Chapter 3
***
"Rei! Oi Rei! Cepatlah keluar!"
Sudah cukup lama Arthur mengetok-ngetok pintu kamar Rei―lebih tepatnya kamar mereka bertiga, namun Rei tak kunjung keluar. Ia tahu Rei mungkin sangat kelelahan setelah membantunya dan Kay mencari kayu bakar sembari berlatih pedang kemarin. Namun masalahnya, Rei belum bangun juga walau sudah lewat waktu sarapan, bahkan Kay hampir saja merusak pintu kamarnya dengan sekali tendang dikarenakan kesabarannya yang sudah mencapai batas.
Sebagai teman Rei dan adik Kay yang baik, Arthur dengan sukarela menggantikan Kay untuk membawa Rei keluar dari kamarnya―juga karena ia tahu biaya untuk memperbaiki pintu itu cukup mahal.
Pintu kayu itu terbuka perlahan, memperlihatkan Rei yang tengah bersembunyi―takut, entah mengapa dibelakangnya. Arthur menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa Rei? Kau terlihat agak pucat."
Rei tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Hm? Lalu, kenapa kau tidak ikut sarapan tadi? Kakak marah besar lho," ucap Arthur, namun Rei kembali tidak menjawab.
Helaan nafas panjang keluar dari bibir Arthur, antara lelah dan bingung dengan perilaku Rei yang tiba-tiba berubah sejak kemarin malam-malam dimana dia dan Kay membicarakan soal kedatangan Merlin dan Guinevere. Terlebih lagi gadis itu bilang punya perasaan tidak enak tentang Merlin.
"Hey Rei, bolehkah aku masuk?" tanya Arthur sedikit ragu. Rei mengeratkan pegangannya pada daun pintu-terlihat sedang mempertimbangkan jawaban yang akan diberikannya pada Arthur sebelum akhirnya mengangguk.
"Masuklah..." Rei mempersilahkan Arthur masuk.
Begitu masuk, Arthur langsung duduk di kasur disusul oleh Rei yang duduk disampingnya dengan posisi memeluk lututnya.
"Jadi.. Rei, jika aku boleh tahu, kenapa kau sangat takut pada Merlin?"
Tubuh Rei bergetar pelan, ia mengalihkan pandangannya-tidak mau menatap Arthur. "T-Tidak apa-apa..." suaranya terdengar bergetar, sudah pasti dia sangat takut. namun Arthur tidak menyerah.
"Ayolah, aku tidak akan memberitahu siapa-siapa kok, aku janji," ujarnya sembari menggosok-gosokkan pipinya kepuncak kepala Rei yang membuat gadis berambut putih itu mulai terganggu. "Arthur.. hentikan."
"Tidak akan jika kau tidak memberitahu alasannya kau takut pada Merlin." ucap Arthur-kini dengan dagu yang diletakkan dipuncak kepala Rei dan senyuman mencurigakan diwajahnya. Rei menggeram frustasi. Rasa takutnya kini digantikan dengan rasa kesal.
"Baik, baik. Kuceritakan." Rei akhirnya menyerah. Arthur tersenyum lebar mendengarnya.
"Nah, begitu dong."
Ia kembali duduk ditempatnya semula, tidak sabar dengan apa yang akan dikatakan Rei.
"Merlin itu―"
"Arthur! Rei! Cepat keluar atau kutendang kalian keluar jendela!"
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Rei berterimakasih atas teriakan penuh amarah Kay yang menggema dari luar kamar. Rei melompat dari kasur dan berlari, tak lupa mengajak Arthur yang mengikutinya dengan wajah lesu.
***
Segala keributan yang terjadi membuat mereka bertiga tidak sadar bahwa kini matahari sudah berada diatas kepala. Sembari menunggu Merlin―yang entah kenapa belum datang―Kay dan Arthur memutuskan untuk kembali berlatih pedang, tentu saja dengan Rei yang senantiasa menonton dari pinggir dengan wajah datar.
Latihan mereka berjalan dengan lancar hingga tiba-tiba terdengar suara kereta kuda dari kejauhan.
