3. KEMATIAN ADALAH PENGINGAT

Aku mencari tangga menuju lantai atas, sayangnya tangga itu telah rusak dan tidak memungkinkan untuk dipijak. Kuputuskan untuk naik melewati jalan lift yang sudah tidak berfungsi, tapi aku masih bisa memanjat dindingnya.

Kakiku mulai mencari pijakan untuk bisa naik ke atas. Sebenarnya ini akan lebih mudah jika kugunakan kekuatan kinesisku, tapi aku tidak akan menggunakannya. Semakin sering kugunakan, mereka akan semakin tidak bisa dikontrol.

Setelah berhasil sampai di lantai paling atas, kusandarkan tubuh di dinding untuk mengatur irama napasku yang tidak teratur. Dan rasa haus membuat tenggorokanku kering.

Desis-desis hujan yang masuk entah dari mana membuatku penasaran. Aku bangkit dan berkeliling lantai atas ini. Setengah bangunannya sudah hancur dan sangat berbahaya untuk dinaiki siapa pun.

Aku kemudian menemukan ruangan yang dindingnya terbuat dari kaca tranparan. Lebih dari setengah kacanya bolong dan membuat air hujan masuk membasahi lantai, tapi yang paling membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan adalah pemandangan kota yang sangat jelas bisa dilihat dari atas sini.

Tidak seindah seperti yang pernah diceritakan oleh orang-orang di laboratorium, tapi aku menikmatinya. Dulu, sebelum perang terjadi, katanya bangunan-bangunan tinggi ini mempercantik kota, terutama saat malam hari. Sekarang yang aku bisa lihat hanyalah renruntuhan tua yang bisa ambruk kapan pun.

Cahaya kilat yang diikuti gemuruh membuatku mundur dan berusaha untuk tidak tergoda. Sampai mataku tertuju pada sebuah papan besar yang ditempeli kertas-kertas berita.

Pria misterius yang menghilang dari kamera CCTV. Itu yang tertulis di salah satu beritanya. Kulihat tanggal cetak berita itu. 5 Agustus 2019. Empat tahun sebelum perang dunia ketiga pecah.

Berita lain yang tertempel bertuliskan, The Witch is Real. Kubaca berita yang tertulis dan dikatakan bahwa seseorang yang dipanggil penyihir itu bisa mengendalikan barang-barang dengan pikirannya. Tanggal yang tercetak adalah 6 November 2019. Semuanya empat tahun sebelum perang dunia ketiga.

Aku mundur beberapa langkah untuk bisa mencerna apa yang baru saja kubaca. Jika mereka memang seorang kinesis dan memiliki kekuatan itu sebelum perang dimulai, berarti mereka bukan bahan percobaan.

Membuatku bertanya-tanya apakah aku juga telah lahir dengan kekuatan ini? Atau aku memang bahan percobaan?

Sekarang, semua pertanyaan yang terus muncul di kepalaku semakin membuatku pusing. Aku bahkan tidak ingat namaku, bagaimana bisa aku mengingat apakah aku memang terlahir seperti ini.

Saat dilaboratorium, mereka tidak memberikan kami nama. Aku nomor lima, dengan lambang V sebagai tanda lima dari angka romawi kuno. Bagi mereka, nama hanya akan mengingatkan kami pada kehidupan lama kami. Aku bahkan tidak ingat sama sekali memiliki kehidupan selain di laboratorium. Kehidupanku hanya duduk, mengikuti perintah, dikirim ke medan perang melalui portal teleportasi dari beberapa pengendali kinesis yang memiliki kekuatan itu, dan kembali dengan darah orang lain yang mengotori pakaian.

Aku selalu benci berada di laboratorium. Mereka menganggap kami sebagai subjek, bukan manusia. Sayangnya, mereka mempunyai alat yang bisa memanipulasi kekuatan kami. Jika kami melawan, alat itu akan menyerap energi yang kami miliki. Dan kami tidak memiliki kesempatan untuk bisa pergi. Untungnya, saat aku kabur alat itu tidak mereka gunakan. Jika tidak, aku pasti sudah mati.

Kadang, aku memikirkan teman-temanku di laboratorium. Aku memang tidak mengenal mereka, dan kami memang dibataskan untuk tidak berinteraksi dengan sesama kinesis, hanya pada saat kami berada dalam satu kelompok misi saja. Itu pun benar-benar sangat terbatas, tapi aku suka memikirkan mereka. Berharap mereka selamat sepertiku.

Suara gemuruh semakin menjadi-jadi, membuatku harus segera keluar dari ruangan itu. Kuputuskan untuk turun kembali ke lantai bawah, melalui jalur yang sama saat aku naik tadi.

Anak yang tadi meminta makanan dariku tertidur dengan tangan memegangi makanan. Membuatku ingat saat pertama kali kabur dari laboratorium. Aku pergi menuju wilayah Neon, satu-satunya tempat teraman untuk para gelandangan dan jauh dari wilayah Titan di mana laboratorium berada.

Wilayah Neon dulu dijadikan tempat mengungsi korban perang, karena wilayah mereka tidak banyak mengalami kerusakan perang. Tidak seperti wilayah Titan dan Arsen, yang bisa dilihat banyak tempat penuh dengan paparan nuklir. Sedangkan wilayah Yod, tempat yang cukup gersang. Tidak banyak yang bisa bertahan di sana.

Langkahku terhenti saat melihat empat orang gelandangan terbaring di tahan dengan mulut berbusa. Kuhampiri mereka dan memeriksanya. Satu-persatu kudengarkan irama jantung mereka. Tidak ada. Mereka sudah mati.

Dengan cepat, aku berlari menuju anak kecil yang aku lihat tadi. Jantungku rasanya berdebar-debar seolah akan menemukan sesuatu yang tidak ingin aku dapatkan.

