Chapter 17.3

Z I N N I A

***

Sejak kecil, Guinevere sudah dididik oleh Raja Leodegrance untuk menjadi seorang ratu yang layak kelak di masa depan.

Kegiatan fisik, cara berbicara, dan keahlian lainnya sudah Guinevere jalani sejak kecil dan setiap hari dengan jadwal teratur dan tergolong ketat.

Semua hal itu ia lakukan untuk memenuhi ekspektasi sang ayah. Ekspektasi yang muncul karena adanya sebuah ramalan dari penyihir kerajaan tetangga.

"--suatu hari nanti, di Britania akan lahir seorang anak yang merupakan jelmaan dari Sang Naga yang Agung.

Anak itu kelak akan menjadi raja. Ia akan mengumpulkan kesatria-kesatria terhormat dibawah pimpinannya, mempersatukan dan membebaskan tanah Britania dari kesengsaraan.

Dan selain darah naga, didalam tubuh itu mengalir darah dari seorang Uther Pendragon--"

Ramalan itu diberitahukan oleh Merlin. Penyihir itu tidak memberitahu siapa nama keturunan Uther secara spesifik.

Bahkan Merlin bilang ia juga tidak tahu pasti apakah anak itu laki-laki atau perempuan.

--ia menggunakan istilah 'raja' agar lebih mudah katanya...

Sewaktu itu anak Uther yang diketahui hanya Madoc dan Arthur. Keduanya memiliki Ibu yang berbeda. Belum lagi bila putri angkatnya--Morgana--juga dihitung.

Maka dari itu, atas perintah Uther, Merlin memutuskan untuk menentukan raja selanjutnya dengan sayembara.

Penyihir itu menancapkan sebuah pedang suci di batu, memberinya kekuatan sihir.

"--siapapun yang bisa menarik pedang ini merupakan raja yang akan memerintah seluruh Britania."

Itulah yang Merlin katakan.

Meski Merlin bilang bahwa yang akan menjadi raja adalah keturunan Uther, banyak kesatria lain yang mengikuti sayembara itu. Bahkan Kay juga sempat mencobanya.

Akhirnya, pedang itu berhasil di cabut oleh Arthur, putra Uther dari Igraine setelah Madoc gagal mencabut pedang itu sementara Morgana bahkan belum sempat mencobanya.

Setelah itu, Uther memutuskan untuk menjodohkan Arthur dengan anak Leodegrance yang tak lain adalah Guinevere sebagai balas budi karena telah membantunya saat perang.

Tentu saja Raja Camelgard itu langsung menerimanya. Hingga hasilnya, sang raja mendidik putrinya itu agar ia bisa berada atau sejajar dengan Arthur.

Suatu hari, Merlin pernah berkunjung ke Camelgard. Ia bilang ingin melihat calon ratu dan menyampaikan sebuah pesan padanya yang berbunyi :

"Tugasmu disamping Arthur hanya sebagai seorang ratu, bukan seorang istri."

Guinevere kecil yang belum paham apa maksud perkataan Merlin hanya bisa mengangguk.

Saat ia menjadi seorang ratu, Guinevere perlahan mengerti apa maksud perkataan Merlin sewaktu dirinya kecil itu.

Guinevere mengakui bahwa ramalan Arthur menjadi raja yang akan memerintah seluruh Britania memanglah tidak salah jika dilihat kemampuannya.

Ia baik padanya, kesatrianya, dan rakyatnya. Ia selalu memutuskan sesuatu dengan kepala dingin dan banyak kebaikannya yang lain hingga tak heran raja dari kerajaan tetangga pun menyebutnya sebagai seorang 'Raja yang Ideal'.

Namun, dibalik seluruh kelebihan itu, Guinevere merasa ada satu hal yang kurang dari diri Arthur.

Sesuatu yang--mungkin--terbilang kecil dibandingkan segala hal yang Arthur miliki saat ini namun entah mengapa begitu penting.

Dan sesuatu itu adalah--

***

"Anda terlihat sangat lelah, saya sarankan untuk istirahat dikamar anda saja."

Mata Guinevere mengerjap. Ia membalikkan badan, mendapati kesatria bersurai keunguan menatapnya dengan khawatir.

Guinevere tersenyum. "Terimakasih atas saranmu, Sir Lancelot. Tapi aku ingin berada disini sedikit lebih lama lagi. "

Wanita itu kemudian kembali menatap rerumputan hijau yang ada dihadapannya.

Akhir-akhir ini entah kenapa Guinevere sering sekali melamun di taman. Dan setiap ia melamun disana pasti ada kesatria yang membuyarkan lamunannya dengan pertanyaan yang sama.

