20
Halooo! Markica, mari kita baca wkwkwk.
###
Wanita dengan kaus ungu itu mendesah lega, akhirnya selesai juga pekerjaannya merapikan barang-barang di kontrakkan. Ia tidak sendiri melainkan dibantu Bian, Vya juga Rani teman kantornya. Dia begitu senang, apa yang diinginkan terkabul—keluar dari rumah papanya. Keinginan tersebut bertambah kuat karena perubahan sikap Gara yang aneh.
Gara. Pria itu langsung marah dan menolak keinginannya pindah, tapi ia tak peduli. Ia juga tak mengindahkan peringatan yang Gara berikan jika sampai nekat keluar dari rumah itu. Meskipun mereka telah menghabiskan satu malam bersama bukan berarti Kinara dengan mudah patuh padanya.
"Sudah semua, kan?" suara Bian membuatnya mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia pegang yang kemudian dia letakkan di rak buku.
"Sudah. Gimana kalau kita pesan makanan? Pasti lapar kan?" tawar Kinara kepada tiga orang temannya.
"Boleh, perutku juga sudah dari tadi keroncongan," sahut Rani duduk selonjoran di karpet. Ia melihat ke arah Bian dan Vya, mereka mengangguk setuju.
Kinara meraih ponselnya menekan nomor telepon rumah makan yang menyediakan layanan antar, tidak hanya itu masakan yang mereka tawarkan enak meskipun hanya masakan rumahan. Kinara meletakkan handphone-nya kemudian ke dapur membuat minuman segar dan camilan untuk menemani mereka ngobrol sambil menunggu pesanan datang.
"Jadi, Bi. Kapan kalian menikah?" Ia meletakkan minuman dan camilan di meja pendek depan temannya lalu bergabung duduk dibawah.
"Aku sih siap kapan saja, Kin. Tapi tidak tahu dengan Vya. Dia mungkin masih belum bisa melupakan kakak tiriku," jawab Bian dengan mengangkat bahunya. Ia sengaja berkata seperti itu karena selama ini Vya selalu menolak lamarannya.
Vya menatap Bian sendu. Ia tahu jika Bian tengah menyindirnya tapi … "Bukan begitu, Bi. Aku …," ucapnya tapi terpotong oleh Rani.
"Tunggu!” Kedua tangannya terangkat di depan Vya dan Bian. “Jadi kalian berdua pasangan? Bian dan Vya?" tanya Rani cepat. "Bukan kamu, Kin?" sambungnya menoleh ke arah Kinara.
Ekspresi terkejut Kinara terlihat jelas. Jadi …. Astaga! Ia pun tertawa. Ya Tuhan sejak kapan ia dan Bian pacaran? "Bukanlah. Gila saja dengan dia. Mana mau aku sama dia playboy cap keong gitu."
"Aku bukan playboy, Kin. Mereka cuma teman aja," sanggah Bian tidak terima.
Kinara mencibir jawaban Bian. Ia tak mungkin percaya dengan omongan Bian. “Ya ya cuma teman. Teman tidur tapi," ujar Kinara lagi.
Vya bergeming menatap sendu ke arah laki-laki di depannya. Ia bukannya menolak hanya saja ia menunggu sampai keadaan pulih. Mereka hidup di masyarakat dengan adat dan budaya yang masih dipegang teguh, jadi sebisa mungkin ia menahan diri. Namun, Bian sepertinya salah paham, dia tidak sabar dan berpikir jika dirinya belum bisa melupakan Rendra.
Tanpa banyak bicara Bian memiting leher Kinara sampai wanita itu mengaduh minta ampun. "Ck. Kamu apaan sih, Kin. Mau buat gue jelek di depan dia?" decaknya dengan dagunya dia menunjuk Vya.
Rani menepuk keningnya sendiri pelan. "Aduh, aku salah dong selama ini hehe ...."
