[Special Part] Freedom

Tok... Tok...

Setelah duduk di lantai, Na Jaemin mengetuk pelan dinding di belakangnya. Ia tengah berada di kamarnya sekarang, di lab; sebuah kamar sempit serba putih yang hanya berisikan tempat tidur dan bantal. Pintu kamar mandinya ada di pojok, tapi peralatan mandinya tidak ada一seseorang akan mengantarnya jika diperlukan一begitupun perabotan lainnya.

Hal ini karena Jaemin pernah menggunakan perabotan-perabotan itu untuk menyerang dokter atau penjaga yang datang, jadi semuanya diambil, menyisakan tempat tidur dengan kerangka baja yang terlalu berat untuk dia angkat dengan tangan atau pikiran. Dan sebuah bantal一benda yang tidak berbahaya.

"Renjun?" Jaemin mengetuk lagi. "Kau sudah tidur?"

Gerutuan Renjun memecah keheningan. "Kalau sudah tidur, aku tidak akan bisa menjawabmu. Huh. Kenapa berisik sekali sih?"

Jaemin tersenyum. Di dalam kamar itu, ada bagian dinding yang sengaja di buat tipis agar ia bisa bicara dengan teman-temannya. Sesekali, mereka terkadang diperbolehkan berkumpul meski dalam pengawasan ketat. "Kau sudah dengar belum? Besok akan ada tes lagi."

"Sungguh?" Renjun berusaha membuat suaranya terkesan tidak peduli, tapi gagal. "Tahu darimana?"

"Aku mendengar percakapan Dr. Yoon dan si robot itu."

"Oh. Padahal Haechan saja belum pulih."

Jaemin memejamkan matanya. "Aku tahu."

Mereka sama-sama terdiam, membayangkan hari esok. Tidak peduli sudah berapa kali melakukannya, tes tetap membuat mereka takut. "Jaemin?" Panggil Renjun. "Kalau ada kesempatan untuk melarikan diri lagi, apa kau akan melakukannya?"

"Pertanyaan macam apa itu?" Jaemin tergelak. "Tentu saja iya."

"Kau bisa dihukum."

"Hanya kalau aku gagal."

Kali ini Renjun ikut tertawa. "Aku tidak tahu harus melarangmu atau malah memberimu semangat."

"Kita akan keluar dari sini." Jaemin berjanji. "Pasti. Lihat saja nanti."

"Seandainya saja Mark hyung datang..."

"Jangan bicarakan dia!" Jaemin menukas cepat dan kasar. "Untuk apa mengingat-ingat orang yang tidak peduli pada kita?"

Renjun, yang mengerti seberapa besar rasa tidak suka Jaemin一kalau tidak bisa disebut benci一pada Mark, tertawa dari sisi dinding yang lain. "Mungkin bukan 'tidak peduli', tapi 'tidak bisa'."

"Kalau begitu dia seharusnya mengunjungi kita!"

"Ya, tentu, karena masuk kesini sangat mudah dan semua pintunya terbuka lebar," sahut Renjun sarkastik.

"Dia bisa saja menyusup bersama kakak tersayangnya, tapi dia tidak melakukan itu kan?"

Renjun bungkam, tidak dapat membantah. Selama ini, sama seperti Jaemin, ia selalu penasaran pada keadaan Mark, namun Taeyong tak pernah membicarakannya dan ia enggan mengawali percakapan dengan pria itu. Ia juga ingin tahu mengapa sejak bebas Mark tak sekalipun datang lagi, apakah itu artinya dugaan Jaemin benar? Bahwa Mark tak peduli pada mereka?

Jaemin menghela napas, tak menemukan jawaban yang pas.

Sebenarnya kenapa, Mark hyung?

