Chapter 19
***
Dua bulan berlalu semenjak Arthur berhasil mengusir para pemberontak. Perubahan yang terjadi hingga saat ini belum terlalu banyak dan tergolong lambat, namun hal itu tidak menjadi alasan untuk menyerah bagi Camelot.
Dari atas salah satu menara di istana, sang raja melihat keadaan diluar istana. Sebuah senyum simpul muncul di wajah Arthur begitu ia melihat hiruk-pikuk manusia tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Ada yang berdagang, mengangkat barang, atau ada yang sekedar berjalan-jalan menyusuri kota.
"Tumben sekali kau ada disini, Arthur." Merlin yang baru saja datang langsung berdiri di samping Arthur. Penyihir itu mengikuti arah pandang Arthur sebelum kembali berucap, "Kuharap kita bisa segera mengembalikan persediaan makanan sebelum musim dingin tiba."
Merlin benar. Saat ini udara sudah mulai dingin, dedaunan pun sudah ada yang berubah warna menjadi oranye dan gugur. Musim dingin tinggal beberapa minggu lagi.
"Kau benar. Kuharap tahun depan hal seperti ini tidak akan terjadi lagi."
Setelah mengatakan hal tersebut, Arthur yang hendak meninggalkan tempat tersebut dicuri perhatiannya oleh seekor burung berwarna putih bersih yang terbang menghampirinya dan hinggap di sisi tembok pembatas menara.
Burung itu melihatnya dari kaki lalu terus naik. Namun begitu ia akan melihat wajah Arthur, burung itu memalingkan wajahnya lalu kembali terbang meninggalkan dua orang tersebut.
"Apa itu? Aneh sekali. Sekarang kau mau kemana? Rajaku?" tanya Merlin.
"Aku akan ke tempat latihan. Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali aku berlatih bersama yang lainnya." Arthur menjawab.
Pria itu berjalan meninggalkan tempat berdirinya semula, turun menuju tempat latihan diikuti Merlin yang mengekor dibelakangnya.
***
Dari sisi tempat latihan, Merlin menyaksikan dengan tatapan malas dan sambil bertopang dagu.
Melihat para kesatria itu mengayunkan pedang dengan sekuat tenaga walau hanya sekedar latihan cukup membuat Merlin ngeri. Ia bisa membayangkan dan merasakan rasa sakit di bahunya ketika ia melakukan hal yang sama.
Meski benci mengakuinya, untuk hal-hal seperti ini Merlin sadar kalau dirinya memang sudah tua.
Perhatiannya kemudian terfokus pada Arthur. Sang raja sedang berlatih bersama Lancelot. Sekali lagi, walau hanya dalam latihan saja, keduanya terlihat tidak menahan diri walau sedikitpun.
Pedang yang mereka ayunkan dengan lihai menimbulkan suara cukup keras ketika saling beradu, tidak ada celah sama sekali pada satu sama lain.
"Yang Mulia!"
Seketika Merlin bangkit dari posisinya dengan pandangan siaga begitu suara berat milik Lancelot mencapai indera pendengarannya.
Suara Lancelot yang terdengar khawatir mengundang rekan-rekannya beserta Merlin untuk berjalan mendekat.
"Maafkan saya Yang Mulia! Karena saya tangan anda..."
Arthur menggelengkan kepala. "Tidak. Luka ini tidak seberapa, Sir Lancelot." kata Arthur.
--bohong.
Meski Arthur bilang begitu, dilihat darimana pun luka yang ada ditangan kirinya itu pasti sakit.
Namun yang menyebabkannya seperti ini merupakan murni kecerobohan dan ketidaksengajaan.
Ia kehilangan keseimbangan saat menahan serangan Lancelot sebelum serangan selanjutnya datang terlalu cepat untuknya kembali pada kuda-kudanya.
Ketika Lancelot bangkit dan menarik Merlin agar mendekat lebih cepat, Arthur mencuri pandang pada tangan kirinya. Darah mengalir dari dekat pergelangan tangannya, nyaris mengenai tempat dimana urat nadinya berada.
"Perlihatkan tangan anda." Merlin berjongkok didepan Arthur, meraih tangan Sang Raja perlahan agar rasa nyerinya tidak semakin parah.
"Merlin? Ada apa?"
