33
Awas typo ya hehe...
🍁🍁🍁
"Ran, kenapa mereka melihatku seperti itu?" bisiknya.
Sejak ia datang karyawan kantor terutama wanita terus melihatnya. Awalnya ia tidak peduli tapi ini sudah hampir istirahat siang dan mereka masih menatapnya seolah dirinya makhluk asing.
"Gosip yang beredar, kamu terlihat bersama Gara di klinik bersalin. Memang kamu habis periksa kandungan?"
"Tiga hari lalu, kenapa?"
"Ada salah satu karyawan kantor lihat kalian masuk ke ruang dokter kandungan. Karena itu, mereka berpikir kamu penyebab putusnya Pak bos sama pacarnya Bu Sheila. Tapi Kin, kalau mereka memang ada hubungan kenapa Pak bos justru menikahimu?"
Kinara tersenyum kecut menyadari dugaan itu benar. Wajahnya berubah sendu, "Terpaksa! Karena terpaksa, Ran," ucapnya lirih dengan suara bergetar.
Rani bingung dengan jawaban Kinara, "apa maksudmu? Bukankah kalian menikah karena saling mencintai?"
Kinara menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca, "tidak, Ran. Kamu salah. Dia menikahi ku dengan terpaksa karena anak ini, anak dalam kandunganku. Dia tidak ada perasaan apapun padaku. Hanya aku yang mencintainya dari dulu sampai sekarang, dia membenciku," Kinara memejamkan mata menghalau air mata yang sebentar lagi menetes. Mengambil napas sebelum melanjutkan, "dia membenciku, Ran."
Kinara menutup wajah dengan tangannya. Air mata yang ia tahan akhirnya keluar juga.
"Hei..tenanglah, ingat anakmu," bujuk Rani mengusap-usap punggung Kinara yang bergetar.
"Dia ... membenciku, Ran. Aku mencelakai adiknya. Aku membunuhnya."
Perempuan berbadan dua itu sesenggukan, himpitan tekanan yang ia rasa terlalu berat. Ia ingin semua ini segera berakhir, membebaskan dirinya dari pernikahan ini. Baginya lebih baik sendiri namun dirinya bisa menikmati hidup, daripada berdua dengannya tapi tertekan.
"Sudah. Sudah. Kasihan anak kamu."
Dirasa cukup tenang, Rani melepas pelukannya. Mengambil tisu di saku bajunya lalu di berikan pada Kinara, "aku tidak tahu hubungan kalian rumit seperti itu. Tapi Kin, jika pak Bos menikahimu karena terpaksa, kenapa dia begitu perhatian? Repot-repot menyuruh Pras rutin membuat susu? Menyediakan camilan? Memesan makan siang agar kamu tinggal makan? Apa arti itu semua?"
"Itu hanya untuk anaknya, kamu dengar, Ran. Anaknya. Jika kamu di posisiku apa yang kamu pikirkan? Orang yang bertahun-tahun membencimu tiba-tiba menikahimu jika tidak ada sebab? Apa kamu akan bilang 'karena dia mencintaiku' itu tidak mungkin kan? Apa kamu akan berpikir semua perhatian itu untuk dirimu? Aku tidak senaif itu, Ran. Aku masih waras untuk tidak berpikiran seperti itu."
"Aku tidak tahu harus berkata apa, karena aku hanya orang luar yang melihat dari luar. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya, Kin. Tapi jika aku boleh mengatakan sesuatu, aku ingik bilang bertahanlah! Setidaknya demi anakmu, sampai dia lahir. Setelah itu terserah aku akan terus mendukungmu."
"Terima kasih, Ran."
🍁🍁🍁
"Ra."
Ada apa dengan wanita ini? Kenapa wajahnya terlihat sedih?
"Ra." panggil Gara lagi.
Kinara tidak menyahut, tatapan matanya kosong, pikirannya tidak sedang di sini.
"Ra!" panggilnya lebih keras dan berhasil membuat wanita itu tersadar.
"Ya?" jawabnya menoleh ke arah Gara.
"Kenapa?" Gara sekilas melirik istrinya.
Perempuan itu menggeleng pelan, "tidak apa-apa."
"Yakin?"
"Iya," cicitnya lirih bahkan Gara harus sedikit memiringkan tubuh kearah Kinara agar terdengar ucapan wanita itu.
Merasa tidak puas dengan jawaban yang didapat, Gara menepikan mobilnya di taman yang mulai sepi pengunjung menjelang senja. Pedagang makanan hanya tinggal beberapa orang saja. Ia membuka seat belt kemudian pintu mobil. Kinara bergeming di tempatnya.
"Ayo turun," pinta pria itu. Nada bicara Gara lebih kalem dari biasanya.
Wanita itu menengadah keatas, "kenapa?"
Pria itu merangsek maju membuka seat belt lalu menarik Kinara keluar dari mobil kemudian menutup pintu mobil dan menguncinya. Ia genggam tangan halus itu agar mengikuti dirinya. Perempuan itu diam menuruti kemauan Gara.
Mereka duduk di sebuah bangku kosong di taman. Hening! Hanya suara lalu lalang kendaraan yang melintas. Meskipun langit masih cerah namun udara cukup dingin, angin berembus sedikit kencang meniup daun-daun kering hingga terlepas dari dahannya.