Sore, keesokan harinya, Jaemin duduk di tepi tempat tidurnya, menunggu sesuatu yang pasti akan terjadi sambil mengayun-ayunkan kaki. Tes lagi, pengambilan darah lagi, semua ini rasanya tak pernah berakhir.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Jaemin mendongak tepat waktu ketika pintu kamarnya terbuka, menampakkan seorang dokter yang asing baginya dan 2 penjaga. "Ayo," kata si dokter. "Sekarang giliranmu."

Jaemin bergeming. Dia memperhatikan dokter itu dengan seksama; laki-laki, usia sekitar 30-an, mengenakan jas putih yang sudah pudar. Ada sebuah pulpen yang terselip di telinganya.

Pulpen?

Apa dia salah lihat? Jaemin berdiri. Tidak, ternyata dia benar-benar membawa pulpen. Apakah dokter itu lupa atau tidak ada yang memperingatkannya? Terserahlah. Itu tidak penting. Satu-satunya yang penting di sini hanyalah ... kesempatannya.

Kalau ada kesempatan untuk melarikan diri lagi, apa kau akan melakukannya?"

Jaemin maju selangkah. Bibrnya tersenyum. Ya, Renjun. Tentu saja iya.

Dokter itu menatapnya heran bercampur gugup. "Kenapa kau tersenyum seperti itu?"

Jaemin menggeleng. "Kau pasti dokter baru, ya?"

Tidak ada jawaban.

"Seharusnya kau lebih berhati-hati."

Sedetik setelah Jaemin mengatakannya, pulpen di telinga dokter itu melayang dan menusuk mata kirinya, membuat dia jatuh sembari menjerit. 2 penjaga kaget dan sejenak, mereka bingung harus menolong si korban dulu atau menyerang si pelaku. Jaemin memanfaatkan hal itu dengan baik; ia mengangkat kedua orang tersebut dan melemparnya ke dinding koridor dengan posisi kepala lebih dulu, membuat dinding yang tadinya putih bersih menjadi merah.

Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Jaemin menghampiri mereka dan buru-buru mencari key card.

Renjun yang mendengar keributan itu mengintip keluar dari jendela kecil yang ada di pintu kamarnya. "Jaemin! Apa yang kau lakukan?"

"Tunggu sebentar! Aku akan mengeluarkanmu dari sana!"

Mata Renjun melebar melihat mayat 2 penjaga yang sedang digeledah Jaemin, dan di suatu tempat, seseorang menjerit entah karena apa. Dia langsung paham. Perhatiannya kemudian tertuju pada cctv, yang bagai mata iblis yang merekam segalanya. "Tak ada waktu! Pergi dari sini!"

Jaemin beralih pada penjaga kedua. "Kau pikir aku sama seperti Mark hyung?"

Geram, Renjun memukul pintu kamarnya. "Ini bukan saat untuk bersikap dramatis! Selamatkan dirimu dulu!"

Jaemin mematung.

"Cepatlah!" Suara Renjun bernada putus asa. "Mungkin untuk mengeluarkan kami, kau harus keluar lebih dulu!"

Harus diakui, perkataan Renjun ada benarnya, tapi jika melakukan itu, Jaemin merasa menjadi pengecut dan membuatnya teringat pada Mark. Padahal, ia dan Mark berbeda dan Jaemin tidak ingin menjadi seperti dia.

"Diam, Renjun! Sudah kubilang aku akan一"

Terlambat.

8 orang penjaga yang mengenakan rompi anti peluru dan membawa AK-47 datang, dengan satu pria yang berdiri paling depan; Taeyong. "Jaemin," katanya, mengamati hasil karya anak itu dengan wajah muram. "Berhentilah."

2 orang penjaga memisahkan diri untuk membantu dokter baru yang masih hidup itu, membawanya pergi, menyisakan 6 orang saja.

Pelan-pelan, Jaemin berdiri, membuat semua moncong AK-47 mengikuti gerakannya. "Aku bukan adikmu seperti dia."

Taeyong mencoba menyunggingkan senyum. "Ayo kita buat kesepakatan; kalau kau mau berhenti, takkan ada tes hari ini atau laporan pada Rim, bagaimana?"

