Bab 23
Hans POV
Malam ini aku ingin menemui Senopati Bara untuk membicarakan sesuatu mengenai hal yang terjadi tadi pagi.
Aku ingin memastikan sesuatu dulu. Kamar Putri Sari tertutup dan terdengar hening mungkin ia sudah tertidur.
Aku menuju kamar Senopati Bara yang letaknya bersebelahan dengan dapur. Syukurlah, pintunya masih terbuka. Ia masih belum tidur.
"Senopati," panggilku pelan. Aku tak ingin ada yang mendengar pembicaraan kami, jadi ku tutup pintunya dari dalam begitu masuk.
"Apa yang kau inginkan?" tanyanya ketus. Oh, dia sedang bertelanjang dada sembari mengoleskan tanaman obat di beberapa lukanya.
"Ada yang ingin ku bicarakan serius denganmu."
Aku mendekati Senopati dan duduk di tepi ranjang bersebelahan dengannya.
"Cih, kau sama sekali tak pernah belajar sopan santun ya budak?"
"Langsung saja. Aku ingin kau membantuku untuk menghabisi Arya."
"Apa untungnya untukku?"
"Tadi pagi ketika sedang membersihkan diri di sungai. Aku melihat ada sebuah gubuk tak jauh dari sana. Saat masuk kedalam gubuk itu. Aku melihat sepucuk surat berisikan mengenai penyerangan terhadap seseorang." Dari sini Aku bisa melihat ekspresinya yang mulai serius.
"Lalu?" tanyanya dengan mengangkat sebelah alisnya.
"Surat itu Aku menduga berasal dari salah satu anggota kerajaan kepada mantan temanku. Pangeran Haris dan Arya. Arya ada di gubuk itu dan kemungkinan juga Pangeran Haris juga akan datang membantunya," jelasku panjang lebar. Senopati Bara berdiri dari posisinya dan menuju nakas untuk mengambil minum.
"Jadi kau ingin aku membantumu untuk menghabisi Arya dan pangeran Haris?" ucap Senopati Bara sambil menuangkan air putih dari kendi ke dalam gelas bambu.
"Iya, tepat sekali. Aku tak ingin ada yang mencelakai keluarga kerajaan," ucapku.
Senopati Bara meneguk air di gelasnya. Kemudian duduk kembali di sebelahku sambil bersedekap dada, lalu melihat kearahku.
"Kau lucu. Apa kau sedang melawak? Bukan tidak ingin ada anggota kerajaan yang terluka, tapi kau tak ingin Sari kesayanganmu itu ada yang menyentuhnya."
Benar ini semua adalah untuk Sari.
"Baiklah, budak. Besok kita akan menyergap gubuknya besok sebelum matahari terbit. Aku yakin ia tak akan siap."
•
•
Akhirnya aku menemukan titik kesepakatan dengan orang yang sebenarnya sedikit tak ku suka. Besok sebelum fajar rasanya aku agak merinding, bisa-bisanya cinta membuatku berpikir untuk bermusuhan dengan sahabatku sendiri.
Tapi yang ku lakukan tidak ada yang salah. Arya sudah beberapa kali ingin mencelakai Sari. Aku tak tahu untuk apa ia melakukan itu.
Apa yang ia inginkan dengan pangeran Haris sialan itu. Ah, kurasa alasan bagi pangeran Haris karena ia iri dengan Putri Sari karena ia sangat dekat dengan rakyatnya. Pangeran Haris adalah putra mahkota, wajar baginya memiliki gengsi seperti itu.
Tapi Arya. Maaf Arya, aku sangat membencimu untuk saat ini. Kau sudah berlebihan dan keterlaluan. Bersiaplah untuk besok.
Aku mencoba memejamkan mata tapi sulit sekali. Sekarang ku rasa sudah sangat larut malam mungkin sudah pukul setengah dua jika dilihat dari letak bintang di atas sana.
Aku memutuskan untuk keluar mendinginkan pikiranku. Sebenarnya Putri menyuruhku untuk beristirahat saja karena besok siang kita akan memulai pembangunan desa ini.
Tapi maaf aku benar-benar tidak bisa tidur malam ini. Namun, bagaimana pun kesibukanku tidak akan pernah membuatku lelah. Sudah terbiasa kerja lembur di jamanku. Bahkan setiap hari aku hanya tidur empat jam saja.
"Hmmmm...." suara gumaman menyambut telingaku ketika Aku baru membuka pintu keluar.
Suara apa ini? Eum, ini desa yang masih asri, mungkinkah ada hantu? Ah, itu tidak mungkin karena sudah beberapa hari aku berada disini dan tak ada gangguan dari mereka.
Ku putuskan untuk mencari sumber suaranya. Aku melihat ada punggung seseorang memakai kebaya hijau sedang duduk di hamparan bunga mawar dari kejauhan.
Tunggu itu bukan hantu. Kebaya itu sangat ku kenali, mungkinkah Sari? Karena rasa penasaran aku mendekatinya, gumaman nadanya terhenti.
