Chapter 5

***

Kedua mata yang melebar dan mulut yang sedikit terbuka. Tidak ada yang berbeda dari ekspresi sang raja dan seorang gadis berambut putih di jalanan menuju Istana.

Keduanya sama-sama terkejut.

Bahkan sorak-sorai yang sesaat yang lalu terdengar memekakkan telinga sama sekali tidak terdengar oleh keduanya.

Pelukan Rei pada kantung apel perlahan melemah, terus melemah hingga akhirnya kantung itu terjatuh ketanah dan semua isinya keluar lalu hilang diantara keramaian.

Rei―entah menyadarinya atau tidak―membatu ditempatnya berdiri. Tangannya terlihat bergetar, bukti bahwa gadis itu benar-benar kaget dengan apa yang dilihatnya.

Namun, meskipun tak kalah kaget, Arthur berbeda.

Sebagai seorang raja, Arthur dapat mengontrol emosinya. Pria itu langsung mengalihkan pandangannya dari Rei, lalu kembali memasang senyuman yang ia tujukan pada rakyat-rakyatnya.

Butuh waktu beberapa saat kemudian untuk Rei mengembalikan kesadarannya.

Begitu ia sadar, ia berlari menembus keramaian. Mengikuti arah Arthur dan kudanya berjalan―tidak peduli dengan gerutuan orang-orang yang ia dorong untuk membukakan jalannya.

Yang ada dipikiran gadis itu saat ini hanyalah bertemu lalu bertatap muka langsung dengan Arthur.

***

"Demi Dewi Danau..."

Rei memaki dirinya sendiri dalam hati.

Untuk kedua kalinya pada hari ini, Rei tersesat.

Terlalu fokus mengejar Arthur dan rombongannya membuat gadis itu tidak memperhatikan sekelilingnya.

Untung saja tadi dia tersandung kakinya lalu terjatuh hingga akhirnya kesadarannya benar-benar kembali―walau pada akhirnya dia tersadar didekat sebuah gang yang penuh dengan barang dagangan yang sangat jauh dari tempatnya tadi.

Rei menggaruk kepalanya-mencoba memikirkan satu atau dua ide cemerlang di kepalanya untuk keluar dari keadaan mendesak seperti sekarang ini.

"Apa kau yakin laki-laki tadi itu Raja Arthur?"

"Mana kutahu?! Dia kelihatan terlalu muda untuk menjadi seorang raja."

Mendengar nama Arthur, Rei spontan menoleh keasal suara--yang ternyata berasal dari sebuah gang yang tidak jauh dari tempat Rei berdiri.

Rencananya untuk memikirkan nasibnya selanjutnya langsung buyar hanya gara-gara obrolan beberapa orang asing tentang teman semasa kecilnya itu.

Rei mengendap-ngendap mendekati gang kecil asal suara itu lalu bersembunyi dibalik kotak-kotak kayu besar tempat penyimpanan barang.

"Dia? seorang raja? Jangan bercanda."

"Mana sudi aku diperintah oleh orang yang lebih muda dariku?"

Di sana terlihat setidaknya ada tiga orang pria yang usianya kurang lebih di atas dua puluh tahun.

Setidaknya dia sudah jadi raja diusia yang lebih muda dari kalian.

Ingin sekali Rei berteriak seperti itu, tapi ia urungkan karena ia tahu itu hanya akan memperkeruh suasana.

Rei ingat, beberapa waktu lalu Merlin pernah bercerita bahwa Arthur sudah menjadi seorang raja yang hebat seperti yang diimpikan Uther.

Arthur itu masih―terlalu―muda untuk menjadi seorang pemimpin sebuah kerajaan, namun itulah kenyataannya.

Baik Rei dan Merlin tahu Arthur dapat menjadi seperti saat ini karena kerja kerasnya. Namun, ternyata masih ada juga orang yang meremehkannya.

Rei menggigit bibirnya pelan. Ia muak. Rasa kesal memenuhi pikirannya.

Kakinya bergerak perlahan, menendang-nendang tumpukan kotak yang menghalanginya dan ketiga pria itu.

