Chapter 25

***

"Ujung-ujungnya kau tetap tidur ternyata."

Suara yang sangat akrab dan dekat itu sontak membuat Rei melotot. Ia melihat sekitarnya, mendapati dirinya telah berada disebuah tempat yang dikelilingi tembok dari batu.

Lalu dia melihat ke depan, melihat sosok Merlin tengah terduduk dengan wajah lelahnya dihiasi senyum terpaksa sedang melambai kearahnya. "Halo~"

Masih mengumpulkan akalnya, Rei sekali lagi melihat ke sekitar. Dari sorot matanya, Merlin bisa melihat Rei sedang kaget dan bingung. Merlin tidak mempermasalahkannya, toh ia juga sudah menduganya.

"Sejak kapan aku tidur?" Rei bertanya masih sedikit linglung.

"Hm, daripada tidur, mungkin lebih tepat jika aku menyebutnya pingsan." Merlin menjawab sambil menyentuh dagunya. "Tenang saja kau baru sampai kesini, berarti kau kehilangan kesadaran beberapa saat yang lalu." lanjutnya.

"Begitu, ya. Lalu tempat ini? Tempat yang sama dengan yang biasanya bukan?"

"Ya, meski ada beberapa perbedaan, tempat ini masihlah Taman Mimpi Merlin~" ucapnya riang.

"Taman Mimpi?"

"Hanya itu nama yang bisa kupikirkan, aku tidak menerima komentar."

"Kebetulan sekali, sebenarnya hal ini ada kaitannya dengan apa yang ingin kukatakan padamu Rei." saat berkata seperti itu Rei tahu Merlin serius baik dari sorot mata maupun nada bicaranya.

Merlin membuang napas. "Sejujurnya akan lebih baik jika kau tinggal di desa itu saja."

Rei mengangkat sebelah alis. "Memangnya kenapa?"

"Kau tahu sendiri ada yang janggal dari tubuhmu bukan? Bagian tubuh yang hampir tembus pandang dan batuk darah?"

"Sepertinya aku juga sempat muntah sebelum hilang kesadaran." tambah Rei.

"Itu terjadi karena ulah Vivianne. Dia tadinya akan mengurungmu di Avalon agar baik dirimu ataupun energi sihir Avalon tidak dapat keluar dari pulau itu lagi."

Rei melotot. Ia menelan ludahnya lalu mengangguk, memberi tanda bagi Merlin untuk melanjutkan ceritanya.

"Tapi seperti yang kau lihat sendiri, yang datang menemuinya bukan kau tapi aku. Jadi dia mengurungku, menggunakan sihirnya dia memaksaku untuk menyerap sihir Avalon dari dirimu dan menjadi wadah yang baru."

Gadis itu berkedip lalu melihat tangannya dan mengepalkannya beberapa kali.

--"Jadi begitu..."

"Tapi, maksudmu untuk menyuruhku tinggal di Desa Cysegr itu kenapa?"

"Desa itu dilindungi oleh Cawan Suci. Hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk kesana, dan orang-orang yang masuk kesana akan dilindungi juga dari niat-niat jahat pula. Bahkan kesatria bawahan Mordred yang mencari kalian juga tidak dapat menemukan kalian."

"Tubuhmu baru merasakan efeknya begitu keluar dari desa itu bukan? Selama kau ada disana, aku tidak akan bisa menyerapmu, kau tidak akan menghilang Rei." jelas si penyihir.

Matanya yang berwarna keunguan itu menatap mata Rei dengan tajam. Rei juga dapat melihat sedikit kekhawatiran dan sorot memohon disana.

Ah, ini pertama kalinya Rei melihat wajah Merlin yang seperti itu.

Benar-benar sebuah ironi. Di tempat yang tidak lebih dari sekedar mimpi yang akan dilupakan ketika terbangun itu, Merlin menunjukkan raut serta perasaan yang terasa dna terlihat sangat asli.

Haruskah ia menuruti Merlin?

Rei menggeleng, baik untuk menolak perkataan Merlin ataupun untuk menghilangkan bisikan dari separuh dirinya yang hampir menguasai pikiran.

"Maaf Merlin, tapi aku tidak bisa melakukannya. Tidak ketika Arthur sedang berjalan menjemput ajalnya." Rei berkata sambil balas menatap Merlin.

Merlin tersenyum pahit. "Sudah kuduga kau akan mengatakannya."

"Tapi apa yang akan kau lakukan sekarang? Cawan Suci masih ada ditempat itu. Kecil kemungkinan bila Arthur dapat bertemu dengannya."

"Aku akan menemukan caranya. Bagaimanapun aku akan mempertemukan Arthur dengan Cawan itu." Rei tersenyum lebar.

Merlin menggaruk belakang kepalanya. "Oh, sudah waktunya." Merlin mengulurkan tangan, menggapai kepala Rei lalu mengelusnya pelan.

"Sebelum kau pergi, aku punya pesan untukmu--" Merlin mendekatkan bibirnya ke telinga Rei. Membisikan sesuatu yang sukses membuat Rei membelalakkan mata.

"Tunggu! Kalau begitu dia tidak akan sampai ke Ava--"

"Aku mengandalkanmu. Sekarang, waktunya kau bangun." Merlin mengusap wajah Rei, mengirimnya kembali ke dunia nyata.

***

"Dia sudah bangun!"

Rei mengerjapkan matanya, hal yang pertama dia dengar adalah suara gaduh dari orang-orang dengan wajah yang tidak ia kenal tengah berdiri mengelilinginya.

Suara mereka berhasil memanggil empat orang lainnya yang menatapnya dengan wajah khawatir bercampur lega. Kali ini Rei dapat mengenali wajah mereka.

Percival, Bors, Kay, dan Andrivete.

--"Tunggu apa?"

"Ini dimana?!" Rei buru-buru bangkit dari posisinya. Menatap satu persatu wajah mereka dengan tatapan yang menuntut sebuah jawaban.

"Ini di Northumberland. Dua kesatria ini membawamu kesini saat kau tidak sadarkan diri." Andrivete menjelaskan seraya mengusap bahu Rei, menenangkannya.

"Sebaiknya kau istirahat dulu, kelihatannya kau sangat kelelahan." Andrivete berkata. "Tu--!"

Tatapan panik dari orang-orang didalam ruangan itu tidak menghentikan tindakan Rei yang berusaha berdiri dengan kaki yang gemetar.

"Apa yang kau pikirkan hah?!" Kay bertanya setengah membentak. Namun Rei tidak memperdulikannya. Gadis itu berdiri, lalu mencoba berjalan sebelum tangannya ditahan oleh Kay.

"Mau kemana kau?"

"Arthur. Aku akan pergi ketempat Arthur berada." Rei menjawab tanpa sedikitpun melirik Kay. "Aku harus kesana."

"Lebih baik anda beristirahat disini Nona. Biar kami yang memberitahu Raja soal Cawan Suci." Percival berusaha membujuk Rei.

"Ini bukan soal Cawan Suci."

"Kalau begitu beritahu pada kami, kami janji akan menyampaikannya pada Raja." Bors menimpali namun Rei menggeleng.

"Tidak. Tidak bisa. Hal ini harus kulakukan, hal ini tidak akan berarti bila bukan aku yang melakukannya."

Kay mendecih. "Dengan keadaanmu yang seperti ini, yang ada kau mati sebelum bertemu dengan Arthur." ucap Kay. Tangannya mencengkeram lengan Rei lebih erat ketika gadis itu hampir dapat melepaskannya.