"Ah, itu dia datang," ucap Kay, menunjuk kereta kuda diujung jalan yang berjalan kearah mereka.
"Oh iya, kau benar. Merlin!" Arthur melambaikan tangannya-yang kemudian dibalas oleh lambaian tangan seseorang yang keluar dari jendela kereta kuda.
Dan begitu kereta kuda itu berhenti, seorang pria berjubah dan bertudung putih turun dari dalam sana sembari menuntun seorang gadis. Gadis itu memakai sebuah gaun sederhana namun tetap saja dia terlihat mencolok di Camelot, dialah Putri Guinevere.
"Yo! Sudah satu bulan kita tidak bertemu ya, Arthur, Kay," ucap Merlin dengan senyum diwajahnya.
"Um, Aya―maksudku, Raja bilang ia minta maaf karena tidak bisa bertemu denganmu," ucap Arthur.
"Dan aku ingin memperkenalkan kalian dengan Re―Eh? Kemana dia?" lanjut Arthur sebelum akhirnya heran dengan hilangnya gadis kecil yang sedari tadi duduk manis dibangku kecil didekatnya sembari mengunyah apel, telah hilang entah kemana.
"Kalau begitu, ayo masuk Merlin, Putri," ucap Kay mengalihkan pembicaraan.
Dengan wajah bertanya-tanya, Merlin dan Guinevere mengangguk.
Begitu mereka berdua telah masuk kedalam, Kay menepuk bahu Arthur kemudian berbisik, "Ikutlah kedalam, aku akan mencari Rei." lalu melesat berlari entah kemana. Arthur menghela nafas, mau tidak mau―harus mau, dia mengikuti perkataan Kay lalu masuk menyusul Merlin dan Guinevere.
***
"Lepaskan... aku... Kay..."
"Tidak mau."
"Ayo... lah..."
Dibawah langit keemasan sore hari di Camelot, Kay sedang membawa Rei dengan cara menarik tudung jubahnya sekuat tenaga sepanjang jalan. Baju keduanya terlihat dipenuhi oleh lumpur, ranting-ranting patah, dedaunan, dan bahkan sampai sedikit robek. Dan dilihat dari wajah Kay yang dipenuhi dengan urat-urat kemarahan, mereka berdua―sebagian besar Kay―sudah melewati hari yang sulit.
"Sebentar lagi kita sampai, kita tak boleh membuat Merlin dan Guinevere menunggu lebih lama lagi," ucap Kay.
Rei bergeming, kehabisan tenaga untuk melawan gara-gara kejadian yang sudah menimpa mereka beberapa saat yang lalu.
"Aku.. lapar..."
"Diam kau. Memangnya cuma kau yang lapar setelah dikejar sekelompok serigala dihutan seperti tadi hah?!" ucap Kay setengah membentak. Daripada lapar, sebenarnya Kay itu lelah―lelah fisik maupun mental. Bahkan ia sendiri heran mengapa dirinya bisa sangat sabar hari ini.
Hari ini ia sudah mencari Rei keseluruh penjuru Camelot. Ia menemukan Rei tengah duduk dibawah pohon didekat istana. Ketika Kay menegurnya, Rei kaget lalu spontan berlari menuju hutan―yang banyak dibicarakan orang dipenuhi dengan serigala dan makhluk-makhluk lainnya-mau tidak mau, Kay pun ikut berlari kearah hutan. Kelanjutannya tentu saja Kay dan Rei berakhir terus kabur dari kejaran sekelompok serigala didalam hutan.
"Aku pulang..."
Kay membuka pintu rumah dengan masih menyeret Rei yang terus menundukan kepalanya sembari terus mengeluarkan suara-suara aneh dari perutnya.
"Selamat datang kembali, Kak," jawab sebuah suara dari arah dapur-Arthur yang tengah mencuci alat-alat makan menjawab dengan agak berteriak.
Kay memiringkan kepalanya. "Kemana Merlin dan Guinevere?"
