Waktu Tak Menunggu

Sebelum membaca, jangan lupa kasih   (vote), ya! Tinggal tekan ⭐  dan itu gratis, kok.

Aku berjalan terburu-buru memasuki Stasiun Gambir. Belum terlambat, baru pukul tujuh lewat dua puluh menit. Namun, aku harus mengantisipasi segalanya sebelum rencanaku berantakan. Tidak boleh! Ini momen penting.

Bukan tanpa alasan, aku pernah hampir ketinggalan kereta ketika berangkat bersama Danastri dulu. Hari ini, dua belas tahun yang lalu, kami berangkat dari stasiun yang sama dengan tujuan yang sama. Bedanya, kali ini, aku memilih kelas yang berbeda. 

Tak ingin duduk bersama orang lain, aku memilih Argo Bromo Anggrek Luxury. Memang cukup mahal harga tiketnya, tetapi aku tak mau ketenanganku terganggu basa-basi dengan penumpang yang duduk di sampingku. Gerbong kelas luxury memiliki pengaturan tempat duduk satu-satu yang membuatku leluasa untuk mengenang momen bahagia kami dulu.

Setelah mengurus segalanya, masih ada waktu lebih dari lima belas menit sebelum kereta berangkat.  Aku masih punya waktu berjalan-jalan di sekitar jalur kereta. Tidak seperti dulu, aku masih sempat berfoto dengan latar belakang Monas di kejauhan. Hal yang dulu tidak sempat kulakukan bersama Danastri karena harus bergegas naik kereta yang hampir berangkat.

Aku tersenyum sambil memandang posting yang baru saja kubuat di Instagram. Dulu, kami pernah akan melakukan itu andai punya cukup waktu. Meski kini aku tak bersamanya, setidaknya aku berusaha membuat keinginan itu terwujud.

"Selamat pagi," sapa seorang pramugari ketika aku akan memasuki gerbong. "Silakan, Mas." Mungkin, aku bisa melihat senyum manisnya jika tidak tertutup masker.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang percuma. Pramugari itu juga tidak akan melihat senyum di balik masker yang kupakai. Pandemi Covid-19 telah membuat kegantenganku tersembunyi di balik masker medis yang terpaksa harus kupakai.

Beberapa orang penumpang sudah duduk di tempat mereka masing-masing. Aku berjalan ke bagian tengah gerbong di mana tempat dudukku berada. Setelah meletakkan ransel bawaanku di tempat yang telah disediakan, aku duduk di kursi dan bernapas lega. Sejauh ini, rencana berjalan dengan semestinya.

Pilihanku bukanlah sebuah perjalanan yang ideal. Aku bisa saja naik pesawat terbang tanpa harus serepot naik kereta kali ini. Tinggal berangkat dari Palembang tanpa harus menginap di Jakarta. Paling-paling, hanya perlu transit seperti biasa sebelum melanjutkan penerbangan menuju Semarang.

Namun, aku sengaja menjalani semua ini. Tentunya untuk mengenang sebuah perjalanan yang manis bersama Danastri. Perjalanan ketika aku meminta dia menjadi pacarku. Apakah pantas untuk dikenang setelah kami berpisah sepuluh tahun lalu? Mungkin ... mungkin juga tidak. Aku sendiri tak mengerti mengapa aku melakukan ini.

Perjalanan ini sekaligus sebagai pelarian. Kepedihan yang kurasakan akibat kenyataan menyakitkan dari pengakuan Arumi membuatku marah dan kecewa. Hampir satu tahun aku terpaksa menjalani hubungan dengannya demi memenuhi keinginan Mama. Orang tuaku yang tinggal satu-satunya itu berharap aku segera menikah di usiaku yang sudah di awal tiga puluhan.

"Mama pengin punya cucu," ujar Mama saat itu. "Sejak papamu meninggal dulu, Mama hanya hidup berdua denganmu. Mama mohon kamu tidak berlama-lama melajang. Usiamu sudah lebih dari cukup untuk menikah."

Aku tak kuasa menolak keinginan Mama. Tanpa protes sedikit pun, aku bersedia dikenalkan dengan Arumi, putri sahabat Mama. Meski tak menjalani hubungan yang manis seperti saat bersama Danastri, aku berusaha memantapkan hati untuk menikahi perempuan pilihan Mama itu.