Begitu aku mendekat, tak ada perasaan takut sama sekali, ini menenangkan. Angin malam yang dingin seakan mendorongku untuk semakin mendekati wanita itu. Dan benar saja.
"Sari?"
"Wisnu? Kamu belum tidur?" tanyanya hanya menolehkan kepalanya tanpa berdiri.
Aku membalasnya dengan senyuman lalu duduk di sebelahnya.
"Apa yang... kamu... menangis?" Ku lihat air mata yang masih sesekali menetes dari matanya. Ku usap dengan kedua tanganku dengan lembut.
"Apa yang terjadi? Kamu kenapa?" Sungguh jangan menangis hatiku juga akan merasakan itu. Rasanya sakit.
Seketika Sari memelukku erat di dinginnya malam ini hangat dan nyaman, tapi lagi-lagi ada rasa sakit di hatiku.
"Wisnu... ada yang ingin aku bicarakan." Serius nadanya bicaranya kecil, tetapi sangat serius.
Aku tak membalas hanya mengelus rambutnya sambil menciumi helaian ini secara perlahan dan lembut.
"Aku akan...."
"Akan?"
"Sebelum itu berjanjilah untuk tidak akan marah." Mendengar hal itu, seakan ada yang ingin menarik paksa jantungku.
"Kamu akan mengakhiri hubungan ini?" balasku seolah sudah tau tujuannya. Mungkin memang itu yang ia inginkan.
"Bukan... eum... mungkin... tapi Wisnu..." Isakan tangis dan pelukan yang semakin erat ku rasakan darinya.
"Tidak apa, katakan." Oh, Tuhan ini sakit, sangat sakit. Padahal baru saja aku merasakan kebahagiaan ini. Ini terlalu cepat, sangat cepat.
"Aku sudah dijodohkan. Besok eum... jika dihitung nanti adalah hari pertunangan ku." Mati! Kata itu yang terlintas di pikiranku, hatiku dan hidupku mendadak mati. Aku sulit mengungkapkan perasaan ini.
Ah, sialan! Air mataku tumpah. Ini pertamakalinya aku menangis sejak hari itu. Sejak Ibuku. Tuhan kau keterlaluan.
Setelah Ibuku sekarang sang Putri, dua orang wanita yang aku cintai dan sayangi. Kau merenggutnya.
"Maafkan aku Wisnu. Aku tak bisa egois untuk kali ini." Tangis kami pecah.
"Kamu tak perlu minta maaf, bukan kesalahanmu. Dan lagi... takdir yang Tuhan ciptakan untuk kita hanya untuk saling mencintai, bukan saling memiliki."
"Wisnu...." Aku tak boleh terlihat lemah. Aku harus menahannya, ini menyakitkan tapi harus.
"Sari...." Putri menoleh lalu aku menciumnya sekilas. Setelah itu kami saling pandang, lalu aku menciumnya lagi. Namun, kali ini ciuman kami jauh lebih lama dari biasanya.
•
•
Kami memutuskan untuk kembali ke penginapan setelah puas melepas kesedihan dan isi hati kami. Karena siang nanti Puteri Sari harus kembali ke kerajaan untuk acara tunangannya dan aku juga harus bersiap untuk melakukan serangan dengan Senopati Bara.
Ayam jago sudah mulai terdengar berkokok. Namun, matahari belum menampilkan wajah indahnya. Ini saat yang sangat membuat otakku kosong tak dapat berpikir.
Memikirkan Sari yang bertunangan ataupun penyerangan ini. Sudah ku coba untuk fokus ke penyerangan, tapi entah kenapa isi kepalaku tidak ingin bekerja.
Efek ngantuk? Mungkin saja, aku sedikit lemas setelah mendengar pernyataan dari Puteri Sari tadi. Ah, aku bingung bagaimana mengatakannya, tapi ini membuatku sesak dan sedikit mual.
Aku menyiapkan semua yang ku perlukan untuk penyerangan. Aku membawa lengkap senjata kesayanganku.
Dua pedang di kanan dan kiri. Sebuah tombak, sebilah belati yang tersembunyi di kaki kiri ku. Dan ada tambahan satu senjata tersembunyi lain yang ku persiapkan untuk ini.
"Wisnu kau siap?" Senopati Bara juga sangat siap dengan sebilah pedang, panah dan anak panah yang ia bawa.
"Tentu saja," ucapku lemas dan segera menaiki kuda putihku. Senopati Bara pun juga melakukan hal yang sama.
"Apa ini? Kau belum tidur? Lemas sekali," ucapnya menggelengkan kepala.
"Jangan jadi beban, atau kau ku bunuh terlebih dahulu," sambungnya.
Ku balas dengan senyum sinis. "Coba saja," kataku dan langsung memacu kudaku untuk menuju gubuk Arya.
Arya maaf aku harus melampiaskan sakit hati ini kepadamu juga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top