Chapter 15

***

"Akhirnya, aku menemukannya. Pedang milik Sigurd, putra Sigmund. Gram," Freya mengulangi perkataannya. Masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya.

Dilain pihak, Rei merasa waswas akan perubahan sikap Freya yang tadinya tenang menjadi sedikit--um...

--terlalu senang?

Rei bahkan tidak tahu cara menyebut emosi yang dirasakan dewi itu sekarang.

Terlebih ia bahkan terus menyebutkan nama-nama yang sama sekali belum pernah Rei dengar.

--Gram? Sigurd? Sigmund?

Siapa dan apa pemilik nama-nama tersebut?

"D-dewi, pedang Gram? Nama pedang itu Excalibur," koreksi Rei dengan suara agak gemetar.

Perkataan Rei sukses membuat Freya kembali ke dunia nyata. Dengan wajah agak bersemu, Freya berdeham. "M-maafkan aku."

"Kalau aku boleh tahu, pedang yang kau sebut Gram tadi, apa cerita di baliknya? Dan Sigurd beserta Sigmund juga..."

"Gram adalah pedang yang pernah dicabut dari dahan pohon Barnstrokkr oleh Sigmund. Pedang itu hancur saat beradu dengan Gungnir--tombak Odin. Pedang itu kemudian ditempa kembali oleh putra Sigmund, Sigurd. Yang kelak menggunakan pedang itu untuk membunuh Fafnir," jelasnya.

Rei mengangguk-angguk mengerti. Ia setidaknya bisa sedikit mengerti mengapa Freya menyebut Excalibur sebagai Gram, asal usul kedua pedang itu hampir mirip ternyata.

"Mendengarnya saja aku sudah bisa simpulkan kalau Gram itu memang benda berharga. Aku bisa mengerti mengapa kau bereaksi seperti itu."

Freya terdiam kemudian menggeleng. "Sepertinya kau sedikit salah paham. Gram memang barang berharga, aku tidak bisa menyangkalnya. Tapi--"

Matanya kembali menatap air yang sudah kembali seperti biasa lagi entah sejak kapan.

"Aku--tidak, kami mencarinya bukan untuk mengambil dan melindunginya."

"Huh? Lalu, kenapa kalian mencarinya?"

Freya mengalihkan pandangan, kini kedua matanya bertemu dengan milik Rei. Menatap manik biru gadis itu dalam-dalam tanpa memperhatikan betapa tidak nyamannya Rei ditatap seperti itu.

"Tujuanku mencari Gram adalah tak lain dan tak bukan--"

Jawaban Freya sukses membuat Rei melotot dan menganga, sementara orang yang mengatakannya hanya melempar senyuman dengan santai. Seolah hal yang dikatakannya itu bukanlah suatu hal yang penting.

"--untuk menghancurkannya."

Masih tersenyum, Freya menengadah. Menatap cahaya yang melayang-layang di udara.

***

"Me-menghancurkannya? Kenapa?"

"Gram itu, dulunya memang sebuah pedang suci. Namun, seperti yang aku bilang tadi, Gram hancur berkeping-keping saat beradu dengan Gungnir. Kejadian itu juga merenggut nyawa Sigmund.

Pria itu berkata pada istrinya--Hiordis yang sedang mengandung Sigurd, untuk menyimpan pecahan-pecahan Gram untuk suatu saat ia tempa kembali, dan--"

Freya menghentikan perkataannya, ia merasa sedikit ragu untuk melanjutkan ceritanya.

"Dan apa?"

"Dan..." Freya menarik nafas dalam-dalam.

"Dan ia berkata, Dengan pedang itu, aku ingin anak itu membalaskan dendamku. Dengan kata lain, dia mengutuk garis keturunannya beserta Gram itu sendiri."

"Apa?!" Rei spontan berteriak. "Bagaimana bisa? Maksudku, apakah dia tahu akan hal itu?"

"Tentu saja dia tahu. Mungkin saja dia termakan amarahnya sendiri sehingga ia berkata seperti itu. Terlebih lagi, pria itu memerintah anaknya untuk membalaskan dendam pada Odin sendiri."

"Lalu?"

