30


🍁🍁🍁

Gara mengerang frustasi, tangannya mencengkeram kuat rambutnya mengeluarkan emosinya. Ia mendesah kasar, ia sudah tak tahan lagi menahan keinginannya mendatangi rumah Vya dan memeluk istrinya. Mereka memang satu kantor namun sepertinya Kinara menghindari dirinya terus meskipun makanan dan susu yang Pras antar selalu habis.

Bian juga belum memberi kabar yang katanya akan membantunya. Hah! Konsentrasinya buyar, pekerjaannya tidak ada yang beres. Ia bisa melihat istrinya namun wanita itu sulit di dekati. Ada yang berubah dari Kinara, tatapan cinta untuk dirinya dari mata cantik itu sekarang menghilang dan ia sadar betul ia takut Kinara meninggalkan dirinya.

Tidak! Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Ia harus melakukan sesuatu agar Kinara tetap di sampingnya, tapi apa?

Aarrghh!

Prang!

Benda bulat tidak bersalah itu pecah berkeping-keping. Gara melempar asbak dari kaca itu ke lantai. Tangannya mengepal meninju tembok berkali-kali hingga luka. Apa yang membuat Kinara begini? Apa dia sudah berbuat salah? Namun apa?.

Wanita itu sudah mendiamkan dirinya lama dan tidak biasanya. Pesannya juga tak pernah dijawabnya, teleponnya hanya dijawab singkat, tidak tahu kah Kinara jika dirinya rindu padanya. Rindu wanita itu dalam pelukannya, rindu wajah ragu-ragu istrinya. Aroma dirinya. Tuhan! Apa yang harus dia lakukan?

Ponsel di saku celananya bergetar, dengan cepat Gara mengambilnya berharap Kinara meneleponnya. Harapan yang sia-sia karena bukan istrinya malah sahabat gilanya. Sialan!

"Hallo! Ada apa?!" jawaban tidak ramah ia lontarkan.

"Woww...sabar, Dude. Sepertinya aku salah menghubungimu, aku tutup saja kamu sedang tidak bersahabat," sahut Eru dari seberang telepon.

Gara mendesah pelan.

"Ok! Katakan ada apa? Cepatlah! Aku sedang tidak ingin mendengar ocehan gilamu."

Terdengar kekehan keras Eru.

"Wah, sayang sekali kalau begitu. Tadinya aku ingin memberitahumu kalau Kinara...." Eru tidak melanjutkan ucapannya.

Mendengar nama istrinya disebut jantungnya langsung berdentum tidak karuan, tubuhnya menjadi kaku, aliran darahnya begitu cepat mengaliri setiap jalurnya.

"Katakan kenapa istriku?!"

"Wow..wow... bukannya tadi kamu bilang kalau tidak mau mende--"

"Katakan saja sialan!! Jangan membuatku takut!!"

Dasar orang gila! Kenapa tidak langsung mengatakan saja malah membuatnya marah!

"Ruu...." 

Ia menggeram. Ingatkan dirinya jika bertemu orang sinting itu untuk menghajarnya.

"Oohh... rupanya ada yang marah. Baiklah..baiklah... lesehan desa."


Sialan! Dimatikan secara sepihak.
T

idak berubah ternyata kelakuan Eru, dan apa katanya? Lesehan desa? Apa maksudnya?


Damn!

Gara mengambil kunci mobilnya bergegas keluar ruangan tanpa mau menutupnya.

"Rista! Batalkan semua janji hari ini."

Tidak menunggu jawaban sekretarisnya, Gara berlari masuk lift yang kebetulan terbuka. Menyerobot antrean karyawan yang ingin masuk, hampir dari salah satu karyawannya terjatuh karena ulahnya.

"Maaf. Kalian naik lift berikutnya saja," ucapnya sebelum menekan tombol turun dan pintunya tertutup.

Tidak peduli tatapan heran karyawannya terpenting baginya segera menemui istrinya.

🍁🍁🍁

"Lama!"

Sambut Eru saat Gara duduk di sampingnya. Dia tidak menjawab, mengatur napasnya terengah-engah. Menatap tajam Eru yang dibalas dengan cibiran.

"Hanya tiga puluh menit kok sampai satu jam, untung Arumi bisa menahannya."

"Kelewatan putarannya," jawabnya masih tersengal-sengal.

Alis Eru naik sebelah, "rupanya sudah bodoh kamu."

"Sialan!"

Plak!

"Shit!"

Plak!

"Apa?!"

"Jaga mulutmu. Tidak ingat apa istrimu hamil."

Oh God! Maafkan aku.

"Kapan datang? Tumben tidak memberitahu?" kejengkelannya terhadap Eru perlahan menghilang.
Gara membaca buku menu kemudian di letakkan kembali.

"Kemarin. Nyonya ingin bertemu istrimu, kebetulan Rey juga kangen Oma Opa-nya sekalian saja," jawab Eru dengan memandangi punggung Arumi, kemudian ia menoleh saat telinganya mendengar helaan napas sahabatnya itu, "ada apa? Kalian ada masalah?"

Hah!

"Kinara akhir-akhir ini menjauhi ku, aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu. Dia menghindari ku," ucapnya lesu. Tidak perlu menceritakan dengan detail karena sahabat-sahabatnya mengetahui bagaimana hubungan Gara dan Kinara.

Eru menepuk pundak Gara, "mau mendengar saranku?"