―Namun, sialnya...

Bruk!

"Siapa itu?!"

"Sial..." gumam Rei dengan sangat pelan.

Kekesalan yang sudah tidak bisa ia kontrol membuatnya secara tidak sengaja menendang terlalu keras salah satu kotak yang berada paling bawah dan membuat seluruhnya jatuh kedepan.

Dan otomatis membuat Rei dan ketiga pria itu bertatap muka secara langsung.

"Apa yang kau lakukan disini bocah?!" teriak salah seorang diantara mereka.

Rei bergidik. "A-ah, aku cuma kebetulan lewat saja kok. I-iya, haha..." ucap Rei diiringi dengan tawa canggung.

Dilihat dari gelagat Rei, ketiga orang itu dapat dengan mudah tahu bahwa gadis itu tengah berbohong.

"Apa maumu, hah?!" salah seorang pria tadi menghampirinya dan menarik bagian depan jubahnya.

Wajah Rei mendadak sangat pucat, keringat mengalir diwajahnya yang masih tersenyum dengan canggung.

Gawat, Merlin tolong aku.

"Tidak mau menjawab ya?" pria itu terlihat tidak puas. Rei menghembuskan napas lega, ia mengira pria itu akan memaafkan dan membiarkannya pergi begitu saja.

"Habislah aku..."

Namun, kenyataan memang tidak semanis angan, pria itu malah mengepalkan satu tangannya yang lain dan bersiap meninju gadis itu.

Rei menutup matanya sembari menyebut nama Merlin beberapa kali dengan cepat seperti membaca sebuah mantra, berharap penyihir itu langsung muncul dihadapannya dan menolongnya.

Walau Rei tahu pada kenyataannya Merlin tidak akan melakukan hal itu.

Intinya Rei pasrah. Ia menutup matanya makin rapat, menunggu pukulan pria itu mendarat diwajahnya.

Sedetik...

Lima detik...

Sepuluh detik...

Belum ada tanda-tanda pukulan pria itu mendarat atau mendekat ke wajahnya.

Penasaran, Rei membuka sedikit mata kanannya. Ia melihat tangan pria itu tepat berada beberapa sentimeter didepan wajahnya, namun ada yang berbeda.

"Jika kau laki-laki, kau tidak boleh memperlakukan seorang wanita seperti itu. Terlebih dengan seorang tamu."

Tangan pria itu ditahan oleh tangan orang―pria lebih tepatnya―lain yang Rei yakini adalah orang yang sama dengan yang berbicara dibelakangnya.

Dilihat dari reaksi tiga orang pria tadi, dapat diyakini bahwa pria yang menolongnya bukanlah sembarang orang. Buktinya, ketiganya langsung mundur dengan wajah yang marah dan ada sedikit raut ketakutan di wajah mereka.

"Cih, tamu raja ternyata. Ayo pergi." pria yang tadi hendak memukul Rei memerintah kedua orang rekannya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Rei dan pria yang telah menolongnya di sana.

"Apa kau baik-baik saja? Lady?" tanyanya.

Dengan gugup bercampur kaget, Rei menjawab, "Ah, Terimakasih tu―"

Kata-kata Rei terpotong begitu gadis itu membalikan badannya untuk berterimakasih dan melihat sosok yang telah menolongnya tadi.

Rambut pirang bergelombang, mata kehijauan, tubuh yang tinggi tertutup oleh baju zirah, segalanya terlihat begitu berkilauan karena sinar matahari.

Senyuman Rei memudar dan digantikan oleh wajah kebingungan.

"Arthur?"

***

"Arthur?―bukan..."

Pria itu, tersenyum. Ia lalu meletakan tangannya di dada, sebelum membungkuk dan memperkenalkan dirinya pada Rei yang menatapnya dengan wajah bingung.

"Nama saya Gawain, salah satu Ksatria Meja Bundar. Saya datang kesini untuk menjemput anda. Lady... Rei, benar kan?" ucapnya sopan, masih dengan senyuman.