"Setelah itu, Sigurd diangkat menjadi anak seorang kurcaci yang juga pandai besi bernama Regin. Kurcaci itu mengajari Sigurd banyak hal. Bahasa, olahraga, cara menempa pedang, bahkan rune juga ia ajarkan pada Sigurd.

Ketika pengetahuannya sudah dirasa cukup, Sigurd memutuskan untuk menempa kembali Gram. Pedang itu kemudian ia gunakan untuk membunuh Fafnir, seekor naga serakah yang sangat kuat. Saking kuatnya, bahkan pedang suci ataupun Gungnir sekalipun tak dapat membunuhnya, namun Gram dapat membunuhnya."

"Itu artinya--"

"Saat Sigurd memperbaiki Gram, pedang itu sudah tidak dapat disebut pedang suci lagi."

Mendengar hal itu, Rei menelan ludahnya. "Tapi, ceritanya belum selesai sampai disitu. Setelah Fafnir mati, harta dan jantung sang naga diambil oleh Sigurd dan dibawanya pada Regin.

Sigurd diperintahkan Regin untuk memakan jantung Fafnir, ketika setetes darah dari jantung itu mengenai lidahnya, ia mendapatkan sebuah kemampuan untuk mengerti bahasa burung. Burung itu berkata bahwa Regin mempunyai niatan untuk membunuh Sigurd agar seluruh harta Fafnir menjadi miliknya.

Mengetahuinya, Sigurd yang mencegah hal itu terjadi, memenggal kepala Regin dengan Gram."

Wajah Rei berubah pucat. Mendengar bahwa Sigurd memakan jantung naga saja sudah membuatnya mual, lalu orang itu membunuh ayah angkatnya sendiri karena kata-kata seekor burung.

--yang benar saja...

"Setelah itu, satu persatu nasib buruk menghampiri Sigurd. Ia diberikan ramuan agar jatuh cinta pada seorang gadis padahal ia sudah menikah dengan wanita yang ia cintai. Ingatannya bersama istri pertamanya pun menghilang, dan saat ingatan itu kembali, semuanya sudah terlambat."

"Apa yang terjadi?"

"Wanita itu lepas kendali, hingga akhirnya Sigurd mati ditangannya. Lucu sekali bukan? Sang pahlawan pembunuh naga, Sigurd, mati ditangan orang yang paling ia cintai. Istrinya sendiri, Brynhildr." Freya tersenyum pahit.

"Setelah itu, tak lama kemudian Ragnarok terjadi dan Gram menghilang begitu saja. Ternyata pedang itu melarikan diri kemari." Freya mendengus.

"Maka dari itu, alasanku berada disini adalah untuk mencari dan menghancurkan pedang itu dengan segera. Pedang itu hanya akan membawa nasib buruk pada siapapun yang memilikinya. Tak heran Gram mendapat sebutan pedang kehancuran dan kemenangan."

"Tapi, Arthur mendapatkan Excalibur dari Dewi Danau. Kau yakin kutukan itu masih ada?" tanya Rei.

Freya mengangguk yakin. "Meskipun raja Camelot itu mendapatkan pedang itu dari seorang dewi, aku yakin kutukan itu tidak akan hilang semudah itu.

Saat aku melihatnya, aku bisa merasakan hawa tidak mengenakan yang sama dari Gram didalam Excalibur. Dan juga, entah mengapa aku mempunyai firasat Arthur akan memiliki nasib yang sama seperti Sigurd."

Rei menoleh, menatap Freya dengan tatapan bertanya-tanya. "Bernasib sama seperti apa?"

"Aku benci mengatakannya, tapi aku punya firasat bahwa Arthur akan mati karena sesuatu yang ia cintai. Entah itu seseorang ataupun yang lainnya."

"Oh..." Rei menjawab lirih. Ia memeluk kakinya, menatap ke depan dengan tatapan kosong.

Freya menghembuskan nafas pelan, agak merasa bersalah karena menceritakan kisah penuh penderitaan pada gadis itu. "Jangan terlalu serius memikirkannya, yang tadi hanya menebak-nebak saj--"

"Jika aku menghancurkan Excalibur, apakah Arthur akan selamat?" Rei memotong kata-kata Freya. Gadis itu memasang wajah serius, membuat Freya sedikit tersentak.