"Mereka jalan-jalan dulu sebentar, tak lama lagi mereka kembali kok―tunggu, kakak melakukan apa saja sampai sekotor itu?" tanya Arthur, melihat Kay dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Ceritanya panjang, bisa kau panaskan air mandi untuk Rei? Dia sudah mirip kantung sampah sekarang." tunjuk Kay pada Rei dibelakangnya. Mata Arthur berkedut ketika melihat kondisi makhluk yang dibawa Kay itu.
"Kukira itu benar-benar kantung sampah beberapa saat yang lalu," Arthur menimpali. "Bai―"
"Kami pulang..."
Suara Merlin yang berasal dari belakang Kay membuat mereka―terutama Rei―terkejut. Bahkan gadis berambut putih itu, entah mendapat kekuatan dari mana―bangkit dan berlari bersembunyi dibelakang Arthur, memeluknya dari belakang. Kay dan Arthur sampai heran melihatnya.
"Selamat datang kembali Merlin, Guinevere. Bagaimana jalan-jalannya?" Arthur bertanya sembari berusaha keras melepas pelukan Rei.
"Ya begitulah."
"Merlin menggoda beberapa gadis dipasar lagi," ucap Guinevere. Sebelah mata Kay dan Arthur berkedut.
"Hm? Ada apa dengan pakaianmu Kay? Kau seperti sudah dikejar serigala di hutan," canda Merlin.
"Memang itulah kenyataannya, sudahlah. Rei ayo mandi." Kay lalu menyambar tangan Rei.
"Eh? T-tapi airnya?"
"Sudahlah, setelah mandi lukanya harus segera diobati. Oi Rei, mau sampai kapan kau memegang baju Arthur seperti itu?" tidak ada jawaban, kejengkelan Kay pada Rei yang sudah hampir surut, tiba-tiba naik lagi.
"Rei itu, teman barumu kan Kay, Arthur?" tanya Guinevere sembari menghampiri Rei yang masih menolak menunjukkan wajahnya.
"O-Oi, Rei berhenti bergerak-gerak dipunggunggu, geli tahu," keluh Arthur.
"Dia anak yang pemalu ya?" Merlin ikut memperhatikannya. Samar-samar ada kilat penuh selidik di matanya.
"Tidak juga, oi Rei jangan gunakan aku sebagai tamengmu," bisik Arthur.
Urat-urat kemarahan mulai bermunculan diwajah tampan―dan berani―Kay.
"Cukup! Rei sebenarnya apa yang membuatmu sebegitu takutnya pada makhluk mesum ini?!" Kay berteriak sembari menunjuk Merlin yang ikut kaget sekaligus tersinggung. Tak lupa juga menarik Rei dari belakang Arthur lalu mengguncang-guncang tubuhnya dengan tenaga penuh
Ah, amarah Kay sudah memuncak ternyata.
Walau pertanyaan yang ia lontarkan sudah sangat jelas jawabannya.
Mata keunguan milik Merlin sedikit melebar melihat Rei, mata yang seakan sudah menemukan sesuatu yang dia cari namun juga sulit untuk diuraikan dengan kata-kata. Beberapa detik kemudian Merlin kembali memasang ekspresi awalnya sebelum berkata,
"Rupanya kau disini ya, Rei."
Kay menghentikan aktifitasnya mengguncang tubuh Rei, "Hm? Kau mengenalnya Merlin?"
"Tentu, salah satu alasanku datang kesini adalah untuk membawanya pulang..."
Kay mengerutkan alisnya-bingung. "Hah? Apa maksudmu―Oi! Kau mau mengapakan Rei!" teriak Kay begitu ia sadar Rei telah berada disamping Merlin dengan wajah yang sama kagetnya pula.
"Bukannya aku sudah bilang akan membawanya pulang?" ucap Merlin―meskipun berbicara dengan nada yang ekspresi seperti biasa, Kay, Arthur, dan Guinevere tahu ada maksud tersembunyi dari kata-kata Merlin.
Dalam hitungan detik, Kay berhasil memeluk Rei dan menjauhkannya dari Merlin.
"Apa yang kau mau darinya hah?! Lagipula membawanya pulang? Memangnya kau siapanya Rei?!" teriak Kay.
Ekspresi Merlin mendadak pucat―dapat disimpulkan bahwa penyihir itu kehabisan kata-kata. Ketiga anak itu melihat satu sama lain, penasaran dengan jawaban Merlin.