Mereka melanjutkan obrolan sampai pesanan mereka datang. Makanan rumahan yang membuat Kinara rindu dengan mamanya karena rasanya hampir sama dengan masakan yang mamanya buat. Mengingat mamanya, Kinara berniat ke makamnya besok sebelum masuk kantor.
‘Ma, berbahagialah di sana. Ara baik-baik saja di sini.’
🌰🌰🌰
"Kin, dipanggil bos." Lina teman satu divisinya memberitahu waktu jam makan siang tiba.
"Iya terima kasih, Lin." Dengan malas-malasan Kinara berjalan menuju ruangan laki-laki itu. Apa dia tidak bisa nanti saja memanggilnya? Kenapa harus istirahat siang dan membuatnya harus membatalkan janji makan siang dengan Bian.
Helaan napas berat ia embuskan. Perutnya sudah bunyi dari tadi minta diisi, tapi sekarang ia terpaksa menahannya gara-gara bos memanggilnya. Apes sekali. Ditambah beberapa waktu belakangan ini perutnya sedang tidak bersahabat dengannya. Makan telat saja langsung melilit terlebih di pagi hari, ia mual muntah walaupun tidak parah.
Seingatnya ia tidak punya riwayat sakit maag tapi kenapa sekarang ini ia mengalaminya? Setelah terdengar seruan dari dalam ruangan Kinara masuk, tidak lupa menutup lagi pintunya kemudian berdiri depan meja Gara. "Bapak memanggil saya?"
Gara tak bergeming. Ia fokus pada laptop-nya. "Bagaimana rumah barumu?"
Kinara mengeratkan giginya menahan geram. Apa dia tidak punya kerjaan sampai memanggilnya hanya untuk bertanya hal seperti ini? "Maaf, Pak, kalau tidak ada yang penting saya permisi dulu."
"Duduk."
Wanita itu menghela napas besar sebelum akhirnya duduk di hadapan Gara. Kalau saja tubuhnya sedang sehat dan bukan di kantor mungkin ia akan memilih untuk berkonfrontasi dengan pria ini, masalahnya Gara atasannya jadi dia harus patuh.
Ia berdesis, menggigit kecil bibirnya karena perutnya sudah meronta-ronta minta diisi dan ia tak yakin bisa menahannya lebih lama lagi, bisa-bisa ia juga pingsan dan itu bukan hal yang patut dibanggakan. Pingsan karena kelaparan? Astaga! Itu tidak boleh terjadi dan jangan sampai terjadi. Lagipula Kalau sampai terjadi pasti pria itu akan memaksanya kembali ke rumah papanya. Tidak! Ia tidak mau tinggal dalam satu atap dengannya, apalagi setelah kejadian itu.
Gara memperhatikan raut wajah Kinara yang sepertinya menahan sesuatu. Ia menekan interkom yang terhubung ke pantry dapur dan bertanya pada OB apa makanan yang ia pesan sudah datang dan menyuruhnya mengantarkan ke ruangan miliknya.
Tidak lama Pras masuk dengan nampan berisi nasi, cumi asam manis, cah kangkung, dan jus melon. Pras meletakkan nampan tersebut di depan Kinara lalu pamit undur diri. Kening Kinara berkerut heran. Mengapa makanan itu diletakkan didepannya bukan di depan Gara? Apa Pras salah meletakkan? Tapi ….
"Makanlah!" perintah Gara. Ia sudah menyingkirkan laptop di hadapannya—menggesernya ke samping agar tidak menghalangi ia memandang Kinara.
Lipatan terlihat di dahi Kinara, sejak kapan pria itu baik padanya? Ya meskipun akhir-akhir ini dia selalu baik padanya tapi itu membuatnya takut. Jangan-jangan Gara berniat macam-macam terhadapnya, membunuhnya mungkin? Membalas dendam karena dia telah dituding sebagai penyebab kematian adiknya. Pikiran negatif itu membuatnya bergidik ngeri. Ia menggelengkan kepalanya menepis pikiran konyolnya.
"Makanlah. Kamu pasti lapar lagi pula ini sudah jam makan siang," perintah Gara gregetan.
