4
🍁🍁🍁
Kinara meletakkan handphone-nya di meja. Dia terpaksa absen bekerja karena tidak yakin apa yang mereka bicarakan bisa selesai dengan cepat, mengingat Gara dengan segala argumennya. Namun ... apa yang laki-laki itu ingin bicarakan langsung? Tidak bisakah melalui telepon? Apa hal itu sangat penting hingga dia membuang arogansinya untuk menghubungi dirinya? Kinara mengerang kala bel berbunyi, itu pasti dia, mengapa cepat sekali sampai?
Ia menarik napas dalam-dalam dan panjang lalu mengembuskan perlahan guna menetralkan degup jantungnya. Laki-laki itu selalu membuat mengacaukan kinerja jantungnya. Dentumannya seperti bass drum ditabuh dengan kencang, berkali-kali begitu kuat dan cepat. Semoga saja jantungnya bertahan, pinta Kinara pada Tuhan. Ia segera membuka pintu flatnya usai menenangkan detak jantungnya, menggeser posisi berdirinya agar Gara bisa masuk.
Gara masuk melewati Kinara, tanpa sengaja kulit mereka bersentuhan, bulu-bulu halus kulit Kinara meremang seolah kulit pria itu mengandung magnet mengirim aliran listrik untuknya. Pria itu memperhatikan sekeliling tempat tinggal Kinara. Bisa dikatakan nyaman jika orang yang tinggal di dalamnya pengangguran.
'Jadi tempat seperti ini yang Kinara tinggali selama lima tahun, batin Gara.'
Ia merutuki Kinara dalam hati, apa tidak ada tempat lebih layak lagi untuk tempat tinggal? Flat ini benar-benar ... tidak banyak perabot di ruangan ini. Sofa lusuh yang harusnya dibakar saja daripada memenuhi ruangan itu, meja ukuran sedang dengan vas kaca dan bunga kain yang berdebu di atasnya, bukannya mempercantik ruangan tapi membuat ruangan itu semakin buruk.
Tak hanya itu saja, wallpaper biru yang mulai pudar warnanya harusnya segera buang dan diganti, tapi wanita itu seolah menutup mata pada hal tersebut. Gara bahkan tak habis pikir, bagaimana mungkin Kinara bertahan hidup seperti ini yang sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya yang dulu.
"Duduklah!" kata Kinara. Gara mengangkat alisnya sebelah, Wanita ini sudah banyak berubah rupanya. Kinara memilih duduk di sofa dekat pintu. "Ada apa?" tanya Kinara langsung, bahkan ia tidak perlu repot-repot menawari Gara minum.
Kaki Gara yang jenjang sedikit menyulitkan dirinya. Ia bergeser minggir meja di depannya lalu duduk di sofa depan Kinara. "Lama tinggal di negeri orang rupanya mengikis sopan santunmu." Gara sedikit menyindir perempuan itu.
Bibir Kinara terangkat sebelah. "Hah? Sopan santun? Kamu mengharapkan sopan santun dariku? Orang sepertimu tidak pantas mendapatkan sopan santunku," sahutnya dengan nada tidak bersahabat.
"Baguslah. Jadi tidak perlu basa-basi," balas Gara tak kalah sinis. "Pulanglah! Papa sakit keras."
"Ck! Pulang? Buat apa? Untuk dihina? Untuk melihatku menangis? Masih belum puas kalian menghujatku? Atau kalian ingin melihatku mati?" tanya Kinara dengan sarkasme.
Gara tidak menanggapi pertanyaan Kinara yang terdengar seperti mengejeknya. "Setidaknya penghormatan terakhir buat Papa," katanya dengan wajah tanpa ekspresi, tapi mengapa banyak wanita berlomba mendapatkannya.
"Dia tidak butuh diriku. Papa jelas-jelas bilang aku bukan anaknya. Jadi buat apa aku pulang? Cari mati?" Kinara menjawab perkataan Gara dengan sinis. "Sia-sia kamu ke sini. Pulanglah." Kinara menantang tatapan Gara, tidak ada rasa takut dalam kilatan matanya.
"Bagaimana pun dia papamu."
"Oh ya? Aku ragu dia masih papaku."
Gara menggeram kesal. "Ck! Gadis keras kepala! Kalo bukan karena kasihan dengan Papa, aku tidak akan menginjakkan kakiku di sini."
"Wah! Aku sungguh terharu, tuan besar baik sekali mau menyempatkan waktu mengunjungi rakyat jelata ini," cibir Kinara. Satu sudut bibir Kinara terangkat membentuk senyum merendahkan.
Merasa tak ada gunanya, Gara beranjak dari sofa lusuh itu. "Aku tidak punya banyak waktu meladenimu. Aku sudah memberitahumu, semua terserah padamu." Kinara bukan lawan enteng bila keras kepala, lebih baik ia pergi sebelum ia lepas kontrol.
Kinara diam memandangi punggung lebar Gara yang menghilang dibalik pintu. "Sampaikan salamku untuk Tuan Aries!" teriak Kinara, entah Gara dengar atau tidak.