"Maafkan aku, Kak." Wajah Arumi tak berlukis kegembiaan saat aku mengatakan padanya untuk segera melamarnya. "Aku terpaksa berterus terang. Aku sedang hamil dua bulan."

Pengakuan Arumi seakan menampar mukaku. Perempuan yang sudah kupacari selama hampir satu tahun ternyata hamil dengan lelaki lain. Dari pengakuannya juga, aku baru tahu kalau Arumi sebenarnya terpaksa menjalani hubungan denganku. Diam-diam, dia tetap menjalani hubungan dengan kekasihnya.

Ingin rasanya aku marah mendengar pengakuannya. Namun, itu tidak ada gunanya. Meskipun Arumi salah, aku berusaha memahami keadaannya. Dia sudah punya kekasih saat Mama dan ibunya berniat menjodohkan kami. 

Apa boleh buat? Aku tidak mungkin memaksa Arumi untuk menikah dengan kondisi hamil dari lelaki lain begitu. Kecewa, itu sudah pasti. Namun, yang lebih mengecewakanku adalah karena aku tidak bisa memenuhi keinginan Mama.   

Mestinya keinginan Mama itu sudah lama bisa aku kabulkan. Tidak perlu menunggu lama. Setelah wisuda, aku sudah berniat menikahi Danastri. Namun, rencana manusia tidak selalu terwujud sesuai keinginannya.

"Mestinya, aku bahagia mendengar lamaranmu, Wibi," jawab Danastri sedih saat itu. "Tapi, aku belum bisa menerima lamaranmu. Maafkan aku," lanjutnya sambil menangis. 

Impianku saat itu seakan terhempas. Hubungan yang sudah kubina bersama Danastri sejak tahun kedua kami kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Dipenogoro putus seketika. Bukan Danastri, akulah yang memutuskan hubungan karena dia menolak lamaranku.

Mungkin saat itu, aku terlalu emosional. Aku sangat yakin Danastri akan menerima lamaranku. Bagaimana tidak? Hubungan kami sangat romantis tanpa ada masalah apa pun. Orang tuanya juga tidak menunjukkan ketidaksetujuan pada hubungan kami.

Kereta mulai berjalan tepat pukul delapan pagi. Aku berusaha duduk dengan posisi senyaman mungkin di kursi yang empuk ini. Tentu saja empuk, aku membayar harga tiket yang bisa dibilang sangat mahal untuk ukuran perjalanan kereta di Indonesia. Kursinya bahkan bisa direbahkan sampai 170 derajat agar bisa tidur dengan nyaman selama dalam perjalanan kalau mau.

Meskipun begitu, aku tidak ingin menghabiskan perjalanan ini dengan tidur, senyaman apa pun itu. Aku justru ingin terjaga sepanjang perjalanan selama lima jam ini. Tak sedetik pun akan kulewatkan tanpa mengenang saat manis itu.

"Permisi, Mas." Seorang pramugari kereta menyodorkan dua kotak makanan dan sebotol air mineral dari troli. "Mau teh atau kopi?"

"Teh aja, Mbak."

Pramugari itu menyiapkan teh dalam cangkir plastik, lalu menyerahkannya padaku. Tidak ketinggalan, dia juga meminjamkan headphone untuk menikmati hiburan video and audio on demand yang tersedia di layar monitor yang ada di hadapanku.

Aku membuka meja lipat yang tersembunyi di sandaran tangan yang ada di sisi kiriku. Kuletakkan makanan dan minuman di atasnya. Sudah pukul sembilan lewat. Perutku tergoda untuk mencicipi nasi goreng yang ada di dalam salah satu kotak itu.

Sambil menikmati pemandangan persawahan di luar jendela, aku menyantap nasi goreng yang terasa cukup lezat di lidahku. Mungkin karena aku tidak begitu menikmati sarapan pagiku di hotel tadi. Aku jadi teringat akan santapan serupa bersama Danastri dulu.

"Kerupuknya untuk aku, ya?" Aku tersenyum mengingat bagaimana dulu Danastri meminta jatah kerupuk di nasi gorengku. Dia makan dengan gembira. Perjalanan yang menyenangkan. Bagaimana bisa aku melupakan momen manis itu?

Sepanjang perjalanan itu, Danastri bercerita seakan tidak ada habisnya. Dia memang begitu, selalu ceria. Hari-hari sepanjang hubungan kami pun selalu diisi dengan keceriaannya. 