Kay menatap lengan Rei. Sama seperti beberapa saat yang lalu. Lengan gadis itu masih tembus pandang namun selain dirinya tidak ada siapapun yang menyadari hal itu di ruangan ini termasuk Rei sendiri.

Ia menggigit bibir. Jujur saja, Kay bingung harus berbuat apa. Apakah dia harus menahan Rei disini atau menurutinya dan membawa gadis itu pada Arthur. Namun firasatnya mengatakan hal yang sama. Apapun jalan yang ia pilih, cepat atau lambat Rei akan menghilang.

Menyadari perubahan ekspresi Kay, Andrivete mendekat. Menepuk bahu Kay pelan membuat orang yang dimaksud menoleh kearahnya.

Keduanya saling bertatapan selama beberapa saat sebelum akhirnya Andrivete menganggukkan kepala tanpa sedikitpun mengeluarkan suara.

Kay membuang napas. Ia menarik lengan Rei, menyerahkannya pada Andrivete.

"Baiklah. Oi Percival, Bors dan yang lainnya ayo kita keluar. Tuan Putri ingin bicara empat mata bersama Nona kecil ini." Kay berkata. Nada yang ia pakai terkesan dipaksakan namun ia tetap menuntun orang-orang termasuk dirinya untuk keluar, meninggalkan Rei dan Andrivete di ruangan.

Andrivete menuntun Rei kembali duduk di pinggiran kasur. Sepertinya gadis itu terlalu lemas untuk melawan lagi, maka ia menuruti Andrivete tanpa protes.

"Sudah lama sejak terakhir kita bertemu ya." Andrivete berucap sekedar basa-basi. Rei menjawab dengan sebuah anggukan.

Andrivete tersenyum lembut. "Aku sudah dengar semuanya dari Kay. Pasti keadaan di Camelot sangat sulit ya. Tidak heran kau kelihatannya sibuk sekali."

Meski tidak dikatakan secara langsung, Rei tahu Andrivete sedang membicarakan tentang kejadian Lancelot dan Guinevere.

"Terlebih lagi, kalian sekarang sedang mencari Cawan Suci."

"Kami sudah menemukannya."

Andrivete menatap Rei tidak percaya. "Kalian sudah menemukannya? Lalu dimana Cawan itu sekarang?"

"Kami hanya menemukannya, tidak membawanya." Rei menimpali. Ia melirik Andrivete, wajahnya masih sama terkejutnya seperti tadi. "Begitu ya. Sedari kecil aku ingin sekali melihatnya, seperti apa bentuknya?"

Mendengar pernyataan Andrivete, tubuh Rei sedikit mengejang. Haruskah ia beritahu Andrivete tentang Galahad? Jika Andrivete tahu, apakah Galahad akan berada dalam bahaya?

Sekali lagi Rei mencuri pandang pada Andrivete. Matanya sedikit melebar ketika manik aquamarine itu bertemu dengan mata Andrivete yang menatapnya lembut dan teduh. Tidak ada satupun kesan memaksa di wajahnya.

Perlahan dada Rei terasa menghangat. Entah kenapa meski sudah cukup lama tidak bertemu, Rei masih menyukai aura yang Andrivete sebarkan. Aura yang membuatnya berani mengungkapkan segalanya.

"Jika kau tidak mau memberitahunya juga tidak apa kok--"

"Dia tampan."

"Huh?"

"Aku yakin jika dia sudah dewasa ia akan menjadi seorang pemuda yang tampan."

Andrivete berkedip. Ia tidak mengerti dengan apa yang Rei bicarakan. Bukankah mereka sedang membicarakan tentang wujud Cawan Suci? Mengapa Rei malah membahas hal yang lain?

"Tampan? Maksudmu pendeta atau orang yang menjaganya?" Andrivete bertanya.

Rei menggeleng. "Bukan. Aku membicarakan Cawan Sucinya Tuan Putri."

Andrivete semakin tidak mengerti. Setelah beberapa detik, barulah gadis itu sadar dengan apa yang Rei maksud. "Jangan bilang kalau--" Andrivete menatap Rei yang dijawab yang bersangkutan dengan anggukan.

"Cawan Suci itu anak laki-laki, Tuan Putri. Anak itu putra Elaine dari Corbenic." jelas Rei.

Andrivete mengangguk-angguk. "Pantas saja kalian tidak membawanya. Jika Cawan Suci memang berbentuk manusia, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada anak itu bila dia telah mengabulkan permintaan seseorang. Apakah dia akan tetap hidup? Mati? Atau malah menghilang begitu saja tanpa jejak." Sang Tuan Putri mengoceh setengah bermonolog.

"Jadi itu sebabnya kau sangat terburu-buru untuk menemui Raja Arthur?"

"Sebenarnya bukan itu saja. Merlin sering mengatakan hal ini padaku, suatu saat malaikat maut akan datang menjemput Arthur disebuah tempat yang disebut Camlann. Lalu saat aku tidak sadarkan diri tadi, aku bertemu Merlin--"

"Dan dia mengatakan kalau suatu saat yang dia maksud adalah saat ini." tebak Andrivete. Rei mengangguk mengiyakan.

"Hm, kalau begitu memang gawat. Tapi kata Kay benar, kau bisa saja mati diperjalanan dalam keadaan seperti itu Rei." Andrivete meletakkan jari telunjuk di dagu.

"Tapi walau begitu tidak ada yang tahu kapan aku mati bukan? Artinya asal aku cepat bertemu dengan Arthur sebelum aku ataupun Arthur mati, maka masih sempat." Rei menjawab, nadanya terdengar agak naik.

"Kumohon, biarkan aku pergi Putri." Rei mengatupkan kedua tangannya ke hadapan Andrivete yang memasang wajah bimbang.

"Baiklah. Aku mengerti, kau boleh pergi. Tapi berjanjilah kau akan bertemu dengan Raja Arthur hidup-hidup." Andrivete tersenyum lalu mengelus puncak kepala Rei. Ia mengalah.

"Nah, kalian berdua dengar bukan? Sekarang bersiaplah untuk menyusul Raja Arthur."

Suara yang tidak asing berasal dari ambang pintu sontak membuat Andrivete dan Rei menoleh, mendapati Kay tengah berdiri bersandar di daun pintu sambil berbicara santai pada Bors dan Percival yang menatapnya dengan tidak nyaman.

"Se-sejak kapan kau disana, Kay?" Andrivete bertanya sedikit terbata-bata.

"Sejak awal. Lagipula aku sudah menyangka Tuan Putri pasti akan mengizinkan Rei untuk pergi dari sini." Kay menjawab dengan sebuah senyuman menyebalkan menghiasi wajahnya.

"Maafkan kami." ucap Percival mewakili Bors dan--mungkin--Kay.

Andrivete membuang napas lalu tersenyum miring. "Ya ampun, dasar kau ini."

"Nah, kau sudah dapat persetujuan dari putri, mau menunggu apalagi Rei?" Kay bertanya pada Rei yang masih bengong.

"A-ah, tentu saja kita harus cepat berangkat! Terimakasih Putri Andrivete, Kak--maksudku, Pangeran Kay." kata Rei. Tidak sadar bahwa nama yang ia sebutkan di akhir kalimatnya mengundang tawa Andrivete dan urat muncul di pipi Kay.