Air mata Kinara menetes, rasa rindu pada papanya luar biasa besar. Jauh di lubuk hatinya ia menyayangi papanya, mengagungkan pria itu, masih terselip untaian doa untuknya. Bagaimana pun hubungan mereka, Aries atau siapa pun tidak bisa memutuskan pertalian darah antara mereka. Tidak pernah ia bayangkan seperti ini jalan hidupnya, dalam kurun waktu dua tahun semua berubah.
Papanya dulu sangat sayang padanya, berkata kasar ataupun membentaknya tidak pernah. Sampai sekarang dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang membuat papanya berubah. Vina gadis cantik, supel juga ramah, membuat orang-orang dengan cepat menyukainya.
Sedangkan dirinya? Pendiam, kurang bergaul, ia lebih suka bercengkerama dengan kuda-kuda di tempatnya, dirinya juga orang yang tertutup. Mereka mengelu-elukan Vina seperti putri yang baru turun dari kahyangan, tetapi mereka tidak pernah tahu, dibalik semua sikap dan wajah cantiknya Vina bisa jadi orang yang berbeda.
🌰🌰🌰
Pagi itu Kinara membuka pintu flat, kakinya menginjak amplop coklat berukuran sedang. Ia pungut lalu membaca nama pengirimnya, dari mereka. Kinara letakkan surat itu meja kecil campur koran-koran yang ia beli jika gajinya berlebih. Nanti saja ia akan membacanya, ia tidak mau telat masuk kerja. Musim semi beranjak pergi berganti musim panas membuat udara sedikit hangat. Kinara menjalani aktivitasnya seperti biasa, damai tanpa gangguan. Hari-hari tenangnya kembali, Kinara seakan lupa atau memang sengaja melupakan surat itu. Lagi pula dia tidak begitu minat mengetahui isi surat itu. Saat ini fokusnya mengumpulkan uang lebih banyak, agar dia bisa membuka usahanya sendiri.
Namun, tak ia pungkiri bahwa kedatangan Gara beberapa waktu lalu, membuka kembali kenangan mereka, membuka juga luka hatinya, terlebih saat Gara menatapnya dengan pandangan mata penuh kebencian. Kinara tidak akan pernah lupa itu.
Ia benci dirinya, bisa-bisanya ia menyimpan rasa untuk Gara. Ia dulu gadis naif dengan otak tercemar kisah roman picisan yang begitu mendamba laki-laki itu, dia mimpikan Gara pangeran kuda putihnya. Perlu usaha keras Kinara bisa mendapat perhatian Gara, tapi laki-laki itu tidak pernah tinggal lama bila didekatnya. Seolah-olah Kinara penyakit yang sulit disembuhkan. Entahlah Kinara sendiri tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu.
"Kamu tidak ingin pulang?" tanya Lusy seraya menggigit burgernya.
"Ya?" Pertanyaan Lusy membuyarkan pikiran Kinara tentang Gara. "Oh, tidak. Untuk apa? Tidak ada yang menungguku di sana."
"Keluarga kamu?" sahut Meggy,
Kinara sengaja tidak menceritakan detail siapa dirinya. "Tidak ada, lagi pula aku tidak punya keluarga, jadi tidak ada gunanya pulang. Lebih di sini sama kalian."
"Kerabat? Sepupu? Nenek Kakek mungkin?" Meggy menyahut, Kinara menggeleng.
Memang benar bukan? Ia tidak memiliki siapa pun. Mamanya meninggal sedangkan papanya tak mengakuinya. Ia tak ada saudara kandung, Gara juga Vina tidak bisa dikatakan saudara meski status mereka saudara tiri.
Lusy dan Meggy menatap Kinara dengan pandangan iba, mereka tak menyangka Kinara semuda ini sudah sebatang kara.
Helaan napas keluar dari bibir mungil Kinara, ia tahu apa yang ada dalam pikiran teman-temannya. "Jangan melihatku seperti itu, aku tidak butuh dikasihani. Aku cukup bersyukur dengan hidupku, meski aku sendiri tapi aku punya kalian."
"Ya, kamu benar, di luar sana banyak yang lebih kasihan." Lusy setuju dengan perkataan Kinara. Bagi Lusy, Kinara sosok yang kuat, mandiri. Tidak pernah Kinara merepotkan dirinya atau Meggy, padahal mereka sudah meminta dengan jelas pada Kinara jika ada apa-apa Kinara tidak perlu sungkan meminta bantuan pada mereka.
Mereka melanjutkan obrolan ringan sembari menunggu jam istirahat siang mereka habis. Kinara seakan lupa pada kesepiannya juga kesedihannya jika berkumpul dengan sahabatnya, paling tidak hidupnya tidak terlalu sepi meski hanya bertahan sampai jam kerja.
Tbc.
Cerita ini juga up di Karyakarsa ya sudah sampai part 45, tinggal part ending dan bbrp e-part. Sampai part 6 bisa dibaca gratis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top