Vorbildlich [END]
Entah sudah berapa kali gadisku menanggalkan pakaian yang berhamburan di sekitarku. Jemariku terus menelusuri helaian kain yang terjahit rapi membentuk baju bernuansa putih. Sempat aku menyentuh gaun dengan taburan payet di sekitarnya, tapi kurasa tidaklah menarik gadisku memakai gaun seperti ini. Jadi, jemariku hanya menyibaknya pelan.
Sampai saat ini, aku belum menangkap gaun yang cocok untuk gadisku. Kepalaku terangkat sejenak. Manik kecoklatan milikku memandang keelokan yang diciptakan Tuhan hanya untukku ini.
Cantik.
Indah.
Elegan.
Namun, sayang sekali. Dia belum sempurna ... tanpa busana yang kupilihkan.
Aku mengurut pelipisku. Rasanya aku mulai haus. Tapi, kusingkirkan pemikiran itu dan kembali mencari. Kepalaku kembali tertunduk. Gaun-gaun yang semula tertata dalam kotak dan tas kertas sudah semuanya kukeluarkan. Membiarkannya membentuk persegi-persegi kecil di ubin lantai. Aku bukanlah tipe orang yang membiarkan apa yang kukerjakan berantakan. Akan kubersihkan dengan cepat kalau aku bisa melakukannya.
Jendela dalam loteng ini tiba-tiba terbuka. Serpihan salju mulai masuk lewat jendela. Seketika hawa dalam loteng sempit ini terasa dingin.
Aku mencoba mengabaikannya. Aku mencoba tak peduli dengan jemariku yang gemetar saat memilah tumpukan gaun. Keringat dingin mulai menetes dari pori-pori kulitku. Sekali lagi aku mencoba acuh.
Kepalaku terangkat kembali beberapa menit kemudian. Mataku langsung membola dan tanganku pun semakin gencar menarik beberapa gaun untuk dibawa ke gadisku tatkala aku melihat wajahnya mulai memucat karena saat ini dia ... tidak berbusana.
***
Di antara selaksa orang, gadis itu menarik tanganku dari dasar kegelapan.
Merengkuh dengan jemari penuh kelembutan.
Aku seakan rendah di hadapannya.
Aku tidak berarti.
Harga diriku nyaris hancur.
Namun, gadis itu laksana bidadari.
Yang menunggu di antara daun gugur.
Menantikan dengan tangan terbuka dari atasku.
Menaikkan harga diriku.
Membuatku kembali merasakan apa itu kasih.
Dia ... gadisku ...
Maafkan aku membuatmu menunggu ...
Kemarilah ...
Akan kuajari kau.
Bagaimana menjelma menjadi manusia sempurna, wahai bidadari.
.
.
Vorbildlich
(Miyoshi x Reader)
[Joker Game Fanfiction Indonesia]
JG© Yanagi Koji
Story© Akabane Yu
Pict© Her/his owner
.
WARN: Typo(s), OOC, Bad EBI, Dark Romance, Mature Content.
.
Dedicated to
#VessaDarkRomanceChallenge
.
.
Hepi Riding!
'Ting'
"Silahkan datang lagi lain waktu, Miyoshi-san!"
Sapaan hangat itu tak pernah absen setiap aku melenggang pergi dari butik itu. Hampir tidak pernah karena aku sering menyempatkan diri untuk mampir ke sini. Entah itu untuk berbelanja gaun atau melihat-lihat persediaan baru.
Terkadang aku merasa kasihan dengan wanita tua pemilik butik ini. Tidak ada yang datang lagi ke butiknya setelah tempat ini terbakar beberapa tahun lalu. Tapi, tenang saja. Kelihatannya tampilan butik ini masih sama seperti di masa jayanya. Itu yang akan aku katakan ketika orang bertanya mengapa aku sering ke butik ini.
Indah.
Mewah.
Cantik.
Elegan.
Lenganku sibuk menggendong kantung belanjaan dan kakiku mencoba membelah tumpukan salju di trotoar. Manik kecoklatanku mengedar ke sekeliling. Cukup ramai dengan adanya suara klakson mobil dan derapan kaki para penikmat dunia. Aku menghela napas sampai kurasakan uap putih keluar dari mulutku.
