TRUE ENDING
A/N :
Jika ada yang agak kebingungan, latar awal part ini adalah Chapter 25.
Di akhir part ada sedikit catatan lagi, kalau senggang, baca ya!
Happy Reading!
***
Terkadang, akhir yang bahagia itu bukan akhir yang sebenarnya...
Jika saja yang mengatakan permohonan pada cawan suci adalah dirinya dan bukan si penyihir, pasti akhirnya akan berbeda.
Batinnya bergolak, bimbang memilih satu diantara dua takdir yang ada didepan matanya.
Haruskah ia mengikuti permohonan si penyihir untuk menghapus legendanya? Mengulangi semua dari awal, menjalani seluruh hidupnya yang damai hingga ajal menjemputnya.
Ataukah jalan dimana ia akan menebus segala dosa dan kesalahannya. Jalan penuh penderitaan dimana ujungnya pun belum terlihat dengan jelas.
Antara membiarkan dirinya terbuai oleh kebohongan manis atau berjuang tanpa akhir dalam sebuah kenyataan yang pahit...
***
***
Sejak awal aku bertemu denganmu, setiap malam aku selalu memimpikan hal yang sama.
Saat ku membuka mata, langit berwarna jingga dengan semburat merah muda langsung memanjakan indera penglihatan. Cahayanya tidak terik, tidak juga redup. Tidak ada satupun awan disana, hanya ada beberapa titik-titik samar---yang ku asumsikan adalah bintang-bintang.
Kemudian aroma manis dari bunga berwarna senada akan menggelitik hidung dan deburan ombak dari kejauhan, seakan memerintahkanku untuk bangkit dan melihat pemandangan dimana bunga tumbuh sejauh mata memandang.
Tempat yang asing lagi tak asing untukku.
Aura ditempat itu begitu hangat dan bersahabat. Seolah tempat itu adalah rumahku, mengatakan selamat datang padaku lewat perantara hembusan angin lembut.
Indah. Indah sekali. Terlalu indah hingga rasanya aku ingin menangis.
Ah, apa yang sebenarnya aku tangisi? Aku bahkan tidak mengingat bahkan tahu tempat ini selain di dunia mimpi.
Lalu tak jauh dari tempatku berada, sebuah menara dengan arsitektur yang belum pernah kulihat berdiri dengan kokoh---ah, tidak, menara itu lebih cocok disebut melayang. Mengingat bagian atas dan bawah menara itu begitu lancip dan kelihatannya tidak bisa menyokong bangunan itu dengan benar.
Di kaki menara itu samar-samar dapat kulihat seorang gadis kecil tengah menari-nari sambil tertawa. Tawanya begitu ringan nan manis tanpa sedikitpun beban.
Setiap malamnya, mimpi itu sama persis. Tidak ada perubahan barang sedikitpun. Maka dari itu aku dapat mengingat semuanya. Seperti kala aku hendak berjalan menghampiri gadis kecil itu, maka artinya mimpi ini akan segera berakhir.
Dan ada satu tanda lagi setiap kali aku akan terbangun, aku mendengar sebuah suara. Suara lonceng yang berbunyi sebanyak enam kali, menggema ke seluruh penjuru pulau harapan tak berpenghuni.
***
Sakit.
Berat.
Barang bernapas atau menggerakkan satu jari pun rasanya tidak bisa.
Tiada satupun suara yang masuk ke telinganya, seolah ia tengah ditarik ke dasar lautan paling dalam.
"Ah, jadi inikah akhirnya? Inikah yang disebut orang-orang sebagai kematian?"
Masih dengan mata tertutup yang rasanya terlalu berat untuk dibuka, ia bergumam dalam pikirannya sendiri.
Jika saja ia bisa, yang akan ia lakukan saat ini bukanlah berduka atas kematiannya. Ia akan tertawa, menertawakan betapa menggelikan kehidupannya sebagai seorang anak yang diramalkan memegang gelar Raja dari para kesatria.
Menertawakan betapa naif pemikirannya akan membuat sebuah kerajaan sempurna yang diimpikan semua orang. Betapa lucu permintaannya untuk merasakan kematian damai layaknya seseorang yang pergi tidur.
Hingga ia berakhir disini, tempat yang berada diantara kehidupan dan kematiannya, hanya sebagian kecil dari permintaannya yang dapat ia penuhi semasa ia menjadi seorang raja.