Rumput-rumput liar bergoyang searah angin bertiup. Rambut panjang Kinara pun tidak luput dari sapuan angin tersebut. Berkali-kali perempuan itu menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Gara melepas jas yang ia pake lalu memakaikan ke badan Kirana agar wanita itu tidak kedinginan. Wanita itu sontak melihatnya. Jas itu membalut hampir seluruh tubuh istrinya yang tidak terlalu tinggi itu.
"Terimakasih," ujarnya pelan
Pria itu mengangguk pelan menatap lekat tepat di manik mata Kinara, "Ra, ada apa?"
Wanita itu memandang pria di sampingnya yang juga menatap dirinya. Pria yang terus menerus mengisi relung hatinya bagaimanapun caranya ia berusaha enyahkan. Sekarang mungkin waktu yang tepat untuk mengakhiri semua ini, waktu yang pas untuk mengutarakan keinginannya.
Gara memegang bahu Kinara, "Ra, ada apa? Apa ada yang menyakitimu?" terdengar kepanikan dalam suara berat itu ketika ia tak kunjung menjawab.
God! Apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya? Gurat kesedihan jelas-jelas terlihat, "Ra! Katakan ada apa? Jangan membuatku takut. Sebenarnya ada apa? Siapa yang menyakitimu?!" hardiknya keras.
Buliran bening turun dari kelopak mata Kinara. Ia berusaha menahannya namun perhatian Gara membuat jebol dinding pertahanannya. Hanya isakan keluar dari bibir merah itu. Tangan Kinara refleks menutupi mulutnya, sedu sedan terdengar nyaring.
Gara merengkuh tubuh berisi yang bergetar hebat dalam pelukan. Menciumi puncak kepala Kinara untuk menenangkan wanitanya, "ada apa? Aku mohon katakan, jangan membuatku takut. Aku benar-benar takut, Ra."
"Kamu," ucapnya disela tangisan.
Kenapa sakit sekali untuk melepasnya. Betapa berat bibir ini mengucapkan perpisahan. Wanita itu mendorong pelan tubuh Gara. Pria itu mengurai pelukannya, menangkupkan tangan di kedua sisi wajah Kinara, mengusap buliran air mata di pipi istrinya dengan ibu jari.
"Kita ... berpisah ... saja."
Ucapan Kinara membuat gerakan Gara menghapus air mata terhenti. Kepalanya terasa mendapat hantaman keras. Tubuhnya kaku seperti direndam dalam air es.
Pisah? Kinara ingin berpisah?
"Kita ... bercerai saja, Ga."
Pandang sendu bercampur air mata yang mengalir sungguh membuat hati Gara tersayat dalam. Tidak bisakah istrinya menunggu sebentar lagi?
"Bercerai?" ulang Gara.
"Ya kita bercerai saja, Ga."
Pria itu menggeleng cepat, "tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu."
Kinara melepas tangkapan tangan Gara kemudian menggenggam, "jangan seperti ini, Ga. Aku tahu kamu tidak menginginkan pernikahan ini, aku juga tidak ingin mengikatmu. Kita berpisah saja, ya? Dengan begitu kamu bisa mengejar cintamu."
Pria itu menepis kasar genggaman Kinara, lalu berdiri mukanya merah padam menahan amarah untuk dirinya kemudian berlutut di hadapan Kinara mensejajarkan tinggi badan mereka. Tangan pria itu merapatkan lutut istrinya, "aku tidak akan pernah melepasmu apalagi menceraikanmu. Kalau kamu ingin pergi dariku langkahi dulu mayatku," ucapnya dengan geram.
Pikiran konyol dari mana yang di dapat istrinya hingga berani-beraninya meminta cerai padanya.
"Ini untuk kebaikan kita, Ga. Kamu bisa kembali padanya dan aku tidak akan terus menerus merasakan sakit ini. Aku mohon, Ga, lepaskan aku," pinta Kinara penuh permohonan.
Air matanya masih mengalir. Tidak peduli mereka menjadi tontonan pedagang-pedagang itu juga orang-orang yang lewat meskipun tidak banyak.
"Aku tidak akan pernah melepasmu. Kamu dengar, Ra. Aku tidak akan melepasmu apapun yang terjadi."
"Tolong jangan membuatku buruk di mata mereka, Ga. Jangan jadikan aku sebagai perusak hubungan kalian," ujarnya lagi.
Kerutan berlipat-lipat di kening Gara, "siapa yang kamu maksud dengan 'dia'?"
Bukannya Gara tidak tahu siapa yang di maksud istrinya tapi mendengar dari mulut Kinara sendiri membuatnya yakin jika perempuan itu cemburu.
"Sheila. Dan, asal kamu tahu seluruh karyawan kantor menggira aku penyebab putusnya hubungan kalian. Lepaskan aku, Ga. Biarkan aku hidup dengan anakku saja."
"Jangan harap! Buang pikiran konyol itu! Jangan pernah mengatakan omong kosong ini. Lebih baik kita pulang!" Gara berdiri meninggalkan Kinara sendiri.
Perempuan itu menatap punggung lelakinya yang semakin menjauh. Kenapa sulit sekali untuk lepas darinya? Haruskah ia mati agar Gara melepasnya? Gara berhenti kemudian berbalik dengan matanya seolah berkata 'cepatlah'. Dengan langkah gontai dan berat, ia paksakan kakinya berjalan ke mobil suaminya.
Semoga Tuhan membukakan pintu hati suaminya untuk melepas dirinya.
🍁🍁🍁
Ok! Aku tahu cerita ini kek mana gitu ya 🤣 jdi klo mo hujat, di hati aja ya 🤣
Link semua karya di Karyakarsa di bio. Mamarika
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top