-sama di Jakarta," balas Runa dengan sama antusiasnya. "Lo apa kabar, Va?"

"Alhamdulillah. Ya gini deh. Lo sendiri?"

"Ya gini juga deh. Alhamdulillah."

Lalu kedua perempuan itu terkikik bersama.

"Ngomong-ngomong, Iva, itu nggak apa-apa laki lo ditinggal berduaan sama laki gue?" tanya Runa beberapa saat kemudian, sambil mengerling kedua laki-laki yang duduk beberapa kursi di depan mereka.

Mumpung bertemu teman lama yang sudah lama tidak berjumpa, kedua perempuan itu memang sengaja melipir. Meninggalkan kedua lelaki yang mendampingi mereka, dan membiarkannya mengawasi anak-anak mereka, sementara kedua perempuan itu memutuskan untuk bernostalgia dan bergosip.

"Napa emang?"

"Bukannya laki lo tuh orangnya cemburuan ya?"

Perempuan yang dipanggil Iva itu terkikik.

"Apalagi dulu kan lo pernah hampir kawin sama Mas Raka," Runa menambahkan. Kompor sekali.

"Itu udah 11 tahun lalu kali. Udah lama bener. Nggak mungkin laki gue masih cemburu segala lah," jawab Iva.

"Yakin?" tanya Runa, sangsi. "Buktinya, pas tadi Mas Raka manggil lo dek Iva, muka laki lo langsung jutek. Tuh, buktinya sekarang mereka ngobrolnya kaku bener."

Iva tertawa makin geli. "Itu bukan karena laki gue masih jealous sama Mas Raka kali, Run. Emang laki gue aja yang dasarnya kaku, kayak kanebo kering."

Runa sontak tertawa sambil mengerling lelaki tinggi, sang suami dari mantan teman kuliahnya ini.

"Lagian, Mas Raka udah punya lo dan anak-anak. Ngapain juga laki gue masih cemburu," Iva menambahkan.

Kedua perempuan itupun terkikik bersama.

"Ngomong-ngomong kerja di mana lo sekarang?" tanya Runa kemudian.

"Gue balik ke Medika."

"Lha enak dong, sekantor sama laki lo lagi. Pulang-pergi kantor barengan mulu. Eh, tapi emang dibolehin sama Medika ya, suami-istri sekantor gitu?"

"Lha kan laki gue udah pensiun. Nggak disana lagi. Lagian, kalaupun kami sekantor lagi, tapi kan beda divisi. Gue di Regulatory sekarang."

"Oh iya. Udah nggak lanjut di Factory lagi ya?"

"Kurang cocok gue di Factory. Kurang galak. Nggak kayak laki gue."

Runa tertawa. "Sekarang lo Regulatory Manager?"

"Iya."

"Wiiii! Keren!!!"

"Temen-temen sekelas kita rata-rata emang udah selevel manager sih. Si Rico aja udah jadi Corporate Head Hosei Group. Lo juga pasti udah jadi Manajer Operasional atau Apoteker Penanggung Jawab di Instalasi Farmasi Prima Hospital kan?"

"Nggak sih," jawab Runa sambil tersenyum kecil.

"Oh, udah pindah ke RS lain ya? Gue kira lo masih kerja di Prima Hospital juga bareng Mas Raka?" tanya Iva, kaget karena tidak tahu kabar terbaru tentang teman kuliahnya itu. "Lo kerja dimana sekarang?"

"Gue di rumah aja sekarang. Ibu rumah tangga doang."

Iva terdiam sesaat. Antara sedang berusaha mengingat, sambil menghilangkan kecanggungan karena merasa telah salah bicara.

"Oh iya, lo ikut Mas Raka waktu dia sekolah ke Belanda ya waktu itu?" tanya Iva kemudian.

Runa mengangguk sambil tersenyum.

"Setelah kalian balik dari Belanda, lo nggak lanjut kerja lagi? Di Prima Hospital atau di RS lain gitu?"

Runa menggeleng. "Waktu itu kondisi anak-anak, terutama Risyad, nggak memungkinkan. Jadi gue pilih stay di rumah aja. Jadinya sekarang gue jadi ibu rumah tangga doang deh."

"Nggak ada tuh yang namanya stay di rumah aja. Ga ada juga yang namanya ibu rumah tangga doang," kata Iva. "Ibu penuh waktu di rumah itu berat."

Runa tersenyum. Meski tahu bahwa temannya itu hanya mencoba menghiburnya, ia menghargai usaha Iva tersebut. Setidaknya Iva tidak memandangnya lebih rendah hanya karena dirinya hanya ibu rumah tangga dan belum mencapai level manajer apapun.

"Kadang gue merasa sedih. Gelar master farmasi klinik gue nggak kepake. Sia-sia. Tapi yaaahh... anak-anak lebih butuh gue," kata Runa, sambil menatap anak-anaknya di depan sana.

"Menurut gue sih nggak ada gelar akademik yang sia-sia buat seorang ibu," kata Iva tidak setuju. "Mungkin gelar itu nggak lo pakai di dunia kerja buat ngasih konseling obat ke pasien, tapi lo pakai untuk milih pengobatan rasional buat anak-anak lo pas sakit. Lo jadi nggak mudah kemakan hoax kesehatan tentang gizi dan pengobatan untuk anak.