Maka kematian ini akan ia anggap sebagai hadiah balasannya yang setimpal. Hadiah dari bawahan serta rakyatnya yang gugur semasa dipimpin oleh raja mereka yang bodoh dan naif ini.
"---thur! Arthur!"
Kala perlahan ia sudah menerima kematiannya, seseorang memanggil namanya. Suara yang terdengar amat akrab di telinga itu seakan menjadi setitik cahaya dalam kegelapan, menariknya lembut dari tempat muram nan dingin itu.
"Arthur! Arthur!"
Cahaya itu kian membesar, cerah namun tak menyilaukan. Menghapus kegelapan, hawa dingin dan membuat tubuhnya yang membeku---kaku perlahan-lahan dapat digerakkan kembali.
Ia mencoba mengangkat kelopak mata, rasa berat mulai sirna setiap kali ia berkedip menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam mata.
"Arthur!"
Wajah pucat seorang gadis yang berhias senyum penuh rasa lega langsung menyambut ketika kedua netra zamrud itu dapat kembali melihat dengan jelas.
"Bukankah tempat ini..."
Meski ada yang berbeda, Arthur hafal betul dimana dirinya sekarang.
Langit dengan semburat merah muda, angin lembut yang mengelus wajah serta rambut, suara nyanyian samar para peri tak kasat mata yang saling bersahutan menciptakan sebuah melodi indah yang mengalun sampai ke telinga.
Ini tempat yang selalu ada di mimpinya.
Hanya fakta bahwa permadani hijau ditumbuhi bunga yang lembut tempatnya biasa terbaring, kini tergantikan oleh permukaan keras nan dingin papan kayu sebuah perahu. Dan juga kali ini---
"Rei... ini dimana?"
Arthur bertanya. Ia mencoba bangkit dan tubuhnya tiba-tiba kembali rubuh, hampir saja kepalanya membentur permukaan kayu jika Rei tidak segera membantu menyangga tubuhnya.
Rei menyapu pandangannya ke sekitar sebelum menjawab pertanyaannya. "Entahlah, tapi tempat ini mirip sekali dengan Avalon."
Mata Arthur melebar. Avalon katanya? Jadi selama ini ia bermimpi pergi ke tempat yang begitu dicari orang-orang? Tempat yang disebut-sebut dapat memberikan seseorang keabadian itu?
Luar biasa.
"Jadi yang mulia telah terbangun dari tidurnya?"
Suara anak kecil yang kian mendekat mengalihkan perhatian keduanya. Dari balik pepohonan ia berjalan mendekat. Sebuah senyuman kosong terlukis di wajahnya yang bersih.
Aneh. Ini kali pertama Arthur melihat anak itu namun wajahnya mengingatkan Arthur pada seseorang.
"Galahad, kau juga ada disini?"
"Kau mengenalnya Rei?"
Rei menganggukkan kepala. "Dia Galahad, putra dari Lady Elaine dan..."
Si gadis menggantungkan ucapannya, terlihat ragu untuk menatap Arthur ataupun melanjutkan perkataannya. "Lanjutkan saja Rei, tidak apa."
Rei menatap Arthur lalu mengambil napas dalam-dalam. "Ia putra Lady Elaine dan Sir Lancelot. Dan juga wadah Cawan Suci. Meski begitu, aku masih sedikit kaget dia muncul disini."
Galahad tersenyum. "Perkataan gadis itu tidak sepenuhnya benar. Aku hanya meminjam rupa dari anak bernama Galahad itu, aku adalah sosok yang dibuat Cawan Suci sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan kalian."
"Sekedar tambahan, meski tempat ini mirip Avalon, kalian sebenarnya ada didalam Cawan Suci. Lihatlah ke langit," titahnya sambil menunjuk sebuah lingkaran menyerupai cincin yang menghias langit.
"Jadi karena kalian sudah disini, kalian tahu bukan apa selanjutnya?"
Masih dengan senyumannya, 'Galahad' menatap Arthur dan Rei. Senyumannya semakin lebar kala ia melihat raut wajah keduanya yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Arthur..."
Rei melirik Arthur yang menundukkan kepala, mengistirahatkannya pada salah satu tangannya mirip sekali dengan gestur seseorang yang tengah bimbang.
"Kau tidak apa-apa? Apa ada bagian yang sakit?" Rei tahu itu pertanyaan bodoh, namun ia mendadak tidak dapat memikirkan pertanyaan lain saat ini.