"Aku harus cepat-cepat pulang," gumamku pada diriku sendiri.
Kakiku terus melangkah hingga terhenti di satu meter selanjutnya. Aku melihat seorang gadis dengan manik hitam pekat menatapku. Mataku menyipit. Sepertinya aku mengenal gadis itu. Dia memperhatikanku. Dia menatapku dengan tatapan ... kaget? Gelisah? Takut? Entahlah. Aku tidak bisa mendeskripsikannya. Yang pasti tatapan itu sangat menggangguku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampiri gadis itu. Dan, akhirnya aku tahu siapa gadis yang memakukan pandangan padaku sedari tadi.
"Selamat pagi, Shimano-san."
Ya, dia salah satu dari anggota keluarga tunanganku. Lebih tepatnya, adik kandungnya. Senyum tipis terulas di bibirku. Entah kenapa aku lebih memilih memanggilnya dengan marga daripada nama aslinya.
Mata gadis itu membulat. Ia tersentak. Tiba-tiba gadis itu langsung berbalik dan lari setelah berkata, "maafkan aku, Miyoshi-san," sambil membungkuk. Aku menatapnya heran.
Sebenarnya rasa takut apa yang dimiliki gadis itu padaku?
Sekarang aku hanya akan mengacuhkannya. Ya, karena aku bukan Jitsui yang biasa saja 'mengajari' orang lain tentang 'sopan santun'.
***
Pernahkah kau melihat bidadari?
Tubuhnya yang putih berkilau bagai sudah dicelup dalam cairan mur?
Sayapnya yang sekasar apapun namun tetap terlihat anggun ketika dikepakkan?
Kau ... tidak pernah melihatnya, ya?
Kalau begitu akan kutunjukkan.
Aku akan membuat bidadari dan memperlihatkannya padamu.
***
"Dear, aku pulang ..."
Tanganku meletakkan tas kertas dari gendongan. Kakiku bergerak mendekati tubuh putih pucat milik tunanganku. Dirinya begitu cantik dengan gaun yang kupilihkan semalam. Bidadari. Ya, kini aku seakan melihat bidadari!
Wajahnya yang bagai telur yang putih bersih tak bercacat. Manik sewarna gagak yang kini terselubung dalam kelopak berhiaskan helaian bulu tipis. Rambutnya sewarna jelaga yang hitam, halus, dan lunak.
Tanganku terulur mengelus pipi tirusnya. Seketika itu hawa dingin menyelimuti tanganku. Gadisku terasa dingin. Apa yang terjadi? Apakah dia kedinginan karena salju semalam? Dear, jangan membuatku khawatir.
Tidurnya lelap. Rautnya damai seolah-olah berada dalam mimpi indah dengan alunan harpa malaikat. Dear, kau terlalu menikmati kesenangan bersama mereka--para malaikat. Aku tak punya kuasa menganggumu. Tapi, rasa dingin ini semakin menjadi.
"Dear, kauperlu sesuatu yang hangat?" bisikku tepat di telinganya.
Tidak ada respon. Gadisku diam layaknya manekin di etalase toko. Aku menghela nafas. Sejenak kulirik meja di hadapan sofa yang ia duduki. Tumpukan kertas dan beberapa gambar. Jemariku bergerak mengurut pelipis.
"Apa pekerjaanmu sampai seberat ini, dear ..."
Kenapa aku bisa lupa kalau tunanganku adalah seorang penulis? Bahkan, lingkaran di kalender tak bisa ditangkap oleh mataku. Apa aku mulai rabun? Atau isi kepalaku sudah jatuh berceceran di jalanan tadi?
"Kurasa aku perlu istirahat ..."
Atensiku kembali pada gadis yang tertidur di sofa. Senyum terukir di wajahku. Kudekatkan wajahku dan kusatukan kening kami. Deruan nafasku seakan belum cukup menghangatkan wajahnya. Karenanya, bibirku mengambil alih.
Benda lunak milikku itu kusapukan pada bibirnya. Rasa dingin semakin terasa apalagi ketika lidahku menelusup masuk ke dalam rongga mulutnya. Lidahku menari. Menggelayut manja dengan lidahnya. Dan, tanpa sengaja kutemukan benda dingin dalam mulutnya. Kusudahi ciumanku dengan memundurkan wajah. Dapat kulihat bekas balok es meleleh di antara bibir bak bunga bakung berlapis mur milik tunanganku. Shimano [Name].
