Chapter 10
***
"Lebih cepat? Yang benar?"
Rei menghembuskan nafasnya kasar. Orang itu, Merlin kembali menambah bebannya disini. Setelah dengan seenaknya memerintah Rei untuk membuat sarung pedang untuk Excalibur--yang memakan waktu yang terbilang lama, ia memintanya untuk lebih cepat menyelesaikan sarung pedang itu.
"Baiklah. Tapi―"
Fou memiringkan kepalanya menunggu lanjutan kalimat Rei.
"―ada satu syaratnya."
Nun jauh di Camelot sana, Merlin yang tengah terlelap tiba-tiba langsung terjaga karena sebuah firasat buruk.
***
"Kau ingin ke Camelot lagi? Apa kau sudah gila?!"
Rei merespon teriakan Merlin yang memekakkan telinga itu dengan sebuah anggukan. "Iya. Aku memang sudah gila."
Merlin memijat bagian atas alisnya pelan. Setelah mendengar pesan Rei dari Fou, ia buru-buru kembali ke Avalon. Antara senang karena Rei bersedia menyelesaikan sarung pedang lebih cepat, dan pusing karena syarat Rei―
―"Aku ingin menyerahkan sarung pedang ini secara langsung pada raja."
"Tapi Rei―"
"Jika kau tidak mau, aku tidak akan lebih cepat menyelesaikannya. Mudah saja."
―"Sejak kapan anak ini bisa mengancam? "
Diam-diam Merlin mencatatkan agar tidak membuat Rei bersama dengan Kay terlalu lama. Lama-kelamaan sifat Rei jadi mirip dengan Kay.
Tapi Merlin tidak punya pilihan lain. Tak lama lagi Arthur akan menghadapi beberapa pertarungan―baik sebatas turnamen antar kesatria atau hingga peperangan, ia harus secepatnya menerima sarung pedang itu. Sarung pedang yang membawa sebagian dari sihir Avalon hingga dapat melindungi siapapun yang membawanya.
"Jadi, bagaimana?"
Pertanyaan yang sangat retoris--batin Merlin. "Baiklah, kau menang nona." Merlin mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan bahwa dia menyerah. Dipikirannya saat ini yang penting adalah sarung pedangnya, amarah Vivianne bisa ia kebelakangkan sebentar.
"Janji?"
"Asal kau menyelesaikan sarung pedangnya, aku akan menyetujuinya. Bolehkah aku melihatnya?"
"Tentu." Rei dengan cepat mengambil benda yang dimaksud Merlin. Sarung pedang itu dibungkus oleh kain putih bersih dan dibawa oleh Rei dengan hati-hati. "Ini, silahkan."
Begitu Merlin membuka kain putih itu, warna emas sarung pedang itu langsung berkilau karena terkena sinar matahari. Dilihat secara fisik, sarung pedang itu sudah selesai, bahkan Merlin dapat merasakan sihir yang kuat―meski jumlahnya sedikit―dari sana.
"Tinggal apa lagi yang harus kau selesaikan?"
"Menambah mana-nya sedikit lagi lalu menstabilkannya. Setelah itu kita bisa menyerahkannya pada Arthur."
"Huh, kau lumayan mahir juga ternyata. Kira-kira berapa lama lagi bisa kau selesaikan?"
"Sekitar dua atau tiga hari lagi."
"Kalau begitu aku akan tetap disini dulu. Merepotkan jika aku harus kembali lagi untuk menjemputmu."
Merlin menutup kembali benda itu dengan kain lalu menyerahkannya kembali pada Rei.
Rei kemudian duduk tak jauh dari Merlin, ia meletakan sarung pedang itu di pangkuannya, kembali membukanya dan mulai mengerjakan benda itu tanpa pikir panjang.
***
Tiga hari berlalu begitu saja tanpa ada kejadian yang berarti.
Rei―yang sudah cukup terbiasa mengontrol mana-nya―menggantikan Merlin untuk membuka gerbang menuju dunia luar. Tipe sihirnya yang sama dengan pelindung Avalon bisa jadi faktor agar Vivianne lebih lambat menyadari 'kepergiannya'.
Dan berbeda dari Merlin, gerbang yang dibuka oleh Rei langsung terhubung kesebuah hutan yang berada tidak jauh dari Camelot.
