3

Kinara menghela napas berat saat menutup pintu unitnya. Ia menempelkan dahi di pintu tersebut seraya memejamkan mata karena didera gelisah. Pesan dari pria itu semalam membuatnya tak bisa tidur. Otaknya terus saja menebak hal yang tak ia ketahui dan itu membuatnya lelah. Ini seperti dejavu, seperti beberapa waktu ketika ia pulang ke Indonesia. Bukan pelukan hangat tapi sorot kebencian. Ingatannya pun melayang ke saat itu.

Kinara menahan napas saat burung besi tengah membawanya terbang ke angkasa tinggi. Kumpulan awan putih bersih layaknya kapas menyeret dia ke dalam lamunan. Membuat Kinara berpikir ulang, apa keputusannya pulang sudah benar?

Sebenarnya dia takut menginjakkan kaki di rumah, Kinara belum siap menerima hujatan juga cemooh dari orang-orang yang membencinya. Terlebih lagi dari Aries papanya dan pria itu. Seandainya waktu bisa diputar, lebih baik dirinya yang mati, setidaknya mereka tidak perlu buang-buang energi membencinya. Dirinya pun tidak perlu merasakan sakit hati yang berkepanjangan.

Suara lantang pramugari menyentak kembali kesadarannya ke permukaan. Akhirnya setelah kurang lebih tujuh jam dan sempat delay, pesawat yang ia tumpangi mendarat mulus di bandara internasional Soekarno Hatta. Begitu Kinara pijakkan kaki di tanah, ia menghirup dalam-dalam udaranya, tidak ada yang berubah hanya saja kota ini semakin panas. Rasanya seperti kembali kepelukan hangat mamanya.

Usai mengumpulkan keberanian, ia melangkahkan ke terminal kedatangan internasional yang penuh dengan orang-orang. Tidak berharap ada yang menjemputnya, ia cukup tahu diri, mana mungkin mereka mengirim orang untuk menjemputnya, terutama untuk orang yang sangat mereka benci.

Ia lalu mencari taksi yang akan membawanya ke rumah. Rumah? Apa dia masih punya rumah? Apa ia akan disambut dengan hangat atau malah cacian? Tak ada bayangan sama sekali di benaknya kini. Semua abu-abu tanpa ada terang.

🌰🌰🌰

Kinara begitu takjub melihat perubahan yang terjadi kota asalnya ini selama perjalanan ke daerahnya. Kota ini kini menjelma menjadi sebuah kota metropolitan yang tak pernah tidur. Deretan gedung pencakar langit berdiri dengan kokohnya, ruko, juga perumahan menjamur, cafe dan resto bertebaran di mana-mana. Sungguh perubahan yang cukup signifikan. Rupanya sangat lama ia meninggalkan tempat kelahirannya itu.

Kinara merebahkan tubuhnya di kasur empuk salah satu kamar home stay yang dia sewa atas rekomendasi Pak supir taksi tadi. Kamar dengan ukuran sedang dengan fasilitas lengkap yang dibanderol harga murah. Rasa lelah dan kantuk mendera tubuhnya, buru-buru Kinara membersihkan diri sebelum menyerah pada lelah. Mandi dengan air hangat, membuat tubuhnya terasa segar dan kantuknya berkurang. Lama ia tidak dapat memejamkan matanya, ia terus berpikir dengan keputusannya, semoga dia tidak menyesal.

Pagi sekali kinara bangun, sedikit bingung dimana ia terbangun. Rasa-rasanya baru tertidur tapi kenapa sudah pagi. Ah! Ia menepuk dahinya saat sadar bahwa dia tengah berada di Indonesia negara asalnya. Kinara mandi kemudian keluar membeli makan. Sebenarnya pesan makanan di sini juga bisa hanya saja ia ingin jalan-jalan menikmati udara pagi. Jalanan sudah ramai lebih tepatnya macet. Kinara berjalan di sekitar penginapan, berjejer warung kaki lima. Dia masuk kesalah satu warung itu dan pesan nasi pecel serta teh hangat.

Setelah membayar makanan tersebut, ia mampir ke mini market terdekat membeli beberapa keperluan selama di sini. Kinara kembali ke penginapan sudah agak siang. Ia baru saja duduk tiba-tiba ponselnya bunyi. Satu pesan masuk ke emailnya mengabarkan bahwa ia harus segera ke rumah sakit—Gara tahu ia ke Indonesia karena ia mengirim email ke pria itu.

