12


Baca cepat di Karyakarsa.

🍁🍁🍁

“Ra!” teriak Gara dari arah dapur.

Kinara mendengar teriakan itu dengan tergesa-gesa ia berlari kecil mendekat. "Ada apa?" tanyanya bingung. Apa yang membuat pria ini marah?

Gara berkacak pinggang. Wajahnya merah padam. "Apa belum cukup peringatan yang aku berikan?" tukasnya keras. 

"Apa maksudmu?" tanya Kinara dengan kebingungan. Ia merasa tidak melakukan apa-apa yang bisa mempermalukan atau melanggar perintah pria itu.

"Sudah ku katakan jangan pernah mengusik pekerjaku. Menjauhlah!"

Kening Kinara mengernyit perlu waktu beberapa menit untuknya mengerti maksud pria di depan. "Oh ... aku paham.” Kinara tampak acuh tak acuh dengan kemarahan Gara. Netranya membalas tatapan tajam pria itu. “Kali ini apa yang mereka adukan?" tanyanya tanpa ekspresi.

Gara memperpendek jarak mereka hingga membuat Kinara harus mendongak melihatnya. "Mereka tidak suka kamu menegur anak-anaknya. Tidak bisakah kamu tidak berulah?" geramnya. Wanita ini sungguh mengacaukan hari-hari tenangnya. Sialan.

"Aku berulah? Di mana otakmu, Tuan? Apa salah jika aku memarahi mereka karena mereka menyalakan api di gudang? Apa aku salah memberikan teguran agar mereka tidak mengulanginya? Apa aku salah?" teriaknya tepat di depan wajah pria arogan itu. "Harusnya dia bersyukur aku memergoki anaknya, kalau sampai terjadi kebakaran dia yang menyesal bukan aku!" 

"Apa pun alasanmu menjauhlah! Aku tidak mau kehilangan mereka gara-gara kamu. Sudah cukup kamu membuatku kehilangan Ibu juga Vina. Menjauh dan jangan coba-coba berulah. Mereka lebih berharga darimu. Kamu dengarkan … mereka lebih berharga darimu," ucapnya dengan penuh penekanan juga kebencian yang teramat sangat dari sorot matanya.

"Kalau begitu kenapa tidak kamu biarkan saja aku pergi? Aku muak berada di lingkungan penuh dengan orang-orang munafik dan picik seperti kalian." 

"Pergilah! Apa kamu kira aku juga tahan hidup denganmu? Kalau bukan karena wasiat sialan itu aku pasti sudah pergi. Melihatmu mengingatkan akan adikku yang kamu bunuh. PERGI. PERGI SEJAUH MUNGKIN. Aku harap tidak akan pernah melihatmu lagi!" Gara meninggalkan Kinara mematung di dapur. 

Ia tidak menduga maksud baiknya justru membuat mereka bertengkar. Ini membuatnya nelangsa, rasanya seperti berjalan di jembatan berkayu yang sudah lapuk, berpijak di mana saja ia akan tetap jatuh. Ya Tuhan, rintihnya. Kinara memejamkan mata menghalau air mata yang akan mengalir dari sudut-sudut mata.

Kakinya lemas bagai tak bertulang dan hatinya hancur lebur tak tersisa. Kinara terisak dengan tubuh meluruh di lantai dapur. Cukup! Ia sudah lelah bertahan di sini. Lelah karena selalu disalahkan, lelah dengan cibiran juga tatapan kebencian yang ia terima. Kali ini kesabarannya sudah di ambang batas dan Kinara memilih pergi sebelum kewarasannya terkikis habis.

Kinara berdiri meninggalkan dapur usai menangis. Sudah dirinya putuskan besok ia akan pergi. Mungkin dia akan minta bantuan Bian mencarikan rumah kontrakan sementara. Sekarang yang perlu ia lakukan mengembalikan kartu ATM juga uang yang dipinjamnya dari laki-laki itu. Ia bergegas ke kamarnya mengambil atm dan uang yang memang sudah ia siapkan, lalu mencari Gara di ruang kerjanya.

Tanpa mengetuk pintunya, ia membuka lalu masuk. Pria itu menatapnya tajam tapi tidak menyurutkan langkah Kinara, ia harus pergi tempat terkutuk ini.
Kinara melempar kartu dan amplop cokelat berisi uang di meja depan Gara. "Ini ATM juga uang yang aku pinjam serta bunganya. Besok pagi aku akan pergi. Aku tidak peduli lagi soal warisan atau apa pun itu. Dengan begitu kamu tidak perlu mendengar keluhan mereka tentangku. Tidak perlu melihat wajah pembunuh ini lagi." 