"Kita langsung pergi sejauh ini, kau tidak kelelahan?"
"Untuk sihir seperti itu tidak memerlukan mana yang banyak. Jadi tidak. Aku baik-baik saja."
"Seperti yang diharapkan dari gadis yang memiliki mana sebesar pulau." Merlin membatin, agaknya takjub.
Keadaan Camelot? Tidak jauh berbeda. Hanya kali ini terasa lebih senggang karena―mungkin―tidak ada peristiwa istimewa hari ini, Merlin dan Rei dapat sampai ke istana lebih cepat.
Hal yang sama terjadi juga didalam istana. Para kesatria―kecuali yang tadi berjaga didepan gerbang, juga jarang terlihat. Lorong yang biasanya menjadi tempat lalu-lalang para kesatria, kali ini hanya ada satu atau dua kesatria saja.
"Kau tahu sesuatu, Merlin?"
Merlin menggeleng. "Aku tidak tahu apa-apa~"
"Nada bicaramu mencurigakan."
"Kapan kau mau percaya padaku, huh?"
"Tuan penyihir? Nona Rei?"
Merlin dan Rei berbalik, menoleh kearah asal suara. Di sana mereka menangkap dua sosok figur tinggi. Satu berambut perak dan satunya berambut merah. "Sir Bedivere?" ucap keduanya berbarengan.
"Oh! Ternyata memang benar. Ada apa tiba-tiba begini? Dan tumben sekali anda membawa Nona Rei kemari lagi." wajah Bedivere berseri sembari berjalan mendekati mereka diikuti satu sosok jangkung berambut merah dibelakangnya―yang tak lain adalah Sir Tristan.
"Ya, ada beberapa urusan. Hm? Siapa dia? Kesatria baru?" tanya Rei, melirik kearah Tristan.
Tristan membungkuk hormat didepan Rei. Rambut panjang bewarna merah menyala itu hampir saja menutup wajahnya yang tengah berhias sebuah senyuman ramah. Lalu perlahan, kedua kelopak matanya terbuka, memperlihatkan sepasang netra keemasan yang tajam, tengah menatapnya dengan begitu tenang.
"Nama saya Tristan. Keponakan Raja Mark dari Cornwall. Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda, Nona Rei," ucapnya, memperkenalkan diri.
"Namaku―tunggu, bagaimana kau bisa tahu namaku?" Rei menaikkan sebelah alis.
"Kesatria lainnya sering membicarakan tentang anda. Terutama Sir Gareth, Sir Kay juga beberapa kali pernah membicarakan tentang anda," jelas Tristan. Rei mengangguk-angguk, mengerti.
"Istana terlihat sangat sepi hari ini, ada apa?" kini giliran Merlin yang membuka suara.
"Ah, tidak aneh jika anda langsung menyadarinya. Para kesatria beserta raja sedang bersiap-siap. Kami juga harus segera bersiap-siap." ucap Bedivere, disusul oleh anggukan Tristan.
"Untuk?"
Bedivere dan Tristan saling tatap. "Mungkin raja lupa memberitahu mereka," sahut Tristan.
Bedivere―secara sukarela, menceritakan semuanya.
Beberapa minggu yang lalu, Raja Arthur menerima undangan dari Raja Canor dari Northumberland. Beliau mengadakan sebuah perjamuan serta pertandingan antar kesatria dalam rangka merayakan ulang tahun putri satu-satunya Kerajaan Northumberland―Andrivete.
"He~ memangnya umur Putri Andrivete itu berapa?" tanya Rei.
"Seingat saya, ia berumur dua puluh tahun sekarang."
"Mungkin kalian juga bisa ikut. Saya yakin baginda akan senang," sahut Tristan, senyuman tipis terlukis diwajahnya.
Rei menatap Merlin. Seakan tahu apa yang dimaksud, Merlin mengangkat kedua bahunya lalu mengangguk lemas.
"Baiklah, kami ikut," ucapnya pasrah.
***
"Whoa, orangnya banyak sekali," komentar Rei takjub.
Terimakasih pada para kesatria yang memang sudah bersiap sedari pagi-pagi buta untuk hari ini, karena mereka rombongan Camelot sampai saat matahari masih cukup tinggi. Serta cuacanya yang cerah seakan ikut merayakan perayaan ulang tahun sang putri.