Gara mengangguk setuju. Terkadang orang gila di depannya ini bisa menjadi bijak.

"Kamu dan Arlan sama. Pribadi kalian mirip. Kalau Arlan tidak mengikuti saranku mungkin ia akan kehilangan istrinya. Apa dia tahu kamu mencintainya?" Gara diam Eru menggeleng, sama saja, "hah! Inilah kita, tidak peka dan harga diri mungkin gengsi lebih tepatnya. Mungkin menurut kita cukup dengan perlakuan dia mengerti kita mencintainya. Itu salah! Perempuan akan lebih percaya dengan ungkapan.

Dengan pengakuan ia akan mengerti semua perlakuan kita. Jangan malu mengatakannya, buang harga dirimu. Perempuan itu pemikirannya rumit, mereka lebih memakai perasaan timbang logika. Jangan menundanya. Kalau kamu benar-benar cinta dia, ungkapkan. Kalau perlu sembah kakinya. Sebesar apa pun kesalahan kita mereka dengan mudah memaafkan."

"Aku harus bagaimana? Selama ini yang dia tahu aku membencinya, akan terlihat aneh kalau aku tiba-tiba mengatakan cinta."

"Kenapa tidak mengatakan yang sebenarnya? Dengan begitu kalian tidak perlu meraba-raba perasaan kalian."

"Tapi--"

"Aneh atau kehilangan dia? Pikirkan itu," sahut Eru dengan dagunya menunjuk Kinara. Setelah berkata begitu Eru menghampiri istri dan anaknya yang sedang memberi makan ikan.

Gara termenung di tempatnya, menatap dengan seksama istrinya. Dia rindu tawa itu.

Kinara tersenyum kecut melihat kebahagiaan Arumi. Meskipun mereka baru beberapa kali bertemu namun mereka cepat akrab. Bahkan mereka sering berkirim pesan. Ia menghela napas panjang. Ia rindu suaminya, meskipun ia bisa melihatnya tapi dia menghindarinya. Kinara tidak ingin hatinya semakin sakit.

Ia menyesali keinginannya menginap di rumah Vya. Bukan karena Vya tapi anaknya. Anak dalam kandungannya ini seolah mengerti jika ia jauh dari papanya. Mungkin karena terbiasa merasakan usapan lembut dari papanya setiap malam, jadi dia menghukum Kinara. Membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak, kalau akhirnya tertidur pasti menjelang dini hari.

"Apa sudah tahu jenis kelaminnya?" tanya Eru yang duduk di samping istrinya.

Kinara menggeleng, "belum, jadwal periksanya masih dua hari lagi. Apa sudah bisa terlihat? Kata orang-orang kalau belum 7 bulan belum terlihat," jawabnya.

"Kadang tidak perlu menunggu 7 bulan sudah ketahuan, dulu Rey 6 bulan sudah terlihat," sahut Arumi.

Kinara menunduk tangannya mengelus perutnya, kemudian kembali menegakkan kepalanya menatap lurus ke depan. Bagaimana reaksi Gara saat mengetahui anaknya hidup dalam tubuhnya? Bahagia atau...

Puncak kepala Kinara terasa ada yang menciumnya, ia menoleh ke samping. Gara! Pria itu tidak menyia-nyiakan kesempatan mencuri ciuman di bibir istrinya.

Mencecapnya sebentar lalu mengurainya. Bola mata Kinara membesar, tubuhnya kaku seperti balok kayu. Matanya mengerjap beberapa kali kemudian dahinya berkerut. Apa itu?

"Kenapa baru datang?" Eru bertanya seolah-olah mereka baru bertemu.

Kerutan terlihat di kening Gara. Bukankah mereka baru saja berbicara?...Ah! Gara paham akan maksud sahabatnya dia tersenyum, "macet," jawabnya kemudian duduk di samping istrinya.

Kinara menatap Gara. Laki-laki itu menciumnya? Di bibir? Bukan mimpikan?

"Sudah lama? Sudah pesan?" tanya Gara lagi.

"Lumayan, cukup buat lumut-lumut tumbuh."

Gara mengangguk-angguk kemudian menyapa Rey juga Arumi. Sengaja ia tidak berbalik melihat Kinara untuk memberi waktu mengatur jantungnya. Entah apa yang merasuki pikirannya dengan berani dia mencium bibir istrinya meskipun sebentar.

"Ra, udah pesan?"

"Hah? Ap...apa?" dengan tergagap ia menjawab pertanyaan Gara dengan pertanyaan.

"Kamu sudah pesan makanan? Ini sudah waktunya makan, Ra."

"Hah?.. Eh...itu..."

Kenapa lidahnya menjadi kelu.

"Jangan sampai telat makan nanti kamu sakit, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa," sahut Gara cepat, "kenapa tadi tidak bilang kalau ingin bertemu mereka? Kan aku bisa mengantarmu. Untung saja Eru menghubungiku."

"Eh?..tadi sebenar--"

"Kami yang menjemputnya, Ga. Maaf kalau membuatmu khawatir," kali ini Arumi yang menimpali ucapan Gara.

Eru mengulum senyum kecil. Pintar juga Gara berpura-pura. Dengan isyarat matanya Gara mengucapkan terimakasih untuk sahabat gilanya itu dan Eru mengangguk kecil. Ah! Akhirnya setelah berapa lama ia bisa dekat dengan Kinara.

Tbc.

Agustus masih riweh sama kegiatan kampung 🤣. Ada yang sama?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top