Ah, aku harus mengganti gaunnya dengan gaun baru dan menambahkan beberapa es batu.
***
Bidadari itu masih terdiam di antara daun gugur.
Dia belum mencoba pergi ke atas atau ke bawah.
Masih diselimuti keresahan.
Aku tidak mengerti apa yang dia inginkan.
Parasnya elok, sangat sempurna.
Namun, siapa pemiliknya?
Tidak ada?
Kalau begitu ... bolehkah aku merajut kasih berdasar nafsu dengannya?
Dia ... milikku.
Sekarang dan sampai kapan pun.
***
Aku menutup jendela kamar rapat-rapat dan menutupnya korden merah marun. Berjalan pelan menuju cermin besar di sudut kamar. Menatap diriku yang sebegitu eloknya dipandang dalam pantulan cermin. Apa cermin terlalu jujur atau melebih-lebihkan ketampanan yang kupunya? Ukiran tangan Tuhan benar-benar sempurna. Aku sadar aku memang pantas untuk seorang bidadari. Dan, bidadari itu adalah [Name].
Helaian rambut coklat kemerahanku merunduk ketika sisir menghampiri mereka. Berkilau bagai permata dan halus bagai sutera. Tidak ada habisnya aku memandangi diriku. Memujinya, memujanya, bagai aku melihat [Name] untuk pertama kalinya.
Ritual kecil di depan cermin telah usai. Kumasukkan sisir ke dalam kotak berukiran klasik dan berjalan ke luar kamar. Dari tempatku berdiri, aku masih bisa melihat helaian raven yang terkulai di punggung sofa. Gadisku masih tidur.
Kakiku berjalan mendekat. Posisinya tidak berubah dari terakhir aku melihatnya. Masih sama. Dia tertidur seakan tengah berada dalam palungan bayi. Begitu anggun dan menggemaskan.
Tanganku bergerak mengelus helaian rambutnya. Jelaga itu begitu halus walau sudah sedikit termakan usia. Dari tempatku berdiri, aku masih bisa mencium wangi minyak zaitun yang menguar dari tubuh [Name]. Aromanya memabukkan seperti dirinya.
Dengan mengikuti insting, aku melepas perlahan bath robe milikku. Tubuhku masih basah oleh liquid bening. Jemariku bergerak mengikuti insting melepas pita dari gaun malam gadisku. Dan, sekarang dapat kulihat sinar bidadari dari tubuhnya.
Bagai buah apel yang dikupas bersih, bagai telur yang dibuang cangkangnya. Dear, kau sangat cantik. Perlahan aku bergerak ke atas tubuhnya. Menindihnya perlahan. Dia tidak merasa terganggu dan asyik bergumul dengan harpa malaikat dalam mimpinya. Aku tersenyum tipis.
Seandainya dia tahu kalau aku begitu memujanya. Katakanlah instingku seperti hewan saat ini. Hewan buas yang lapar ketika melihat daging segar di tengah padang. Karena aku memang merasakan hal yang seperti itu sekarang. Mencium bibirnya, menjilat dan mengigit lehernya yang dilingkari simpai merah kecoklatan.
Ketika tanganku asyik bermain di atas kulit selicin cairan mur, bibirku asyik melafalkan kata-kata manis untuk gadisku, pikiranku melayang sejenak. Bagai ilusi, aku dihempaskan dalam kegelapan. Tidak ada yang bisa menolong bahkan sampai aku merasa putus asa karena kegelapan itu.
Dalam keadaan gelap, aku merasa nyaris buta ketika tidak bisa merasakan sesuatu dengan sesuatu dengan tanganku. Tempat ini luas, tidak ada halangan apa-apa. Telingaku tidak menangkap apapun selain dengingan keras. Aku tidak takut, tapi terlalu lama seperti ini membuatku emosiku naik.
"Kau melakukan hal yang salah ..."
Siapa yang bicara?
"Kau sudah mengambil jalan yang salah, Miyoshi."
"Tuhan tidak akan memaafkanmu."
"Tuhan menentang hubunganmu."