"Tidak usah pakai 'Lady' segala, rasanya agak memalukan, lagipula siapa yang menyuruhmu menjemputku? Atau jangan-jangan―"

"Penyihir Merlin yang memerintah saya, La―Rei, saya bertemu dengannya saat masuk gerbang istana. Dia bilang anda diganggu oleh beberapa orang, jadi saya mencari anda," jelas Gawain.

"Darimana dia ta―oh."

Pasti Clairvoyance.

Gawain menatap Rei dengan bingung karena ia tiba-tiba menggantungkan ucapannya.

"Apakah ada yang salah?"

"Ah, tidak kok."

Rei tersenyum canggung begitu bayangan Merlin yang tersenyum mengerikan sembari memegang erat tongkat sihirnya tergambar dengan jelas dibenaknya.

Mengetahui tidak ada yang salah, Gawain mengulurkan tangannya lalu berkata, "Kalau begitu, mari saya antarkan anda menemui Penyihir Merlin di istana, dia pasti sangat khawatir sekarang."

Khawatir? Yang benar saja.

Sekali lagi, ingin sekali Rei berkata seperti itu, tapi sisi lain dirinya berkata untuk tidak dulu membeberkan sisi jelek Merlin. Berkat pria setengah Incubus itu, ia akhirnya bertemu dengan Gawain.

Rei mengangguk lalu mengikuti langkah Gawain menuju istana.

Sepanjang perjalanan, Gawain dengan―sangat―sabar mendengarkan ocehan-ocehan tidak jelas Rei mengenai Merlin, menunggu Rei yang tiba-tiba berhenti karena melihat seekor anak kucing, dan beberapa hal-hal aneh lainnya.

Karena hal itulah, saat mereka sampai di istana, matahari sudah memancarkan cahaya keemasannya dari ufuk barat.

"Istana ini jauh lebih besar dari sebelumnya rupanya." ucap Rei sembari melihat ke sekeliling lorong dengan takjub.

Gawain yang berada tepat dibelakang Rei mengangguk, "Ini berkat bantuan dari Raja Leodegrance, Raja kami bisa membangun Kerajaan yang lebih besar."

"Leode―apa?"

"Raja Leodegrance."

"Nah itu, kalau tidak salah dia itu ayah Guinevere ya?" celetuk Rei, mengabaikan Gawain yang merasa sedikit terganggu karena Rei yang dengan sangat santai bisa memanggil Ratu―dan tentu saja, Raja dengan nama aslinya.

"Hm? Bukankah itu Merlin?" ucap Gawain sembari menunjuk kearah ujung lorong dimana ada tiga sosok yang tengah berjalan mendekat kearah mereka―sudah pasti satu orang yang tengah berjalan sedikit lebih cepat dari kedua orang lainnya adalah Merlin.

Dilihat dari wajahnya, Rei dan Gawain tahu Merlin sangat kesal.

"Hai Mer―"

"Kemana saja kau dasar!" Merlin berteriak sambil berlari kearah Rei dan langsung mendaratkan pukulan dikepala gadis itu.

"Sakit! Apa yang kau lakukan hah?!" tidak terima dipukul, Rei ikut menaikkan suaranya sembari mengelus kepalanya yang terlihat mengeluarkan asap.

"Kau kemana saja?! Aku khawatir tahu!" ucap Merlin, kini suaranya sudah agak tenang. Kedua mata penyihir itu melihat Rei dari ujung rambut hingga kaki.

"Syukurlah kau baik-baik saja." Merlin menghela napas lega.

Rei membatu, kaget dengan perubahan sifat Merlin yang tiba-tiba bertingkah seperti ayah pada umumnya. Cukup bagus, namun...

Kok seram?

"Tapi, Rei..."

Merlin menatap Rei dengan mata kosong sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Apel yang tadi, kau habiskan?"

Glek.

Rei baru ingat. Apel yang Merlin belikan tadi pagi itu terjatuh―dijatuhkan karena Rei berlari mengejar Arthur. Dengan gugup, Rei menggeleng. "Tadi, terjatuh saat mengejar Arthur."

