Bab 18
Hans POV
Tak lama kemudian kepala desa kembali dengan membawa semacam ukiran tulisan Jawa di papan kayu sepanjang satu meter dan juga sepasang keris dengan sarung berwarna Putih dan emas. Eum, kurasa bukan putih, tapi perak.
"Ndoro Puteri ini adalah hadiah sebagai rasa terimakasih kami warga desa karena Ndoro Putri mau berkunjung dan memajukan desa kami," ungkap sang kepala desa kepada kami sembari tersenyum.
"Kami merasa sangat tersanjung. Tapi mohon maaf, kami tak bisa menerimanya," ucap Putri Sari.
Apa yang di katakan Putri sungguh membuatku sangat terkejut. Kenapa ia menolak?
"Bukannya kami tak menghargai pemberian dari kalian tapi ... aku tahu ini adalah pusaka desa ini. Lebih baik kalian menyimpannya," sambungnya memperjelas alasannya.
Hum, memang benar dia menarik. Aku semakin mencintainya. Dia sangat sempurna ada aku beruntung memilikinya. Aku harus benar-benar menjaga dia.
"Tapi Putri hanya ini yang bisa kami berikan sebagai ucapan terima kasih," ucap sang kepala desa dengan wajah yang terlihat sedih. Aku tau kepala desa ini sangat tulus dan jujur.
"Sudah anda sudah memberikan yang jauh lebih baik dari ini."
Sudah? Ah, aku tau maksudnya. Mungkin karena desa ini nantinya akan memberikan banyak potensi yang akan memajukan kerajaan. Mungkin itu. Kini aku mulai hafal cara berpikirnya.
"Sudah?" tanya sang kepala desa.
"Iya, dengan Anda menyetujui pihak kerajaan melakukan pembangunan di sini ini sudah merupakan hadiah yang luar biasa bagi kerajaan. Desa ini sangat berpotensi."
Benar kan dugaanku.
"Dan lagi desa ini telah memberikan saya sesuatu yang jauh lebih luar biasa lagi," imbuhnya sambil melirikku.
Tunggu sepertinya aku tau
maksudnya. Ah, bolehkah sekarang aku menciumnya disini? Dia membuat pikiranku memikirkan yang iya-iya.
"Ekheem." Suara batuk intrupsi seseorang membangunkan lamunanku dengan Puteri Sari yang sedang saling tatap dan tersenyum. Siapa lagi si pengganggu itu kalau bukan Senopati Bara.
"Tuan Putri sepertinya kita akan menetap disini lebih lama. Baginda Raja yang memberi perintah untuk mengawasi pembangunan disini," kata senopati bara.
"Tapi hanya Saya dan para prajurit saja yang tinggal. Tuan Puteri, Wisnu dan Bi Ijah bisa pulang ke kerajaan," imbuhnya.
"Ha? Tidak! tidak. Aku mau ikut juga menetap di sini. Bersama Wisnu dan Bi Ijah juga," ucap Putri Sari.
"Tapi Putri."
"Sudahlah aku ini Putri kerajaan dan aku sendiri yang akan meminta pada Ayahanda. Lagipula aku ingin menjadikan desa ini sebagai desa wisata juga," jelasnya.
"Cih, dasar anak raja sialan," gumam Senopati Bara.
"Hei, jaga bicaramu!" intrupsiku. Aku sungguh tak terima bila Putri yang tangguh ini dianggap sebagai anak manja olehnya.
"Sudah Wisnu."
Namun, Putri Sari mencegah dengan menggenggam tangan kiriku dan mengelusnya. Seketika emosiku mereda dengan cepat karena mendapat perlakuan seperti itu.
Pada akhirnya kami pun menyudahi acara terima kasih yang diadakan kepala desa. Kami menyudahi acara ini dengan keputusan kalau kami akan tinggal beberapa waktu lagi disini.
Kami kembali menuju tempat peristirahatan. Namun, aku dan juga Putri Sari berada di belakang. Sangat di belakang karena kami masih mau menikmati malam berdua sebelum beristirahat.
Sungguh kalau aku kembali ke zaman asalku. Aku akan memberikan bayaran lebih ke para bawahanku.
"Wisnu," panggil Putri Sari. Aku baru sadar Putri Sari selalu memanggil namaku dulu sebelum berbicara.
"Iya Putri?"
"Bukankah sudah ku bilang panggil Aku Sari!" protesnya dengan memegang erat tanganku sembari berjalan menuju tempat istirahat.
"Eh, I-iya Sari?"
"Eum, kamu tahu. Kamu itu tampan."
Tunggu kamu? Hatiku berflower-flower mendengarnya.
"Tidak ada balasan kah?" sambungnya.
Aku tahu maksudnya. Dia lucu sekali seperti anak kecil yang meminta imbalan ketika sudah memberi sesuatu.
"I-iya Sari kau juga cantik," ucapku tersipu malu. Ia juga sama tersipunya denganku.
"Eum ... bolehkah aku minta satu hal?"
Aku? Naluri. Sudahlah!
"Apa itu?"
"Bolehkah aku mencium Putri lagi?" pintaku. Entahlah aku bodoh. Cabut saja nyawaku Tuhan.
Putri Sari berhenti berjalan lalu memejamkan matanya dan mendongak sedikit ke arahku. Tunggu ini maksudnya tanpa basa-basi lagi.