"Rei, kepalamu. Hati-hati." Merlin memperingati Rei yang memang sejak sampai dan memasuki gerbang Northumberland tidak mau diam ditempatnya. "Sarung pedangnya masih ada padamu?"
"Oh tentu. Masih ada padaku." Rei memberikan Merlin acungan jempol sementara sebelah tangannya menepuk perutnya bangga.
―ya, sarung pedang itu memang ada padanya.
――didalam tubuhnya.
Untuk menghindari masalah katanya―seperti retak misalnya. Padahal dia sendiri tahu benda itu tidak akan rusak secepat dan semudah itu.
―ya, sudahlah.
"Sedang menikmati pemandangan? Rei?"
"Gareth! Lama tidak berjumpa!"
Dua orang kesatria yang menunggang kuda menghampiri kereta yang dinaiki Rei dan Merlin. Keduanya merupakan saudara dari Gawain dan Agravain―Gareth dan Gaheris.
"Bukankah tidak sopan memanggil nama depannya langsung, Gareth?" canda Gaheris.
Gareth menutup mulutnya spontan. "Ma-Maafkan saya."
"Tidak. Tidak apa-apa. Kau juga boleh memanggil namaku langsung," sanggah Rei cepat.
"Maafkan kami untuk kereta yang kalian naiki ini. Gara-gara kita berangkat terlalu pagi, kita tidak bisa mencari kereta kuda yang lainnya," ucap Gareth.
"Jadinya kalian harus menumpang dikereta ini," sambung Gaheris.
Rei melihat kebelakang, mendapati Merlin yang terduduk dengan tudung menutupi wajahnya dan beberapa kotak bahan makanan dari Camelot sebagai hadiah.
Rei dan Merlin memang menaiki kereta pengangkut barang. Beruntungnya, kereta itu tidak terlalu penuh isinya, masih ada cukup ruang untuk Merlin dan Rei.
"Sudahlah, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong memangnya semua kesatria ikut kesini?"
Gaheris menggeleng. "Ada beberapa yang tidak ikut. Sir Agravain, Percival, dan ada kesatria lain yang tidak ikut juga."
"Oh, kita sudah sampai di gerbang istana. Sampai jumpa, Rei." Gareth melambaikan tangannya, begitu pula dengan Gaheris sebelum keduanya memacu kuda mereka menuju kesatria lain didepan.
"Percuma saja menutupi kepala penuh uban-mu itu. Aku tahu kau tidak tidur." Rei berbalik, mendapati Merlin yang menurunkan tudungnya dengan wajah cemberut.
―apakah gadis itu tahu istilah berkaca?
"Aku hanya tidak ingin mengganggu reuni sahabat. Dan Rei, jangan lupa tepati janjimu."
"Baik, baik. Aku berjanji ini yang terakhir kalinya."
Rei bergerak dan duduk manis didekat Merlin. "―mungkin."
Suara gerbang istana yang terbuka beserta suara langkah kuda dan sambutan rakyat Northumberland yang terlampau keras sangat cukup untuk membuat Merlin tidak mendengar kelanjutan kalimat Rei.
***
"Maaf ya, Gareth. Kau jadi tidak bisa ikut pertandingan."
"Tidak, tidak. Awalnya aku juga tidak akan ikut, tapi Sir Bedivere tadi pagi mencari kesatria yang bersedia mengawalmu, jadi aku menawarkan diri."
"Baguslah kalau begitu."
Setelah turun dari kudanya, Gareth langsung menghampiri Rei. Membantunya turun bak kesatria lainnya, sementara Merlin pergi duluan karena memang dia akan berada disisi Arthur dan Guinevere sebagai penasehat.
Sembari menunggu pertandingan dimulai, Gareth menceritakan―menjelaskan aturan serta bagaimana berlangsungnya pertandingan nanti.
Pertandingan―atau lebih sering disebut jousting tournament, merupakan sebuah kegiatan atau cabang olahraga para kesatria yang dilakukan disebuah arena luas atau lapangan terbuka, dimana dua orang kesatria yang menggunakan baju zirah lengkap, menaiki seekor kuda dengan membawa sebuah tombak dengan ujung yang tumpul.
Kesatria itu akan berusaha untuk menghancurkan tombak mereka sendiri―iya, kalian tidak salah dengar. Mereka akan menghancurkan tombak mereka dengan cara menusuk lawan. Jika tombak salah satu rusak saat menusuk tubuh lawan, maka kesatria dengan tombak rusak itu akan memenangkan pertandingan.
