Bab 21
Author POV
Wisnu berjalan menuju sungai yang berada tak jauh dari tempat peristirahatan rombongan kerajaan. Sebelum ini Wisnu belum pernah pergi ke sana. Atas saran dari kepala desa hari ini Wisnu pun memutuskan untuk membersihkan diri disana.
Tak perlu waktu lama akhirnya Wisnu tiba di tepi sungai. Namun, saat akan berendam Wisnu mengurungkan niatnya karena ia melihat sesuatu yang janggal. Dari kejauhan Wisnu bisa melihat sebuah gubuk kecil di antara semak-semak yang ada di seberang sungai.
Gubuk tersebut merupakan gubuk tua biasa. Namun, jika dilihat lebih teliti gubuk tersebut terlihat bersih. Perasaannya mengatakan kalau ia harus ke sana.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari pemandangan tersebut. Tapi Wisnu teringat akan kata-kata kepala desa bahwa tidak ada orang yang tinggal di sekitar sungai itu.
Dan logikanya jika tidak ada yang tinggal di tepi sungai mengapa gubuk tua tersebut terlihat bersih. Bukankah seharusnya gubuk tua tersebut tidak terawat dan juga kotor?
Walaupun seperti itu Wisnu tetap mencoba berpikir positif. Bisa saja warga yang mengurusnya dan membersihkannya. Tapi itu tetap aneh bagi Wishnu.
***
Wisnu POV
Aku sedikit tidak. Aku sangat penasaran dengan gubuk yang berada di tepi sungai itu jadi sebelum membersihkan diri aku memutuskan untuk mengeceknya terlebih dahulu.
Ketika aku telah tiba di depan gubuk tersebut. Aku tidak menemukan tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Namun, bagiku tempat ini masih terasa janggal.
Akhirnya akupun menelusuri lebih dalam. Aku masuk ke dalam gubuk tersebut.
"Aneh," ucapku bermonolog.
Di dalam gubuk ini terdapat beberapa perabotan rumah tangga sederhana dan juga ada beberapa peralatan perang seperti tombak pedang dan juga alat-alat lainnya. Semuanya tertata rapi pada tempatnya.
Ketika aku berkeliling aku melihat sesuatu yang menyita perhatianku. Aku melihat ada beberapa gulungan kertas berwarna kecoklatan yang berada di atas meja usang yang berada di ujung ruangan.
Aku membongkar gulungan-gulungan tersebut dan menemukan sebuah gulungan bercap kerajaan. Ku ambil gulungan bercap kerajaan tersebut kemudian aku membuka dan membacanya.
•
•
Untuk Arya
Aku tahu semalam kau telah mencoba melancarkan serangan dan juga ingin menghabisinya.
Tapi rencanamu gagal total karena temanmu yang bernama Wisnu itu.
Aku tahu bahwa keinginanmu untuk menghabisinya memang besar. Tapi jika kau melakukan tindakan gegabah seperti semalam maka kau bisa saja kehilangan nyawamu.
Kau beruntung tadi malam Wisnu tidak melaporkanmu. Jika saja Wisnu melaporkanmu maka rencana kita berdua akan benar-benar gagal.
Jadi lain kali jika kau ingin melakukan penyerangan. Kau harus lapor dahulu padaku agar kita bisa menciptakan rencana yang lebih baik untuk menghadapinya.
Ingat bahwa jika kau gegabah maka Wisnu yang akan menjadi korban selanjutnya.
Untuk sekarang aku punya misi untukmu. Mereka berdua Wisnu dan juga Sari sedang keluar istana. Tugasmu adalah untuk mengawasi mereka, sedangkan aku akan menyusun rencana baru untuk kita. Jangan pernah biarkan mereka lepas dari pandanganmu.
Segera siapkan barangmu sekarang juga dan segera ikuti mereka. Aku telah menyiapkan kuda putih di kandang belakang rumahmu. Kenakan kuda tersebut untuk mengikuti mereka saat mereka telah cukup jauh.
Jangan lupa untuk terus berlatih agar kemampuanmu tetap terasah dengan baik, karena lawanmu bukan orang sembarangan.
PH
•
•
Arya sangat menjengkelkan dan menyebalkan. Membuatku muak! PH? Siapa dia?. Eum, Pangeran Haris? Arya ada di sini dan mencoba mencelakai Sari atas perintah dari si pangeran sialan itu.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan Arya? Kenapa ia tega melakukan hal sejauh ini. Ouh, apa jangan-jangan orang baik yang membelinya dan memberi kebebasan adalah si pangeran itu? Wanita tua hanyalah alibinya.
Tapi kenapa? Apakah karena harta dan iming-iming jabatan? Tidak aku mengenal Arya sedari dulu. Dia bukan orang yang seperti itu.
Tapi dari fakta yang ku lihat dengan kedua mataku meskipun aku tak mau mengakuinya. Dia bukanlah seorang Arya yang ku kenal.
Kenapa Arya kenapa?
Baiklah, kau ingin bermain-main denganku. Kau berurusan dengan orang yang salah. Dengan adanya surat ini aku bisa memastikan beberapa hal. Arya ada di sini di gubuk ini.
Dan Oh Tuhan.
Aku harus segera kembali ke Desa. Tanpa berlama lagi aku pergi kembali ke desa. Aku ingat Arya tak ada di sini. Mungkin saja sekarang ia sedang mengawasi Putri dan yang paling buruk. Aku tak ingin memikirkannya sekarang bagaimana caranya aku harus cepat kembali ke desa.