"Apakah terjadi sesuatu? Apakah anda baik-baik saja?"

--dan sejenisnya.

"Sebaiknya anda jangan memaksakan diri. Akhir-akhir ini saya sering melihat anda melamun dan wajah anda juga terlihat agak pucat." Lancelot kembali berucap.

Ah, Guinevere ingin sekali membantah perkataan Lancelot. Namun apa daya segala hal yang dikatakan olehnya itu benar.

Berada di posisi Arthur ternyata lebih berat dibanding apa yang ia bayangkan walau masalah sudah cukup reda daripada sebelum Arthur berangkat.

Wajah Guinevere perlahan menjadi masam.

Tinggal satu minggu atau bahkan hitungan hari, rombongan Arthur akan kembali.

Tidak, Guinevere bukannya tidak senang mereka kembali--siapa juga yang berpikir begitu di Camelot--hanya saja ia merasakan ada sesuatu yang mengganggunya

--Malu.

Sebagai seorang ratu, ia merasa malu. Yang ia lakukan selama Arthur pergi tak lebih dari sekedar melaporkan keadaan pada sang raja atau meminta saran dari Merlin. Segala hal yang ia pelajari mendadak menguap dari kepalanya, hilang bersatu dengan udara disekitar.

Mungkin inilah maksud Merlin sebagai seorang ratu. Ia tak lebih dari seorang figuran yang membantunya dibelakang layar--oh, bukan.

Sesuai dengan ramalan itu, Arthur merupakan raja yang ideal, raja yang sempurna. Segala masalah dapat ia atasi seorang diri dengan cara paling baik. Jika seperti itu--

--bukankah artinya ia tidak membutuhkan ratu?

"Kau masih disini? Sir Lancelot?" Guinevere bertanya.

"Saya masih disini, Yang Mulia."

"Baguslah, kalau begitu bisakah kau menemaniku disini sebentar lagi?"

Hening beberapa saat, Lancelot tidak langsung memberi jawaban. Guinevere mendengus pelan. "Tidak bisa, ya? Tidak apa, kau pasti ada urusan lain, bukan?"

Sebenarnya Guinevere sudah menduga akan seperti ini. Memang beberapa bulan terakhir ini Lancelot terlihat jelas sedang menghindarinya tanpa ia tahu alasannya, ia mulai berperilaku seperti biasa lagi seminggu terakhir ini.

"B-bukan begitu, Yang Mulia." Pria itu menyanggah. "Dengan senang hati saya akan menemani anda."

"Terimakasih."

***

"Apakah menurutmu, aku ini tidak pantas menjadi seorang ratu?"

Perkataan Guinevere itu berhasil membuat Lancelot melotot. "Mohon maaf, Yang Mulia. Tapi bisakah anda mengulangi ucapan anda?"

"Apakah aku ini tidak pantas jadi seorang ratu?" Guinevere mengulangi kata-katanya tanpa sedikitpun keraguan.

Lidah Lancelot mendadak kelu. Ia tidak tahu harus menjawab apa, satu sisi ia ingin membantah perkataan Guinevere namun di lain sisi ia juga takut jikalau ia membantah, ia malah akan menyakiti perasaannya.

"Arthur--Raja Arthur merupakan raja yang hebat bukan? Saat aku menikah dengannya aku merasa sangat terhormat.

Tentu saja aku tahu bahwa pernikahan itu hanya sekedar upacara untuk menjadikanku seorang ratu yang akan mendampinginya, bukan sebagai istrinya."

--ah, sakit sekali rasanya mengatakan hal itu.

Lancelot terdiam, setia mendengar seluruh kata-kata yang keluar dari mulut Guinevere tanpa menghasilkan suara sedikitpun.

"Hei, Sir Lancelot."

"Ada apa, Yang Mulia?"

"Aku selalu berpikir jika Camelot pada dasarnya tidak membutuhkan seorang ratu. Keberadaanku disini mungkin hanya sebuah bentuk formalitas. Jadi--"

Guinevere menjeda perkataannya. Ia kemudian menatap netra ungu Lancelot dalam-dalam. Membuat sang kesatria cukup salah tingkat dibuatnya.

"--cepat atau lambat aku akan dibuang oleh Raja."

Mata Lancelot melotot. "T-tidak mungkin Raja akan membuang anda Ratuku. Raja selalu membuat keputusan terbaik--"

"Jika keputusan terbaiknya adalah membuangku, bagaimana?" Guinevere membalas dingin.

"Cepat atau lambat, jika Raja sudah menganggapku tidak berguna, ia akan membuangku.