―jika tombaknya tidak rusak, setidaknya harus cukup kuat untuk membuat lawan terjatuh dari kuda.
"Heh~ sepertinya seru." komentar Rei begitu Gareth selesai menjelaskan. "Aku jadi tidak sabar untuk melihatnya!"
"Um! Aku juga. Tapi untuk kali ini, Raja Canor menambah satu aturan."
"Apa itu?"
"Identitas. Identitas para kesatria yang akan bermain harus disembunyikan. Mau kepada rekan satu kerajaan atau kerajaan lain."
Rei melongo, bingung. "Menyembunyikan identitas? Bagaimana caranya? Dan terlebih lagi, kenapa?"
Gareth menggeleng, menandakan bahwa ia sendiri juga tidak tahu. "Ah, para raja sudah ada disana."
Rei mengikuti arah pandangan Gareth, disalah satu sisi lapangan yang berbentuk lingkaran itu memang ada sebuah tempat--mirip panggung entah menara, Rei tidak tahu. Disana ada beberapa singgasana, dan tentu saja Arthur dan Guinevere--bersama dengan Merlin tentu.
Tapi perhatian Rei teralihkan oleh sosok lain. Sosok gadis cantik yang tengah duduk disebelah Raja Canor yang nampak sama sekali tidak tertarik dengan keseluruhan acara. Dia hanya menundukkan kepala atau sekedar menatap lapangan kosong itu dengan bosan.
"Ada apa, Rei?"
"Ah, tidak. Aku hanya penasaran, siapa orang yang ada disamping Raja Canor itu?"
"Oh, itu Putri Andrivete. Beliau nampak tidak bersemangat, ada apa kira-kira?" Gareth bertanya pada dirinya sendiri. "Ya, entahlah..."
Ketika sedang asyik memperhatikan sang putri, perhatian mereka langsung teralihkan oleh suara terompet yang menandakan kegiatan akan segera dimulai.
***
Pertandingan berjalan amat sangat lancar sejak awal. Tidak ada yang bertindak curang dan semua kesatria yang kalah mengakui kekalahannya secara terhormat.
Tapi ada satu kesatria yang menarik perhatian semua penonton, tanpa terkecuali para raja dan Rei.
Kesatria itu memakai baju zirah berwarna gelap―hitam beserta helm yang menutupi seluruh wajahnya dan berwarna sama seperti baju zirahnya.
Dilihat dari kecepatan, kekuatan, beserta keahlian baik dalam memakai tombak maupun menunggang kuda, semuanya sudah sepakat berpikir bahwa kesatria itu tak lain dan tak bukan adalah Sir Lancelot du Lac.
―pemikiran mereka langsung dibuktikan salah besar ketika kesatria berzirah gelap itu mengalahkan Lancelot setelah sang kesatria danau itu cukup membuatnya kewalahan.
"Bohong?!" diantara semuanya, Gareth lah yang paling kaget―entah mengapa, Rei tidak tahu. Gadis bersurai putih itu melirik kesinggasana Arthur, mendapati sang raja juga tidak kalah kagetnya.
Seolah menyadari tatapan si gadis Avalon, Arthur menoleh, matanya menatap Rei sekilas sebelum gadis itu kembali mengalihkan pandangannya dengan cepat.
Singkatnya, setelah Lancelot kalah, ia bergabung dengan Bedivere, Gaheris dan Tristan―yang sudah kalah lebih dulu, sebelum di pertandingan selanjutnya, Gawain pun dinyatakan kalah setelah ia terlempar dari kudanya.
Dipinggir arena, tatapan Gareth menunjukkan rasa sebal yang sangat jelas. Kesatria muda itu masih tidak terima kedua kakaknya kalah oleh kesatria yang bahkan tidak diketahui namanya. Rei memilih diam dan kembali melihat ke arena, takut membuat suasana hati Gareth tambah runyam.
Ini merupakan babak terakhir pertandingan, yang berarti siapapun yang menang di babak ini akan dinyatakan sebagai pemenang.
Yang akan bertanding di babak ini adalah sang kesatria hitam, dan seorang kesatria yang memakai zirah berwarna keperakan.