Aku berlari kencang menuju desa, tepatnya ke penginapan karena Sari sedang ada di sana. Saat di tengah perjalanan aku melihat seseorang sedang sempoyongan dengan tampilan tak karuan.
Ku perhatikan lagi. Dia Senopati Bara dan ia terluka. Segera aku menghampirinya.
"Ada apa denganmu? Apa yang terjadi?" tanyaku padanya.
"Sialan! Tanyakan saja pada temanmu sesama budak itu," jawabnya sinis sambil memegang tangan kirinya yang terluka dan terlihat robek.
Aku sangat kesal. Dia sudah sangat keterlaluan. Aku akan menghabisinya sendiri.
"Senopati kita harus segera menuju desa. Putri dalam bahaya."
Ya, itu yang pertama kali harus aku dan Senopati lakukan. Senopati dan aku bergegas pergi menuju penginapan. Setelah sampai aku sama sekali tak melihat ada orang di penginapan.
"Kemana mereka?" gumamku.
"Senopati..."
"Ya, aku tau."
Huh, setahu itukah dia dengan isi hatiku?
Akhirnya kita memutuskan untuk pergi ke pusat desa. Di sana ramai, tetapi tak ada tanda-tanda dari Putri Sari. Bahkan Bi Ijah dan para prajurit sama sekali tak nampak batang hidungnya.
"Aku akan pergi menemui kepala desa dan memberitahukan semuanya. Kau cari saja cintamu itu," ucap Senopati Bara.
Rada kesal dengan ucapannya, tetapi benar juga.
Aku berpisah dengan Senopati Bara dan menuju pasar. Sepanjang perjalanan juga kerap kali aku bertanya kepada penduduk setempat tentang keberadaan sang Putri, tetapi tak ada yang tau di mana dia.
Sial! Kalau sampai terjadi apa-apa dengannya. Aku akan memberikan satu hal yang akan terus diingat oleh Arya. Ia takkan lupa dengan apa yang akan aku lakukan padanya.
Sampai pada aku memutuskan untuk menuju pasar dan betapa bahagianya aku saat melihat Bi Ijah, tetapi hanya Bi Ijah tidak ada Sari.
"Bi Ijah dimana Putri?" tanyaku pada Bi Ijah sesaat setelah mendekatinya.
"Ee... anu Den..." Gelagap Bi Ijah yang seperti ini membuat ada satu kejanggalan di hatiku.
"Apa, Bi? Dimana dia? Bi Ijah tidak menyembunyikan sesuatu kan?"
"Putri Sari...." Yang membuatku kesal adalah Bi Ijah tak mau menatap mataku.
"Saya tak ada toleransi bahkan dengan orang yang lebih tua!" ancamku dengan mata mendelik sinis dan mengintimidasi.
"Ndoro Putri sedang berada di taman belakang kuburan desa, Den," jelasnya gamblang memberitahukan keberadaan sang putri.
Tanpa pikir panjang aku pun segera menuju tempat yang Bi Ijah tunjukkan. Dan benar saja aku melihat bidadariku sedang berdiri di bawah terik matahari pagi sembari menatap dengan tatapan kosong ke arah bunga-bunga mawar di bawahnya.
Aku tersenyum lega walaupun ada perasaan tidak enak yang asing. Aku mendekati dan memeluknya dari belakang.
Ia nampak terkejut dan langsung memutarkan kepalanya menatap wajahku yang bersemayam di bahunya.
"Wisnu..." Nadanya datar dan entah sedikit melukai perasaanku.
"Em."
"Aku..." ucapnya menggantung dan mengalihkan pandangannya kembali ke arah bunga-bunga itu.
"Iya?"
Ia tersenyum sekilas berkata, "Tidak ada."
Hanya itu yang ia ucapkan dan aku melepas pelukannya.
Putri Sari berbalik menghadap ke arah ku.
"Kamu tahu Ayahku memang selalu menuruti kemauanku begitupun aku. Aku tak pernah menolak kemauannya jika itu memang satu hal yang serius dan personal," ucapannya membuatku bingung.
"Maksudmu?"
"Ah, tidak lupakan." Dia sangat suka sekali menggantung kata-katanya. Itu sedikit membuatku membatin.
"Sari?"
"Wisnu... kamu mau menemani aku memasak untuk warga hari ini?"
"Tentu saja. Apa yang tidak kulakukan untukmu." ungkapku bersemangat. Ada yang aneh dengannya.
Dia tersenyum lebar setelah itu memelukku erat, sangat erat. "Jangan tinggalkan aku apapun yang akan terjadi."
Kata-kata ini sederhana, permintaan yang tentu saja akan ku penuhi. "Dan aku minta maaf."
Kurasakan di balik pelukan ia sedang menangis. Aku tak mengerti apa yang ia maksud, tapi seperti ada serpihan kaca di seluruh organ dalamku.
"Sari..."
"Sudahlah," sanggahnya melepas pelukan dan mengusap air mata di pipinya. Aku pun juga turut mengelapnya dengan tanganku.
"Yuk, langsung ke penginapan. Aku sudah menyuruh Bi Ijah untuk membeli bahannya tadi," lanjutnya.
"Iya, benar juga. Aku tadi melihat Bi Ijah sedang berada di pasar."
"Oh, iya. Nanti sore temani aku untuk melihat beberapa tempat di desa untuk urusan pembangunan. Besok bahan-bahan pembangunan dari kerajaan kita dan kerajaan Rotobagon akan datang," pinta Sari.
"Tentu saja!"
Ya, aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Aku ingin tahu dan aku akan berusaha memperbaiki suasana hatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top