"Kamu itu seperti Ayah," ujarnya suatu hari. "Lebih banyak diam dan tersenyum. Tapi, tetap memesona."

Memang, aku lebih banyak menjadi pendengar setianya. Mendengar semua ceritanya dan menanggapi seperlunya. Aku hanya banyak bicara saat kami mendiskusikan materi kuliah.

Kalau sampai hari ini aku masih selalu mengenang saat-saat manis bersamanya, itu tidaklah berlebihan. Setidaknya, begitulah anggapanku. Danastri begitu sempurna di mataku. Seorang gadis cantik dan ceria yang bisa melengkapi aku yang cenderung pendiam.

Meski merantau di Semarang saat kuliah dulu, aku tidaklah kesepian. Hampir setiap hari, aku ditemaninya. Kami hanya berpisah di malam hari atau saat-saat aku pulang kampung ke Palembang.

"Wibi, sampaikan salamku buat Mama," ujarnya saat aku berpamitan untuk pulang kampung pertama kali setelah berpacaran dengannya. "Bilang pada beliau, suatu saat, aku akan menjadi menantunya!"

Aku mengenang itu dengan senyum getir. Dulu, dia pernah bilang begitu, tetapi di saat lain, dia menolak ketika kulamar. 

"Aku bukannya menolak, tapi belum bisa menerima lamaranmu," dalihnya saat itu. 

"Apa bedanya?"

"Jelas berbeda. Aku akan menerima lamaranmu saat aku sudah menyelesaikan Magister Kenotariatan," jawabnya. "Aku harus menebus keinginan Ayah yang ndak sempat diwujudkannya. Ayah dulu ndak punya biaya untuk melanjutkan kuliah jadi aku yang harus menebusnya sekarang."

Aku sudah keburu janji pada Mama untuk membawa kabar gembira saat kepulanganku. Mama minta aku untuk menyampaikan lamaranku pada Danastri dulu. Kalau diterima, barulah kami akan datang secara resmi kepada orang tuanya.

Waktu itu, aku sesumbar pada Mama bahwa Danastri pasti akan menerima lamaranku. Namun, apa yang terjadi? Danastri belum bisa menerimanya.

"Kamu pilih aku atau melanjutkan kuliahmu?"

"Tolonglah, Wibi. Jangan sodorkan aku pilihan yang ndak mungkin aku pilih salah satunya. Kasih aku waktu biar dua-duanya kesampaian." 

"Itu artinya kamu lebih memilih melanjutkan kuliahmu," ujarku emosional saat itu.

Setelah pulang ke Palembang, Danastri masih sempat mengirim pesan kepadaku berkali-kali. Namun, aku mengabaikannya. Aku sudah keburu kecewa.

Bertahun-tahun, aku menyesali kata-kataku itu dan juga sikapku setelahnya. Namun, aku tidak mungkin untuk menarik kembali keputusanku. Mungkin, aku terlalu angkuh untuk itu.

Kami tetap berteman di media sosial seperti sebelumnya. Saat aku merindukannya, aku melihat foto-fotonya di sana. Mengikuti momen-momen yang dibagikannya. Namun, aku tak pernah berkomentar di postingnya, begitu juga sebaliknya. Kami tidak bermusuhan, tetapi juga tidak bisa dibilang masih berteman.

Nasi gorengku sudah habis. Kumasukkan kotaknya ke tempat sampah. Aku kembali memandang ke luar jendela.

Perjalanan ini cukup membuat suasana hatiku membaik. Rasa sakit hatiku pada Arumi terkikis sudah hampir tak bersisa. Tak ada gunanya juga berlama-lama menyimpan rasa sakit itu. Tidak akan mengubah keadaan, 'kan?

Kenangan demi kenangan silih berganti bermain di pikiranku. Semuanya manis, kecuali akhir hubungan kami. Danastri memang tak pernah mengecewakanku, kecuali saat terakhir itu.

Suara informasi di kereta menyampaikan bahwa kami akan melewati pantai. Tidak begitu jelas informasi yang dapat kudengar. Namun, pemandangan di jendela menyajikan apa yang tadi disampaikan.

Aku ingat bahwa setelah melewati pantai itu, kereta tidak akan lama lagi sampai di Stasiun Tawang. Tak sabar rasanya untuk segera tiba di sana. Sudah lama sekali saat aku terakhir kali ke sana.

