14


Yuhuuu! Ayem kambek beibihhh🤣

🥀🥀🥀

Kondisi Kinara berangsur-angsur pulih. Sakit di kepalanya sudah banyak berkurang meskipun masih sering ia rasakan. Bian setiap hari menjenguknya meski hanya beberapa jam saja, pria itu akan pulang bila Gara datang selepas jam pulang kantor dan kalau pagi sampai sore Bi Nah yang menjaganya. Memar di bahunya sudah mendingan tapi meninggalkan bekas keunguan di kulitnya. Rambutnya sedikit tidak karuan karena dicukur di bagian sekitar luka agar memudahkan petugas medis menjahitnya.  

Pria itu tengah duduk di sofa dengan laptop di pangkuan. Terlihat serius dengan kerutan di dahinya. Tidak ada pembicaraan antara mereka. Hening. Seperti itulah keadaan mereka selama Kinara dirawat di rumah sakit. "Ra," panggilnya pelan. Kinara menoleh sebentar lalu kembali menatap televisi.

Terdengar helaan napas kasar dari laki-laki berusia 32 tahun itu. Usia yang cukup matang untuk membentuk sebuah keluarga tapi sampai saat ini Gara lebih betah melajang. Ia masih belum ingin mengenal cinta sampai semua urusannya selesai. 

Gara mendekat duduk di kursi samping bed Kinara. "Bagaimana keadaanmu? Apa sakitnya masih terasa?" Gara mencoba memulai percakapan. Dia bukan orang yang pandai berbasa-basi, sehingga ia sedikit kesulitan. 

"Sudah lebih baik. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku. Aku sudah tidak apa-apa," jawab Kinara pelan. Meski ia masih sakit hati tapi ia tidak lupa bahwa pria itu yang membawanya ke rumah sakit saat dia tak sadarkan diri waktu itu.

"Ra, ada satu hal yang membuatku tidak tenang mendengar ucapan Paman Tomo soal Mama dan Vina terhadapmu. Apa kamu bisa menceritakan kejadian itu juga perlakuan mama dan Vina padamu?" 

Kinara menoleh dengan pelan melihat Gara. "Paman bilang apa?" tanyanya lebih dulu agar tidak salah menjawab nantinya. 

"Keluargaku menyakitimu. Apa itu benar?" tanyanya lagi.

"Tidak usah dengarkan omongan Paman," sanggahnya. Kinara tidak ingin merusak kenangan Gara terhadap Ibu juga Adik perempuannya. Ia tidak ingin membuka aib orang yang telah meninggal cukup dia dan mereka yang tahu. 

Jawaban Kinara tidak melegakan rasa penasaran Gara. "Jadi benar apa yang dikatakan Paman Amir? Apa karena itu kamu memutuskan membalas perbuatan Vina?" desak Gara. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

"Apa kamu selalu memiliki pikiran negatif padaku?" Kilatan kemarahan terlihat jelas di mata perempuan itu meski berkata dengan pelan. Pria itu mengusap kasar wajahnya. Dia tampak kelelahan mungkin akibat menungguinya dirinya di rumah sakit.

"Karena itu tolong ceritakan padaku. Aku ingin mengetahuinya," pinta Gara. Sudah cukup selama beberapa hari ini dia tidak bisa tidur dengan tenang. Perasaan bersalah terus menghantuinya.

"Buat apa? Kalau pun kamu tahu itu tidak mengubah keadaan. Kebencian yang kamu rasakan tidak akan bisa hilang dalam sekejap. Kebencian itu sudah berakar dalam hatimu jadi apa pun yang aku katakan tidak ada artinya," jawab Kinara dengan sedikit emosi dan membuat sakit di kepalanya berdenyut. "Biarkan semua seperti semula, dengan begitu kamu lebih mudah menjalani hidupmu," ujar Kinara lagi. Dengan begitu Kinara pun mempunyai alasan pergi dari Gara. Kinara mematikan televisi, meletakkan remote di tempatnya lalu merebahkan tubuhnya membelakangi Gara.

Pria itu menutup kembali mulutnya mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih banyak lagi. Ia tidak ingin membuat perempuan itu kesakitan. Dokter mengatakan bahwa Kinara masih akan sering merasakan sakit di kepalanya selama masa penyembuhan.

🌰🌰🌰

Hari ini Kinara diperbolehkan pulang tapi menunggu dokter memeriksa untuk terakhir kalinya. Bian sudah berada di ruangan Kinara sejak pagi. Ia sengaja tidak ke kantor agar bisa mengantarkan sahabat itu ke rumah kontrakannya. Gara masuk bertepatan dengan dokter. Dokter mulai memeriksanya. Kondisinya baik walau begitu dokter berpesan agar dirinya banyak istirahat, rutin minum obatnya dan kontrol seminggu sekali.

Kinara menyanggupi hal itu karena ia ingin segera pulih dan kembali bekerja. Ia cepat-cepat mencegah Gara yang akan mengambil tas berisi pakaiannya. "Aku tidak akan pulang denganmu."

Gara menatap Kinara dengan raut bingung tapi ia tidak bertanya terlalu jauh. "Lalu?" 

Kinara menunduk sebentar lalu melihat Gara. "Aku akan tinggal di rumah kontrakanku," jawab tegas. Ia tidak ingin tinggal dengan pria itu, lagipula ia tak ingin Gara melihatnya lemah.