Yang merespon pertanyaan itu bukanlah Jaemin, melainkan Renjun. Dia tergelak. "Jangan dengarkan dia, pergilah dari sini!"

"Renjun一"

Angin kencang mendadak berhembus ke arah Taeyong dan para penjaga, memotong apapun yang akan Taeyong katakan dan menghempaskan mereka ke langit-langit. Tubuh mereka jatuh ke lantai layaknya boneka usang sebelum ada seorangpun yang terpikir untuk menggunakan senjata. Taeyong terpelanting ke dinding, AK-47-nya jatuh. Beberapa penjaga yang bersamanya mengerang, tapi yang lain tidak bergerak. Darah mereka mengalir di koridor itu, menciptakan sungai kecil yang mengalirkan kengerian.

Jaemin memutar tubuhnya pada Renjun, dan temannya itu membuat isyarat tangan mengusir. "Pergilah! Sampai bertemu lagi!"

Jaemin mengangguk dengan mata berkaca-kaca, lalu pergi setelah mengambil salah satu AK-47 dan pisau aneh yang milik seorang penjaga, meninggalkan Taeyong yang berpura-pura pingsan.

Punggung Taeyong memang sakit luar biasa, tapi sebenarnya ia masih bisa bergerak. Hanya saja, alih-alih mengejar Jaemin, dia berbaring di sana dengan mata tertutup.

Dalam hati berucap, mari kita lihat apakah ini hari keberuntunganmu.

Pisau yang dibawa Jaemin sangat tidak biasa; bentuknya spiral dengan 3 sisi tajam yang menjadi satu.

Jaemin tidak tahu namanya, tapi pisau itu sangat mematikan. Saat ia menusukkan pisau itu pada salah satu dokter yang ia temui, benda itu meninggalkan luka berbentuk lubang, membuat darah mengucur deras seperti keran air.

Kekuatan tebasannya tidak main-main. Pisau itu bisa memotong daging manusia seperti mentega, nyaris membuat leher salah satu penjaga putus.

Kepanikan massa terjadi di lab itu. Alarm berbunyi nyaring.

Kaki Jaemin baru berhenti ketika ia berpikir harus kemana. Dari sini, ada 2 pintu yang bisa ia gunakan. Pintu pertama lebih dekat, tapi dikawal banyak penjaga. Sedangkan pintu kedua terhubung dengan ruangan Rim, yang hanya dijaga 2 penjaga saja.

Setahunya, Rim bukanlah tipe orang yang membawa senjata kemana-mana.

Baik, pintu kedua saja.

Menarik napas dalam-dalam, ia berlari ke kanan ... dan langsung berhenti ketika dihadang oleh Han beserta 10 penjaga.

Tanpa sadar, Jaemin mundur selangkah. Ia selalu takut pada Han. Pria itu memang tampan, tapi di matanya, Han seperti robot yang hanya mempedulikan tugas yang tidak segan melakukan apapun untuk itu.

Bahkan di situasi seperti ini, Han terlihat sangat tenang. Suaranya datar saat berkata, "Kau sangat suka membuat masalah, ya?"

Jaemin memilih diam.

"Kembalilah ke tempatmu sekarang." Han mengusirnya dengan kibasan tangan. "Jangan membuatku marah."

Memberanikan diri, Jaemin merespon, "Bagaimana kalau aku tidak mau?"

"Tembak dia." Tanpa berniat berdiskusi lagi, Han memerintah seorang penjaga di sebelahnya.

Tapi penjaga itu tidak segera menurut. "Bagaimana kalau ketua Gang marah? 138 adalah aset berharga一"

Marah tapi tetap berwajah tenang, Han merebut AK-47 dari si penjaga dan memukul wajahnya. "Dengarkan aku kalau aku bicara, dasar tolol."

Lalu, dia menembakkan satu peluru.