Rasa tak sabar itu membuatkan menyalakan layar monitor di hadapanku. Kupilih menu untuk menampilkan peta realtime perjalanan kereta. Benar saja, tidak lama lagi kereta tiba di Semarang.

Beberapa saat kemudian, informasi di kereta menyampaikan bahwa kami segera tiba di Semarang Tawang. Akhirnya, sampai juga. Aku bergegas mengambil ranselku dan mengemasi barang-barangku ke dalamnya. Begitu kereta berhenti, aku segera turun.

Menapakkan kaki di lantai stasiun, aku terdiam. Entah mengapa, aku berharap Danastri datang menjemputku. Harapan yang aneh!

Dengan lunglai, aku berjalan bersama para penumpang lainnya. Cukup banyak penumpang yang turun di sana. Kereta masih akan melanjutkan perjalanannya lagi ke Surabaya. 

Sudah banyak yang berubah di stasiun ini. Sekarang, semua tampak lebih rapi. Sebuah kemajuan yang besar dalam dunia perkeretaapian Indonesia. 

Otakku mulai memikirkan di mana aku akan menginap di Semarang. Menghabiskan waktu beberapa hari berkeliling kota. Tentunya, mengunjungi tempat-tempat di mana dulu aku menghabiskan waktu bersama Danastri.

Begitu sibuknya aku memikirkannya sampai tanpa sadar aku hampir menabrak seseorang yang berdiri di hadapanku. Aku terdiam sejenak. Kupandangi perempuan yang sedang berdiri tegak berhadapan denganku itu.

"Wibisana," ujar perempuan itu. 

Aku tersentak. Rasanya seperti sedang bermimpi. Tidak ... aku tidak sedang bermimpi. Aku juga tidak sedang berhalusinasi jika mendengar suara perempuan itu begitu aku kenal. Ya, suara Danastri.

"Aku Danastri," ujarnya berusaha meyakinkanku sambil membuka masker yang dipakainya.

"Hai!" sapaku canggung. Aku tidak tahu harus bicara apa. Pertemuan ini sungguh tidak kusangka. 

Danastri tersenyum. Manis seperti senyumnya dulu. "Aku datang untuk menjemputmu."

"Menjemputku?" Aku bertambah heran. Bagaimana bisa dia datang untuk menjemputku? Sejenak, aku seperti hilang kesadaran. Aku tidak mengerti akan apa yang sedang kualami.

Dia menyodorkan ponselnya untuk kulihat. "Ini ... aku tahu kamu akan kemari."

"Mestinya, aku ada di foto itu  ... di sampingmu," lanjut Danastri sambil menggandeng tanganku.

Aku hanya diam dalam kebingungan. Tanpa protes, aku mengikutinya berjalan ke luar stasiun. Aku juga tidak menolak ketika dia membukakan pintu mobilnya dan menyuruh aku naik.

"Kamu ndak nanya gimana aku tahu kamu bakal ke sini dengan melihat fotomu itu?" ujar Danastri sambil mengemudikan mobil keluar dari halaman stasiun.

"Gimana?"

Danastri tertawa mendengar pertanyaan singkatku. "Kamu itu masih seperti dulu. Irit banget kalo ngomong."

"Untuk apa ngomong panjang-panjang?" balasku membela diri.

"Ya wes, tak jelasin," lanjutnya dengan logat Jawa-nya. "Aku ndak lupa kalo hari ini anniversary kita."

"Terus?"

"Kamu dulu pengin foto dengan latar belakang Monas kayak gitu, 'kan?"

"Terus?"

"Waktu itu, kita mau balik ke Semarang."

"Terus?"

"Terus ... aku mandi setelah lihat fotomu itu."

"Apa hubungannya?"

"Ya mandi dong. Masa aku ndak mandi?"

"Ada kotak obat di mobilmu?" tanyaku.

"Untuk apa?" tanya Danastri santai.

"Mau cari obat sakit kepala."

Danastri tertawa. "Ndak perlu." Dia pasti masih hafal dengan kata-kataku yang mencari obat sakit kepala kalau sedang bingung mendengar ocehannya. "Aku mesti wangi dong kalo jemput kamu."

Danastri menepikan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan. "Masih pusing?" tanya Danastri sambil tersenyum. "Aku pijitin kalo masih pusing."

