Bab 19
Sari POV
Huh, tengah malam begini lapar. Tadi saat di rumah kepala desa. Aku hanya makan sedikit karena aku terus-menerus menyuapi Wisnu.
Aku senang sebenarnya saat ada Wisnu duniaku teralihkan. Aku sama sekali tak tertarik dengan makanan yang berada di depanku.
Rasa laparnya baru terasa sekarang. Aku tak tega membangunkan Bi Ijah karena ia juga membantu memasak kemarin. Dia sangat sibuk dan pasti juga sangat lelah.
Apa aku bangunkan Wisnu saja ya? Ah, tidak! Semalam aku merasa sangat murahan dan agresif sekali di hadapannya. Aku takut jika aku terus menerus seperti itu ia akan muak dengan sikapku.
Ya, sudah lah daripada aku cuman berdiam di atas kasur menahan lapar lebih baik segera mencari makan.
Saat aku membuka pintu kamar. Dia sigap dengan tombaknya berada di samping pintu kamarku.
"Wisnu?" tanyaku heran. Aku perkirakan ini sudah pukul tiga pagi, tetapi dia tetap berjaga dan tidak tidur.
Aneh saja waktu di kerajaan dulu sekitar jam satu ia sudah terlelap tidur karena memang laki-laki itu tak bisa berlama-lama di ruangan Putri meski penjaga pribadi sekalipun.
Mendengar sapaanku ia langsung tersenyum menghadapku. Uh, rasanya seakan ingin ku makan dia. Dia laki-laki tertampan dan termanis bagiku. Baik dalam maupun luarnya.
"Kamu belum tidur?" tanyaku.
"Justru aku yang tanya kenapa kamu belum tidur?" Wisnu bertanya sambil mengelus rambutku perlahan. Memangnya aku kucing apa? Tapi nyaman juga.
"Ih, aku yang tanya di balas tanya."
Wisnu tersenyum kecil dan mengacak-acak rambutku. "Kan memang tugasku untuk menjaga Putri." Katanya.
"Bahkan di luar jam tugasmu?"
"Di luar jam tugas? Tidak ada yang seperti itu. Dari dulu dan seterusnya aku akan menjaga Putri."
"Begitu, ya?"
"Iya, dan dulu di istana aku tak bisa menjagamu sewaktu-waktu karena aturan yang melarangku terlalu lama di ruangan putri. Tapi sekarang berbeda karena kita di luar kerajaan jadi aku bisa terus mengawasimu jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi," jelasnya panjang lebar sembari mencubit hidungku.
Aku hanya tersenyum malu dan entah kenapa diri ini reflek memeluknya. Lagipula tak ada orang.
"Terimakasih aku sangat bahagia," gumamku di pelukannya. Pelukan kami berlangsung sebentar sangat sebentar.
"Jadi kamu mau kemana malam-malam seperti ini?" tanyanya.
Iya, benar juga aku hampir lupa jika sedang lapar. Tapi melihat Wisnu membuat rasa lapar ini lenyap.
"Aku lapar Wisnu," kataku seraya mengelus-elus perutku yang kembali keroncongan.
"Tapi di dapur hanya ada bahan mentah. Oke, akan aku carikan di desa."
Oke? Dia bilang oke?
"Eh, tidak usah Wisnu aku kan bisa masak biar aku yang masak. Kamu bisa membantuku."
"Eum, oke."
Dia bilang oke lagi?
Akhirnya kami pun berjalan bersama ke dapur. Ketika sampai di sana benar yang di katakan Wisnu banyak bahan mentah seperti daging dan sayur serta berbagai rempah-rempah. Dan juga tidak ada makanan di sini lebih tepatnya belum ada karena kami akan membuatnya.
"Kamu mau masak apa?" tanya Wisnu.
"Dilihat dari bahan yang ada sepertinya lebih dari cukup untuk membuat nasi goreng," jawabku sambil mengamati bahan-bahan yang ada.
"Oh, iya. Kamu bisa terpikir untuk membuat nasi goreng dari mana?"
Pertanyaan dari Wisnu itu sontak membuatku kebingungan. Tidak mungkin ku jawab dari masa depan. Dia akan menganggap ku aneh dan mungkin juga bisa-bisa dia menganggapku gila.
"Eum, aku mempelajarinya sendiri. Aku coba-coba saja ternyata enak."