Percival dan Bors menjemput Rei, menuntun gadis itu keluar ruangan dan berjalan cepat menuju tempat tunggangan mereka berada.

"A-anu, Tuan Putri. Bisakah anda rahasiakan yang tadi?" Rei berucap sedikit gelagapan.

"Berhati-hatilah saat diperjalanan kalian bertiga." ujar Kay.

"Bertiga? Apa maksudmu? Kau juga ikut!" Andrivete mendorong punggung Kay membuat pria itu terkekeh. "Kenapa aku harus ikut?" goda Kay.

"Meski seorang Raja, Raja Arthur itu masih adikmu. Kau tidak akan membiarkan adikmu mati begitu saja bukan?" jawab Andrivete. Sekali lagi, Kay tertawa kecil.

"Baik, baik." Kay memutar badan hingga ia menghadap Andrivete. Andrivete yang mengetahui maksud Kay, mengulurkan tangannya.

Kay menundukkan kepala, lalu menarik tangan Andrivete sedikit lebih tinggi untuk mencium tangan Sang Putri.

"Berjanjilah untuk kembali kemari."

Kay tersenyum. "Aku berjanji."

"Kalau begitu, aku berangkat dulu, Andrivete."

***

"Kau tidak dapat menemukan mereka bertiga? Ya sudahlah kalau begitu. Lebih baik kita segera berangkat. Raja Arthur akan segera sampai kemari, jika hal itu terjadi kita yang akan dirugikan."

Meski berkata begitu, nyatanya Mordred masih dengan santainya memainkan helmnya tanpa sedikitpun melihat pada Melou ataupun Melehan.

"Bagaimana dengan Sir Bedivere dan Sir Gawain? Apa yang harus kami lakukan pada mereka dan pasukannya?" Melou bertanya yang ditanggapi oleh anggukan kepala Melehan.

"Bagaimana itu, bukankah kalian tinggal menyingkirkan mereka saja? Sama seperti biasanya." Mordred menjawab santai.

"Beritahu yang lain untuk segera menyiapkan kuda. Aku akan menyusul." perintah Mordred. Melou dan Melehan mengangguk mengerti lalu segera meninggalkan ruangan meninggalkan Mordred sendirian.

Tidak lama setelah Melou dan Melehan pergi, Mordred berjalan menuju sebuah ruangan yang pintu masuknya tertutup kain.

Ia melangkahkan kaki, mendekati sebuah benda yang bercahaya berlawanan dengan keadaan ruangan yang gelap gulita.

"Kau menunggu dan melihat dari sini saja. Oh tunggu, kau sudah tidak bisa melihat lagi bukan?" Mordred berbicara pada benda itu diakhiri dengan kikikan.

Ia mengangkat benda itu, membuat benda itu sejajar dengan wajahnya. Ia tersenyum kala sesuatu yang ada didalamnya berputar hingga bagian depannya menghadap wajahnya.

Sebuah kepala. Kepala seorang wanita berambut putih dengan kulit yang pucat.

"Maaf saja, tapi aku tidak akan membiarkanmu memerintah atau mengaturku selamanya." Mordred berucap sambil kembali menaruh benda itu.

Mordred berbalik badan.Ia melihat sejenak seisi ruangan yang berantakan karena perlawanan Morgan. Helaan napas berat Mordred keluarkan.

"Ya ampun, sepertinya aku harus membereskan kekacauan ini sendirian." Mordred menggerutu. Untuk kesekian kalinya, pemuda itu menatap tabung dibelakangnya sebelum melangkahkan kaki menuju pintu.

"Aku pergi dulu ibu~"

***

Aneh.

Sejak tadi Gawain merasakan adanya hawa tidak mengenakan di Camelot yang tidak dapat ia jelaskan. Ia sempat bercerita pada beberapa bawahannya namun ia malah mendapatkan tawaran untuk beristirahat.

Gawain membuang napas. Sepertinya setelah kematian ketiga saudaranya dia jadi sedikit paranoid. Pada akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti saran bawahannya.

"Aku akan panggil yang lain, kau siapkan kudanya. Jangan lupa awasi sekitar."

Baru saja Gawain hendak melangkahkan kakinya menuju taman, sosok Melou dan Melehan yang tengah berbincang dengan gerak-gerik cukup mencurigakan menarik perhatiannya.

"Kalian sedang membicarakan apa?" Gawain berseru mendekati mereka tanpa satupun dari mereka menyadari kedatangannya.

Melou dan Melehan menghentikan kegiatan mereka dan menoleh kearah Gawain secara bersamaan, menatapnya dengan tatapan datar.

"Tidak ada." Melou menjawab. "Kau tidak perlu tahu." timpal Melehan.

Mata Gawain berkedut dibuatnya. Dia tahu dua orang dihadapannya ini tengah berbohong.

"Aku dengar kalian berbicara tentang menyiapkan kuda dan mengawasi. Apa benar bukan untuk apa-apa?"

Meski samar, Gawain dapat melihat tubuh keduanya menegang dan kedua pasang mata itu sedikit melebar. Cukup untuk membuat Gawain mengambil kesimpulan bahwa ia mengatakan hal yang harusnya tidak ia ketahui.

Gawain mengulas senyuman samar.

"Bagaimana? Hm--"

"Oi, oi apa yang sedang terjadi disini?"

Saat dirinya merasa sudah menang, sebuah suara terdengar dari arah belakang. Gawain menoleh, melihat Mordred tengah berjalan kearah ketiganya. Pria dengan rambut bergelombang itu berdecak pelan.

"Ya ampun kalian berdua ternyata. Baru saja kutinggal beberapa saat kalian sudah membuat masalah lagi." ucap Mordred. Kesatria itu berjalan menuju Melou dan Melehan lalu menepuk-nepuk kepala mereka.

Merasakan tatapan penuh selidik Gawain, Mordred berbalik berhadapan dengan Gawain sambil berkacak pinggang.

"Ada apa Sir Gawain? Kau terlihat menyeramkan."

"Anak-anak buahmu itu mencurigakan." ucap Gawain tanpa ragu.

"Mencurigakan bagaimana maksudmu?"

"Mereka membicarakan sesuatu tentang mempersiapkan kuda dan mengawasi sekitar, tapi mereka tidak memberi tahuku apa alasannya."

"Jika ada musuh seharusnya mereka juga memberitahuku." lanjut Gawain.

Mordred menolehkan kepalanya sedikit kepada Melou dan Melehan. Helaan napas panjang ia keluarkan.

"Oh itu? Kami hanya bermaksud untuk menyambut kepulangan Raja. Kau tahu? Kemarin kita mendapat suratnya bukan?" jawab Mordred.

"Menyambut raja?" Gawain menaikkan sebelah alisnya. Dengan matanya ia menatap lekat-lekat ketiga orang dihadapannya berusaha mencari satu atau dua kejanggalan lainnya.

"Kenapa? Kau masih tidak percaya?"

"Meskipun kau bilang menyambut raja, tidak memberitahu rekanmu yang lain saja sudah mencurigakan."

Raut kebingungan itu kini berubah menjadi raut penuh waspada. Gawain bersiap-siap dengan kuda-kuda dan tangan yang siap menarik Galatine kapanpun.

"Jawab aku Mordred."

"Tenang, tenang! Aku baru saja mau memberitahumu dan Bedivere tentang rencana ini." cegah Mordred namun Gawain masih belum merubah posisinya. "Aku ingin kau dan Bedivere membantuku dalam rencana ini."