Aku akhirnya bisa tertawa melihat ulahnya. Dia memang masih seperti yang dulu. Cerdas, senang guyon, ceria, dan menggemaskan. Kemarahanku saat terakhir kali bersamanya musnah sudah.

"Kamu ke sini untuk mengenang perjalanan denganku, to?"

Tebakan Danastri begitu telak. Dia memang selalu jitu menebak apa yang aku lakukan. Aku tak bisa mengelak kecuali mengangguk.

Danastri menggenggam tanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah sendu. Matanya berkaca-kaca. "Makasih, Wibi." Suaranya bergetar. "Aku selalu berharap suatu saat kamu bakal mencariku kemari."

Kupeluk tubuh Danastri. Kubiarkan dia menangis di pundakku. Aku tak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Dia tidak perlu kuhibur dengan kata-kataku. Tentu saja, dia menangis terharu bukan karena sedih.

Dia kembali mengemudikan mobilnya setelah tangisnya usai. Matanya masih merah, tetapi ekspresinya sudah berubah ceria kembali. Sesekali dia menyibak rambutnya sambil terus bercerita tentang Semarang setelah aku pergi dulu.

Sebenarnya, aku bukannya tidak tahu sama sekali tentang perkembangan kota ini. Beberapa kali, aku mencari informasi tentang perkembangannya. Terutama, jika aku merindukan saat-saat bersama Danastri.

* * * * *

"Di sini, dulu kita pertama kali bertemu," ujar Danastri setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan Gedung Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. 

Kenangan saat kuliah seakan membawaku kembali ke masa itu. Terbayang bagaimana Danastri tidak pernah malu menggandeng tanganku saat kami berjalan di lingkungan kampus ini. Meski teman-teman kadang menggodanya, dia tidak peduli.

Berdiri di depan gedung utama Fakultas Hukum yang tampak megah dengan empat pilar kokoh yang menopang teras depannya membuatku teringat akan nama besar yang dikukuhkan sebagai nama gedung itu. Profesor Tjip, begitu kami memanggil beliau. Nama besar itu juga yang membawaku jauh-jauh dari Palembang untuk kuliah di sini.

"Kampus ini mempertemukanku denganmu," ujarku. "Di sini, aku juga kehilanganmu."

"Ndak ... kamu ndak kehilanganku," bantah Danastri. "Aku ada di sini bersamamu sekarang."

"Iya, untuk sementara."

"Kamu salah," bantahnya lagi. "Aku akan ada bersamamu selamanya."

Aku menoleh kepada Danastri yang berdiri di sampingku. Dia balas menatapku. Tangan kanannya menggenggam tangan kiriku. 

"Kamu datang ke sini bukan sekadar untuk mengenang masa lalu, 'kan?" Dari tatapan matanya, aku tahu dia sedang serius.

"Tadinya begitu."

"Wibi, apakah kamu sudah punya calon istri?"

"Kenapa calon? Bukan bertanya apakah aku sudah beristri?"

"Aku tahu kamu pasti belum menikah."

Aku menarik tangannya untuk berjalan mengitari kampus. Suasana kampus sepi di masa pandemi ini. Hampir tidak ada orang yang kulihat berjalan di sekitar sini.

"Sebenarnya, aku hampir menikah." Aku mulai membuat pengakuan. Danastri hanya diam mendengarkan sambil berjalan di sisiku. "Tapi, aku batal menikahinya karena dia mencintai lelaki lain."

Danastri menahan tanganku. Mau tak mau, langkahku terhenti. Dia menatapku tajam.

"Perempuan bodoh mana yang ndak bisa mencintaimu?" Nada bicaranya tegas. "Hampir menikah, tapi dia ndak mencintaimu? Aneh."

"Aku gak bisa memaksa orang untuk bisa mencintaiku, 'kan?"

"Berapa lama kalian bersama?"

"Hampir satu tahun?"

Danastri menatapku heran. "Hampir satu tahun, kamu ndak bisa membuatnya jatuh cinta?"

"Bukan begitu. Sebenarnya, dari awal kami sama-sama gak tertarik satu sama lain. Kalau bukan karena Mama dan ibunya yang bersepakat menjodohkan kami, mungkin kami gak akan pernah menjalin hubungan."

"Hampir satu tahun ... dijodohkan? Jadi, selama sembilan tahun setelah kita berpisah, kamu ndak pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain?"