"Jangan sampai membusuk dalam api neraka!"
Apa yang dia bicarakan? Tuhan tidak akan melakukan apa-apa padaku dan tidak akan bisa menentang apa yang kuperbuat.
"Kau sudah hancur untuk yang kedua kalinya."
Apa yang suara itu maksud? Sumbernya sudah gilakah? Mereka ada banyak? Apa maksudnya aku hancur untuk yang kedua kalinya? Harga diriku sudah melambung karena adanya [Name].
Aku mendengar rintihan. Bukan. Bukan dari suara itu. Ini suara lain. Suaranya tersendat seperti kaset rusak.
"Kembalikan aku ... aku ingin kembali ..."
Siapa?
Tak sempat aku berpikir lebih lama karena aku sudah kembali dihempaskan ke realita. Aku masih berada di atas [Name]. Tanganku meremas pelan bahu [Name], menancapkan kuku-kuku tajamku di sana. Amarahku sudah di ujung tanduk. Entah apa yang dimaksud suara itu, tapi kali ini aku benar-benar marah karena dia mengusikku. Mengusik ketenangan malamku dengan gadisku.
Aku menatap [Name] yang masih enggan memperlihatkan iris gagaknya. Aku menggeram pelan. Dadaku naik-turun tak beraturan. Kesal, gelisah, marah, semua perasaan itu menyatu dalam dadaku. Ruangan sempit itu kini menjadi sesak sampai ingin rasanya aku meneriakkan kata 'keparat' keras-keras.
"Dear, bersiaplah. Aku tidak akan segan kali ini."
[Name] terdiam. Dia tak berniat membalas ucapanku. Kurasa dia sudah mengerti apa yang akan kulakukan selanjutnya. Dia gadis pintar yang mau menuruti egoku. Melakukan ini sebelum menikah? Ya, aku melakukannya! Lagipula, dia tunanganku.
Aku memposisikan diriku. Bersiap menyantap habis tubuh di hadapanku. Membawa kami melintasi jurang kenikmatan. Membawa kami ke dalam delusi tanpa batas.
Tak lama aku melakukannya. Aku mendapati diriku sudah masuk ke dalam tubuh gadisku. Ah, sensasinya sangat luar biasa. Aku bisa merasakan sengatan listrik mengalir dalam tubuhku. Tubuh kami mulai membiasakan diri, mencoba bersatu.
Kemarahanku menjadi dasar perlakuan ini.
Amarahku memuncak dan aku semakin cepat bergerak.
Aktif seaktif-aktifnya. Melakukan gerakan tanpa adanya jeda.
Ini luar biasa.
Kemarahanku berangsur sirna seiring dengan kenikmatan yang kudapat dari tubuh gadisku.
Tak kudengar desahan atau hal lain. Cukup deruan napasku yang terdengar menggema di ruangan ini. Aku mencoba melakukannya. Memuaskan diriku dengan apa yang Tuhan berikan.
Aku rasa gadisku harus mulai mengucapkan selamat tinggal pada khayangan, menggugurkan sayap sucinya dan tinggal bersamaku di tempat ini.
Aku menyukai berada di dalammu, dear. Sungguh.
Tak lama kegiatanku usai. Aku sedikit menumpukan tubuhku pada lengan yang mengurung kepala gadisku. Bibirku mengecup keningnya lembut.
"Terima kasih untuk malam ini, dear."
***
Sayap sang bidadari sudah menyatu dengan angin.
Tidak bisa terbang karena ulahku sendiri.
Jangan salahkan aku.
Dia begitu rupawan dan aku sangat ingin memiliki.
Namun, kenapa tiba-tiba suara itu datang lagi.
Menyalahkanku.
Menghantuiku.
Menerorku.
Apa salahku?
Aku tidak pernah menculik bidadari dari tempatnya.
Karena dia sudah datang sendiri tanpa diminta.
Rintihan itu kembali terdengar.
Bagai mimpi buruk berkepanjangan di saat terang menjelma menjadi gelap.
***
Aku mengurut pelipisku sambil menyesap secangkir kopi di hadapanku. Sejenak aku menaikkan kacamata yang sempat melorot dari tulang hidungku. Dapat kulihat cerminan diriku di permukaan cairan kopi hitam dengan lipatan hitam di bawah kelopakku.