Gawain mengerutkan keningnya. "Membantu?"

Mordred menganggukkan kepala.

Ah, Gawain merasakan hal-hal yang janggal semakin banyak. Pria itu menghirup napas dalam-dalam. "Boleh saja. Tapi sebelum itu, bolehkah untuk satu kali ini saja kau menunjukkan wajahmu? Sir Mordred?"

"Kenapa?"

"Selama ini, kau belum pernah menunjukkan wajahmu pada kesatria selain bawahan-bawahanmu. Sekarang, tunjukkanlah wajahmu dan aku akan membantumu." Gawain berucap.

"Hee? Baiklah." Mordred menjawab santai, mengabaikan tatapan kaget Melou dan Melehan.

Tangannya terangkat, menggapai helmnya lalu melepasnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan menggaruk-garuk rambutnya dengan asal.

Firasat buruk langsung muncul di benak Gawain. Dan benar saja, saat Mordred mengangkat wajahnya, ekspresi Gawain langsung berubah. Wajahnya itu berhiaskan rasa ngeri dan tidak percaya dengan apa yang ia lihat dihadapannya.

"Raja... Arthur..."

Mordred menyeringai. "Apa aku benar-benar mirip dengannya?"

Gawain menutup mulutnya, rasa jijik yang luar biasa mulai dapat ia rasakan. "Sialan, kau... Kau! Kenapa--"

Mordred membuang napas. "Huft, aku sudah memperlihatkan wajahku bukan? Sekarang kau harus membantuku."

Gawain menggigit bibir. Ingin sekali ia melawan sosok dihadapannya ini jika saja ia tidak mengingat dengan janjinya beberapa saat yang lalu. "Baiklah, apa yang harus kulakukan?"

Mordred tersenyum. "Kalau begitu--"

Sebelum Mordred selesai mengucapkan kata-katanya, kesatria itu sudah berada dihadapan Gawain dengan pedang Clarent yang digenggam oleh kedua tangannya dengan erat.

"--tolong matilah disini. Kakak."

***

Singkat cerita, setelah membuat Gawain terluka fatal, Bedivere datang, melawan dan menahan Mordred untuk beberapa saat sebelum akhirnya karena kalah jumlah ia harus rela kehilangan tangan kanannya.

Tidak hanya itu, ia juga menghancurkan hampir setengah bagian dari Camelot, Mordred bersama prajuritnya pergi menuju Camlann, sebuah tempat yang berada tepat ditengah-tengah jalur Arthur serta pasukannya pulang dari Roma.

Perkiraan Mordred Arthur akan sampai di Camlann sebelum tengah hari. Benar-benar sebuah sambutan hangat dari seorang Mordred.

Dan benar saja, cahaya matahari sedang tertutup oleh awan ketika dari arah cakrawala Mordred dapat melihat pasukan Arthur perlahan mendekat kearah tempatnya berada.

"Ada apa Rajaku?" Palamedes bertanya kala ia melihat ekspresi Arthur yang mendadak berubah menjadi waspada.

"Disana, ada seseorang--tidak, pasukan. Ada sebuah pasukan disana." ucap Arthur. Matanya menatap tajam kilauan samar dari senjata serta zirah yang mereka pakai.

"Sialan, cuacanya memang sangat menguntungkan bagi mereka." Palamedes mengumpat ketika ia sedikit kesulitan menemukan pasukan yang dimaksud Arthur. "Apa yang akan kita lakukan? Haruskah kita mengambil jalan lain?" saran Lucan yang baru saja menyusul Arthur dan Palamedes.

Arthur mengangguk. "Sepertinya lebih baik begitu."

Baru saja hendak memerintahkan para pasukannya untuk berbalik dan mengambil jalur yang lain, para pemanah yang Mordred bawa melepaskan anak-anak panahnya. Menghujani prajurit Arthur dan melukai kuda-kudanya.

Seruan pertempuran terdengar dari prajurit Mordred. Mereka berlari dengan pedang dan tombak yang terhunus kearah pasukan Arthur yang sebagian sudah terjatuh dari tunggangan mereka.

Arthur meringis pelan. Ia melihat kearah kesatria-kesatrianya yang bersiap memegang senjata menunggu perintah Sang Raja. Luka-luka hasil pertarungan mereka dengan prajurit Roma yang hanya dibalut dengan kain secara asal itu membuat Arthur semakin berat membuka mulut.

Ia menggeleng, dirinya tidak boleh goyah disaat-saat seperti ini. Meski dengan keadaan seperti ini, pertempuran didepan mata mereka tidak dapat dielakkan. Dengan sorot mata tajam, Arthur mengangkat Excalibur tinggi-tinggi.

"Ikutilah langkahku, wahai kesatriaku!" seru Arthur yang dijawab oleh teriakan yang tak kalah kerasnya dengan pihak lawan.

Suara besi yang beradu bersama dengan teriakan yang memekakkan telinga menjadi latar dari pertarungan di Camlann. Korban jiwa saling berjatuhan dari kedua sisi.

Arthur dan pasukannya juga tidak dapat menahan rasa kaget mereka ketika mereka memperhatikan lebih teliti zirah yang dipakai oleh lawan mereka.

"Sama. Zirah yang mereka kenakan itu zirah Camelot!" pekik Lucan setengah panik membuat rekan-rekannya yang lain sempat tertegun untuk sepersekian detik.

"Bunuh pengkhianat Camelot!" sebuah seruan dengan suara bergetar terdengar dari barisan belakang yang lekas diikuti oleh prajurit yang lain sebagai seruan pertempuran.

"Nah, sepertinya sekarang giliranku untuk tampil."

Jauh dibarisan belakang, Mordred menyeringai. Ia menoleh kearah Melou dan Melehan yang sudah bersiap diatas kuda mereka. "Jika firasatku benar, mereka ada didekat sini." ucap Mordred.

"Pergilah. Buru ketiga orang itu."

***

"--guhuk!"

"Tahan, sebentar lagi kita akan sampai di Camlann." ucap Kay berusaha menyembunyikan rasa paniknya.

Rei mengangguk. Dengan mata sayu, ia melihat ke sekitar. Namun baru saja menikmati pemandangan sekitar, Fou memekik sambil mengangkat kepalanya ke sebuah titik dibalik pepohonan dimana dua anak panah tak lama melesat dari sana, mengenai kaki kuda mereka.

"LAGI?!" Percival berteriak tidak percaya.

"Tapi yang tadi itu hampir saja." Bors menghela napas lega. Tetapi ia langsung menarik perkataannya ketika dua orang pemuda bertubuh kecil keluar dari balik pepohonan dengan pedang ditangan mereka.

"Mereka anak buah Mordred!" Percival berkata membuat dirinya dan ketiga rekannya yang lain segera mempersiapkan senjata.

Melou dan Melehan menatap keempatnya dengan tatapan tidak terkesan. "Percival, Bors, dan satunya lagi... Kay ya." Melehan bergumam pada dirinya sendiri. "Tak kusangka kalian masih hidup sejak saat itu."

Kay memasang wajah tidak senang. "Mau apa kalian?" pertanyaan Kay dijawab dengan Melehan yang menunjuk Rei dengan pedangnya.

"Gadis itu. Berikan gadis itu pada kami."