Maaf Wisnu aku harus berbohong. Kalau sudah saatnya aku akan memberitahumu siapa diriku sebelum ini.
Wisnu hanya mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke bahan-bahan yang sudah aku siapkan.
"Apa yang harus ku bantu?" tanyanya.
"Tolong nyalakan apinya dan tolong juga masak berasnya."
"Baik, siap."
Ia pun bergegas mengambil beras lalu ia cuci dan bersihkan untuk di masak.
Aku baru ingat Wisnu belum tidur semenjak perjalanan ke desa ini. Belum lagi dia juga mengalami penyerangan kemarin sore. Dia pasti sangat lelah.
"Wisnu." Panggilku sembari mencabuti sawi dan memotong-motonnya.
"Iya?" Wisnu berdiri dan berjalan ke arah tungku untuk menyalakan api.
"Kamu tidak lelah?"
"Agak lelah sedikit"
Tunggu agak? Ada apa dengan gaya bahasanya.
"Lebih baik pergilah beristirahat."
"Ah, tidak apa-apa. Aku ingin membantumu."
"Kalau kamu tidak beristirahat besok kamu tidak akan bisa menjagaku karena kondisi yang kurang fit dan kurang bertenaga," jelasku sambil mengambil cabai dan mulai memotongnya.
"Aku tidak akan pernah merasa lelah jika ada seorang Putri Sari yang menjadi sumber semangatku."
Ungkapan itu membuatku tersengat seperti ada aliran listrik di perutku. Dan lagi setelah mengatakan itu ia langsung berjalan ke arahku dan memelukku dari belakang.
Sengatan listrik ini semakin parah bahkan ini merambah ke jantung dan kepalaku! Merinding tapi aku menikmati rasa ini.
"Wisnu." Ia hendak melepaskan tangannya yang mengitari perutku. Dan dengan reflek aku menggenggam tangannya agar tetap dalam posisi itu.
"Bukan seperti itu Wisnu. Baiklah, begini saja kalau kamu memang tidak mau tidur maka besok kamu tidak boleh dekat-dekat denganku. Akan ku suruh Bi Ijah saja untuk menjagaku," ucapku ketus melepaskan tangannya dari perutku.
"Hei, Kenapa jadi seperti itu?" tanyanya tak terima.
"Prioritaskan dirimu dulu baru orang lain dan juga aku."
"Baiklah, tapi biarkan aku membantumu memasak."
"Tidak!" tolakku sambil mendorongnya untuk keluar dari dapur.
"Baiklah, iya Putri." Dan ia benar-benar pergi. Tapi aku tak tahu apakah ia benar beristirahat atau jangan-jangan masih menjagaku dari luar. Eum, tapi ia tipe orang yang menepati janji.
***
Setelah hampir satu jam lebih. Akhirnya nasi goreng jadi juga. ku hanya membuat empat porsi saja agar Bi Ijah, Senopati, dan tentu saja Wisnu bisa ikut merasakannya.
Aku perkirakan sudah pukul setengah lima pagi lebih. Karena sudah hampir pagi sekalian aku ingin membagikan nasi goreng ini untungnya Bi Ijah sudah bangun dan membantuku untuk membawa nasi goreng ini ke ruang depan untuk sarapan.
Aku melewati ruangan Wisnu yang nampak terbuka dan untunglah ia menepati kata-katanya untuk tidur. Senopati Bara pun juga sudah bangun dan duduk di lesehan pondok bambu tempat kami beristirahat ini.
Dengan lahap aku dan Bi Ijah yang sudah kelaparan langsung memakan nasi goreng yang sudah terhidang. Untuk jatah Wisnu aku simpan di nakas sebelah tempat tidurnya.
Dan Senopati Bara ku lihat sedari tadi hanya diam melihat piring berisi nasi goreng buatanku. Em, dia tidak suka masakan ku? Ah, tidak. Kalau tidak salah ini pertamakali ia memakan nasi gorengku.
"Kenapa hanya dilihat?" tanyaku membuat Senopati melirik perlahan ke arahku.
"Ini buatan Tuan Putri?"
"Iya, itu buatanku kenapa? Apa tidak enak?"
"Ah, tidak. Saya bahkan belum memakannya. Hanya saja..." ucapannya ia gantung dan segera memakan nasi goreng tersebut.
Ada apa dengannya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top