"Sebenarnya..."
***
"Aku tetap tidak akan membiarkan Rei ikut denganmu," ucap Kay sembari mengeringkan rambut Rei dengan handuk.
"Meskipun kau itu ayahnya," tegas Kay, ia melempar tatapan membunuh kearah Merlin yang berpura-pura tidak lihat diseberang meja makan.
"Aku setuju dengan kakak," timpal Arthur yang kemudian menyesap air minum digelasnya. Guinevere yang tidak tahu harus menjawab apa, terkekeh renyah disamping Arthur.
"Tapi, aku kaget ternyata Merlin sudah jadi ayah," ucap Guinevere.
"Aku setuju denganmu. Walaupun aku masih tidak mau menerimanya," timpal Arthur dan Kay berbarengan.
"Siapa sangka, penyihir mesum seperti dia dapat mempunyai anak se-suci ini-bahkan aku sampai tak ingat ayahnya itu setengah Incubus."
―Uhuk.
Merlin batuk darah dalam imajinernya sesaat setelah mendengar kata-kata Arthur. Sudut bibirnya sedikit berkedut-berusaha membuat sebuah senyuman, tapi malah mirip sebuah seringaian.
"Terserah apa kata kalian, tapi aku akan tetap membawa Rei pulang," ucap Merlin. Tangannya ia sentakan kepermukaan meja, tanda ia sudah tidak menerima protes dalam bentuk apapun lagi.
"Kau tidak dengar apa kataku barusan Merlin? Aku bilang, kau tidak boleh membawa Rei, mengerti?!" ucap Kay setengah kesal.
"Apa hak bocah sepertimu untuk memutuskan Rei tidak boleh kubawa pulang?" sebelah alis Merlin terangkat-seakan meremehkan Kay.
Kesal, bocah bersurai coklat itu melemparkan sisir yang ada ditangannya kesembarang arah lalu berjalan menghampiri Merlin. Arthur dan Guinevere pun tidak tinggal diam. Arthur berjalan kearah Kay sementara Guinevere kearah Rei yang masih menundukan kepalanya tanpa bergerak sedikitpun―karena mereka tahu bahwa akan ada sesuatu yang buruk terjadi.
"Sudahlah kak, Merlin, kau juga." lerai Arthur tepat sebelum Kay menarik kerah baju Merlin―dan kemungkinan besar membantingnya.
"Kita tanyakan pada Rei saja, dia akan tetap disini atau ikut dengan Merlin, mengerti?" Arthur menarik Kay menjauh dari Merlin.
"Jadi, apa keputusanmu? Rei?" tanya Arthur-masih menahan tubuh Kay agar tidak berlari dan menyerang Merlin yang melihat Rei sembari berkacak pinggang.
Tubuh Rei sedikit bergetar, "Aku..."
Dibalik rambut yang jatuh menutupi wajahnya, Rei bergantian melihar Kay dan Merlin. Ia menimang-nimang jawabannya selama beberapa menit, tentu saja Guinevere mengelus kepalanya guna menenangkannya.
"―sepertinya, aku memang harus pulang."
"Hah?!" Kay berteriak-antara kaget dan tidak terima dengan jawabannya. Begitu pula dengan Arthur, manik emerald-nya terbuka lebar dan mulutnya pun sedikit menganga.
"R-Rei, kau yakin dengan jawabanmu?" tanya Arthur. Rei mengangguk, kemudian berjalan kearah Merlin.
"Jadi, kapan kita akan pulang..." Rei menggantungkan ucapannya-ragu.
"Ayah?" lanjutnya, kali ini ia tidak menundukkan kepalanya lagi, alias dia menatap Merlin dengan wajah datar. Merlin tersenyum, pria itu kemudian menggendong Rei sembari mengelus rambut yang memiliki warna yang sama dengannya.
"Besok pagi kita akan pulang, sekarang sudah terlalu larut," ucap Merlin, menghiraukan tatapan kesal dari dua orang anak yang terus menerus mengeluarkan aura-aura tidak menyenangkan.