"Aku tidak bisa memastikannya, namun kemungkinan besar, iya. Tapi, apa kau serius akan menghancurkan pedang itu?"

Rei mengangguk yakin. "Akan kulakukan bahkan kukorbankan apapun yang ku punya supaya Arthur selamat."

"Berbeda dengan Gram, Excalibur dikenal sebagai pedang suci di dunia ini, jika kau menghancurkannya, tidak hanya Arthur, seluruh dunia akan membencimu tahu. Dan lagipula, bagaimana cara dan rencanamu untuk menghancurkan pedang itu?!" Freya berkata dengan suara yang sedikit lebih tinggi.

"..."

Tidak ada jawaban keluar dari mulut Rei. Yang ada dia malah menggembungkan pipinya dengan wajah seperti seorang anak kecil yang hampir menangis.

"Belum terpikirkan, ya? Jangan terburu-buru untuk memutuskannya. Basuhlah wajahmu, dinginkanlah dulu kepalamu lalu tidurlah. Kau pasti kelelahan." saat Freya bangkit dan berbalik badan. Lengannya ditahan oleh Rei. Wajah gadis itu terlihat lebih serius dibandingkan beberapa saat yang lalu.

"Akan kupikirkan. Pasti akan kupikirkan. Jika memang menghancurkan Excalibur itu adalah suatu hal yang tidak mungkin, maka akan kupikirkan cara lain. Mau itu puluhan ataupun ratusan cara lain, aku akan menyelamatkan Arthur. Pasti."

Freya kembali berjongkok, kemudian menyentuh dahi Rei dengan telunjuknya, wanita itu tersenyum. "Jika memang begitu, baiklah, aku mendukungmu. Tapi, mungkin hanya ini yang bisa kuberikan sebagai hadiah terakhir dariku."

Jari Freya perlahan bergerak. "Ansuz."

--apa yang akan dia lakukan?

"Seorang murid, harus melampaui gurunya sendiri--"

Jarinya kembali bergerak, membentuk sebuah rune yang berbeda dari yang tadi ia gunakan sebelumnya. Setelah menggambar rune, Freya mendekat, menempelkan dahinya di dahi Rei.

"Kenaz..."

Belum sempat Rei bertanya dan memproses apapun yang Freya lakukan, seluruh pandangannya mendadak berubah menjadi warna putih.

Bisikan-bisikan tidak jelas--atau memang dengan bahasa yang tidak ia ketahui--memenuhi telinganya, sekelebat bayangan ditempat yang ia tidak ketahui, dan seluruh rune muncul di kepalanya dengan cepat sebelum ia berhasil kembali ke dunia nyata.

"Apa itu?"

"Kenaz--rune ilmu pengetahuan. Aku membagi setengah pengetahuanku padamu. Atau mungkin, bisa dibilang aku memberimu izin untuk menggunakan rune," jelas Freya sambil mengelus puncak kepala Rei dengan lembut.

"Tunggu, itu artinya aku bisa menggunakan rune? Tapi, fungsi-fungsinya aku tidak tahu," ucap Rei.

Freya tertawa kecil. "Aku sudah bilang bukan? Aku membagi setengah pengetahuanku padamu. Tentu saja aku juga membagi informasi tentang rune dan fungsi-fungsinya."

--he~ sederhana sekali cara memakai rune itu.

"Tidurlah, besok kau bisa keluar dari sini," perintah Freya.

Rei mengangguk. Ia mencuci wajahnya di danau itu terlebih dulu lalu berjalan menuju pohon yang tak jauh dari sana, dan tertidur hingga fajar terbit esok pagi.

***

Di dalam kegelapan sebuah gubuk tua, Morgan tengah sibuk membolak-balik halaman sebuah buku tebal yang sudah mulai berubah warna itu dengan hanya sebatang lilin sebagai sumber cahaya.

Semua jendela dia tutup rapat-rapat. Keadaan didalam gubuk itu sangat sunyi, hanya suara halaman yang dibuka beserta suara berderit jendela dan pintu yang tertiup angin dan memang sudah cukup termakan usia yang memecah kesunyian. Tak heran Morgan langsung menghentikan kegiatan begitu suara langkah kaki terdengar dari lorong kecil yang menghubungkan ruangan itu dengan pintu masuk.