Kubalikkan badannya menghadapku dan menatap tubuhnya yang sudah tidak bernyawa. Wajah pucatnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, hanya saja kali ini lebih terlihat putus asa. Aku mundur ke belakang untuk mulai memaki siapa pun yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Di luar dugaan, dadaku semakin sesak seperti di tekan oleh sesuatu.

Kemudian, aku melirik pada makanan yang digenggam anak itu. Makanan yang diberikan oleh orang asing dari kelompok. Mereka pasti meracuni makanannya. Rasa bersalah seharuanya menyelimuti diriku, tapi aku tidak merasakan itu sekarang. Aku seharusnya bisa mencegah mereka memakannya. Aku seharusnya memberi tahu mereka mengenai makanan yang mereka racuni, tapi mereka pasti tidak akan percaya padaku. Setidaknya, aku seharusnya mencoba.

"Persetan denganmu, Cluster!" makiku. Hanya itu yang bisa aku lakukan.

Anak ini seharunya memiliki masa depan. Memiliki kehidupan yang menyenangkan bersama orang tua mereka. Bermain dengan teman sebayanya, atau bahkan dengan hewan piaran mereka, tapi itu bukan nasibnya. Dia harus mengais makanan hingga mati karena diracuni oleh orang-orang sialan itu.

Badai masih mengamuk di luar, tapi aku tidak peduli pada panggilan badai yang begitu menggiurkanku. Aku tahu, badai akan mengontrol kekuatanku. Dia akan senang melepaskan elemen-elemen dalam tubuhku. Namun, aku tidak peduli, aku akan menguburkan mereka dengan layak.

Kugali tanah disamping gedung. Kekuatan elemenku mulai memanggil-manggil untuk digunakan. Dan aku tidak akan menahannya sekarang. Kugunakan elemen tanahku untuk menggali lubang. Tetesan air hujan yang begitu derasnya membuat bajuku basah kuyup.

Setelah berhasil membuat lubang, sekarang aku mulai menyeret mereka satu-persatu dengan sekuat tenagaku. Hingga yang terakhir, si anak kecil berkulit pucat.

"Maafkan aku," ujarku sesaat sebelum menutup kembali lubang-lubang itu. Namun hatiku seperti tidak mengatakan hal yang sama.

Mata anak itu memang tertutup, tapi terlihat seperti menghakimiku. Menyalahkan atas apa yang tidak aku lakukan. Atau hanya perasaanku yang memang berpikir seperti itu.

Aku kembali ke dalam gedung. Pakaianku basah, membuatku harus menanggalkannya untuk dikeringkan. Sekarang, aku meringkuk di pojok ruangan dengan kertas seadanya sebagai alas dan hanya mengenakan pakaian dalamku. Memikirkan anak itu, para gelandangan yang mati dan dari semua itu, anehnya tidak membuatku jadi merasa bersalah sama sekali, tapi aku tahu dalam diriku bahwa aku seharusnya merasa bersalah dan menyalahkan diriku.

Ingin sekali kumenangis, tapi perasaan itu seolah tidak diciptakan untukku dan air mata tidak akan keluar dari mata sialanku ini. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menangis.

Kubenamkan kepalaku dekat lutut untuk mencari kehangantan. Selama ini, aku tidak pernah melakukan sesuatu untuk orang lain. Interaksiku pada orang lain juga bisa dikatakan sangat minim, karena itu mereka sering menganggapku tidak bisa berbicara, tapi setelah kejadian ini, membuatku tersadar bahwa sesuatu harus segera dilakukan. Anak kecil itu bisa saja tidak mati jika aku berbicara.

Lagi-lagi, aku tahu siapa yang harus disalahkan. Jika saja perang tidak terjadi, hal semacam ini tidak akan terjadi. Anak-anak akan tidur di kamar mereka dengan perut kenyang. Orang-orang dewasa akan bersenda gurau sambil menikmati makanan mereka. Aku benci semua tatanan yang ada. Kesetaraan yang mereka janjikan hanya untuk yang masuk dalam kelompok mereka.

Kupejamkan mata sesaat, kubuka kembali mataku yang tertuju pada sisa makanan dilantai yang penuh dengan racun. Kupikirkan untuk mencuri makanan dari para kelompok. Apakah dikatakan mencuri jika mereka juga mencurinya dari hak kami?

Aku akan mencuri makanan milik kelompok yang baru diantarkan. Aku pernah melihat puluhan truk mengangkut makanan untuk dibagikan kepada kelompok. Jika aku mencuri dari mereka, pasti tidak ada makanan yang diracuni. Karena semua makanan itu dikirimkan untuk para pengikut kelompok.

Truk-truk itu akan sampai pada tengah malam. Mereka pasti melakukan itu agar para gelandangan sepertiku tidak mengetahui bahwa mereka memiliki makanan yang begitu banyak. Aku tahu. Dan aku akan mencurinya.

Selagi menunggu pakaianku kering dan tengah malam, pikiranku mulai menjelajahi kejadian tadi pagi. Aku tidak tahu apa yang diinginkan pria itu, tapi bertemu dengannya dua kali tidak terlihat seperti sebuah kebetulan. Apakah dia mengikutiku? Apakah dia orang yang dikirimkan oleh laboratorium untuk membunuhku? Tapi jika iya, dia seharusnya bisa membunuhku saat aku berteduh di dekat rumahnya. Atau di tempat gelap saat dia menuntunku untuk keluar dari pasar pagi tadi.

Jadi, siapa pria itu? Dan apa yang dia inginkan dariku? Apakah dia tahu mengenai kekuatanku? Apakah dia dikirimkan untuk membunuhku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top