Cup
***
Flashback on
Seorang anak laki-laki kecil yang masih berusia 5 tahun tengah berjalan di sebuah halaman mansion yang amat sangat luas. Anak laki-laki itu berjalan mengelilingi mansion tersebut dengan diikuti oleh 2 orang yang wanita.
Setelah merasa bosan anak laki-laki tersebut berdiri di depan gerbang mansion. Ia terus berada di sana menunggu sesuatu yang entah kapan tiba.
Setiap sore anak laki-laki tersebut terus menunggu di depan gerbang hingga hari menjelang malam. Yup, ia menunggu orang tuanya datang.
Meski masih kecil anak laki-laki tersebut dibekali dengan otak yang luar biasa. Ia dapat berfikir lebih dewasa dari usianya.
Setiap hari kegiatan anak laki-laki tersebut hanyalah belajar, belajar dan terus belajar. Anak laki-laki itu tidak memiliki teman selain para penjaga dan juga pembantu di rumahnya.
Meski demikian para pembantu dan penjaga di rumahnya tidak pernah benar-benar menjadi temannya. Para pembantu dan penjaga lebih menunjukkan rasa takut dan hormat mereka pada anak laki-laki tersebut daripada bersikap layaknya teman.
Sebenarnya anak laki-laki itu memiliki satu orang teman di desa tempat tinggalnya dulu, tapi mereka jarang bertemu. Setelah ia pindah karena anak laki-laki tersebut tidak diperbolehkan untuk keluar dari mansionnya.
Anak laki-laki itu memang dikelilingi oleh harta dan juga kemewahan. Namun, meski dikelilingi oleh harta dan juga kemewahan. Ia tak pernah merasa bahagia.
Padahal yang diinginkan olehnya hanyalah sedikit perhatian dari kedua orang tuanya. Namun, hal sederhana itu sangat sulit untuk didapatkan.
Kedua orang tuanya selalu sibuk bekerja dan jarang sekali menanyakan keadaannya. Jangankan bertanya tentang keadaannya. Mereka saja sangat jarang bertemu.
Untuk sekedar menyapa saja anak laki-laki itu harus menunggu orang tuanya pulang ke rumah. Entah kapan mereka akan pulang. Mereka tidak memiliki jadwal tetap yang pasti mereka jarang ada di rumah.
Bisa saja ia menunggu beberapa hari, berapa minggu ataupun bahkan beberapa bulan. Ia menunggu dan selalu menunggu kedatangan orang tuanya. Kebanyakan orang pasti akan lelah. Apalagi bagi seorang anak kecil sepertinya.
Pernah suatu ketika kedua orang tuanya pulang saat ia sedang makan siang.
"Papa ... Mama. Apa kabar?" Anak laki-laki itu menyapa dengan riang dan penuh semangat.
"Baik," jawab Papa dari anak laki-laki tersebut.
"Hans lagi makan nasi goreng langganan Hans. Papa sama Mama mau?"
"Mama sama Papa sudah makan." Lagi-lagi hanya sebuh jawaban singkat yang diperoleh.
"Kalau begitu temani Hans makan sebentar saja," pinta anak tersebut dengan sedikit memelas.
"Kamu makan sendiri saja ya sayang. Papa sama mama mau istirahat," kata sang Mama.
"Okey," kata Hans pasrah. Benar anak lelaki kecil itu adalah Hans.
Hans adalah anak kecil tersebut. Anak kecil yang tidak pernah merasa bahagia meski dikelilingi dengan harta dan juga kekayaan.
Anak kecil yang hanya memiliki satu keinginan sederhana yaitu bisa berkumpul dan berbagi cerita dengan kedua orang tuanya.
Hans tidak pernah mengharapkan fasilitas mewah dan juga dikelilingi oleh banyak penjaga dan juga pembantu. Yang diharapkan Hans hanyalah waktu, perhatian dan kasih sayang orang tuanya yang selalu sibuk dengan perusahaan mereka.
Setelah sekian lamanya ia menunggu kesempatan tersebut tidak datang juga kepadanya. Orang tuanya bahkan semakin sibuk saat Hans beranjak menjadi remaja.
Akhirnya Hans yang dulunya merupakan anak yang ceria, aktif dan peduli terhadap sekitarnya. Kini lambat laun ia berubah menjadi seorang anak remaja yang dingin, kejam dan juga tidak berperasaan.
Ia berubah menjadi remaja pembuat onar hanya untuk mendapat perhatian kedua orang tuanya. Namun, semuanya tetap tak berubah. Orang tuanya tetap tak memperhatikannya seperti apa yang ia harapkan.
Orang tuanya tetap bersikap acuh. Setiap kali Hans membuat onar. Orang tuanya akan langsung menutupinya dengan uang yang mereka miliki. Begitu terus menerus Hingga Hans pun merasa lelah dengan dirinya sendiri.
Suatu saat karena Hans merasa benar-benar lelah. Entah dorongan dari mana ia ingin mengakhiri hidupnya.
Ketika Hans sudah berdiri di atas rel kereta bersiap untuk diterjang oleh kereta dengan kecepatan tinggi. Ketika kereta sudah mendekat tiba-tiba tubuhnya terdorong oleh sesuatu. Dan saat ia menoleh ke samping ia melihat ibunya telah menggantikannya berdiri di tengah-tengah rel kereta.
Hans melakukan kesalahan besar.
"Sampaikan pada PH. Aku sudah mengawasi dan mencoba menyerangnya. Aku juga mengetahui satu fakta. Dan tolong sampaikan padanya untuk datang langsung membantu."
"Baik."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top