Kinara berbalik keluar dari ruang kerja pria itu tanpa memberi Gara kesempatan untuk mendebatnya. Ia tidak mau menangis di depannya, dia tidak boleh terlihat lemah. Meski hatinya sakit, ia harus bertahan. Namun, sayang air mata yang ia tahan-tahan akhirnya jatuh juga. Dia menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Langkah kakinya secara otomatis membawa dirinya ke belakang rumah. Kinara duduk di kursi panjang sebelah gudang. Ia terus menangis menumpahkan kekesalannya, kesakitannya, kemarahannya. Hanya itu yang ia bisa lakukan sebab membuat pria itu mendengarnya sungguh mustahil.

Bagi Gara dirinya salah, apa pun ucapannya dia tetap bersalah.
Lama ia menangis dan berusaha meredakan tangisnya, perasaannya sedikit lega. Paling tidak kemarahannya menguap dan membuatnya bisa berpikir dengan tenang. Kinara mengembuskan napas panjang, berharap semua himpitan di dadanya ikut terbuang lalu menggantinya dengan menghirup udara dalam-dalam, agar kantong paru-parunya terisi penuh. 

Ia beranjak dari duduknya ingin kembali ke rumah, tapi langkahnya terhenti mendengar keributan dari samping gudang. Karena penasaran—sifat inilah yang membuatnya mendapat masalah dengan Gara—ia mendekat ke sisi gudang. Tampak susunan-susunan kotak yang mungkin sudah tidak terpakai. Ada beberapa rak berjejeran penuh barang yang ia tidak tahu itu apa.

Kinara mendekati sumber suara tersebut, astaga anak-anak itu lagi. Apa mereka tidak takut kejatuhan barang-barang itu? Mereka saling berebut dan saling dorong sampai anak laki-laki paling besar menabrak rak kayu yang memang sudah lapuk.

Dua anak laki-laki lainnya terus mendorongnya, rak yang kosong itu terus bergoyang. Saat Kinara akan membuka mulutnya untuk memarahi mereka, matanya melihat ke atas kotak-kotak kayu berukuran sedang mulai lepas dari tempatnya ... "Awas!" Kinara mendorong sekuat tenaga menjauhkan tubuh ketiga anak laki-laki itu dari kotak kayu yang meluncur ke bawah. Kinara sendiri terlambat menghindar, kotak tersebut pun menghantam kepalanya. 

Sakit seketika menyengat kepalanya. Ia refleks tangannya memegang bagian kepalanya yang sakit. Matanya berkunang-kunang, bau anyir menyeruak menusuk hidungnya. Ia menarik tangannya lalu melihatnya. Darah. Kepalanya berdarah. Rasa sakit kembali menyerang membuatnya menggeram kesakitan. 

"Pe ... pergi ..." ucapnya lirih dan lemah pada ketiga bocah tersebut. Ia sekuat tenaga menjaga kesadaran tapi sepertinya kesadarannya sedikit demi sedikit mulai menghilang. Perlahan tapi pasti akhirnya kegelapan menyelimuti dirinya.

🌰🌰🌰 

Sudah lebih dari tiga jam Kinara di ruang ICU setelah sempat tertahan di IGD, tapi Gara belum memperoleh informasi sedikit pun. Suster yang keluar masuk pun tidak memberikan jawaban pasti. Ini membuatnya frustrasi sebab ia khawatir dengan kondisi wanita itu. Ia tidak suka rumah sakit itu akan mengingatkan pada Vina.

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Gara begitu melihat dokter yang menangani Kinara keluar dari ruangan. 

Dokter bernama Pras itu pun menjawab pertanyaan Gara. "Pasien masih belum sadarkan diri. Kami masih terus mengawasinya. Yang kami khawatirkan cedera di kepalanya sebab bisa menyebabkan cidera yang serius. Untuk luka di bahunya sudah kami tangani." 

"Lalu?" 

"Kami belum bisa memberikan kepastian, Pak. Yang bisa kita lakukan berdoa dan menguatkan hati untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Saya permisi." 

Usai kepergian Dokter Pras, ia menghempaskan tubuh di kursi tunggu depan ruangan Kinara. “Oh God.” Ia meremas rambutnya dengan kuat, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang besar. Melihat wanita itu tergolek tak berdaya membuatnya sakit. Ingatannya kembali ke beberapa waktu lalu, saat keadaan panik sedang melanda dirinya.