"Mengapa kau menginginkan Rei?" Kay bertanya sambil meningikan pedang digenggaman yang juga diikuti oleh Bors dan Percival.

"Raja menginginkan dia. Serahkan dia dengan damai atau kami bunuh kalian disini tentu saja dengan gadis itu juga." Melou menambahkan.

"Raja? Siapa raja yang kau maksud?" Percival mengangkat alis wajahnya terlihat semakin waspada setelah ia menyadari adanya kejanggalan pada perkataan Melou.

Kening Melou berkerut. "Kau tidak perlu tahu."

Tanpa menunggu lagi, dengan sekali hentakkan, tubuh mereka terdorong hingga kini mereka ada di depan wajah keempatnya.

"Ayolah, jangan jadi beban!" Rei berbisik sembari merapal Ansuz. Melou kini bertarung melawan Percival dan Bors sementara Melehan melawan Kay.

"Kehilangan tangan kananmu pasti sulit sekali bukan Kay?" Melehan bertanya disela ayunan pedangnya meski pada kenyataannya dialah yang terlihat kewalahan. Kay memasang senyuman jengkel.

"Untuk bocah sepertimu, mulutmu kurang ajar juga ya." Kay mengangkat pedang tinggi-tinggi sebelum mengayunkannya pada Melehan namun orang yang dimaksud cukup lincah untuk menghindari serangan Kay, melukainya dan lalu berlari menghampiri Rei.

"Fou!" Fou memekik. Rei memasang kuda-kuda asal dengan tangan kanan sedikit terulur, wajahnya berkerut antara sedang berkonsentrasi atau menahan sakit.

"Raidho!"

Saat Melehan berada dihadapannya, Rei mengulurkan tangan. Menuliskan rune Raidho diperut Melehan, membuat pemuda itu terdorong dengan kuat hingga menabrak pohon yang berada sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri.

Keempat orang yang lain--Kay, Percival, Bors, bahkan Melou melotot melihat sosok Melehan yang tubuhnya perlahan merosot lalu tumbang di tanah.

Melou mengalihkan pandangan, menatap Rei dengan tatapan tajam wajah yang terlihat memerah karena marah.

Pemuda itu menendang Percival dan Bors, berlari menghampiri Rei lalu tanpa ragu mencengkeram leher gadis itu dengan kuat, membuat Fou terjatuh dari bahu Rei.

"Fou!"

"Sialan ka--"

"Jangan mendekat atau aku bunuh dia!"

Melou menatap tajam ketiga kesatria itu dari ekor mata. Sedikit rasa puas ia rasakan ketika melihat wajah kesal ketiganya.

"Berani beraninya kau melakukan itu pada Melehan. Kau pikir kau itu apa, huh?"

Cengkeramannya pada leher Rei semakin erat, gadis itu memandangnya dengan benci dan kakinya terus menendang-nendang udara.

"Lepaskan... aku..." Rei berucap dengan suara yang terdengar hampir habis.

Melou mengangkat alisnya, tidak terkesan.

"Padahal kau hanya boneka." Dengan tangannya yang satu, Melou mengangkat pedangnya. "Kelihatannya kau sangat kesakitan."

Sebuah senyuman menyeramkan terlihat di wajah Melou yang menggelap. "Biar aku membantumu melepaskannya--"

"HENTIKA--"

Kejadian itu terjadi begitu cepat. Melou bersiap menusuk perut Rei dengan pedangnya dan teriakan Kay, Percival dan Bors terhenti seketika.

"Apa... yang... terja...di--guhuk!" dengan mata melotot dan mulut yang mengeluarkan darah, Melou melirik kearah bahu kirinya yang terasa sakit.

Deretan taring dari seekor hewan buas menancap dari leher bagian kirinya hingga bagian atas lengannya. Menancap sangat dalam hingga darah mengalir deras dari sana.

Melou melepaskan cengkeramannya pada leher Rei. Sesaat sebelum ia menutup matanya, Melou melihatnya.

Sosok binatang buas dengan bulu putih yang ternoda darah, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.

Rei berkedip saat pandangannya bertemu dengan mata makhluk itu. Makhluk itu melempar tubuh Melou ke sembarang arah lalu berjalan menghampiri gadis itu.

Saat itulah Rei tersadar dari lamunannya ketika ia melihat sosok tiga kesatria yang ada dibelakang makhluk itu tengah menghampiri mereka sambil memegang pedang.

"Tu--"

"Menjauh darinya!"

Makhluk itu sontak menoleh pada asal suara. Matanya yang sempat santai tadi berubah kembali tajam, mengunci sasarannya pada Kay. Ia berlari kearah Kay, sementara yang bersangkutan terlalu kaget untuk bereaksi ketika makhluk itu sudah ada didepannya.

"Hentikan!"

Rei berdiri diantara makhluk itu dan Kay sambil merentangkan tangannya. Kay berkedip, begitu pula Percival dan Bors.

Rei mengulurkan tangannya, mengelus pelan wajah makhluk itu yang perlahan menutup matanya.

"Merlin bilang kau itu selalu kehilangan akal saat dalam bentuk aslimu. Ternyata dia benar." Rei tersenyum ketika makhluk itu mengistirahatkan kepala ke bahunya.

"Tapi terimakasih sudah menyelamatkanku Fou."

Makhluk itu adalah Fou, atau yang lebih tepatnya adalah bentuk asli Fou.

Cath Palug. Begitulah Merlin bilang kepadanya. Rei sendiri tidak tahu bagaimana cara Merlin memiliki familiar yang ganas seperti ini.

"Sebaiknya kita bergegas, Mordred ada disini. Begitu pula dengan Arthur."

Rei melirik tiga kesatria dibelakangnya yang langsung menjawab perkataannya dengan sebuah kata yang mereka ucapkan berbarengan.

"Baik."

***

"Akhirnya kita bertemu juga, Raja Arthur."

Dengan wajah dan zirah yang ternoda darah, Mordred berdiri didepan Arthur yang keadaannya juga hampir sama.

"Mengapa kau melakukan ini Mordred?"

Mordred menyeringai. "Entahlah? Sebenarnya aku hanya ingin mengabulkan permintaan ibu untuk merebut takhtamu untuknya." Mordred menjeda ucapannya.

"Tapi lama-lama ambisi itu juga berpengaruh padaku. Aku berpikir daripada menyerahkan takhta itu secara cuma-cuma padanya, kenapa bukan aku saja yang mengambilnya?"

Wajah Arthur berkerut. "Kau mengorbankan ibumu sendiri untuk mendapatkan takhta, apa kau masih waras?"

"Menurutmu? Lagipula baik kau ataupun aku yang menang, Camelot akan menemui akhirnya tidak lama lagi. Jadi bagaimana?" Mordred tersenyum miring. "Kau bisa menyerah saja dan memberikan Camelot padaku."

Arthur mengarahkan pedangnya pada Mordred. Sorot matanya dingin dan tajam membuat senyuman Mordred semakin lebar.

"Jawaban yang sangat sesuai dari Raja para Kesatria." Mordred ikut menyiapkan Clarent di tangannya.

Suara besi yang beradu langsung memenuhi telinga. Pandangan mata mereka menggantikan peran perkataan untuk saling berkomunikasi.

Ayunan demi ayunan mereka lakukan, sabetan demi sabetan mereka dapatkan dari satu sama lain. Di kondisi Arthur saat ini, Mordred dapat menandinginya atau bahkan setara dengannya. Sampai pada satu ayunan, Mordred berhasil melemparkan Excalibur dari tangan Arthur.