Arthur bertanya begitu ia sadar bahwa penyihir didepannya ini tidak lekas merapal mantera untuk menyembuhkan lukanya. Yang ia lakukan adalah menatap luka itu dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.
Arthur juga bersumpah kalau ia melihat mata Merlin melebar dan bergetar sepersekian detik sebelum kesadaran pria itu kembali ke dunia nyata.
"M-maafkan saya, Raja."
--fokus Merlin! Fokus!
Arthur tidak menjawab. Ia hanya melihat lukanya perlahan menutup ketika disinari oleh cahaya dari telapak tangan Merlin.
Ia tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Merlin, namun ia tidak mengatakannya. Tidak didepan wajah-wajah khawatir kesatria-nya ini.
--"Kenapa lukanya tidak langsung tertutup?"
Arthur yakin itulah yang ada di dalam pikiran Merlin saat ini.
***
Tanpa disadari, Camelot sudah memasuki musim dingin. Hasil panen dan bahan makanan dari musim sebelumnya nyaris saja tidak cukup untuk mereka hingga bisa kembali bercocok tanam saat musim semi datang.
Tapi setidaknya, semua orang di Camelot dapat merayakan Natal dan tahun baru dengan hati gembira.
"Oh, saljunya turun."
Merlin berbisik pada dirinya sendiri ketika ia melihat jutaan titik putih turun perlahan dari langit, membuat pemandangan di luar jendela istana didominasi warna putih sejauh mata memandang.
Hari ini, saat salju turun di Camelot, Arthur memanggilnya. Sang Raja bilang ia mempunyai suatu hal penting yang ingin ia bicarakan secara empat mata.
"Maaf memanggilmu saat cuaca seperti ini."
Arthur sedang berdiri didepan jendela besar yang ada di ruangannya ketika Merlin masuk. Berbeda dari biasanya, Sang Raja tidak memakai setelan zirahnya. Hanya baju berlengan panjang berwarna biru tua dan celana panjang yang sewarna dengan bajunya.
"Jadi, soal 'hal penting' itu?" Merlin bertanya tanpa basa-basi.
"Sudah kuduga kau akan langsung ke intinya. Kalau soal itu..."
Arthur menggantungkan ucapannya, Merlin menaikkan sebelah alisnya. Tapi baru saja membuka mulutnya, Arthur merebut pedang kecil yang tersembunyi di tongkatnya dengan cepat lalu membuat jarak yang cukup besar diantaranya dan Merlin.
Sangat cepat hingga reaksi yang Merlin berikan hanya sekedar melebarkan kedua matanya.
"Ar--"
Perkataannya dipotong oleh tindakan Arthur yang cukup tidak biasa dimatanya.
Arthur menusuk telapak tangan kirinya dengan pedang Merlin.
Ia menusuknya dalam sekali hingga ujung pedang tersebut keluar sedikit dari punggung tangannya.
"Ini ada kaitannya dengan apa yang ingin kubicarakan denganmu. Jadi tahan mantera penyembuhmu hingga aku memintanya, Merlin." kata Arthur sambil menarik pedang itu dari telapak tangannya, menahan Merlin yang hendak melangkah lebih dekat dan melakukan hal yang Arthur sebutkan.
Arthur mengangkat tangan kirinya. Memperlihatkan garis berwarna merah yang pelan-pelan turun hingga menghilang dibalik lengan baju Arthur.
Menuruti apa yang diperintahkan Arthur, dengan perasaan yang sedikit tidak enak, Merlin melihat tangan Arthur dengan kedua mata dengan sorot tajam.
Tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari kedua orang itu. Seolah keduanya tengah menahan napas.
Merlin dapat merasakan perutnya agak sakit. Entah karena udara yang memang dingin dan suasana sunyi atau karena penyihir satu ini gugup.
Ketika satu menit berlalu, Merlin sukses kembali dibuat kaget. Luka yang ada ditangan Arthur perlahan menutup. Walau tidak menutup sempurna, tapi luka itu menjadi lebih kecil.
"Itu--"
Seolah mengerti maksud Merlin, Arthur mengangguk. "Seperti yang kau lihat. Avalon masih ada dalam tubuhku, walau kecepatannya menurun."
"Terakhir kali aku mencoba melakukan ini tiga hari yang lalu. Ukuran lukanya sama, tapi saat itu lukaku tertutup setengahnya setelah tiga puluh detik." Arthur menambahkan.