"Gah! Kenapa harus ada kantung mata? Penampilanku jadi rusak ..." Aku menggerutu.
Sejenak aku membuka ponselku. Mengecek apakah ada pesan masuk. Kalau saja tidak ada yang mengajakku bertemu, mungkin aku akan mengurung diri di rumah dan membenahi penampilanku.
Ketika suara dentingan lonceng terdengar, aku refleks menoleh ke pintu. Benar saja, kini kudapati seorang laki-laki jangkung menghampiri tempat dudukku. Aku mendecih pelan.
"Terlambat delapan menit ..." gumamku kesal ketika dia sudah duduk di hadapanku.
Senyum tipis terpatri di wajahnya. Aku yakin itu bukan senyum ramah. Hanya seorang pesulap ulung yang bisa memamerkan senyuman manipulatif seperti itu. Aku berusaha untuk tidak menyeringai, membalas perlakuannya itu.
"Lama tak berjumpa, ya, Miyoshi?" Pria bernetra sewarna dengan air laut itu mengabaikan gerutuanku dan memilih membuka pembicaraan dengan nada sopan.
Seperti pria terhormat, huh, Seto Tazaki?
"Ya. Sudah cukup lama, Tazaki. Dan, langsung pada intinya saja. Apa yang kaumau dariku?"
Tazaki memamerkan senyuman itu lagi, tapi terlihat aneh ketika aku merasa cahaya dalam manik matanya meredup.
"Kawan, kau sudah lama mengalami ini ... Sadarlah, Miyoshi ..."
Kerutan mulai muncul di dahiku. Aku menatapnya dengan tatapan remeh. Sadar? Sadar akan apa?
"Miyoshi, berhenti bersikap seperti itu dan kembalikan [Name] ke tempat yang layak," katanya dengan penuh penekanan.
Darahku mendidih ketika tiba-tiba mendengar pria lain mengucap nama gadisku. Tapi, aku berusaha mengontrol diriku. Ini tempat umum, Miyoshi, berkali-kali batinku berteriak.
"Jangan berpura-pura bodoh, Miyoshi. Sebaiknya kau cepat mengembalikan gadis itu atau--"
Suara Tazaki terinterupsi oleh dentingan lonceng pintu yang keras. Seorang gadis berjalan menghampiri kursi kami berdua. Gadis itu menatap ke arahku. Hanya ke arahku bukan ke arah Tazaki. Sekilas kulihat ekspresi Tazaki berubah. Yang semula tenang kini menjadi tersirat rasa gelisah. Aku tahu.
Gadis itu menarik kerah kemejaku. Aku harus sedikit menunduk karena dia jauh lebih pendek dariku. Manik hitamnya menatapku dengan tatapan membunuh. Aku tidak heran gadis sependiam dia akan marah seperti ini.
"Kembalikan adikku!"
Aku menatapnya dengan tatapan datar. Suaranya ... aku seperti pernah mendengarnya. Sekilas aku melirik ke sekeliling. Kepala-kepala penasaran itu mengintip dari balik buku menu, melirik ke arah kami seakan kami adalah tontonan gratis.
"Kubilang kembalikan adikku, dasar keparat!"
Nyaris saja gadis itu melayangkan kepalan tangannya ke arahku kalau saja Tazaki tidak menahannya. Dia menghela napas lalu menarik kami berdua keluar setelah meletakkan beberapa uang di atas meja untuk membayar bill.
Gadis--yang dalam pikiranku sekarang adalah adik [Name] itu menepis kasar tangan Tazaki. Tangannya bergerak melepas rambut di kepalanya. Ah, rambut panjang itu tipuan. Dan, manik hitam pekat itu hanyalah sepasang softlens. Aku terdiam. Sekarang aku ingat. Suara gadis--atau, uh, harus kukatakan dia laki-laki tulen saat ini--adalah suara yang menjadi terorku akhir-akhir ini di malam hari. Dan, aku tak pernah melupakan rambut belahan tengah itu.
Shimano Hatano.
"[Name] hanya punya aku. Tidak ada Shimano lain selain kami berdua ..." Aku mendengarnya bergumam.