Aku menggeleng. "Kamu mau aku jujur padamu?"

"Kalo kamu mau."

"Aku gak bisa melupakanmu," ujarku lirih. "Bertahun-tahun, aku gak bisa berpaling darimu sampai Mama memohon agar aku segera menikah."

"Kenapa bertahun-tahun kamu tahan menderita? Kenapa? Kamu gengsi untuk mencabut kata-katamu sendiri?" Nada bicara Danastri terdengar emosional. "Sampai detik ini, aku masih berharap kamu kembali, Wibi."

Tangis Danastri sudah hampir pecah. Aku merengkuhnya ke dalam pelukanku. "Maafkan aku, Astri."

Dia terus menangis tersedu. Kubiarkan dia menumpahkan sesak yang mungkin bertahun-tahun ini dirasakannya.

"Aku cuma memintamu menunggu satu setengah tahun, tapi kamu ndak terima. Kamu malah memilih menderita bertahun-tahun." Danastri mengurai dekapanku. "Kamu bodoh, Wibi!" ujarnya kesal sambil memukul dadaku.

"Ya, aku memang bodoh," jawabku lemah. 

Danastri kembali terisak sambil memelukku erat. "Jangan bodoh lagi, Wibi! Peluk aku! Jangan kamu lepaskan lagi!"

Tak terasa, air mataku ikut meleleh. Aku tak menyangka cintanya padaku masih begitu kuat. Rasa sesal seketika hadir dalam hatiku. Penyesalan atas sikap keras kepalaku dulu. 

"Jangan pernah tinggalkan aku lagi!" Danastri memohon. "Apa pun akan aku lakukan agar aku bisa selamanya bersamamu."

 Aku mengerti keinginannya. Tanpa perlu bertanya, aku tahu dia sudah menerimaku kembali. Jangan sampai aku melakukan kesalahan padanya lagi.

"Sudah, nanti dilihat orang ... malu," ujarku sambil menyeka air matanya dengan saputanganku. Untunglah, kami sedang berada di samping gedung yang sepi.

Melihat saputanganku, Danastri seperti teringat akan sesuatu. Dia segera membuka tas selempangnya, lalu mengeluarkan saputangan.

"Ini ... aku kembalikan saputanganmu," ujarnya.

"Kamu masih menyimpannya?"

Aku teringat pernah memberikan saputangan itu ketika dia menangis saat mbah-nya meninggal dulu. Aku tidak mau menerima ketika dia mengembalikannya padaku. Dia lalu menyimpan dan selalu membawa saputangan itu dalam tasnya. 

"Kamu tahu kesalahanmu?" ujarnya sambil menjejalkan saputangan itu di genggaman tanganku. "Mestinya, saputangan ini kamu ambil waktu aku mengembalikannya. Kamu ndak boleh memberikan saputangan pada kekasihmu."

Aku tersenyum, "Kamu percaya mitos itu?"

"Terserah apa anggapanmu, aku ndak mau saputanganmu."

* * * * *

Matahari terasa terik saat kami berjalan di halaman Lawang Sewu siang ini. Danastri sengaja mengajakku ke sini untuk mengenang kenakalan kami dulu. Saat itu, kami bolos kuliah Hukum Tata Negara. Kami berdua tertawa mengenang itu.

"Kamu belum cerita tentang kehidupanmu sepuluh tahun terakhir," ujar Danastri sambil memandang lapangan yang ada di tengah Lawang Sewu.

"Gak ada yang menarik," jawabku. "Setelah pulang ke Palembang, aku bekerja di bagian HRD sebuah perusahaan swasta. Keseharianku cuma bekerja, pulang, dan kembali bekerja esok harinya. Kamu sendiri gimana?"

"Begitu selesai S-2, aku kerja sebagai asisten notaris. Tiga tahun terakhir, aku buka kantor notaris sendiri."

"Wah, hebat!"

"Hebat apanya?"

"Kamu sekarang sudah jadi notaris."

"Memang itu tujuanku melanjutkan sekolah, 'kan?"

Tiba-tiba, aku menyadari kekonyolan tanggapanku. Danastri benar, dia bersikukuh melanjutkan sekolah untuk menebus kekecewaan ayahnya yang tidak kesampaian menjadi notaris. Demi itu, Danastri harus kehilanganku.

"Orang tuamu gimana? Sehat?" tanyaku menawar kecanggungan yang sempat tercipta.