Bi Nah masuk ke ruang kerjanya dengan tergopoh-gopoh. Napasnya yang naik turun dan pendek menandakan wanita paruh baya itu berlari. Dengan ucapan terbata-bata dan tidak jelas, Bi Nah bilang Kinara berada di samping gudang. Samping gudang? Bukankah di sana tempat tumpukan-tumpukan kotak kayu dan beberapa rak yang penuh barang? Untuk apa wanita itu di sana?

Gara yang tidak sabaran lalu tiba-tiba saja perasaan aneh dan tidak nyaman di hatinya, meninggalkan Bi Nah sendiri. Ia memacu kakinya untuk berlari sekuat tenaga. Ia harus tahu apa yang terjadi. Tiba di samping gudang, Gara terhenti dan seperti disiram air es hingga beku. Bibirnya kelu sekadar bergerak. Tak hanya itu, darahnya pun seperti disedot habis hingga wajahnya memutih. Ini ….

Ia segera menghampiri tubuh tak berdaya Kinara di lantai batako itu, menyingkirkan kotak-kotak kayu tersebut dari tubuh Kinara. Darah! Ia tidak berani menyentuh Kinara, dia takut tindakannya berakibat fatal. Bi Nah dan beberapa orang yang mengikuti Gara terperangah kaget, juga tiga anak laki-laki itu dan orang tuanya. Mereka menangis, entah apa yang mereka tangisi. 

Pria yang berusia kepala tiga tersebut menyuruh Pak Atmo untuk memanggil ambulans. Ia panik. Takut jika Kinara tak segera mendapatkan pertolongan medis. Ia memanggil-manggil Kinara berharap wanita itu membalasnya tapi bibir itu terkatup. Matanya terpejam. Astaga kalau terjadi sesuatu pada Kinara ia pasti akan sangat menyesal. Selain itu ia menyesali ucapannya saat bertengkar tadi. Apakah Tuhan ingin menghukumnya karena membenci dia dengan membabi buta?    

Gara terus berdoa semoga Kinara baik-baik saja. Memohon dengan tulus dalam hatinya agar wanita itu bertahan. Tidak sekalipun ia ingin melihatnya celaka walaupun ia membencinya. Tidak lama mobil ambulans datang, petugas medis segera membawa Kinara ke rumah sakit terdekat dengan rumahnya. Gara memilih ikut naik di mobil ambulans. Tidak mungkin ia bisa meninggalkan Kinara sendiri.

Lagipula ia bisa membunuh dirinya sendiri bila mengendarai mobil dalam keadaan panik dan kalut.
Tepukan ringan di lengannya menyadarkan Gara lamunannya. Bi Nah, Paman Tomo, dan ayah dari ketiga bocah kecil tersebut berdiri didekatnya.

“Bagaimana keadaannya Non Kin, Den?” tanya Bi Nah cemas. Ia takut terjadi sesuatu yang fatal pada nona-nya itu.

Gara menghela napas panjang dan berat. "Belum sadarkan diri, Bik. Dokter masih terus memantau keadaannya."

"Apa itu artinya dia tidak baik-baik saja?" sahut ayah bocah tersebut. 

Ia menggeleng. "Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaannya. Aku harap dia baik-baik saja." 

“Amin. Aku harap dia mampu melewati cobaan ini. Aku kasihan padanya, mengapa Tuhan terus saja memberinya ujian? Papamu, keluargamu, bahkan teman-teman adikmu,” ujar Tomo dengan sedih.

Dahinya Gara berkerut. Ia menoleh kenapa Paman Tomo. "Apa maksud Paman? Kenapa dengan keluargaku?" tanyanya. 

"Ah tidak. Aku tidak tahu bicara apa,” elak Paman Tomo. Ia tak mungkin menceritakan bagaimana kelakuan keluarga Gara pada Kinara. “Apa Tuan akan berjaga di sini? Kalau tidak bisa biar aku saja,” tawar Tomo basa-basi.

Pria itu menolak gagasan Paman Tomo. Ia sendiri yang akan berjaga di rumah sakit. Tidak mungkin dirinya bisa tidur nyenyak saat kondisi Kinara belum jelas begini. Gara kemudian memerintahkan tiga orang tersebut pulang karena tidak ada gunanya banyak orang yang berjaga. Ia juga berpesan kepada Bi Nah untu menyuruh salah satu pekerja untuk membawakan makanan, kopi hitam, jaket, dan baju ganti.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top