Arthur menggeleng lalu mengulas sebuah senyuman pahit. "Aku tidak apa-apa, hanya sedikit... bagaimana mengatakannya ya?" Arthur tertawa hambar lalu kembali mengangkat wajah, menatap Galahad.
"Kau bisa mengabulkan segala permintaan, bukan?"
Galahad menganggukkan kepala. Ia kemudian mengacungkan jari telunjuknya, mengoyang-goyangkannya ke depan dan ke belakang beberapa kali.
"Akan tetapi, ada satu hal yang kerap kalian lewatkan dari cerita Cawan Suci itu." ada jeda sejenak. "Cawan Suci memang akan mengabulkan permintaan dari dirinya yang dirasa pantas bagaimanapun caranya," Galahad mengambil napas dalam-dalam.
"Lalu yang dimaksud bagaimanapun caranya itu adalah bagaimanapun caranya." Ia mengatupkan kedua tangan, menimbulkan bunyi 'plak!' yang cukup keras.
"Maksudmu?" Rei bertanya dengan wajah yang kian memucat.
"Hmm, bagaimana aku menjelaskannya, ya? Oh! Begini saja. Semisal, kau meminta semua orang jahat agar menghilang dari muka bumi ini, maka Cawan Suci akan menghapuskan keberadaan mereka sepenuhnya, baik yang ada di masa lalu, masa sekarang, bahkan masa depan." jeda lagi sejenak. "Dan kau mungkin tahu apa yang akan terjadi dari permohonan itu."
"Paradoks bahkan kehancuran," Arthur berucap sementara Rei membisikan hal yang sama.
Galahad menjentikkan jari. "Tepat sekali. Karena pada dasarnya, jahat itu relatif. Bahkan, kita tidak tahu ada seberapa banyak orang jahat yang mempunyai hubungan darah dengan orang baik, ada berapa orang jahat yang mayat-mayat mereka dijadikan umat manusia sebagai batu pijakan hingga sampai di titik ini."
"Jadi, aku harap kau memilih permohonan terbaik yang ada dalam pikiranmu wahai Raja Arthur."
Arthur menundukkan kepala, merenungkan pilihannya sambil menatap kedua telapak tangannya yang bergetar hebat. Mulutnya terbuka, namun kemudian kembali tertutup seolah suaranya tercekat di leher, ragu.
Takut.
Arthur akui saat ini dirinya takut. Padahal ia sama sekali tidak gentar barang sekalipun saat ia menghadapi Mordred.
Benar, ketakutan yang ia rasakan saat ini bukan rasa takut akan kematian.
Ia takut kembali memilih jalan yang salah. Jalan dimana semua orang yang dikasihinya gugur satu persatu menyisakan dirinya di ujung yang lain sendirian.
Rasa ragu bercampur takut membuatnya memejamkan kedua manik zamrud itu. Sambil memikirkan kembali kata-kata si Cawan Suci, Arthur bergelut dalam pikirannya sendiri.
Berbagai pertanyaan muncul didalam kepalanya.
Bagaimana nasib Camelot jika saja dirinya tidak pernah mencabut Caliburn dari batu?
Bagaimana jika ada orang lain yang bisa menarik pedang itu dan menjadi raja Camelot sebagai ganti dirinya?
Tidak. Tidak ada gunanya. Arthur pernah dengar bahwa apapun yang akan ia lakukan, tidak ada satupun akhir bahagia untuk Camelot.
Gemetar di tangannya perlahan merambat ke seluruh tubuh. Saat dirinya seolah akan tertarik kembali kedalam kegelapan, sepasang tangan kecil nan dingin menggenggam kedua tangannya erat membuat kedua matanya melotot sempurna.
"Tenang Arthur, tenanglah."
Sambil mengelus tangan Arthur menggunakan ibu jari membentuk gerakan memutar, Rei mengulangi kata-kata itu dengan nada yang amat lembut. "Kau tidak akan menemukan pilihan yang tepat jika kau ketakutan, maka tenanglah."
Gerakan serta suara gadis itu perlahan menenangkan hatinya. Masih dengan kepala tertunduk, Arthur memperhatikan tangan Rei yang masih menggenggam erat tangannya hingga ia menyadari sesuatu.
"Rei, tanganmu..."
Si pria mengangkat salah satu tangan Rei, menatapnya dengan wajah terkejut. Di lain pihak, Rei tersenyum pahit.