"Alhamdulillah, sehat," jawabnya. "Tiga bulan lalu, Ayah pensiun. Sekarang, Ayah dan Ibu tinggal bersama adikku di Surabaya. Adikku khawatir Ayah akan mengalami post power syndrome setelah pensiun. Jadi, dia mengajak Ayah untuk ikut mengelola usahanya di sana supaya Ayah ada kegiatan."

"Jadi, kamu sendirian di Semarang?"

"Iya, sementara waktu," jawabnya.

"Sementara?"

"Iya, mungkin sebentar lagi aku ndak lagi sendirian."

Aku memandang wajahnya penuh tanda tanya. "Kenapa?"

"Kamu akan segera menikah?" tanyaku lagi. 

Rasanya aku belum siap untuk menerima kenyataan dari jawabannya. Baru saja aku memupuk impian untuk kembali menjalin hubungan dengannya. Sekarang, dia memberi isyarat kalau sebentar lagi dia tak akan sendiri lagi. Apakah seseorang sudah mengajaknya menikah?

"Iya." 

Waduh! Tampaknya, aku terlambat. Kenapa baru sekarang aku ke sini dan bertemu dengannya lagi?

"Kenapa?" Danastri balik bertanya. Dia pasti bisa melihat perubahan di wajahku. "Kamu belum siap melamarku? Kamu mau kehilangan aku lagi?"

"Enggak," jawabku cepat. "Tadinya, kupikir ada seseorang yang sudah mengajakmu menikah."

"Belum. Orangnya belum bilang. Aku sedang menunggu ajakannya sekarang."

"Kamu mau kalo kuajak menikah?"

"Mau," jawabnya. "Tapi, ada syaratnya."

"Apa? Jangan berat-berat syaratnya. Aku belum kaya."

Danastri tertawa. "Kamu pikir aku bakal minta istana? Atau, bulan madu ke ujung dunia?"

"Katakan, apa syaratnya!" Aku penasaran.

"Syaratnya kamu harus melamarku, tapi ...." Dia seolah sengaja menggantung kalimatnya.

"Ayolah! Jangan bikin aku mati penasaran!" Aku jadi tidak sabar dibuatnya.

"Sabar dong! Sepuluh tahun aku sudah bersabar menunggumu. Masa hanya beberapa menit kamu ndak sabar?"

"Aku takut gak bisa memenuhi syaratmu," ujarku hampir putus asa.

"Aku pernah bilang suatu saat akan menjadi menantu mamamu. Sampai sekarang, itu belum berubah."

Jawabannya tentu saja masih belum memuaskan hatiku. "Tapi apa?"

"Tapi, kamu harus melamarku di atas kereta seperti dulu kamu memintaku jadi pacarmu."

"Berarti, kita harus ke Jakarta dulu, baru balik lagi ke sini?"

"Kamu keberatan?"

"Sama sekali gak keberatan. Kapan pun kamu minta, aku siap."

Danastri tersenyum lebar. Bola matanya yang menyipit berbinar gembira. "Ayo!" Tangannya menarik tanganku.

Aku kaget. Namun, aku tak bisa menolak mengikutinya berjalan tergesa-gesa.

"Kita pulang ke rumahku dulu," ujarnya sambil terus berjalan. "Kita cari penerbangan malam ini ke Jakarta."

"Terus?"

"Besok, kita naik kereta dari Jakarta, tapi ...."

"Tapi, apa lagi?" tanyaku sambil menahan tangannya untuk berhenti dulu. Aku terengah-engah sambil berdiri lemas di halaman samping Lawang Sewu.

"Tapi, kita ndak berhenti di Tawang. Kita langsung ke Pasar Turi."

"Ke Surabaya?"

"Iya, kamu harus minta pada Ayah untuk menjadikan aku istrimu."

Kali ini, aku yang menarik tangannya. Kami berlari menuju ke mobilnya. Lemasku hilang seketika. Kami harus bergegas pulang ke rumahnya, lalu mencari penerbangan ke Jakarta. Waktu tak akan menunggu.

"Kamu tahu apa yang selalu kurindukan darimu?" tanya Danastri sambil mengemudi.

"Apa?"

"Pelukanmu," jawabnya. "Pelukanmu membuat aku merasa dicintai. Aku ndak mau kehilangan itu lagi."

Jumlah kata: 3.214


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top