Di dua sisi arena yang berseberangan, kedua kesatria itu bersiap. Lalu keduanya langsung memacu kuda mereka masing-masing ketika terompet tanda dimulai berbunyi.
Suara tombak beradu, baju zirah yang terkena tombak, dan suara ringkikan kuda terdengar jelas dari arena.
Keduanya terlihat sangat gigih untuk mengalahkan satu sama lain. Keduanya memacu kuda mereka dengan cepat, tombaknya mereka pegang dengan erat sehingga tidak mudah terlepas dari genggaman mereka.
Namun sesuai dengan apa yang diharapkan dari dua orang yang berhasil mengalahkan sekian banyak kesatria, tak mudah untuk menumbangkan mereka.
Namun, entah karena tenaga yang dipakai sang kesatria perak lebih besar atau karena tombaknya mengenai bagian zirah―tubuh kesatria hitam yang sempat terluka saat pertandingannya dengan Lancelot tadi.
Si kesatria hitam dibuat terjatuh dari kudanya.
Ia jatuh cukup keras, terguling beberapa kali di rumput sebelum helm yang ia kenakan terlepas dengan sendirinya. Darah terlihat mengalir dari pelipisnya.
Saat itulah, Rei, Gareth, Arthur dan seluruh penonton―terutama yang datang dari Camelot, dibuat kaget. Raja Canor dan Putri Andrivete pun berdiri dari kursi mereka.
Beberapa penonton yang berada di belakang langsung berebut menuju barisan depan. Tatapan kasihan dan kaget bercampur menjadi satu, apalagi setelah kesatria hitam itu terbongkar identitas aslinya.
"Kak Kay!!"
Tidak ada sorak sorai kemenangan untuk si kesatria perak. Perhatian tertuju pada sosok Sir Kay yang berusaha berdiri dengan bantuan tombaknya hanya untuk menyaksikannya kembali terjatuh.
Sementara itu, si kesatria perak turun dari kudanya. Menghampiri Kay dengan santai. Tidak ada yang merasa aneh dengan tindakannya, karena mereka pikir ia akan membantu Kay berdiri dan berjabat tangan dengannya―
"Awas!" dari pinggir arena, Rei berteriak. Ia meloncati pembatas―yang tingginya sekitar satu meter, dan berlari kearah Kay ditengah lapangan. "Rei!"
Dugaannya beserta semua orang disini ternyata salah besar. Kesatria itu tidak ada niatan sama sekali untuk membantu Kay. Yang ia lakukan adalah menarik pedang asli yang tergantung di pinggangnya lalu berlari kearah Kay dengan kecepatan penuh.
Kay hanya bisa menggunakan tombaknya sebagai pelindung sembari menahan rasa sakit.
Percuma, tidak akan sampai.
Rei setengah pasrah. Jaraknya dengan Kay masih cukup jauh sementara si kesatria tak dikenal itu sudah berada dihadapan Kay dengan pedang yang siap ia ayunkan setiap saat.
Pedang diayunkan dengan sekuat tenaga. Jika dengan sekuat itu, Kay mengira-ngira tombak ditangannya ini pun akan hancur karenanya. Putra Sir Ector itu semakin kuat menahan tombaknya dan bersiap menahan impak yang akan datang.
Namun pedang itu tidak menyentuh tombak ditangannya sedikitpun. Salah satu lengannya ditarik oleh seseorang, membuatnya mundur beberapa langkah. Orang itu kemudian berdiri dihadapannya--menjadi tamengnya.
Pedang si kesatria mengenai pipinya. Memciptakan sebuah luka lurus dari pipi hingga rahangnya.
"Cukup sampai disitu saja."
Orang itu mengangkat pedangnya hingga berada tepat didepan wajah―helm si kesatria. Selang beberapa detik, Gawain, Tristan, Lancelot, Bedivere, serta Gaheris sudah berada dibelakang dan disamping orang itu dengan posisi siaga.
Orang itu tidak lain dan tidak bukan merupakan Raja Camelot sendiri―Arthur.
Melihat kesempatan, Rei berlari lebih cepat menghampiri Kay yang berada dibelakang Arthur dan kesatria-nya yang lain.
"Aku akan menutup lukanya sedikit. Jangan bergerak," bisiknya pelan sebelum meletakan telapak tangannya dibagian pelipis Kay yang terluka. Cahaya berwarna putih keluar dari telapak tangannya lalu perlahan memudar seiring lukanya perlahan menutup.