"Ah, waktuku sepertinya tinggal sebentar lagi."
Arthur melotot, melempar pandangan yang menuntut jawaban pada gadis yang ada didepannya. "Apa maksudmu?"
Rei menarik tangannya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi seolah akan menggapai langit. Senyumnya masih tak berubah meski cahaya menembus jemarinya yang berubah semakin tembus pandang.
"Rei, jangan bilang kau..."
Seakan tahu apa maksud Arthur, Rei menganggukkan kepalanya.
"Maaf, tadinya aku tidak berniat mengatakan bahkan menunjukkan ini padamu, tapi iya. Saat aku keluar dari sini, kemungkinan besar aku akan menghilang, melebur dan kembali bersatu dengan Avalon---ah, bukan. Sihir yang membentuk tubuhku akan pergi ke tubuh Merlin, orang yang telah Vivianne pilih sebagai wadah Avalon yang baru."
Mata Arthur melebar, raut wajahnya jelas menunjukkan keputusasaan. Si pria tiba-tiba berdiri membuat Rei tersentak kaget, badannya yang belum siap untuk berdiri oleng dan hampir terjatuh lagi.
"K-kalau begitu aku minta agar Rei dan Ava---"
"Arthur!"
Rei memanggil namanya, kini dengan suara yang lebih tinggi seakan tengah membentaknya. Arthur menoleh, mendapati Rei yang menatapnya dengan alis yang bertaut terlihat sedikit kesal.
"Tenang! Jangan pikirkan nasibku. Permintaan yang keluar dari mulut tanpa pikir panjang itu hanya permintaan yang bodoh. Kau tidak ingin mengulangi hal itu bukan?" bentak si gadis.
"Arthur, sekarang kau ada didepan hal yang kau cari-cari. Kau tidak boleh menyia-nyiakannya."
Setelah mendengarkan kata-kata itu, Arthur menghirup napas dalam-dalam, menjernihkan pikirannya untuk menyimpulkan pilihan mana yang merupakan pilihan terbaik yang ada dipikirannya.
Kerajaan sempurna, Camelot, akhir bahagia, melindungi semua orang...
Kata-kata itu terus terulang dibenak Arthur hingga tak lama kemudian Arthur mengangkat wajah, menegakkan posisi tubuhnya dan menatap Galahad dengan tatapan yang tak sedikitpun menunjukkan sirat keraguan.
"Ada yang bilang mau bagaimanapun, Camelot tidak akan bisa mencapai akhir yang bahagia. Maka aku akan membuang mimpiku untuk membangunnya kembali.
Akan tetapi, jika Camelot harus runtuh agar umat manusia bisa terus maju, itu artinya darah serta pengorbanan teman-temanku tidaklah sia-sia. Maka, aku meminta hal ini sebagai jalan untuk menebus dosaku karena tak gugur bersama dengan mereka...
Aku akan melindungi tanah ini, dunia ini, seluruh dunia dimana leluhurku pernah tinggal dan berjalan diatasnya. Dunia yang merupakan hasil dari perjuangan mereka, aku akan melindungi anak cucu serta keturunan mereka dari segala marabahaya yang akan datang hingga suatu saat langit kan terbelah dan bintang kan berjatuhan."
Galahad dan Rei berkedip, terperangah akan sebuah pidato singkat yang Arthur katakan sebagai permohonannya. Tak berselang lama, keduanya tersenyum.
"Benar-benar keinginan yang berat ya. Kau yakin itu permintaanmu?" si Cawan Suci bertanya.
"Kau tidak bisa mengabulkannya?"
"Tentu aku bisa. Hanya saja, jika itu memang mau mu, kau harus menjalin sebuah kontrak dengan Gaia---bumi, dengan begitu setiap kali ada sebuah ancaman yang datang tuk memusnahkan manusia, kau akan langsung dikirim oleh Gaia kesana. Tak peduli di bumi bagian mana atau bahkan dimensi mana. Namun kau tetap berstatus sebagai orang yang hidup. Artinya ada kemungkinan jiwamu akan membusuk jika kau goyah barang sedikit saja," jelasnya.
"Akan aku lakukan."
Mendengarnya, Rei tersenyum makin lebar. "Nah. Itu baru Arthur yang kukenal."
Arthur menoleh, menatap Rei dengan sorot mata lembut seakan tengah meminta maaf. "Maaf Rei, aku harus kembali meninggalkanmu."
