Bab 30

Flashback on

"Karena kakak sudah tahu tentang aku dan juga dia. Jadi aku mohon jangan pernah menceritakan bagaimana sifat Pangeran Galih yang sesungguhnya padanya. Karena aku takut dia akan bersedih dan juga kecewa setelah mendengarnya. Aku mengatakan padanya bahwa Pangeran Galih adalah orang yang baik dan aku bahagia bersamanya."

"Tapi Sari dia juga berhak tahu bagaimana kondisimu karena..."

"Aku mohon Kak kali ini saja. Aku mohon jangan beri tahu dia. Aku hanya ingin melihatnya merasa tenang saat pernikahan ku nanti. Meskipun aku tahu dia akan tersakiti, tapi setidaknya jika dia tidak mengetahui bagaimana sifat asli Pangeran Galih ia akan bisa tenang karena telah melepasku bersama orang yang tepat."

"Baiklah, jika itu keinginanmu maka aku akan turuti. Tapi dengan satu syarat kau harus selalu menceritakan pada kakak jika Pangeran sialan itu menyakitimu."

"Baiklah, Kakak sayang aku akan melakukannya. Tapi ingat jangan pernah mengatakan apapun pada Wisnu. Jika Kakak sampai mengatakannya, dan aku melihat Wisnu bersedih maka aku akan mendiami Kakak hingga Wisnu ceria kembali. Bagaimana?"

"Wow, hukumanmu sangat berat adik kecil. Tapi baiklah karena kakak adalah seorang putra mahkota dan juga seorang lelaki sejati jadi Kakak akan menepati kata-kata kakak."

"Itu baru kakakku," kata Sari sambil terkekeh.

Aku tak habis pikir bagaimana ia masih bisa tersenyum dan tertawa meskipun hari-hari kehancurannya akan tiba sebentar lagi.

"Kakak kenapa aku tidak diajak mengobrol bersama kalian. Apakah aku ini adik tiri?" Tiba-tiba Ningsih mendekat dan menyerobot dalam percakapan kami.

Flashback off

"Sebenarnya apa Pangeran?"

"Ah, lupakan tentang itu. Intinya aku lebih setuju jika kau yang menikah dengan Sari, tapi kau tahu kan jika adat tetaplah adat dan susah sekali untuk diubah. Baiklah, sampai disini dulu percakapan kita aku harus pergi sekarang."

"Baik, Pangeran. Terima kasih juga atas kunjungannya," ucap Wisnu dengan sedikit menundukkan badannya.

"Eum, ngomong-ngomong apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanyaku berjalan keluar ruangan sambil melihat-lihat isi ruangan.

"Mengunjungi makam Arya. Semenjak saya datang kembali ke istana saya belum mengunjungi makamnya," jawaban darinya itu terdengar sangat dalam.

"Hoo." Aku ber-oh-ria dan berjalan menuju jendela ruangan yang terbuka. "Eum... kau..." sambungku menggantung.

"Iya, Pangeran?"

"Wisnu mulai sekarang kau boleh menganggapmku rekan. Karena kita akan lebih sering bekerja bersama mulai dari sekarang."

Ya, ku tau Arya adalah sosok sahabat yang sudah seperti adiknya sendiri. Tapi aku ingin lebih dekat dengan Wisnu.

Dengan semakin dekat dengan Wisnu setidaknya ini yang bisa ku lakukan untuk adikku. Aku juga tau adikku tak bahagia dengan pertunangan ini.

Aku sangat mengenal Galih yang akan menjadi calon suami adikku itu. Dia bukan hanya hubungan percintaan Galih yang tidak jelas, tapi di medan perang pun dia selalu saja menjadi beban.

Galih itu nekat, bahkan ia tak segan menghabisi pengikutnya sendiri untuk mencapai tujuannya sendiri. Motifnya menerima pertunangan ini juga karena tahta.

"Eum, i-iya Pangeran."

"Haha, tidak usah kaku seperti itu Wisnu. Aku memang bukan Arya tapi... jangan sungkan untuk meminta bantuan padaku, Apapun itu." Senyumku sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Wisnu hanya tersenyum. Namun, aku bisa melihat ada senyum itu terasa sangat sendu dan semu.

"Ah, mau ku bawakan?" tawarku setelah melihat kotak kayu lumayan besar berisi banyak pakaian.

"Ti-tidak usah pangeran saya bisa."

"Sudahlah..." Tanpa memberinya kesempatan menjawab, sudah ku angkat kotak kayu itu terlebih dahulu.

"Ini mau di bawa ke ruangan barumu kan?" sambungku.

"Iya, Pangeran tapi..."

Huh, masa bodo aku langsung pergi meninggalkan Wisnu membawa kotak kayu berisi pakaian itu untuk ku bawa ke ruangannya. Dan ruangan Senopati memang masih satu lorong dengan ruanganku.