"Dasar keparat! Gara-gara kau adikku meninggalkan rumah!" Hatano menarik kerah kemejaku lagi. "Gara-gara kau semuanya berakhir! Kau merenggut hidupnya, kau juga merenggut hidupku!"
Aku menepisnya kasar. Manik mataku memandang nyalang pria pendek itu. Tanganku sudah kutahan mati-matian agar tidak melayang menghabisi kepalanya. Sekilas aku melirik Tazaki yang hanya mematung. Tidak menghiraukan merpatinya yang entah sejak kapan bertengger di bahunya.
"Aku tidak pernah melakukan apa-apa pada adikmu, Pria Jadi-jadian--"
'Bugh!'
Dapat kudengar samar-samar suaranya ketika tulang pipiku dihantam kepalan tangan Hatano. Aku jatuh terduduk sambil mengusap sudut bibirku. Ternyata darah meleleh dari sana. Tch, laki-laki jalang.
'Tap tap tap.'
Suara derap langkah? Mereka memanggil bala bantuan, ya?
Aku berdiri dari keterjatuhanku. Menatap orang-orang berbeda muka di hadapanku. Aku dikepung enam orang. Manik mataku menatap tajam mereka semua seperti orang kesetanan.
"Tuhan menentang hubunganmu, Miyoshi-san."
Mataku beralih terfokus pada laki-laki berwajah baby face di samping kiriku. Aku meludah ke arahnya. Dia mundur beberapa langkah. Tampak sedikit terkejut dengan responku. Prideku sedang diinjak-injak sekarang. Aku tidak terima.
"Katakan itu pada dirimu sendiri, keparat! Apa yang kautahu soal Tuhan!?"
Dia terdiam. Aku tersenyum penuh kemenangan. Aku menatap mereka satu per satu. Aku mengingat mereka.
Seto Tazaki.
Shimano Hatano.
Morishima Jitsui.
Izawa Kaminaga.
Hiroyuki Odagiri.
Hajime Fukumoto.
Utsumi Amari.
Kenapa mereka sampai ke sini? Aku yakin tidak untuk melakukan reuni kerja.
"Yare yare, kami rasa kau benar-benar harus ditangani."
Suara Jitsui terdengar. Aku bisa melihat anggukan samar dari mereka. Aku bisa melihat Kaminaga mengeluarkan sebuah suntikan dari balik jasnya. Kewaspadaanku semakin meningkat. Mataku tak hentinya bergulir mengawasi manik-manik busuk itu.
"Katsuhiko Miyoshi ... kau bisa memilih ..." ucap Odagiri.
"... kami membawamu ke rumah sakit jiwa untuk pemulihan jiwamu ..." sahut Kaminaga dengan nada sedikit bergetar.
"Atau ..." Si pendiam--Fukumoto menambahkan.
"... kau harus menjadi tahanan karena sudah melakukan melakukan pencurian jenazah ..." Pernyataan Amari membuatku menggeram.
"... dan, menyetubuhinya," tandas Jitsui.
Aku terdiam, tidak bisa berkutik. Selama ini ... aku memang melakukannya. Ya. Hahaha ... Menyetubuhi mayat. Ya, aku menyetubuhi mayat tunanganku sendiri, yang telah meregang nyawa di tali gantung hanya karena aku memaksanya memakai gaun-gaun pilihanku selama lima hari tanpa istirahat. Mendandani milikku. Menjadikan milikku sempurna laksana bidadari yang kukagumi.
Apa itu salah?
Sempat kudengar Hatano mengumpat, mengutukiku dengan sumpah serapah dan nama hewan kebun binatang. Dia ingin sekali menghabisiku kalau saja tangannya tidak ditahan Tazaki.
"Persetan denganmu, Miyoshi! Mati saja kau! Kembalikan adikku!"
Mati?
Kata-kata Hatano terngiang dalam benakku.
Mati.
Mati.
Mati.
Mati!
Mengikuti insting. Kakiku melangkah keluar dari kerumunan orang gila itu. Ya, mereka sudah gila! Hanya aku yang masih waras di sini. Mereka tidak mengerti seberapa hancurnya seorang mempelai pria yang hendak menikah, tapi ditinggal mati tunangannya. Kisah sedih. Kisah basi yang sering ada di drama-drama televisi. Kini, tiada lagi. Aku akan mempercepat eksekusi.