Rei menggeleng.
"Tidak, tidak apa-apa. Sejak awal memang sudah seharusnya begini. Kita memang tidak ditakdirkan bersama, tapi aku bahagia pernah mengenalmu---ah, tidak. Aku bahagia karena aku jatuh cinta padamu." sambil menampilkan deretan giginya, Rei mengangkat ujung jubahnya sedikit dan membungkukkan badan.
"Kau benar. Sejak awal memang seharusnya aku tidak merebutmu dari Avalon. Dan ya, aku juga bahagia pernah mengenalmu. Terimakasih atas segalanya Rei, terimakasih karena kau juga sudah mencintai seorang raja bodoh sepertiku."
Arthur menarik tubuh Rei ke dalam dekapannya. Memeluk si gadis untuk terakhir kali sebelum ia akan pergi untuk waktu yang lama dan sebelum si gadis kehilangan raganya untuk selamanya.
"Benar-benar akhir yang pahit namun juga manis ya."
Sebuah suara muncul dari belakang Galahad. Suara yang begitu dikenal Rei dan juga Arthur yang juga datang bersama dengan seekor makhluk berbulu.
"Kenapa kau bisa disini, Merlin?"
Merlin berjalan menghampiri Rei dan Arthur dengan Fou berdiam di sekitar lehernya. "Aku terpanggil oleh putriku ini." Merlin mengelus puncak kepala Rei pelan.
Merlin kemudian melirik Arthur dan melakukan hal yang sama pada kepala sang raja. Sorot matanya perlahan semakin melembut.
"Tak ku sangka kalian bisa sampai kesini. Aku bangga pada kalian."
Mendengarnya, Rei dan Arthur tertawa geli.
"Aku sudah mendengar permintaanmu, Arthur. Untuk kali ini, aku ataupun Kay tidak bisa menemanimu. Maka dari itu, sebagai gantinya, biarkan Fou yang akan ikut bersamamu."
Berbarengan dengan kata-kata Merlin, Fou meloncat menuju Arthur kembali bergulung dileher si raja bersurai pirang itu.
"Asal kau tahu, Cath Palug itu adalah binatang mistik yang ada sangkut pautnya dengan Gaia, mungkin ia juga bisa membantumu di perjalanan."
"Fou!" Fou bersuara riang sambil menjilati pipi Arthur.
"Haha, mohon bantuannya ya, Fou."
Rei berjalan menghampiri Merlin, berdiri di sisi si penyihir bunga lalu memeluk lengannya dengan riang. "Ayo kita pulang, ayah."
Merlin mengangguk. "Kau benar. Mari kita pulang, Rei."
Setelah kembali mengucapkan selamat tinggal, Arthur sekali lagi memeluk Rei sebelum berjalan menghampiri Galahad---si cawan suci yang tengah menunggunya, mengantarkannya pada sang Gaia.
Merlin dan Rei melambaikan tangan, begitu pula dengan Arthur sebelum semuanya dalam sekejap hilang ditelan oleh cahaya yang menyilaukan.
***
Nun jauh dibalik cakrawala, di sisi lain dunia manusia, terdapat sebuah pulau, Avalon namanya.
Pulau itu ditumbuhi oleh pepohonan rimbun dan bunga beraneka ragam. Aurora pucat menghiasi langitnya yang berwarna indah dengan semburat merah muda.
Di sana, ada sebuah menara. Menara yang tinggi menjulang tepat di tengah-tengahnya. Di kaki menara itu, ada sosok gadis yang tertidur diantara bunga-bunga. Tidurnya sangat lelap, seolah-olah tenaganya habis terkuras.
Sementara di atas menara itu, ada seorang pria yang tengah tertidur juga. Ia terkurung diatas menara itu tanpa bisa mati ataupun keluar hingga hari kiamat nanti.
Satu-satunya cara untuk berkomunikasi dengan dunia luar adalah lewat mimpi. Maka dari itu, si pria memanfaatkannya untuk berbicara pada si gadis yang tengah tertidur.
Untuk yang terakhir kalinya.
***
"Apa kau bahagia, Rei?"
"Apa maksudmu? Tentu aku bahagia."
"Meskipun kau akan menghilang dan tak akan pernah bertemu dengan Arthur lagi?"