"Kenapa kalian melihatku seperti itu? Kalian sudah dengar Rei bukan? Ia akan pulang bersamaku besok pagi," ucap Merlin kepada Kay dan Arthur dengan nada tanpa dosa―jika saja Kay tidak ditahan oleh Arthur, ia pasti sudah melempar sebuah panci atau malah pedang yang baru saja diasah tepat ke wajah Merlin.
"S-sudah, sudah. Karena hari ini, hari terakhir Rei tinggal disini, bagaimana kalau kita adakan pesta kecil-kecilan―sekalian makan malam. Ya, ya?" ajak Guinevere yang langsung mencairkan suasana.
Kay mendengus, selanjutnya ia pergi ke dapur disusul oleh Arthur dan Guinevere―meninggalkan Merlin dan Rei. Tentu saja, masih dengan wajah masam. Arthur punya firasat kalau Kay akan menceramahi Merlin nanti.
***
Suara burung yang berkicau bersahut-sahutan berhasil membuat Arthur membuka matanya-bangun dari tidurnya. Ia bangkit dari tidurnya dengan enggan, ia menggaruk rambutnya yang berantakan sebelum akhirnya menguap.
Ia melihat sisi kiri dan kanannya―mendapati Kay dan Guinevere yang masih tertidur lelap, lengkap dengan pose tidur mereka yang terbilang unik. Lalu Arthur melihat kearah jendela yang gordennya terbuka sedikit, menampakan pemandangan diluar yang ternyata masih gelap.
"Matahari... belum... terbit," gumam Arthur setengah sadar. Ia mengucek-ngucek matanya, lalu terduduk diam selama beberapa saat.
"Tidur sebentar lagi, tidak masalah bukan?"
Ketika Arthur akan merebahkan tubuhnya lagi, ia sadar akan suatu hal―yang membuatnya mengurungkan niat untuk tidur kembali dan kesadarannya langsung terkumpul semua.
Ia baru sadar akan sosok yang menghilang disebelahnya kemarin malam―Rei. Seingatnya, kemarin malam Rei tidur disebelahnya―diantara Arthur dan Kay―sementara Merlin tidur di sofa setelah Kay menendangnya keluar kamar. Arthur sudah punya firasat buruk ketika ia sadar Rei sudah tidak ada ditempatnya tidur tadi malam pada jam segini.
Biasanya Rei bangun paling telat diantara mereka bertiga, namun hari ini Rei sudah bangun lebih dulu. Kecurigaan Arthur melayang pada Merlin. Tanpa pikir panjang lagi, Arthur melompat dari ranjang dan berlari keluar kamar.
"Hei, Rei. Apa kau serius akan ikut bersama Merlin?"
Ketika Arthur melihat keruang tamu, Merlin maupun Rei tidak ada disana.
"Iya, memangnya kenapa?"
Begitu pula diluar rumah, lebih tepatnya dihalaman belakang tempat favorit Rei dikediaman Kay.
"Kapan kau akan kembali ke Camelot?"
Arthur kembali masuk kedalam rumah, berlari kearah dapur. Ia lalu membuka pintu dapur dengan kasar―tak peduli dengan omelan Kay yang pasti akan dia dapatkan.
Kedua matanya terbelalak begitu melihat sebuah surat dan setangkai bunga diatas meja. Arthur melangkahkan kakinya mendekati meja lalu mengambil suratnya. Ia membaca sekilas suratnya―surat yang ternyata dari Rei. Kemudian perhatiannya berpindah pada bunga yang ada bersama surat itu―
"...Maaf, aku tidak tahu Arthur."
―setangkai Bunga Sweetpea.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAA
Sebenernya chapter ini udah selese dari sehari setelah UTS cuma, ya~
Kumales update-nya//slapped
Belum lagi kena sempet kena WB.
PERCAYALAH, KEKUATAN WB SETELAH UTS ITU SANGAT KUAT. DAN EVENT-EVENT FGO YG TERLALU MENGGODA TUK DILEWATKAN
//padahalsendirinyamalesupdate
Yak paling segitu aja cingcong gak jelas dari saya..
Sampe ketemu di chap depan :v/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top