"Jadi, apa yang membuatmu memanggilku jam segini?"

Dari lorong, Agravain perlahan muncul dengan tangan terlipat didepan dada. Wajahnya terlihat seperti biasa walau nada bicaranya terdengar sedikit kesal.

"Kau tidak mengucapkan salam pada ibumu sendiri, huh? Agravain? Sudahlah. Sekarang ada hal yang lebih penting daripada hal itu."

"Obat."

"Apa maksudmu?"

"Aku juga kemari karena kebetulan obatku juga habis."

Morgan menghembuskan nafas panjang. Ia memijat keningnya pelan. "Aku sudah memberi jatah bulan ini seminggu yang lalu. Jangan bilang kau menambah dosisnya."

"..."

Agravain tidak menjawab. Artinya itu benar. Morgan tidak terlalu kaget karena jika diperhatikan lagi, wajah Agravain sedikit lebih pucat dan kurus.

"Ck, ini. Pakai baik-baik, kau juga tahu sendiri, bukan? Meskipun berguna, jika kau menambah dosisnya terlalu banyak, kau bisa mati." gerutu Morgan sambil memberikan sebuah kantung berukuran tak lebih dari genggaman tangan pada Agravain--yang tentu saja tidak mendengarkan ceramah sang ibunda.

"Kemarilah."

Morgan berjalan menuju sebuah meja ditengah ruangan. Meja itu penuh dengan berbagai barang-barang asing dan tergolong menyeramkan bagi orang-orang awam.

Buku-buku besar dan tebal ditumpuk hingga menyerupai menara. Berbagai macam perkamen dengan bahasa-bahasa asing berserakan dimana-mana. Bulu, cakar, taring, serta berbagai bagian tubuh hewan juga ada disana.

Tepat diatas meja itu, tergantung sebuah sangkar burung yang kosong. Sangkar itu adalah tempat tinggal familiar Morgan yang memang berwujud seekor gagak, hanya saja makhluk itu sedang tidak menampakkan wujudnya saat ini.

"Ingat dengan darah Arthur yang kau dapatkan sewaktu di Northumberland?"

"Ya. Aku ingat," jawab Agravain singkat. "Memangnya kau menggunakan darah itu untuk apa?"

"Ah, aku sudah menunggu pertanyaan itu keluar dari mulutmu." Morgan tertawa kecil. Ia berbalik badan, mengambil sebuah benda yang tertutup oleh sebuah kain hitam dan menaruhnya diatas meja.

"Setelah beberapa kali percobaan, hasilnya selalu sama--gagal. Akhirnya dengan tetes darah terakhir dari pedang itu, aku berhasil menyelesaikannya." Morgan mendekatkan sebatang lilin yang sudah tersisa setengahnya untuk menyinari benda itu.

Kain hitam ia tarik perlahan. Dibaliknya terdapat sebuah tabung bening dari kaca berisi cairan berwarna kemerahan, dan didalam cairan itu, ada sebuah benda asing.

"Apa itu?"

"Lihatlah lebih dekat," jawab Morgan.

Dengan setengah malas, Agravain menuruti perkataan Morgan. Benda itu bergerak sedikit begitu Agravain mendekat, saat itu juga si kesatria sadar bahwa benda itu terlihat seperti sedang meringkuk dengan kepala menghadap kebawah.

Mirip sekali seperti--

Agravain buru-buru menarik kembali wajahnya. Matanya menyipit dan ekspresi wajahnya langsung berubah begitu ia tahu apa sebenarnya benda itu.

"Homunculus..."

Dibalik kain yang menyembunyikan wajah, Morgan tersenyum. "Wah, kau tahu tentang hal seperti ini ternyata," ucap Morgan.

"Jadi kau membutuhkan darah raja hanya untuk membuat benda menjijikan ini?" Agravain berkata ketus. Tak lupa menekan suara ketika ia menyebutkan kata 'menjijikan'.

"Kasar sekali kau ini. Meski rupanya begini, anak ini adalah adikmu, kau harus menerima faktanya, Sir Agravain Orkney."

Dahi Agravain berkerut seketika. "Adikku? Bukankah benda itu hanya mempunyai darah raja?"