"Aku tahu yang tadi adalah pertemuanku dengan Arthur untuk terakhir kali. Dalam hitungan jam bahkan menit, aku akan menghilang dan pergi bersatu dengan ragamu sementara Arthur akan terus hidup entah untuk puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun.
Kau tahu?
Meski menyakitkan, pada akhirnya aku bahagia. Aku diberi kesempatan untuk melihat dunia luar, dunia yang ingin sekali Arthur lindungi. Dunia yang kejam namun memiliki keindahan tak dapat dipungkiri.
Aku juga bahagia. Meski singkat, aku bersyukur jatuh cinta padanya, aku bersyukur aku dapat mengatakan bahwa aku mencintainya sesaat sebelum kami berpisah.
Jadi, bolehkah aku minta tolong padamu Merlin?
Kelak saat Arthur kembali kesini, tolong minta dia ceritakan semua perjalanan panjangnya itu. Mintalah ia untuk memberitahumu segala keajaiban yang ia temui sepanjang perjalanannya untuk melindungi dunia hingga ia dapat pulang kembali kesini."
***
Merlin membuka matanya, lalu menatap bunga dengan mahkota berwarna merah muda itu dengan tatapan sendu. Jempolnya mengelus salah satu kelopaknya dengan lembut. Pikirannya mengulang perkataan Rei sebelum raganya---sihir yang membentuk tubuh seorang gadis itu hilang bersatu dengan dirinya.
Ia menghembuskan napas pelan. Rasa sesak karena tubuhnya belum bisa beradaptasi dengan sihir Avalon bertambah dengan rasa sesak dari hal lain.
Seolah menyadari hal itu, sebuah senyum miring muncul di wajah Merlin.
"Jadi ini yang orang-orang sebut sebagai kehilangan?"
Dengan sebelah alis terangkat, Merlin berkata pada dirinya sendiri, "Seharusnya kata-kata itu keluar dari mulutmu sendiri, Rei. Ya ampun, Kenapa aku selalu mendapatkan bagian yang merepotkan?"
Dari sela jendela kecil di menara itu, Merlin mengulurkan tangan, membiarkan bunga yang ada ditangannya itu terbang bersama angin.
Si penyihir menatap sebuah lonceng yang terikat di tongkatnya. Lalu dengan wajah tersenyum dengan makna yang tak dapat dijelaskan, Merlin mulai menggoyangkan tongkatnya.
Denting pertama melambangkan kegelapan.
Denting kedua melambangkan kata-kata tak bermakna.
Denting ketiga melambangkan perintah dari dirinya yang pantas.
Denting keempat melambangkan kebenaran.
Denting kelima melambangkan perjanjian.
Dan...
Denting keenam melambangkan cahaya.
***
❝ Dari menara di taman bunga ujung dunia, lonceng telah dibunyikan enam kali. Memberkatimu yang tengah berjuang dijalan kehancuran hingga engkau kembali pulang nanti. ❞
(True Ending : Fin)
Anu...
Ada yang masih ingat ff ini?
Huft, aku masih ga percaya bisa sampai di titik ini www
Cerita ini pertama ku pub tahun 2017 tanggal 9 Juli kalau ga salah, artinya cerita ini udah genap 3 tahun.
Awal-awal masih aga tersendat ngembangin plotnya dan sempet mau mengabaikan ff ini tapi ya aku paksain terus sampai akhirnya tamat bulan Maret tahun ini.
Sebenernya part ini sama sekali ga bakal aku tulis bahkan aku publish. Mengingat sebenernya ini tuh adalah bad ending-nya yang aku rombak sedikit dan jadilah true ending ini.
Kalau kalian sadar, ada beberapa referensi yang aku ambil dari profil Arturia Caster yang baru aja rilis.
Terus, ending yang ada di epilog apa dong?
Ending yang ada di epilog itu happy ending. Buat yang belum ngeh mungkin bisa dibaca lagi paragraf pertama part ini ya!
Jadi, kalian lebih suka ending yang mana?
Kalau secara pribadi si, aku suka true endingnya---makanya aku putuskan buat nulis dan juga di publish :33
Kalau punya uneg-uneg sama aku atau epep ku yang lain boleh komen. Julid juga gapapa, bebas~
Sekalian kalau gabut bisa mampir ke lapakku yang laen, siapa tau mau liat gambar atau cerita emberegul lainnya~ヾ(・ω・*)ノ
ありがとうございます!!
Image © Ena [Pixiv Id 2707967]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top