Dia: cepat ke rumah sakit.

Me: kamar berapa?

Dia: paviliun no. 3

Me: Ok

🌰🌰🌰

Kinara menyelempangkan tas kecil berisi ponsel dan dompet. Saat di luar kamar home stay, keraguan menyapa dirnya. Akankah papanya menerima dirinya? Akankah kebencian Aries berkurang padanya dan memeluk menyayangi dirinya seperti sediakala? Semoga saja.

Wanita muda itu turun ke lantai satu. Laju kaki Kinara pelan menuju teras penginapan tersebut. Dirinya mengingat bagaimana sayangnya Aries terhadap putri barunya. Saat itu Kinara pikir kasih sayang yang papanya berikan pada putri barunya hanya antusiasme saja dan akan kembali seperti semula seiring berjalannya waktu, tapi perkiraannya salah, dia semakin tersisih.

Sudahlah! Hardik sisi lain dirinya. Itu tidak penting, sekarang yang terpenting melihatnya, apa dia baik-baik saja, setelah itu ia bisa kembali ke tempatnya sendiri. Kinara memesan ojek online dengan bantuan resepsionis home stay untuk mengantarnya ke rumah sakit, maklum sudah lama dia pergi jadi sedikit bingung dengan kota ini. Sepuluh menit menunggu ojek online akhirnya datang juga, mereka berangkat menuju rumah sakit swasta terbesar di kota itu.

Sudah lima belas menit Kinara berdiri di depan pintu kamar papanya, tapi dia belum berani membuka pintu. Ia takut apa yang akan menyambutnya di dalam sana sebab ia tak kuat melihat tatapan benci papanya. Setelah beberapa saat Kinara menghela napas untuk netralkan gemuruh di dadanya. Membuang pikiran yang negatif. Ia beranikan diri membuka pintu di hadapannya ini sebelum rasa takut kembali menyerang. Ini lebih menakutkan daripada menyelesaikan soal matematika tanpa mengetahui rumusnya.

Kinara memegang gagang pintu untuk beebrapa lama, lalu memutarnya sampai terbuka usai menekan ketakutan yang ia rasakan. Mereka sontak menoleh ke arahnya, papanya dan Gara. Sorotan mata mereka masih sama. Benci! Ia paksakan kakinya mendekat dan berdiri di sisi bed papanya. Laki-laki itu menyingkir memberi ruang padanya agar lebih dekat. Papanya tengah berbaring dengan badan sedikit lebih tinggi dari kakinya, infus menancap di pergelangan tangan kiri, alat bantu pernapasan juga terpasang di hidungnya. Pria itu masih kelihatan tampan meski usianya sudah lebih dari setengah abad. Kerutan di sekitar wajahnya bertambah seiring dengan usianya.

"Pa," panggilnya pelan.

Aries melirik sebentar lalu membuang pandangannya. Pria paruh baya itu diam tanpa mau membalas panggilannya.

"Bagaimana keadaan, Papa?" tanyanya lagi.

"Pa, Gara keluar dulu ada telepon," kata Gara. Aries mengangguk dengan tersenyum.

Kinara meringis iri, ia mengingat kapan terakhir dirinya mendapatkan senyuman itu. Senyuman yang harus ia bagi dengan mereka. Kinara tahu Gara memberinya waktu untuk berbicara dengan Papanya. Gara mendekat padanya dan berbisik, "Jangan buat Papamu mati." Lalu dia keluar dari ruangan.

Apa dia sekejam itu sampai-sampai Gara harus berpesan seperti tadi. Kepergian Gara tidak mengubah keadaan, semakin hening. Kinara mengedarkan pandangan, pasti harga kamar ini mahal terlihat dari kelengkapan ruangan ini. Sofa, televisi, lemari es, ac juga tempat tidur untuk penunggu.

"Seperti yang kamu lihat Papa baik-baik saja," jawab Aries pelan tapi cukup ia dengar, "untuk apa kau pulang? Untuk melihatku mati? Atau kau berharap kata-kata manis dariku? Jangan mimpi," lanjut Aries kejam.