Ngomong-ngomong soal Senopati si Bara bagaimana ya sekarang? Setahuku jasadnya di gantung di alun-alun. Bukannya akan membusuk dan menimbulkan ketidaknyamanan? Nanti ku minta Ayah untuk menurunkannya. Kasihan penduduk di dekat situ.

Senopati itu bahkan saat sudah menjadi jasad, masih saja merepotkan. Tapi Aku penasaran senjata yang ia gunakan itu sangat aneh. Hanya dengan satu dorongan dengan jarinya, ia bisa hampir membunuhku.

***

Wisnu POV

Hari penobatanku sebagai Senopati telah selesai. Tapi tak ada rasa sedikitpun. Aku bingung untuk mengekspresikan emosiku saat ini antara kesedihan dan kebahagiaan. Mana yang harus ku pilih?

Pangeran Haris ia sebenarnya mendukung hubunganku dengan Sari. Tapi bagaimanapun aku dan Sari hanya di takdirkan saling mencintai, bukan saling memiliki.

Apa aku ini seorang Hans? Hans mungkin sudah tiada. Aku bukan lagi Hans. Aku Wisnu yang mencintai Sari. Dan aku tak malu mengakuinya. Ini konyol. Aku menerima diriku sebagai Wisnu sepenuhnya.

Arya aku harus mengunjunginya. Aku meminta sang raja untuk memakamkannya di makam para kesatria dan Raja menerimanya dengan senang hati dan tak keberatan.

Aku memutuskan untuk pergi ke makam Arya, tidak di temani siapapun. Entah kenapa aku ingin meminta maaf secara pribadi padanya.

Lagi-lagi hal konyol yang aku lakukan. Mana bisa aku berbicara pada orang yang sudah mati. Tapi aku percaya Arya sedang melihat dan mengawasi ku di sana.

Aku tak membawa persenjataan apapun ke sana. Hanya memakai celana kain putih yang di balut kain batik, serta baju kain berwarna putih pula. Karna aku ingin mengunjungi sahabatku bukan sedang menyerang musuh.

Aku menaiki kuda hitam kesayanganku dan di tengah perjalanan banyak warga dan rakyat yang mengucapkan selamat atas kenaikanmu dengan melemparkan bunga mawar. Tahu dari mana mereka? Sepertinya berita kerajaan memang sangat mudah tersebar.

Tentang bunga mawar ku mengingat Sari di ladang bunga mawar lah ia sering menyendiri, dan di sana pula lah dia mengungkapkan satu kalimat yang membuat hatiku teriris sangat dalam.

Setelah Sampai di makam para kesatria. Aku menitipkan kuda ku pada penjaga makam. Dan Aku juga sempat membeli beberapa bunga untuk ku taburkan.

Setelah sampai di makam Arya. Lihatlah makamnya sangat bersih dan terawat. Aku harus memberikan uang tambahann untuk penjaga.

"Arya..."

Tangisku pecah. Aku tak sanggup.

Aku tak sanggup lagi. Jiwaku adalah Wisnu, aku bukan Hans yang tanpa perasaan lagi. Semua beban pikiran ini menyiksaku. Lupakan segala gengsi ku, aku bukan Hans. Aku Wisnu tak ada salahnya menangis.

Manusia pada umumnya juga menangis, mau sekeras apa batu lapisan hati manusia, di dalamnya hanyalah kaca yang mudah sekali pecah.

Maafkan aku Arya. Maafkan aku Sari karna telah mencintaimu. Maaf kan aku Wisnu. Andaikan aku tak masuk ke dalam jiwamu, kau tak akan pernah merasakan ini.

Sudah berapa lama aku menangis di makam Arya. Aku memutuskan untuk mengistirahatkan otakku kembali ke kerajaan. Tapi Aku tak langsung kembali. Aku ingin berjalan-jalan ke sekitar kerajaan untuk melihat kondiri rakyat saat ini.

Ketika aku sampai ke alun-alun, tercium bau yang lumayan menyengat. Aku baru ingat Bara jasadnya masih saja tergantung di atas sana. Wajahnya sudah tak berbentuk karna pembusukan dan itu menjijikkan.

Besok aku yang akan membereskannya. Kasihan para penduduk yang berjualan di sekitar alun-alun. Ku lihat banyak yang tutup, padahal masih sangat awal sore.

Aghh, aku sudah tidak tahan. Di dekat sini untungnya ada beberapa prajurit yang berjaga.

"Hei, kalian!" panggilku pada tiga orang prajurit yang berjaga.

Mendengar panggilanku mereka langsung mendekat. "Tolong, kremasi jenazah Senopati Bara dengan layak. Saya akan beri tiga ratus keping emas untuk masing-masing kalian."

Bagaimanapun ini sudah cukup. Senopati Bara juga sangat berjasa bagi kerajaan di beberapa peperangan.

"Baik, Raden." Mereka mengangguk dan bergegas untuk menjalankan perintahku.

"Satu Minggu dari sekarang. Kita akan menyerang kerajaan Widyagandhi."

"Satu Minggu lagi adalah pernikahan Sari."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top