Pedang dengan bilah keemasan itu terlempar jauh dari tempat keduanya berdiri.

Arthur mengambil langkah mundur cukup jauh dari tempat semula. Hal itu membuat Mordred menyeringai. Kemenangan ada satu langkah lagi didepannya.

Tapi seringainya hilang ketika ia melihat Arthur mengangkat tangan kanannya. Wajahnya yang ternoda darah menggelap, matanya berkilat tajam menatap Mordred dengan penuh benci.

"Biarkan cahaya dilepaskan dari ujung dunia Yang akan membelah langit dan menghubungkan daratan. O, jangkar badai!"

Mordred membelalak. Mantera itu, ia mengetahuinya. Ia dengan terburu-buru berlari kearah Arthur, siap menebasnya dengan Clarent.

"Tak akan kubiarkan!!"

Sebuah cahaya menyilaukan muncul di tangan Arthur. Cahaya itu membentuk sebuah pilar yang membelah awan di langit.

Namun Mordred tidak gentar. Pemuda itu masih terus maju mendekati Arthur meski dalam hati ia tahu bahwa jika Arthur sudah mengeluarkan benda itu, maka kemenangan sudah sepenuhnya di pihak Arthur.

"Tombak Suci, tunjukkanlah sosokmu dalam genggamanku--"

Sebuah tombak berwarna putih muncul ditangan Arthur. Tombak itu memancarkan sinar yang begitu indah saat sinar matahari menyinarinya.

Dengan sekali hentakan kaki, Mordred mendorong tubuhnya hingga Arthur sudah berada dalam jangkauan Clarent miliknya.

"Tombak Yang Bersinar Hingga Ujung Dunia : Rhongomyniad!"

Arthur menghunuskan tombaknya. Zirah kuat yang si pemuda pakai itu bagaikan setipis kertas jika dilihat betapa mudahnya Arthur menembusnya dengan Rhongomyniad.

Bersamaan dengan itu, Mordred masih sempat mengayunkan pedangnya, berhasil melukai mata kanan hingga dada kanan Arthur.

"Terku..tuk kau... Raja... Arthur."

Kata-kata penuh kebencian, perut yang tertembus oleh Rhongomyniad, dan mulut yang mengeluarkan darah merupakan akhir seorang kesatria bernama Mordred.

***

Bersamaan dengan Rhongomyniad yang menghilang dari tangannya, Arthur tumbang. Dengan bertumpu pada kakinya, Arthur memegang luka yang Mordred buat tadi.

"Rajaku!"

Arthur menoleh pada asal suara, melihat Lucan yang menghampirinya dengan tangan kiri memegang sisi kanan lehernya yang berwarna merah. Melihatnya saja, Arthur yakin kalau Lucan terluka sangat parah.

Mata Arthur membelalak saat ia melihat sosok pemuda bersurai coklat itu tumbang tak jauh dari tempat Arthur.

"Lucan!"

"Tidak apa, Yang Mulia..."

Lucan perlahan kembali bangkit lalu menatap Arthur dengan lemah. Bibir Lucan yang sudah terlihat pucat itu mengulas senyum penuh rasa lega.

"Saya lega, anda selamat."

"Cukup Lucan, jangan paksakan dirimu." Arthur menghampiri Lucan, mengusap punggungnya perlahan. "Kau pasti lelah, istirahatlah." Arthur menambahkan. Ia tahu bahwa kesatria-nya yang satu ini tidak akan bertahan lebih lama lagi.

Lucan yang seakan sudah mengerti maksud Arthur mengangguk. "Anda benar, saya merasa sangat mengantuk saat ini. Tapi saya akan berusaha untuk tidak tidur terlebih dulu sebelum kakak datang."

Tidak lama kemudian, Bedivere datang dengan jubah yang membebat tangan kanannya dengan Palamedes disampingnya.

"Lucan!" Bedivere berlari ketika matanya melihat sosok Lucan.

"Kakak, tanganmu..."

"O-oh, iya. Sudahlah, pikirkan lukamu sendiri." Bedivere pelan-pelan menyingkirkan tangan Lucan dari lehernya, melihat sebuah luka yang cukup besar menganga disana.

Bedivere meringis.

"Hei, kak. Aku sangat mengantuk, karena kau sudah disini, bolehkah aki tidur sekarang?"

Bedivere sedikit bingung saat mendengarnya. Dia menatap Arthur, seketika ia dapat mengerti apa yang sebenarnya Lucan maksud.

"Iya, tidurlah. Nanti aku akan membawamu pulang."

Lucan tersenyum, dengan begitu Lucan menutup matanya dengan tubuh yang disangga oleh tangan kiri Bedivere.

"Dia berjuang dengan terhormat sampai akhir, Sir Bedivere." Arthur berucap.

"Palamedes, bisakah kau mengantar mereka kembali ke Camelot? Aku yakin dengan keadaan Bedivere yang seperti ini akan kesulitan saat menunggangi kuda." perintah Arthur.

Bedivere hendak protes, tapi Arthur menggeleng. "Tidak apa Bedivere. Aku baik-baik saja."

"Baik Yang Mulia." Palamedes membungkukkan badan sebelum dirinya membantu Bedivere berdiri dan menggendong tubuh dingin Lucan.

Akhirnya, ditengah gunungan mayat di Camlann, Arthur menatap langit sendirian. Merenungi tentang apa-apa yang terjadi dalam hidupnya dan Camelot dalam hitungan hari bahkan jam kebelakang ini.

Arthur menoleh, melirik kearah Excalibur yang menancap cukup jauh dari tempatnya saat ini. Ia mencoba bangun, tapi apa daya kakinya bahkan seluruh tubuhnya terasa sangat lemas.

Tanpa sadar, Arthur tertawa pahit.

"Sepertinya aku juga akan segera tidur, Lucan." gumamnya.

Perlahan pandangannya mulai berkunang-kunang. Satu persatu warna menghilang dari penglihatannya.

Tapi tepat sesaat sebelum pandangannya berubah sepenuhnya menjadi hitam, ia melihat sosok gadis yang sangat akrab tengah berlari tergesa-gesa kearahnya sambil menyerukan namanya.

***

Rei melakukan sesuai dengan apa yang Merlin katakan saat ia tak sadarkan diri lebih awal untuk membawa pergi Arthur dari Camlann hingga saat sedang menuju Desa Cysegr. Dan sepanjang jalan, Rei tidak henti-hentinya melirik Arthur yang tengah tak sadarkan diri dibelakangnya.

Meski sulit karena kali ini hanya dirinya yang pergi Cysegr karena Kay, Percival, dan Bors harus membantu kesatria-kesatria yang selamat dan para penduduk Camelot, tapi dengan tekad dan keajaiban lainnya, Rei berhasil membawa Arthur sambil menunggangi Fou yang masih menjadi Cath Palug.

"Sebentar lagi, bisakah kau membawa kami lebih cepat Fou? T-tapi tolong jangan sampai membuat Arthur jatuh." pinta Rei.

Fou menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, Rei berhasil sampai di gerbang desa. Rei turun pelan-pelan, pedang Excalibur Arthur ia ikat menggunakan kain lusuh yang entah didapatkannya dari mana di pinggang lalu salah satu lengan Arthur ia kalungkan dilehernya, sedikit sulit memang mengingat Arthur lebih besar dan tinggi daripada dirinya dan mengingat kondisinya sendiri yang seperti ini.