"Tunggu, artinya kau menusuk tanganmu sendiri begitu?"
Arthur mengangguk. Merlin memijat keningnya. Ada banyak hal yang ingin ia katakan pada Arthur ketika mendengar pengakuannya, namun ia urungkan karena waktunya yang tidak pas.
"Sepertinya karena sesuatu, kecepatan penyembuhan Avalon menurun secara bertahap." ucap Merlin. "Tapi sesuatu itu apa?"
Keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
"Ini cuma kemungkinan. Tapi, aku merasakan ada hal aneh dengan burung putih yang kita lihat waktu itu." Arthur berkata sambil menatap Merlin.
"Burung putih, ya? Tapi, bukannya itu terlalu acak Ra--tunggu. Apa burung putih itu melihatmu? Ingatanku agak samar."
"Dia melihat badanku tapi saat ia akan melihat wajahku, ia langsung memalingkan kepalanya dengan cepat lalu kembali terbang." jelas Arthur.
--ah, sial.
"Ada kemungkinan itu caladrius."
"Caladrius? Maksudmu burung yang dijadikan pertanda bagi para raja itu?"
Merlin mengangguk. "Itu baru kemungkinannya. Aku tidak pernah dengar kalau caladrius mencuri mana seseorang. Bisa jadi burung itu familiar seseorang."
"Begitu, ya." Arthur membalikkan badannya dan melihat keluar jendela. Diantara salju putih itu, samar-samar Arthur dapat melihat titik-titik cahaya dari rumah-rumah.
"Mari kita diskusikan ini lain waktu. Saat ini lebih baik kita fokus pada perayaan di akhir tahun ini. Kau juga pernah bilang bukan?--" Arthur menatap Merlin lalu tersenyum.
"--saat-saat seperti ini merupakan waktu yang dilarang untuk seorang Raja memasang ekspresi muram."
***
Tahun telah berganti. Camelot masih dalam keadaan damai walau masih menghadapi masalah yang sama.
Pada musim panas, seorang pemuda bergabung menjadi kesatria Arthur. Mordred namanya. Ia merupakan pemuda yang cukup kasar namun ia tetap menjalankan tugasnya sebagai kesatria.
Tapi sesuai dengan apa yang pernah Merlin katakan, seiring waktu berlalu sihir penyembuh Avalon semakin membutuhkan waktu yang lama untuk bekerja sepenuhnya.
Keduanya sedang mencari cara terbaik untuk mengatasi hal itu secepatnya. Tapi untuk sekarang, Merlin ataupun Arthur setidaknya dapat menghirup napas lega berhubung keadaan Camelot yang masih damai.
Satu tahun. Tiga tahun. Lima tahun. Tanpa sadar, enam tahun dilewati begitu saja tanpa adanya perubahan pada keadaan maupun masalah yang tengah dihadapi oleh Camelot.
Sepanjang tahun, Arthur dan Merlin selalu saling bertukar pikiran untuk mengatasi masalah ini. Tak jarang ia juga meminta saran dan bantuan dari kerajaan tetangga seperti Northumberland.
Namun nihil. Sampai saat ini belum ada solusi yang tepat. Merlin bilang ia mempunyai dua cara lagi. Tapi ia bilang dua cara itu adalah jalan terakhir bila Camelot masih belum menemukan titik terangnya.
"Anda baik-baik saja? Yang Mulia? Wajah anda terlihat pucat."
Pagi itu, saat musim semi dimana bunga-bunga bermekaran, Arthur yang baru saja bangun dari tidurnya langsung ditanyai oleh Guinevere.
Arthur bangkit dari posisinya, lalu duduk dipinggir ranjang dengan satu tangan memegangi kepalanya. "Aku baik-baik saja."
Tapi baru saja Arthur berdiri dan berjalan beberapa langkah, tubuhnya oleng dan hampir saja jatuh bila Guinevere tidak sempat menahannya.
"Istirahatlah Yang Mulia. Saya akan mencari Merlin dan menyuruh pelayan untuk membawakan makanan kemari." setelah berkata seperti itu dan membaringkan Arthur, Guinevere lekas berjalan meninggalkan kamar.