Peluru itu meluncur dengan kecepatan 710 meter/detik, mengincar bahu Jaemin. Di film-film, satu luka tembakan seolah tak berefek apa-apa, tapi sebenarnya, luka tembakan sangat menyakitkan dan bisa menghalangi pergerakanmu, apalagi jika yang terkena adalah bahu atau kaki.

Namun Jaemin tidak bergerak.

Dia hanya berdiri menunggu datangnya peluru itu. Keningnya berkerut, titik-titik keringat membuat rambut depannya basah. Pandangannya fokus pada peluru itu, tanpa melihat objek lain. Bibirnya membisikkan satu kata yang teramat pelan; berhenti.

Dan peluru itu berhenti.

Jatuh dengan suara berdenting ke lantai sebelum menyentuhnya.

Han kelihatan tidak senang menonton atraksi kecilnya. "Tembak dia."

Para penjaga itu berubah cepat tanggap.

Rentetan tembakan dilepaskan. Suara yang dihasilkan sungguh memekakkan telinga, tapi sama seperti yang pertama, peluru-peluru itu seakan menabrak tembok yang tak kasat mata dan jatuh berceceran di kaki Jaemin.

Semua penjaga terperangah.

Hanya Han yang tersenyum, puas melihat bagaimana menghadang peluru-peluru itu telah membuat napas Jaemin tidak teratur. "Tes ... yang kalian lakukan rupanya berguna. Sepertinya aku ... harus berterimakasih pada Dr. Yoon."

Senyum Han berubah menjadi tawa. Han tentunya tidak lupa, dia ada di sana saat tes itu dilakukan; tes yang meminta Jaemin berdiri di suatu ruangan dan membiarkan seorang penembak jitu menembaknya. Semua hanya karena mereka ingin tahu seberapa besar kekuatannya. "Kau menipu kami, ya?"

Dalam tes itu, Jaemin hanya mampu menahan beberapa peluru, bukan puluhan seperti ini. Saat ia sudah tak sanggup lagi, dia akan menghindar dan memohon supaya tes itu dihentikan.

Ternyata itu bohong.

Selama ini dia menyembunyikan kemampuannya yang sebenarnya.

"Dasar monster." Han mendesis. Wajahnya berkerut jijik.

"Aku sudah sering mendengarnya," sahut Jaemin ringan, mengangkat AK-47 lalu memiringkannya ke kiri.

"Kau takkan tahu cara menggunakannya." Tebak Han, tapi suaranya berada di ambang keraguan. Dia tahu Jaemin sudah lama berada di sini dan sering memperhatikan penjaga.

"Jangan meremehkanku." Sambil tetap memegang pisau, Jaemin memutar tombol switch safety dari safe ke OB, mengatur senjata itu dalam mode otomatis, dan mengokangnya, membuat peluru terdorong ke ruang tembak. Dengan begini, selama pelatuknya ditekan, senjata itu akan terus menembakkan peluru sampai habis.

Ada seringai di wajah Jaemin saat ia gantian menghujani Han dengan peluru. Semua penjaga一termasuk Han一kompak tiarap. Rompi anti peluru tidak menjamin mereka aman sepenuhnya. Disaat yang sama, Jaemin melepaskan tangannya dari AK-47, membuat senjata itu mengambang di udara, lalu kembali berlari ke kanan.

Semua benda yang Jaemin kendalikan memang bisa tetap berada dalam keadaan yang dia inginkan, asal posisinya dan benda itu tidak terlalu jauh.

Han yang menyadari tujuan Jaemin meraih HT-nya dan menghubungi ruang kontrol. "Tutup pintunya sekarang!!"

Yang dimaksud Han adalah sepasang pintu besar yang terbuat dari baja, yang berada beberapa meter di depan Jaemin.

Jika pintu itu tertutup, habislah dia. Jaemin takkan bisa membukanya karena pintu itu terlalu berat.

Orang-orang yang berada di ruang kontrol menekan beberapa tombol dan pintu mulai tertutup...

Pelan tapi pasti mempersempit peluangnya untuk keluar.