Kinara memejamkan mata menghalau air mata yang akan keluar, mendengar kata-kata kejam dari Aries. Ucapan papanya membuat hatinya sakit seolah disayat-sayat pisau. Tidak bisakah mereka berdamai demi masa lalu? Tidak bisakah papanya membuka mata dan hatinya untuk melihatnya lagi? Lupakah papanya bahwa ia anak kandungnya?

"Umurku masih cukup panjang untuk melihatmu menderita."

Air mata yang ia tahan akhirnya menetes juga. Kenapa papanya senang melihat dirinya menderita? "Apa Papa sangat membenciku?" tanyanya.

"Bukan sangat tapi teramat sangat, meski mereka membelamu, aku tetap membencimu."

"Apa dia lebih berharga dari aku anak kandungmu? Apa aku tidak berarti apa-apa, Pa?" kata Kinara sedikit teriak disela-sela tangisnya. Dia sudah tidak dapat menahan pertanyaan yang terus menghantui benaknya selama ini. "Apa aku harus mati agar percaya? Apa itu yang Papa mau? Jawab Nara, Pa!" teriak Kinara kuat. Ia seakan lupa di mana dan bagaimana aturan rumah sakit yang berlaku. Hatinya terlalu sakit hingga ia tak lagi dapat merasakan sakit itu sendiri.

"Kamu sudah tahu jawabannya, tidak perlu aku tegaskan lagi," ujar Aries dingin.

Ya Tuhan! Tidak bisakah Kau hancurkan kebencian Papanya pada dirinya? Bahkan batu pun berlubang terkena tetesan air terus-menerus. Tidak sadarkah perkataan Papanya membuat dirinya sakit. Kinara menggeleng tidak percaya betapa kejamnya Aries padanya. Tangis Kinara semakin menjadi, kenapa papanya begini? Dia tidak bersalah kenapa Papanya tidak percaya? Bahkan tangisan Kirana tidak mengikis rasa benci Aries padanya.

"Aku ingin sekali mengabulkan keinginan Papa tapi nyawaku terlalu berharga untuk membayar perbuatan yang tidak aku lakukan. Hanya menghilangbdari kehidupan kalian yang bisa aku berikan, meskipun mungkin kepergianku tidak cukup menebus kesalahan yang tidak pernah aku buat," beritahunya tapi sepertinya Aries tidak peduli, "tapi satu yang perlu Papa tahu, aku hanya membela diri, tidak ada niatan mendorongnya. Aku juga menyayangi dia walaupun dia tidak," ungkap Kinara sesenggukan. "Tapi aku tahu kalau Papa tidak percaya denganku, aku tidak bisa apa-apa. Cepat sembuh, Pa. Jangan lupa istirahat. Selamat tinggal. Aku harap Papa bahagia," dengan penuh penekanan Kinara ucapkan.

Air mata Kinara terus mengalir, melemahkannya dan memberi kesenangan pada Aries. Dia berhasil menyakitinya! Kinara kemudian mendekat, memeluknya erat untuk terakhir kalinya. Tubuh Aries kaku, pria itu tidak membalas pelukannya dan Kinara juga tidak berharap. Satu yang ia pikirkan, kapan dirinya bisa memeluk papanya lagi? Satu tahun? Dua tahun? Atau tidak sama sekali? Membayangkan hal itu benar-benar membuat hatinya hancur berhamburan hingga air matanya semakin deras.

'Tuhan, tolong hancurkan kebencian Papa. Aku ingin dia memelukku dan mencium keningku saat kami bertemu nanti. Tolong jaga Papaku Tuhan sampai kami bisa bersatu kembali nanti.'

"Jaga diri Papa, jangan terlalu banyak kerja," pesannya. Kinara menghirup napas dalam-dalam karena dadanya sesak oleh impitan ini benar-benar menekannya. "Kinara sayang Papa. I love you, Pa."

Kinara melepaskan pelukannya pada tubuh kurus Aries. Kinara mengusap wajah Aries dengan penuh cinta, kemudian ia cium kedua pipi Aries. Tidak peduli wajah Aries basah karena air mata Kinara. Terakhir ia cium dahi Aries pelan dan lama. Terselip doa untuk Papanya. Kinara menegakkan badannya, tanpa berkata lagi dia berbalik pergi meninggalkan Aries, membawa luka hati cukup dalam. Dia berdoa pada Tuhan semoga ini yang terakhir papanya menyakitinya.

🌰🌰🌰

Me: datanglah ke alamat ini

+617xxxx: Ok! 

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top