Fou menyundulkan hidungnya pelan, mendorong Rei untuk lebih maju ke depan gerbang. "Tunggulah disana Fou."

Ia mengangguk. Sebagai salah satu makhluk sihir yang buas, seekor Cath Palug tidak bisa masuk kedalam sebuah desa yang dilindungi oleh Cawan Suci.

"Rei, kaukah itu?"

Suara Galahad mengalihkan perhatian Rei. Rei melihat anak itu berdiri membatu dengan tatapan kaget mengingat orang yang baru saja meninggalkan desa pagi tadi, kembali saat hari mulai malam dengan membawa seorang pria yang tidak sadarkan diri.

"Tunggulah sebentar, aku akan minta bantuan!" Galahad kemudian berlari kedalam desa.

Tidak perlu menunggu lama, beberapa Galahad kembali dengan membawa beberapa pria dewasa. Mereka membantu membawa Arthur menuju tempat Galahad tinggal. Namun alih-alih diantar menuju kamar, Galahad malah meminta orang-orang untuk membawa Arthur ke bagian utama gereja.

Meski cukup aneh, tapi akhirnya mereka menuruti permintaan Galahad. Arthur mereka baringkan disebuah altar didepan barisan kursi kayu, memposisikan Sang Raja senyaman mungkin sebelum mereka pergi meninggalkan Rei dan Galahad.

"Huft, tidak kusangka kau akan kembali kesini. Ditambah kau juga membawa tamu tak sadarkan diri kemari." canda Galahad. Anak itu kemudian menghampiri Rei yang tengah duduk di kursi barisan depan dan duduk disampingnya.

"Jadi, orang yang ingin permintaanya dikabulkan itu dia?"

Rei mengangguk.

"Jadi, sekarang kau mau bagaimana? Aku takut orang itu tidak akan bangun untuk waktu yang cukup lama." ucap Galahad.

Rei terdiam. Sebenarnya ia juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah membawa Arthur ke Cysegr bukan ke danau Vivianne sesuai dengan apa yang Merlin bilang.

Galahad menghela napasnya. "Sebaiknya kau istirahat juga, aku akan menyiapkan kamar la--"

"Tidak usah. Aku disini saja." potong Rei.

"Yakin?"

Rei sekali lagi mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari Arthur.

"Kalau begitu lebih baik kau istirahatlah sekarang. Kondisimu tidak jauh lebih baik daripada dia." ucap Galahad.

"Tapi--"

"Sudahlah, tinggal tidur apa sulitnya? Apa perlu aku nyanyikan lagu sebelum tidur?"

Rei memasang wajah masam. "Kalau bisa, boleh." jawabnya asal.

Galahad mulai bersenandung lembut di samping Rei. Awalnya Rei masih dapat menjaga kesadarannya tapi lama kelamaan dia mulai merasa matanya mulai berat.

Tidak lama setelah mendengar lagu Galahad, Rei menutup matanya. Pergi ke alam mimpi dengan posisi duduk.

Setelah merasa Rei tertidur sepenuhnya, Galahad bangkit. Ia berjalan kehadapan Rei, mengulurkan kedua tangannya menyentuh pipi Rei. Anak itu memperhatikan wajah Rei yang terlelap lalu ia memajukan wajah hingga keningnya bersentuhan dengan kening Rei.

"Kumohon bantu aku, Mama..."

***

--"Ah, tempat ini lagi..."

Rei membatin begitu hal yang pertama ia lihat saat membuka mata adalah hamparan bunga berwarna-warni yang diterangi oleh cahaya matahari hangat.

Gadis itu menaikkan sebelah alis. Sejak kapan dia kembali ke Avalon? Bukankah tadi dia tertidur di tempat Galahad?

Ia memalingkan pandangan ke segala arah, mencoba mencari petunjuk. Tapi saat ia sedang mencari petunjuk, suara deburan ombak mengalihkan perhatiannya.

Suara itu terdengar sangat dekat, maka dari itu Rei tanpa pikir panjang melangkahkan kakinya menuju asal suara.

Begitu ia sampai, matanya menangkap sebuah perahu kecil terhenti di pesisir. Dari kejauhan ia dapat melihat bahwa didalam perahu itu ada berbagai jenis bunga berwarna putih hingga merah muda.

Rei mendekati perahu itu pelan, mengintip isinya.

"Arthur?!"

Pekikan Rei sukses membuat sosok yang tadinya tengah tertidur dengan lelap itu membuka mata pelan-pelan. "Rei? Dimana ini?"

"Ng, Avalon mungkin? Aku juga kurang yakin." jawab Rei sambil membantu Arthur duduk.

"Akhirnya kalian bangun juga!"

Sebuah suara yang berasal dari belakang mereka sontak membuat Rei dan Arthur menoleh. Mereka melihat sosok anak kecil berjalan kearah mereka dengan senyuman tipis diwajahnya.

"Halo~"

"Apa yang sedang kau lakukan disini Galahad?" tanya Rei. Gadis itu menatap Galahad dengan wajah antara bingung dan tidak percaya.

Arthur menatap Rei dan anak yang dipanggil Galahad itu dengan heran. "Siapa dia?"

"Maafkan ketidaksopananku. Aku ini--um, bagaimana mengatakannya ya?" ia menggaruk kepalanya pelan.

"Aku ini Cawan Suci. Lebih tepatnya perantara yang dibuat Cawan Suci untuk mengobrol dengan kalian. Sosok yang sekarang kalian lihat ini adalah orang yang menjadi wadahku." jelasnya.

"Lalu tempat ini?"

"Oh, walau terlihat seperti Avalon, kalian ini berada di dalam Cawan Suci, lihat." Ia menunjuk kearah langit. Rei dan Arthur menengadah, melihat sebuah cincin cahaya dilangit.

"Anak itu, maksudku tubuh yang dipakai Cawan itu tubuh siapa?" Arthur bertanya.

"Dia Galahad. Putra Elaine dari Corbenic dan--"

Ketika menjelaskan sosok wadah Cawan Suci itu, Rei sempat ragu untuk melanjutkan kata-kata namun Arthur mengangguk, mengisyaratkan Rei untuk melanjutkan kalimat.

"Dan Sir Lancelot."

Rei dapat melihat mata Arthur sedikit melebar untuk beberapa saat sebelum kembali seperti semula. "Begitu ya."

"Jadi, siapa diantara kalian yang mau keinginannya dikabulkan?" si Cawan Suci bertanya.

Rei melirik pada Arthur, wajah sang raja terlihat sangat muram seakan ia sudah lupa dengan permintaan yang terpikirkan olehnya beberapa waktu yang lalu.

"Arthur? Kau baik-baik saja?"

"Huh? O-oh, maafkan aku. Aku hanya sedikit... bimbang."

"Kenapa?"

"Karena berbagai hal yang terjadi tadi, aku merasa ragu untuk mengatakan permintaanku. Jadi, entahlah." Arthur tersenyum pahit. "Rasanya mengesalkan ketika kau sudah berada didepan sesuatu yang kau cari dan kau tidak tahu harus berbuat apa lagi."

Rei menggumamkan "oh". Ia melirik Galahad didepannya yang wajahnya masih berhias senyum.

"Siapa yang mau mengatakan permintaannya?"