Dimanapun seorang ibu pernah menempuh pendidikan, setinggi apapun seorang ibu menempuh pendidikan, asalkan dia sekolahnya beneran dan bukan sekedar nyari ijasah doang, maka saat dia memilih untuk penuh waktu di rumah, ilmu yang pernah didapatnya nggak akan sia-sia. Kalau dulu pas kuliah si ibu terampil nyusun presentasi tugas kuliah, setelah jadi ibu rumah tangga dia pasti bakal terampil nyusun presentasi yang menarik buat program pembelajaran anak-anaknya. Kalau dulu pas kuliah si ibu rajin berorganisasi, setelah jadi ibu rumah tangga dia pasti bakal pinter manage waktu untuk semua kerjaan rumah. Kalau si ibu dulu kuliah bisnis trus sekarang jadi ibu rumah tangga, pasti pinter manage keuangan keluarga. Jadi nggak ada ilmu yang sia-sia sih saat kita memutuskan jadi ibu rumah tangga."

Runa diam saja menyimak. Tapi dalam hati merasa terharu. Andai lebih banyak orang yang memiliki pemikiran yang sama, tentu tidak ada orang yang akan menganggap rendah profesi ibu rumah tangga.

"Risyad dan Rumaisha beruntung selalu ditemani ibu seperti lo," kata Iva melanjutkan. "Andai bisa memilih, beberapa kali gue pengen banget berhenti kerja dan membersamai anak gue."

"Emang suami lo maksa lo untuk terus kerja?" tanya Runa.

"Nggak sih. Sejak awal dia membebaskan gue memilih. Dia nggak mau melarang gue kerja, dan juga nggak akan memaksa gue untuk terus kerja."

"Trus kenapa lo nggak berhenti kerja?"

"Lo tahu kan berapa usia suami gue. Sekarang aja udah pensiun. Meski masih banyak job sebagai konsultan sih. Meski kami sama-sama menghitung dan sebenarnya semua asetnya cukup untuk hidup dan pendidikan anak gue sampe kuliahnya selesai, tapi masa depan siapa yang tahu kan? Kalau ada apa-apa dan gue nggak bisa biayain anak gue kuliah, gue pasti nyesel. Nggak mungkin juga gue mulai kerja lagi setelah anak gue besar dan usia gue lebih dari 40 tahun. Nggak ada perusahaan yang mau nerima ibu-ibu 40 tahun yang minim pengalaman. Sementara gue nggak bakat bisnis dan nggak punya keterampilan lain selain bekerja di bidang ini.

Selain itu, gue juga masih sering merasa minder sama suami gue dan keluarga suami gue. Kan lo tahu keluarga suami gue sangat berada, sementara keluarga orangtua gue biasa-biasa aja. Setidaknya, kalau gue tetap bekerja, gue bisa leluasa memberi dan berbakti ke orangtua gue tanpa harus minta ke suami gue. Sebenarnya sih suami gue juga rutin ngasih ke orangtua gue. Cuma gue aja yang merasa lebih berdaya dan nggam merasa inferior kalau bisa mandiri.

Untungnya suami gue memahami perasaan insecure dan inferior gue. Dia support apapun yang gue pilih. Saat gue milih terus bekerja, dia support gue. Dia bahkan mau bersama-sama merawat anak, tanpa merasa bahwa itu tugas istrinya doang.

Beberapa orang mikir bahwa ibu bekerja adalah ibu yang egois. Yang mementingkan egonya dibanding anaknya. Tapi nyatanya, kalau ditanya, semua ibu bekerja pasti lebih pilih untuk membersamai anaknya di rumah. Tapi kondisi mereka yang nggak memungkinkan. Entah kondisi finansial, emosional, atau mungkin karena profesinya yang lebih dibutuhkan banyak orang, misalnya.

Jadi kalau sekarang lo minder sebagai ibu rumah tangga, Run, jangan! Jangan minder! Lo hebat! Banyak ibu yang pengen seperti lo, tapi kondisi mereka nggak memungkinkan."

Runa tidak tahu apakah semua yang dikatakan Iva hanya untuk membesarkan hatinya atau tidak. Tapi perasaannya saat ini memang lebih ringan.

Mungkin ini yang disebut sawang sinawang. Para ibu rumah tangga iri pada ibu bekerja karena bisa mandiri secara finansial dan mengaktualisasikan dirinya. Sementara para ibu bekerja iri pada ibu rumah tangga karena bisa selalu membersamai tumbuh kembang anak-anaknya, sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan secara optimal karena sambil bekerja di luar rumah.

"Eh nanti di Solo kita janjian ketemuan buat belanja oleh-oleh bareng yak sebelum balik ke Jakarta," usul Iva kemudian. "Sekalian rumpi-rumpi. Anak-anak dan suami ditinggal aja di rumah orangtua. Sekali-sekali girls day out kita."

Runa terkikik dan mengangguk dengan semangat."Emang sekali-sekali, kayaknya perlu juga Mas Raka ditinggal berduaan aja sama anak-anak itu."

* * *

Siapa yang kangen sama Iva?

Atau sama suaminya Iva? Eeeaaa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top