Jika saat itu tiba, apa yang harus kukatakan pada ayah?" Guinevere menunduk.

Ia takut. Sangat takut. Wajah kecewa ayah dan rakyatnya baik di Camelot maupun Camelgard mulai menghantuinya.

Tidak membiarkan Guinevere larut dalam pikirannya lebih dalam lagi. Lancelot berlutut dihadapan sang ratu. Tangannya terulur meraih tangan sang ratu dengan lembut, menarik paksa wanita itu dari dalam khayalannya.

"Jika saat itu tiba, saya bersedia untuk berada disamping anda. Baik itu sebagai kesatria--"

Perlakuan Lancelot ini saja sudah membuat Guinevere kaget. Kesatria yang pernah melayani Leodegrance beberapa bulan sebelum menjadi kesatria Arthur itu kerasukan apa hingga berbuat seperti ini.

Meski begitu, kata-kata yang keluar dari mulut pria itu selanjutnya jauh membuatnya lebih kaget.

"--ataupun sebagai seorang pria."

***

Kedua mata Raja Pelles terbuka lebar, memelototi langit-langit kamarnya yang disinari cahaya temaram lilin di samping ranjangnya.

Wajahnya yang keriput itu dibasahi oleh keringat yang mengucur dari pelipisnya, membasahi baju yang ia pakai.

Ia bangkit, mengambil gelas berisi air yang berada didekat lilin dan menghabiskan air di gelas itu dalam sekali teguk.

"Elaine..."

Nama putri semata wayangnya itu keluar dari bibirnya yang bergetar ketakutan.

Ia bermimpi. Mimpi yang sangat buruk atau paling buruk yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya. Mimpi itu melibatkan putrinya dan cucunya yang masih dalam kandungan.

Ia menggelengkan kepalanya cepat, menghilangkan pikiran negatif yang datang karena mimpinya.

Ketika ia baru saja akan berdiri dari ranjangnya, indera pendengarannya menangkap suara gaduh dari luar kamarnya.

"Yang Mulia Raja! Yang Mulia Raja!"

--itu suara kesatria-nya.

"Ada apa? Dini hari begini kalian sudah berisik." Raja Pelles menggerutu. Ia berjalan tertatih-tatih menuju pintu kamarnya yang langsung disambut oleh wajah pucat pasi dua orang kesatria yang menunggu dibalik pintu.

"Ada apa?!" Ia mengulangi pertanyaannya.

"Y-yang Mulia, Pu-Putri Elaine..."

***

"Tolong, bawa aku dan anakku pergi dari sini."

Dari balik kain lusuh yang menjadi jubah dan tudungnya itu Bors menghela nafasnya. Ia cukup menyesali pilihannya untuk membantu Elaine kabur dari Corbenic tanpa memikirkan resiko yang akan ia terima jika saja ia ketahuan oleh Raja Pelles.

Sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju sebuah desa kecil yang letaknya cukup jauh dari Corbenic.

Desa itu merupakan tempatnya menghabiskan masa kecil dengan belajar ilmu berpedang dan bela diri. Sekarang, desa itu sudah jatuh dibawah kekuasaan Northumberland.

Bors melihat kebelakang, melihat gerobak pengangkut barang yang kudanya tarik. Disana ada sosok bertudung tak kalah lusuh, duduk beralaskan jerami.

Sekitar lima belas menit kemudian, mereka telah sampai di desa itu. Bors turun dari kudanya, ia menghampiri sosok yang berada di gerobak itu dan menggoyangkan tubuhnya perlahan.

"Kita sudah sampai, Tuan Putri."

Wanita itu menoleh lalu tersenyum lemah kearah si kesatria. Tatapannya kemudian beralih pada perutnya yang sudah sedikit lebih besar dibandingkan bulan yang lalu.

Tangannya terulur lalu mengelus perutnya itu dengan penuh kasih. Sebuah gumaman lemah keluar dari mulutnya yang agak pucat.

"Kita sampai, Galahad."

(Tbc)

Selamat datang bulan terakhir di tahun 2019!1!1!

Maafkan saya yang ga update selam bulan November 😂😂

Adakah diantara kalian para reader penyabar yang kangen ama Rei '-')?

Si bangsul belum muncul berapa chapter awkkwwk

Yup, chap 17 berakhir sampai sini dan ditutup dengan debutnya Sir Bors.
Chap depan s Rei dah muncul lagi kok~
.

じゃあ、またね~
.
Bonus:
(Hal yang dilakukan selama tidak update)

(Indah sekali 😭)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top