"Tapi ini kan …."
"Bisa tidak kamu tidak membantahku? Tidak ada racun di dalamnya," sahutnya dengan tatapan tajam.
Benar-benar aneh baginya tapi pikiran-pikiran Kinara tenggelam oleh rasa laparnya. Ia mulai menyuap makanan tersebut, mengunyahnya dengan susah payah dalam pengawasan Gara. Ia baru sadar saat nasi dalam piringnya sisa separuh. Bukankah makanan ini yang ia inginkan tadi? Bagaimana dia tahu kalau dirinya menginginkan ini? Apa pria itu mendengar percakapannya dengan Rani? Tapi sejak tadi tidak ada yang lewat di ruangan divisinya. Apa Gara bisa menebak pikirannya? Itu tidak mungkin. Memangnya pria itu dukun?
"Kenapa lagi?" tanya Gara saat Kinara tak meneruskan makannya. Wanita itu menggeleng cepat. "Habiskan makanannya, Ra. Kamu kurus begitu. Mungkin ada baiknya kamu kembali ke rumah agar Bik Nah mengurusmu dan berhenti ngomel-ngomel karena kepergianmu. Dia anggap aku mengusirmu dari rumah."
"Ya?" Apa kupingnya tuli mendengar Gara berkeluh kesah ah tidak, bukan berkeluh kesah tapi seperti mencurahkan hatinya.
Astaga! Apa ucapan Gara kurang jelas? "Tidak. Lanjutkan saja makanmu," perintahnya.
Kinara kembali menyantap makanan di piringnya sampai tandas tidak bersisa. Perutnya kenyang selain itu perasaannya lega keinginannya sudah terpenuhi. Kalau pikir-pikir, akhir-akhir ini ia sangat suka jajan, bahkan kadang keinginan untuk makan sesuatu tak dapat ditahannya. Bian, Vya, dan Rani lah orang yang selalu ia repotkan mengantar ke sana kemari mencari apa yang ia inginkan.
Gara tersenyum kecil, sangat kecil—seperti sebuah garis lurus saja—melihat riak paras Kinara. "Kenyang?"
Kinara mengangguk cepat, bagaimana tidak kenyang porsi untuk dua orang dia habiskan sendiri. "Terima kasih," ucapnya pelan. Hell! Ini bukan dirinya sekali. Hanya karena disuap dengan makanan ia jadi lemah begini.
"Kalau kamu mau kembali ke tempatmu sekarang silakan saja."
Rupanya Kinara tak mau menyia-nyiakan perintah yang ia berikan. Wanita itu langsung berdiri meninggalkan ruangannya. Gara memperhatikan punggung kecil itu dengan senyum lebar dan berharap Tuhan berpihak padanya, seperti mengabulkan mimpinya, di mana di mimpi itu ia mempunya seorang putra yang tampan.
Awalnya Gara bingung, kenapa ia bermimpi seperti itu padahal tidak sekalipun ia memiliki keinginan untuk menikah dalam waktu dekat ini tapi mimpinya sungguh aneh. Wajah tampan itu mengusik hati dan benaknya sampai ia teringat Kinara, mungkinkah wanita itu … ia tidak berani berharap banyak sebelum membuktikannya, tapi masalahnya bagaimana caranya?
Di tengah kebingungan itu tanpa sengaja ia mendengar Kinara bercerita pada temannya—ia tak tahu namanya—jika akhir-akhir ini ia sering mual muntah di pagi hari walaupun tidak sampai membuatnya lemas, perutnya suka sakit jika telat makan, dan suka sekali jajan.
Dugaan Gara awalnya bisa saja itu maag atau karena asam lambung Kinara naik tapi kemudian ia tepis pemikiran itu, bisa saja jika dia tengah berbadan dua tapi tak menyadarinya. Ya, itu harapan yang ia semai saat ini dan semoga Tuhan mengabulkan.
Tbc.
Ini juga udah timit di Karyakarsa ya. Bisa login lewat link di bioku jika berkenan. Makasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top