"Terimakasih," Kay berucap lirih. Tenaganya sudah terkuras saat pertandingan tadi, Kay bahkan tidak sempat memikirkan bagaimana cara Rei menyembuhkannya tadi, tubuhnya sangat lemas hingga ia rasa ia akan pingsan kapan saja.
Arthur memperhatikan keduanya dari sudut matanya, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada kesatria didepannya.
"Katakan, siapa namamu, kesatria," ucap Arthur.
Kesatria itu tidak menjawab. Ia terdiam ditempat, pergerakan yang ia perlihatkan hanya memasukkan kembali pedangnya pada sarung yang tergantung dipinggangnya.
Lalu tiba-tiba ia mengangkat tangannya, tanda menyerah. Meski dia tahu bahwa ia juga sudah pasti didiskualifikasi karena tindakannya tadi. Setelah itu, tanpa hormat ataupun diperintah, ia berbalik dan meninggalkan arena tanpa membuka helmnya maupun berbicara sepatah katapun.
Arthur menurunkan pedangnya, ia mengangkat sebelah alisnya, perasaan aneh muncul ketika ia melihat gerak-gerik mencurigakan kesatria tidak dikenal itu.
"Yang mulia..."
Lamunan Arthur buyar ketika Rei memanggilnya. Gadis itu sedikit membungkukan badannya hormat lalu berkata, "Izinkan saya menyembuhkan luka anda."
"Iya, lakukanlah."
Rei mengangkat tangannya, ia melakukan hal yang sama pada pipi Arthur seperti ia menyembuhkan Kay tadi. Luka Arthur tidak terlalu dalam dibandingkan dengan Kay, maka lukanya dapat langsung tertutup ketika Rei menarik kembali telapak tangannya.
"Sudah selesai, yang mulia." Rei melangkah mundur lalu membungkuk.
Disaat yang sama, medis kerajaan datang. Mereka membawa Kay menuju ruang perawatan. Kay sendiri sudah satu langkah lagi hingga ia kehilangan kesadarannya.
"Saya permisi dulu, yang mulia." Rei berpamitan. Gadis itu berjalan kearah Gareth. Mengobrol sebentar sebelum mereka berdua berjalan menyusul Kay ke ruang perawatan.
"Hm? Rajaku, luka anda barusan..." Tristan memperhatikan pipi Arthur yang sudah kembali seperti biasa. Darah berhenti mengalir, dan kulitnya pun sudah tertutup sempurna, tidak ada bekas luka sama sekali.
"Rei yang melakukannya," Arthur menjawab tanpa melihat kearah Tristan. Pandangannya terkunci pada punggung Rei dan Gareth yang semakin lama semakin menjauh, lalu kemudian menghilang.
Arthur memegangi pipinya, mengelusnya perlahan, sementara matanya menunjukkan rasa penasaran yang amat besar.
(Tbc?)
"Selamat datang kembali..."
Morgan le Fay, yang sedari tadi menunggu dibalik bayangan, menyambut kembalinya sang kesatria perak. "Kau boleh membuka helm-mu. Tidak ada siapa-siapa selain aku."
Si kesatria menuruti perintahnya. Ia membuka helm-nya, menampilkan wajahnya yang cukup asing. Wajah itu bukanlah wajah dari kesatria Camelot, namun Morgan tahu semuanya...
"Sia-sia aku membuat penampilanmu mirip dengan keponakan Raja Canor kalau akhirnya kau tidak menampilkan wajahmu pada orang banyak, ya. Tapi kau mendapatkannya bukan?"
Kesatria itu mengangguk, ia menyerahkan pedangnya. Masih terdapat sisa darah diujung pedangnya. Dibalik cadarnya, Morgan tersenyum puas.
"Kerja bagus, Agravain."
.
.
Holaa! Chap ini lebih cepet beres dari dugaan saya ^^
Sebenernya chap ini bisa dijadiin 2 chapter, tapi biarkan saja, inspirasi sedang melimpah pada saya :))
dan tadinya chap ini juga mau di pub malem-malem, tapi gapapa lah.
anggap saja THR dari saya ;)
.
Minal aidin wal faizin semuanya! (●>v<●)
maafkan saya kalau ada salah...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top