Tidak ada pilihan lain. Itulah pikir Rei. Maka gadis itu melangkahkan kakinya beberapa langkah mendekati Galahad. "Aku."

Arthur berkedip dan Galahad tersenyum lebih lebar. "Baiklah, apa yang kau inginkan?"

Gadis itu menghirup napas panjang lalu menatap Galahad dengan tatapan mantap, ia membuka mulutnya.

"Aku ingin menuliskan ulang takdir Arthur agar hidup Arthur bahagia."

***

"Tu--Rei?"

Arthur menghampiri Rei, meraih kedua bahunya dan memutar tubuh gadis itu membuatnya berhadapan dengan dirinya.

"Kau tidak salah bilang bukan?" Arthur bertanya masih dengan ekspresi tidak percaya.

Rei mengangguk.

"Aku serius, Arthur."

Galahad memegangi dagunya. "Hm, aku bisa mengabulkannya. Tapi kau tahu? Permintaanmu itu perlu bayaran yang cukup besar."

"Apa itu?" Rei bertanya.

"Begini, pada dasarnya takdir dimana Arthur dapat bahagia adalah dimana Arthur tidak pernah menjadi Raja. Dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan sihir tidak pernah ada di hidupnya."

Rei sedikit membelalak. "Tunggu, kalau tidak ada sihir, maka Excalibur, Avalon, Cawan Suci, dan aku akan--"

Galahad mengangguk. "Kalian akan menghilang. Apakah kau masih yakin akan permintaanmu itu?"

Rei menundukkan kepalanya, kembali memikirkan permintaan yang ia lontarkan. Di satu sisi dia ingin agar hidup Arthur jauh lebih bahagia dibandingkan saat ini, tapi satu sisi yang lain dia juga tidak ingin menghilang.

"Pertimbangkan dulu. Aku tidak bertanggung jawab bila kau nanti punya penyesalan."

Rei menelan ludahnya dan sekali lagi kembali mengambil napas dalam lalu mengangguk yakin.

"Aku tidak keberatan."

Galahad membuang napas. Ia mengulurkan tangannya pada Rei. "Pegang tanganku. Dengan begitu kita akan pergi ke sisi lain, meninggalkan dunia ini, dan permintaanmu akan terkabul."

Tangan Rei terulur. Ia hendak menyambut tangan Galahad ketika tiba-tiba pergelangan tangannya dipegang oleh Arthur.

"Ada apa?"

Arthur menatap Galahad sambil mengeratkan pegangan tangannya pada Rei, perlahan menurunkan tangan gadis itu.

"Kau tidak menyukai permintaan itukah?" Galahad bertanya.

Arthur menggeleng. "Tidak. Aku bahkan merasa terhormat ketika mendengarnya."

"Lalu kenapa kau tidak melepaskan tangannya?" Galahad bertanya.

Arthur menatap Rei yang memandangnya dengan penuh tanya. Arthur tersenyum padanya.

"Jika memang aku akan bahagia jika tidak menjadi raja, maka aku akan sangat bahagia bila aku dapat hidup dengannya," Arthur menjawab sambil menarik Rei lebih dekat padanya membuat Rei membelalak.

Galahad mendengus geli. "Ya ampun, ternyata perkataanmu memang benar ya," kata Galahad.

"Oh tentu! Lagipula aku memang sudah setengahnya menjadi wadah Avalon bukan?" suara yang akrab ditelinga Arthur dan Rei muncul dari arah belakang.

Kedua pasang mata itu melebar kala menangkap sosok berjubah putih itu berjalan mendekat dengan sebuah senyuman menghias wajahnya.

"Merlin?! Kenapa kau bisa ada di--" suara Rei meninggi namun belum beres ia bertanya, Merlin sudah membungkam mulutnya.

"Itu juga sebenarnya pertanyaanku. Kenapa penyihir licik sepertimu bisa sampai disini?" Galahad menimpali.

Bukannya menjawab, penyihir itu tersenyum lembut.

"Biarkan aku yang menggantikannya pergi ke sisi lain. Aku sudah banyak melihat hal-hal indah. Sekarang giliran gadis ini yang melihatnya." Merlin berjalan menuju sisi Galahad.

"Gantikan posisiku untuk menjaga Arthur ya, Rei."

Rei menggigit bibirnya. Ah, matanya perlahan semakin panas. Gadis itu menundukkan kepalanya dan isakan samar pun mulai terdengar.

Arthur mengusap bahu Rei, menenangkan si gadis yang sibuk mengusap air mata yang terus mengalir.

"Aku akan berusaha. Meski aku tidak akan bisa memakai sihir lagi!" Rei berucap disela isakan. Ia mengangkat kepalanya cepat dan menatap Merlin dengan wajah yang memerah.

Merlin tersenyum lalu berpaling pada Arthur. "Aku titip Rei juga ya, Arthur."

"Iya, aku akan menjaganya dengan jiwa dan ragaku. Bukan sebagai Raja, tapi sebagai Kesatria dan kekasihnya," Arthur balas tersenyum dengan mata yang semakin sembab tiap ia mengeluarkan kata.

"Kalau begitu, sudah saatnya ya." Galahad menjetikkan jari, membuat tubuh Arthur dan Rei diselimuti oleh cahaya hangat.

"Oh iya, sebelum kita berpisah, anak ini punya pesan untukmu." Galahad menunjuk Rei.

"Apa itu?" tanya Rei.

"Terimakasih, permintaanmu itu membuat Ibu tidak akan menderita lagi." anak itu tersenyum sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Di dunia yang baru itu, suatu saat mari kita bertemu lagi! Kak Rei!"

Setelah itu, Galahad meraih tangan Merlin. Keduanya berbalik badan, meninggalkan Arthur dan Rei yang melihat sosok mereka menghilang dari pandangan.

Arthur menggenggam tangan Rei yang langsung disambut oleh gadis itu. "Ayo pulang, Rei."

"Ya. Mari pulang. Bisa-bisa Kak Kay marah," Rei menjawab dengan senyuman lebar.

Arthur menarik Rei kedalam sebuah pelukan. "Terimakasih. Aku benar-benar berterimakasih," bisiknya pelan sambil menangkup wajah Rei yang tengah mati-matian menahan tangisnya agar tidak kembali pecah.

Arthur merapikan rambut Rei yang berantakan disekitar wajahnya, lalu ia mencium kening Rei pelan sebelum kembali memeluknya dalam pelukan hangat.

"Aku mencintaimu, Rei."

Kata-kata itulah yang terakhir kali diucapkan Arthur dan yang terakhir kali Rei dengar sebelum tubuh mereka berubah menjadi cahaya.

Cahaya yang mengantarkan jiwa mereka pada dunia yang mereka impikan.

"Aku juga mencintaimu, Arthur."

#iswearthisendingismuchbetterinmybrain

VOID OF AVALON RESMI TAMAT!1!1

eh ga ding, masih ada epilog yang menanti :").

Gimana ending-nya? Kurang memuaskan si kata author sendiri. Mungkin karena skill nulis yang masih abal dan kosakata yang terbatas jadi endingnya model begini ( ;∀;)

Selain itu banyak juga character yang under developt. Huee maapkeun :")

Makasih buat yang udah baca dari awal sampai akhir! Sama yang sudah menyempatkan diri untuk vote dan comment juga makasih udah jadi motivasi tiap nulis chapter baru!!

ありがとうございます!

♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top