Dengan salah satu lengan menutupi kedua matanya, Arthur menghembuskan napas kasar. "Disaat-saat seperti ini--"
Ia mengangkat sedikit lengannya, menatap langit-langit kamar dengan sorot mata tajam. Ini kali pertama ia jatuh sakit setelah selama ini menjadi seorang Raja. Mungkin ia memang terlalu memaksakan dirinya akhir-akhir ini. Andai saja Kay ada disini mungkin dia akan berkata seperti ini,
--"Memangnya ada Raja yang mati gara-gara kelelahan saat bekerja?"
Bicara tentang Kay, terakhir kali Arthur melihatnya adalah saat berdiskusi dengan Kerajaan Northumberland setahun yang lalu. Ia datang sebagai pendamping Raja Canor dan sebagai pangeran Northumberland.
Kay tidak banyak berubah. Tapi setidaknya wajah putra Ector itu terlihat sedikit lebih segar ketimbang dulu. Mungkin disana ia tidak terlalu mengalami stres, banyak yang bilang juga rambut Kay yang berubah menjadi agak cerah itupun gegara stres.
Dan satu orang lagi--
Suara kepakan sayap yang berasal dari luar jendela berhasil membuat Arthur menoleh. Ia mendapati seekor burung putih yang sama dengan beberapa tahun yang lalu tengah bertengger di jendela.
Dan untuk kedua kalinya, hewan itu memalingkan kepala lalu kembali terbang.
Arthur menelan ludahnya dengan susah payah. Tiba-tiba, matanya terasa semakin berat. Sangat berat hingga matanya kembali tertutup sempurna. Namun entah itu hanya halusinasinya atau tidak, Arthur mendengar sebuah bisikan pemuda tepat dibelakang punggungnya.
"Maafkan aku, Ayahanda."
***
Begitu ia membuka matanya, hal yang Rei lihat adalah ruangan hampa berwarna putih.
Sebelah alisnya terangkat, tapi sebelum ia sempat mempertanyakan tempat ini, sebuah suara sampai di telinganya.
"Rei! Syukurlah kau tidur!"
Ia menoleh. Melihat sosok Merlin yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Keningnya semakin berkerut ketika mendengar kata-katanya.
--bicara apa si incubus biadab ini?
"Ada perlu apa? Tumben sekali kau mengunjungiku."
"Diam kau. Dengar ya, ini satu-satunya cara untuk yang bisa kulakukan untuk mengobrol denganmu saat ini."
Rei terkekeh. Merlin benar, mengunjunginya lewat mimpi memang satu-satunya cara yang bisa ia lakukan setelah enam tahun yang lalu dirinya dibuat tidak bisa memasuki Avalon oleh Vivianne.
Jujur, meski menggelikan, Rei juga merasa kasihan pada sang ayah.
"Jadi, ada perlu apa?" Rei mengulangi pertanyaannya.
"Huh? Oh iya, hampir saja aku lupa. Minggu depan--ah tidak, besok! Pokoknya secepatnya, keluar dari pulau itu dan pergilah kemari!"
"Tu--Bukankah itu terlalu mendadak?! Apalagi kau menyuruhku keluar Avalon tiba-tiba. Ada apa?!" kata Rei. Merlin dapat mendengar suara gadis itu naik.
"Lengkapnya akan kujelaskan kalau kau sudah di Camelot. Seka--"
"Lagipula bagaimana caranya aku bilang pada Dewi Danau?! Kau tahu sendiri kalau dia membenci kita berdua!" Rei menyela.
Merlin mengacak-ngacak rambutnya. "Ck, aku lupa soal dirinya."
"Sudahlah! Alasannya pikirkan sendiri saja! Yang jelas besok kau harus sudah berangkat ke Camelot."
"Apa-apaan it--"
Kata-katanya terpotong ketika Merlin berjalan mendekatinya lalu memegang kedua bahunya.
Kedua pasang mata itu saling bertatapan. Merlin menatap Rei dengan sorot mata serius bercampur dengan sedih, membuat perasaan buruk mulai menghampirinya.
"Arthur dalam bahaya, Rei."
Yosh! Chap 19 ternyata lebih panjang daripada yang kukira.
Ngomong-ngomong, tolong doakan juga tahun depan kalau tidak ada halangan, aku mau namatin ff ini :))
Semoga tahun depan bisa lebih produktif~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top