Morgan menggeleng, dari lagaknya terlihat jelas dia sedang meledek Agravain. "Ya ampun, Agravain. Sebegitu bencinya kah kau pada perempuan? Sampai-sampai kau lupa peran perempuan dalam kehidupan."

"Apa maksudmu?"

"Tentu saja aku menambahkan darahku untuk membuat anak ini. Tapi karena darah Arthur yang tersisa hanya sedikit, aku harus menambahkan darah beserta air liur dan beberapa helai rambutku."

--baiklah, Agravain ingin muntah sekarang.

"Cukup, aku akan pergi dari sini." Agravain berbalik badan dengan satu tangan menutup mulutnya. Tanpa mengucapkan salam, ia mempercepat langkah dan pintu gubuk itu ia tutup kasar hingga menimbulkan suara yang keras.

Morgan merendahkan tubuhnya, memeluk tabung itu dengan lembut, seperti memeluk sebuah boneka--seorang bayi lebih tepatnya. Ia mengelus kacanya dengan sayang.

"Maafkan kakakmu yang satu itu ya. Dia memang punya sifat yang buruk. Padahal sewaktu kecil dia seorang anak yang manis," kata Morgan.

"Nah, sekarang tidurlah lagi, ya?" ia kembali menutup tabung itu dengan kain hitam tadi. Tepat sebelum ia menutupnya, Morgan kembali menatap tabung itu. "Cepatlah besar dan jadilah seorang kesatria yang hebat, ya--"

Kain hitam itu ia pakai bagai selimut yang menutupi seluruh tabung. Morgan kembali merendahkan tubuhnya, mencium tabung itu dari balik kain dengan sebuah senyuman misterius di wajahnya.

"--Mordred."

***

"Kalau begitu, aku pamit dulu, dewi."

"Berhati-hatilah, perjalananmu pasti jauh. Terlebih kau tidak punya tunggangan, kau tidak bisa mengendarai teman kecilmu itu, bukan?"

"Meski tidak seberbahaya malam hari, kau harus hati-hati, kalau tidak nanti kau tersesat juga," tambah Freya.

Rei tersenyum saat Fou naik keatas bahunya dan menggosokan kedua telinganya ke pipi Rei. "Kami akan berhati-hati."

"Oh, bukankah ini kesempatan bagus? Kau bisa menggunakan rune sekarang, bukan? Cobalah," usul Freya.

"Benar juga. Hm, rune penunjuk berarti--" Rei bergumam. Ia menggerakan jari di udara, membuat rune serupa huruf 'S'

"--Sowilo."

Bentuk rune itu menghilang, berubah menjadi sebuah Ignis Fatuus mungil yang terbang didepan Rei--menjadi pemandu jalannya untuk keluar dari hutan ini.

Tepat sebelum Rei meninggalkan perbatasan Hodmimis dan hutan diluarnya, ia menyadari suatu hal. Rei berbalik, menatap Freya yang masih berdiri ditempat.

"Aku baru ingat. Tentang rune Perthro itu, bukankah kau bilang ada tiga? Sejauh ini kau baru menunjukkan padaku dua, satu lagi bagaimana?"

Tersenyum, Freya kemudian menjawab, "Mengapa kau tidak mencari tahunya sendiri?"

Si Ignis Fatuus mungil menyundul-nyundul pipinya. Membuat Rei tak punya pilihan lain selain berbalik, dan kali ini, benar-benar kembali ke rumahnya.

--Ke Avalon.

KEKUATAN COCOKLOGI BERHASIL MEMBUATKU MENYELESAIKAN CHAP INI DENGAN CEPAT :")

wwww.
Sebelumnya aku tahu kok d canon-nya Gram itu = Balmung, tapi untuk kepentingan cerita dan liat d wiki typemoon, akhirnya cocoklogi dimulai :")

Mulai bbrp chap ke depan kemungkinan besar Rei absen dulu, dan ceritanya mulai fokus sama para kesatria di Camelot + Arthur tentunya.
Dan sepertinya, fic ini g akan tamat sampai 20 chapter pastinya.

Sedikit spoiler buat seseorang yang sudah jadi cameo disini...
.


.
Kupake dia yang versi cowok :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top