Merlin menghembuskan nafas panjang, lalu menghirupnya lagi. Lalu―

"KEMBALIKAN UANGKU!!!"

―berteriak lagi sembari menarik-narik pipi Rei.

Kutarik kata-kataku lagi. Merlin sama sekali tidak berubah.

"Ah, jadi itu benar-benar kau? Rei?"

Kegiatan penuh kasih antara ayah dan anak itu terhenti ketika seorang pemuda―lebih tepatnya, Sang Raja menghampiri mereka. Tentu saja ada Ratu disampingnya.

"Sudah lama sekali ya, kau tidak banyak berubah rupanya." sambung Sang Raja―Arthur dengan ramah.

Merlin melepas tangannya dari pipi Rei dengan kasar, membuat Rei langsung memegangi pipinya yang memerah, sebelum akhirnya membuka pembicaraan dengan teman lamanya itu.

"Uwah, ternyata kau memang Arthur. Kau juga tidak banyak beru―tunggu." Rei melihat Arthur dari atas kebawah lalu dari bawah keatas. Terus seperti itu hingga akhirnya Arthur kembali bicara karena merasa canggung.

"Ada masalah?"

Tidak ada jawaban, Rei malah mendekat kearah Arthur dan berdiri sangat dekat dengannya. "Re-Rei?"

Rei meletakan telapak tangannya dipuncak kepalanya lalu mensejajarkannya dengan tubuh Arthur tepat didadanya. Sedetik kemudian, urat kemarahan muncul didahi Rei.

"Kau makin tinggi! Ini tidak adil!"

Merlin―yang berdiri disamping Gawain―menepuk wajahnya. "Arthur memang bertambah tinggi, tapi akui saja Rei, kau itu pendek." ucap Merlin tanpa dosa.

"Sudahlah, yang penting kita semua dapat bertemu lagi kan?" setelah terus diam disamping Arthur, Sang Ratu―Guinevere menghampiri Rei dan memegang tangannya.

"Sekarang tinggal menunggu Kay datang, dan semuanya akan sempurna." Guinevere tersenyum manis. Rei mengangguk kaku.

"Kalau begitu, kami duluan. Ada beberapa urusan, Gawain kau juga ikut. Sampai jumpa nanti, Merlin, Rei." ucap Arthur, pamit sebelum akhirnya dirinya, Gawain dan Guinevere meninggalkan Rei dan Merlin dilorong yang sedang melihat matahari terbenam dari jendela.

"Bagaimana, perjalananmu disini?"

"Menyenangkan, kurasa? Setidaknya aku bisa bertemu Arthur dan Guinevere."

"Syukurlah kalau begitu."

Hening. Baik Rei maupun Merlin keduanya tidak ada yang membuka mulutnya. Suasananya sangat berbeda dengan suasana saat masih ada Gawain, Arthur, dan Guinevere.

"Aku akan tinggal disini sekitar seminggu. Arthur yang memintaku."

Rei tahu Merlin akan membawa arah pembicaraan ini kemana. Merlin dan Rei tahu bahwa gadis itu tidak boleh keluar terlalu lama dan harus segera kembali ke Avalon. Maka dari itu, Rei mencoba membuka mulutnya kembali.

"Jadi, besok aku harus kemba―"

"Arthur memintamu untuk tinggal juga. Seminggu, hanya seminggu. Aku tidak bisa menolak permintaannya."

Rei terdiam, memproses kata-kata Merlin yang terlihat tidak begitu senang dengan hal yang ia katakan tadi.

Begitu sadar, sedetik kemudian wajahnya menjadi cerah.

"Benarkah?!"

Ekhem


Dis is zasshu spiking.
MAAF KARENA FIC INI YANG MOLOR BANGET APDET NYA 🙏😭
Ini gegara urusan irl, event fgo, sama gegara book-nya Ryze95 ku jadi lupa personality asli si Rei (ಥ ͜ʖಥ)
n maapkeun chap ini yang agak pendek dari chap sebelumnya dan terkesan kecepetan.

Mulai dari ini mungkin kedepannya book ini bakal slow - very slow update, mohon bersabar ini ujian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top