Sebelah alis Gara terangkat begitu mendengar ucapan Kinara. Ia mengambil jarak dari Dokter Pras dan Kinara. Melipat tangannya di dada diiringi tatapan menusuk ke arah Kinara. "Dokter apa dia diperbolehkan tinggal sendirian di rumah?" Gara tidak akan kalah keras kepalanya jika wanita itu ingin melawannya. 

"Untuk sekarang ini Nyonya perlu didampingi, tidak boleh sendirian. Tidak boleh melakukan banyak pekerjaan dulu. Nyonya harus banyak istirahat jangan sampai kelelahan agar proses pemulihan lebih cepat. Bahu Nyonya juga masih belum bisa digunakan secara maksimal." 

"Kamu dengarkan apa kata dokter, Sayang?" Gara menekankan panggilan sayang untuk Kinara sebagai tanda ia tidak ingin dibantah.

Kinara menutup mulutnya. Ia tidak ingin berdebat di depan orang lain.
Setelah dokter pergi Bian mendekat duduk di kursi samping sedangkan Gara menyelesaikan urusan administrasi. "Baiknya kamu turuti dia, kamu memang perlu orang yang bisa menjagamu dua puluh empat jam penuh." 

"Tapi Bi--" 

"Kin, kali ini saja turuti dia. Setelah sembuh kamu bisa pergi dari rumah itu. Kontrakan kamu sudah aku bayar selama satu tahun, jadi kamu bisa sewaktu-waktu tinggal di sana." Bian meyakinkan Kinara. Bukan karena ia tidak mau menjaga perempuan itu tapi ia juga mempunyai tanggung jawab lainnya. 

"Tapi kamu akan menjenguk aku kan?" tanyanya penuh harap. 
Bian mengusap ringan dan penuh kehati-hatian kepala Kinara. “Pasti. Aku pasti sering melihatmu." Bian menggenggam kedua tangan Kinara. "Sekarang ayo aku antar pulang, Ok." 

Kinara mengangguk juga tersenyum, mereka tidak sadar bahwa Gara sejak tadi memperhatikan mereka berdua. Tangannya mengepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Ada denyutan yang tidak biasa ia rasakan. Denyutan itu menimbulkan sakit, hingga nyeri di ulu hatinya. Ada emosi yang tak dia duga menguasai dirinya saat melihat Kinara tersenyum pada laki-laki itu. Gara masuk lalu mengambil tas wanita itu tanpa banyak kata kemudian pergi meninggalkan Bian dan Kinara.

Kinara menatap punggung itu dengan pandangan sendu. Kenapa sakit sekali mencintai pria itu? "Bi, kenapa perasaan ini tidak mau pergi? Aku sudah berhasil membuangnya tapi dalam sekejap tumbuh kembali," cicitnya pelan. 

"Kin, dengar. Semakin kamu menghilangkan perasaan itu akan bertambah besar dan akan semakin terasa sakitnya. Yang bisa kamu lakukan biarkan rasa itu ada, jangan menekannya. Beri kebebasan sampai lambat laun perasaan itu menguap dengan sendirinya."

"Tapi aku takut akan semakin besar, Bi. Karena itu aku memilih pergi dari rumah. Lagipula aku tak akan tahan hidup dalam kebenciannya." 

Bian tahu bagaimana perasaan Kinara saat ini. Serba salah. Di satu sisi ia mencintai Gara tapi di sisi lain wanita ini membenci pria itu. "Kin, dengan pergi dari rumah bukan suatu penyelesaian. Kamu tidak bisa menjamin perasaanmu hilang. Apa kamu lupa kalian bekerja dalam satu kantor?" sahut Bian. Pria itu berusaha memberi pengertian pada Kinara. "Hadapi. Jangan jadi pengecut. Aku tahu kamu pasti bisa." 

Kinara menghela napas dalam. Akan seperti apa dia mengahadapi Gara ke depannya? Ia pun menarik napas cepat. "Aku sungguh menyedihkan bukan? Menyukai orang yang membenciku. Kenapa aku tidak menyukaimu saja?" Kinara memandang sendu pada Bian. Semua akan mudah jika perasaan ini tidak salah sasaran. Astaga. 

"Hahaha. Kamu yakin ingin menyukaiku?" tanya Bian tertawa keras. "Apa kamu sudah siap mengusir wanita-wanita dari rumahku setiap hari?" 

"Hah?" Mulut Kinara menganga tidak percaya. "Hei! Sejak kapan kamu jadi penjahat kelamin? Dasar playboy." Kinara memukul lengan Bian beberapa kali dan laki-laki itu hanya terkekeh. 

"Bukan aku yang mau tapi mereka. Seperti itu juga dengan perasaan, Kin. Kita tidak bisa mengontrolnya, tidak bisa memilih dengan siapa kita suka. Bagiku, kamu menyukai siapa pun tidak masalah asalkan kamu bahagia. Aku lebih suka melihatmu tersenyum dari pada melihatmu menangis." 

Kinara menatap sahabatnya dengan perasaan kagum serta haru. Bagaimana bisa pria yang biasanya pencicilan bisa serius seperti ini? Dia memeluk Bian dan Bian membalasnya dengan menepuk-nepuk pelan punggung Kinara. "Terima kasih, aku beruntung punya sahabat sepertimu, Bi." 

"Aku juga." Bian mengurai pelukan Kinara. "Ayo pulang. Kamu bisa berjalan ke depan, kan? Atau perlu kursi roda?"

"Jalan saja."

Tobaco. Wkwkwk

Sudah tamat yes di KK. Link di bio aku ya. 😚






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top