Aku berlari menuju rumahku, mendobrak pintu. Bola mataku bergulir mencari ke segala sudut dimana gadisku berada. Ah, masih sama. Dia tidak bergerak di atas sofa. Aku menyeringai. Dengan kekuatan yang kupunya aku melepas seluruh pakaianku dan menyambar tuxedo di tiang baju. Aku menggendong mempelai wanitaku. Mengecup pipi gemas lalu berlari ke luar rumah. Menuju hutan yang berada lima ratus meter dari rumahku.
Gema derap langkahku beradu dengan gesekan ranting dan semak-semak. Aku semakin mempercepat langkah tatkala mendengar letusan peluru dari belakang. Rasa kesal, marah, senang, takut, khawatir, semuanya berkecamuk dalam dadaku. Tapi, aku tetap berlari hingga sampai di tempat eksekusiku sendiri.
Aku menatap ke bawah seraya mengeratkan gendonganku. Sejenak aku mendongak. Menatap langit yang sedang menjadi medan tempur antara si terang dan si gelap. Aku tertawa kecil. Pada akhirnya, semua orang akan mengeksekusi dirinya sendiri ketika berbuat kesalahan. Tanpa terkecuali.
"Miyoshi, berhenti! Jangan maju selangkah lagi!"
Aku berbalik. Menatap wajah-wajah itu dengan tatapan kosong. Aku masih tersenyum.
"Kenapa? Bukankah kau yang bilang sendiri aku harus mati, Hatano?"
Hatano tak berkutik. Aku melirik Jitsui yang siap dengan pistol tangan miliknya.
"Jitsui, kau berlebihan--"
Aku bisa melihat Jitsui sungguh-sungguh ingin menarik pelatuknya. Ada yang ingin mengeksekusiku ternyata. Tapi, ini tidak akan lama. Wajah-wajah mereka membuatku muak.
Mereka, pemuja sampah.
Mereka, orang-orang hanya peduli pada dunia.
Tidak mau melihat perasaan terdalam hati manusia.
Mereka tidak akan mau mengerti diriku.
Aku memuja keindahan.
Aku memuja langit.
Langit dimana bidadari tinggal.
Tempat dimana kesempurnaan dapat dicapai semudah mencampakkan sampah.
Jitsui menarik pelatuknya. Aku lebih dulu membiarkan angin membelai tubuhku dan gadisku. Membiarkan gravitasi bermain dengan eksekusiku. Membiarkan rambutku dan miliknya berkibar diterpa angin.
Aku mendengar teriakan. Semakin lemah teriakan itu semakin kueratkan pelukanku pada bidadariku. Akhirnya, aku bisa bersamamu, dear. Menemanimu menikmati harpa malaikat di atas sana. Kau tidak akan tergantung lagi. Kau tidak akan berada dalam dedaunan gugur lagi. Kita akan membusuk bersama seiring detik berjalan. Namun, satu yang masih bisa kulihat sebelum aku bisa menutup mata adalah ... sinar redup dari manik walnut menusuk ke dalam mataku. Tangannya menarik tubuh gadisku dan akhirnya semuanya jadi hitam.
***
Pada akhirnya, aku merengkuh tangan bidadari.
Berjalan bersamanya diiringi alunan harpa malaikat.
Menikah di atas langit tanpa ada penganggu.
Menjadi sempurna.
Sekarang ...
Eksekusi telah usai.
Dan, tibalah dimana lembaran bernama kehidupan itu tertutup dengan sebuah pengorbanan demi sebuah kesempurnaan.
Balasan setimpal.
Dan, ya, sempurna.
-Zu Ende-
--oOo--
Note: Ah, kukecolongan kemarin. Sial. Beruntung yang udah baca sebelumnya dapet sedikit bocoran :'v
Wuih, sampe 3k lebih xD
Hah ... akhirnya lega. Maaf sedikit aneh. Uh, ini Dark Romance pertama. Jadi, mohon dimaklumi :'3
Cummon//slap:
Panillalicious Vessalius04 YuzuNishikawa AoiKitahara_ Chi_Kagu Natsu_Roku XChan_x YukiharaSayaka999 alice_dreamland
Kungetag kelupaan mulu :'v
Akabane_Yu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top