Bab 2 Kesan Pertama

Sejak kapan bahagia diukur dengan materi? Nyatanya, hal-hal kecil mampu menggugah hati dan menjadi alasan seseorang tersenyum. Lara, di rumah orang tuanya yang sederhana, ia bisa hidup dengan menyusun rasa syukur dari hari ke hari. Meskipun tak akan ada kisah hidup yang tampak sempurna dalam penilaian manusia, Lara tetap meyakinkan diri bahwa ia selalu punya alasan untuk bahagia.

"Hari ini tidak siap-siap berangkat ke galeri pagi-pagi?" Rosita, ibu Lara bertanya pada putrinya yang sedang asyik dengan tanaman krokot aneka warna. Lara memang sangat menyukai bunga tanpa pandang bulu. Bahkan tanaman yang kerap dianggap rumput itu pun tak luput dari perawatannya.

"Hari ini ada janji dengan bos galerinya, Bu." Lara menyahut sambil refleks melirik pergelangan tangannya, padahal ia tidak sedang memakai arlojinya. Namun, ia sekarang butuh untuk memastikan waktu. Lalu ia pun bersegera menyelesaikan aktivitasnya dengan rumpun-rumpun krokot agar bisa bersiap-siap.

Sebagaimana ia dikabari oleh sekretaris Galeri Adiwarna semalam bahwa atasan mereka ingin bertemu dengan Lara untuk membicarakan perkara pameran lukisan yang sebentar lagi akan digelar. Setelah benar-benar siap ia memastikan catatan tempat pertemuan, sebuah kafe kecil yang lumayan terkenal. Lara pun bergegas pergi.

Sementara itu, atasan yang dimaksud ternyata telah tiba lebih awal di lokasi. Ethan memilih tempat duduk yang strategis dan bisa leluasa mengamati pengunjung yang baru masuk. Namun, bukan itu tujuannya duduk di situ. Meskipun ia cukup merasa senang saat bisa melihat dengan jelas saat Lara datang. Gadis itu terlihat sedikit terkejut dan kikuk saat menatap ragu ke arahnya.

"Ternyata dugaanku tak sepenuhnya salah saat kemarin menyangka ia salah satu orang penting di galeri," Lara membatin. Pelan tapi pasti ia berjalan mendekat untuk memastikan.

"Maaf, dengan Bapak Ethan Sebastian?" Lara bertanya dengan tanpa sadar tersenyum semringah sebagaimana refleksnya untuk bersikap ramah.

Ethan mengangguk tanpa mengubah raut wajah yang berarti, tetapi tak bisa menolak bahwa ia terpikat oleh senyum yang menawan itu. "Duduklah," titahnya.

"Saya harap Anda sudah tahu maksud pertemuan ini." Ethan mengawali perbincangan.

Lara mengangguk. "Pak Lingga sudah menyampaikannya semalam. Dan maaf jika Bapak kurang berkenan dengan pertemuan kita kemarin." Lara merasa rikuh.

"Tidak masalah."

Mereka pun melanjutkan percakapan yang memang telah ditentukan. Ditemani dengan cangkir cokelat hangat dan potongan roti, keduanya asyik membahas tentang pergelaran pameran yang akan dilaksanakan. Sebagai pameran perdana yang diadakan oleh Urdha Group, Ethan benar-benar ingin memastikan kematangan persiapan. Sesekali Lara menunjukkan beberapa hal dalam catatannya pada Ethan dan disetujui oleh pemuda itu.

"Lulusan seni rupa?" Ethan ingin memastikan sesuatu. Baginya, wawasan Lara cukup luas meskipun terbilang baru bekerja.

Lara mengangguk. "Benar, Pak. Saya lulusan seni rupa." Lara tahu, sebagai pegawai baru, di galeri yang juga baru, adalah wajar jika atasannya itu perlu tahu hal tentangnya.

Mereka pun berbincang lebih intens tentang seni, budaya, bahkan impian. Ethan sendiri tidak menyangka akan bisa sehangat itu menyambut obrolannya dengan Lara. Demikian juga Lara, selama ini ia termasuk wanita yang enggan untuk banyak berbicara apalagi dengan lawan jenis. Namun, seolah di depan atasannya itu ia kehilangan jati diri.

"Saya sangat senang saat Galeri Adiwarna membuka peluang bagi saya untuk semakin mencintai seni."

"Bekerjalah dengan baik. Jika mencintai pekerjaan bisa membuatmu lebih maksimal, cintai pekerjaan itu."

"Saya akan berusaha."

Ethan seperti menangkap sedikit kegelisahan di wajah Lara. Belum sempat ia menyelesaikan terkaan, gawainya bergetar. Ethan melirik sejenak dan membaca siapa yang melakukan panggilan untuknya. Dan itu adalah interupsi yang mengharuskan ia dan Lara berhenti berbincang. Apalagi poin utama diskusi telah menemukan titik terang, tak ada alasan lagi untuk berlama-lama. Mereka pun segera berpisah untuk melanjutkan aktivitas kerja masing-masing.

Setelah pertemuan itu, Ethan beberapa kali berkunjung ke galeri tak pernah lupa untuk memantau keberadaan Lara. Meskipun tidak ada percakapan, Ethan hanya tak bisa mengalihkan diri untuk memperhatikan apa yang dilakukan gadis itu. Selain terkesan oleh kecerdasannya, Ethan juga terkesan akan akhlak dan kebaikan yang Lara lakukan. Mungkin beberapa terlihat sepele, tetapi hal sepele yang biasanya orang-orang abaikan, tidak oleh Lara. Melihatnya, entah mengapa pelan-pelan mengikis kegersangan dalam hatinya yang akhir-akhir ini kerap berapi-api dan tersulut emosi.

Pada suatu kesempatan, Ethan yang sedang melihat Lara tengah berdiri di depan lukisan yang baru dipasang, tertarik untuk mendekat. Kemudian, Ethan berdiri di samping Lara yang masih belum menyadari keberadaannya. Lara terlihat sedang melamun seolah tenggelam dalam pikatan lukisan yang sedang ditatap dalam-dalam.

"Apakah kamu percaya pada cinta pada pandangan pertama?" Suara itu menggugah Lara bangun dari kesunyian yang tadi tercipta.

Lara menoleh dan menemukan atasannya sudah berdiri di dekatnya. Lara refleks memundurkan diri dan sedikit mengangguk hormat. "Maaf, Pak."

Ethan tersenyum simpul. "Mengapa malah meminta maaf? Aku meminta jawaban, bukan permintaan maaf yang aku bahkan tidak tahu salahnya di mana."

Lara tertegun. Wajahnya sejenak bingung, ia mengingat apa yang tadi diucapkan oleh atasannya itu. "Cinta pada pandangan pertama?"

"Ya."

"Saya percaya pada koneksi yang tak terduga." Lara menjawab dengan tegas. Ada senyum yang terlihat terpaksa, meskipun apa yang terpancar dari bola mata adalah kejujuran.

Saat dua tatap bertemu, ada kesan yang berubah menjadi tautan yang mendalam di antara keduanya. Meski kemudian ditumbuhi oleh prasangka-prasangka. Ethan dengan keraguan akan perbedaan yang menjadi tembok penghalang. Dan, Lara dengan ketidakyakinan akan sapa hangat yang seperti mendekapnya dengan paksa.

⏳️⏳️⏳️

AR 130125

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top