Jantungnya Jaemin berdetak kencang, seiring dengan rasa takut yang semakin meningkat. Dia tidak boleh gagal一apapun yang terjadi. Hari ini mungkin adalah kesempatan terbaiknya. Kalau sampai terhenti di sini, ia tak bisa membayangkan hukuman apa yang akan ia terima nanti.

Belum lagi Renjun.

"Mungkin untuk mengeluarkan kami, kau harus keluar lebih dulu..."

Renjun juga pasti akan dihukum karena telah membantunya. Tugas Jaemin adalah memastikan dia tidak dihukum dengan sia-sia, bahwa dia tidak akan kecewa.

Teman-temannya yang lain juga. Saat ini, dia adalah tumpuan harapan mereka.

"Sampai bertemu lagi..."

Jaemin berkedip, setetes air mata jatuh ke pipinya. Dia teringat janji yang dibuatnya kemarin, janji yang sudah sering dia ucapkan.

Dan dia bertekad menepati janji itu.

Jaemin berusaha fokus. AK-47 yang ada di belakangnya terjatuh saat konsentrasinya terpusat pada pintu itu. Tidak perlu di buka, yang harus ia lakukan hanya menahan pintu itu sebentar hingga ia bisa melewatinya. Beberapa detik saja...

Berhenti.

Seharusnya ini mudah. Mengendalikan benda tidak sesulit mengendalikan manusia, tapi pintu itu terbuat dari baja tebal yang masing-masing memiliki tinggi hingga 4 meter...

Berhenti!

Napas Jaemin semakin berat. Peluh menetes di dahinya. Ini selalu terjadi saat ia terlalu banyak menggunakan bakatnya. Bila terus dipaksakan, ia akan pingsan. Tapi pintu itu sudah semakin dekat. Sedikit lagi.

Tolonglah.

Jaemin meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa. Dia akan membuktikan pada si robot Lee Han bahwa pria itu salah karena telah meremehkannya. Dia akan membuat Rim kesal. Dia akan bebas!

Ya, bebas.

Tak ada yang boleh menghalanginya menyongsong kebebasan itu. Tidak Lee Han, tubuhnya sendiri, atau pintu sialan tersebut.

Berhenti! Berhenti!! BERHENTI!!!

Satu kata tersebut seolah berputar-putar di kepala Jaemin. Bunga api muncul di bagian bawah pintu itu saat Jaemin memaksanya bekerja lebih lambat. Semua mata yang ada di ruang kontrol membelalak menyaksikan dari monitor, begitupun Han dan para penjaga yang masih hidup.

Tapi, Han adalah tipe orang yang cepat pulih dari keterkejutannya. Dia bangkit, memungut salah satu AK-47 yang tergeletak di lantai. Pelurunya sudah habis, jadi dia mengeluarkan magasin cadangan.

Suara yang ditimbulkan Han saat mengisi ulang senjata itu membuat Jaemin menoleh. Didapatinya pria itu sedang membidikkan AK-47 ke arahnya.

Jaemin tidak berhenti. Mengurus pintu itu lebih penting daripada mengkhawatirkan Han. Dia justru memaksa kakinya berlari lebih kencang.

3 meter.

Han mengokang senjatanya.

2 meter.

Jari Han bersiap di pelatuk.

1 meter.

Terdengar suara letusan dan 3 peluru meluncur sekaligus.

Tak ada waktu untuk menahannya.

Jaemin mengambil langkah lebar ke pintu, sedikit memiringkan tubuh untuk melewati celah yang sempit itu, dan akhirnya...

Ya! Bisa!

Namun mendadak, ia hilang keseimbangan, dan jatuh terduduk di lantai. Sebuah kecelakaan yang menguntungkan karena itu membuat 3 peluru yang Han tembakkan meluncur ke bagian atas kepalanya, bukan punggungnya seperti target awal pria itu.

Lalu seolah dalam gerak lambat, pintu resmi tertutup, memisahkan Jaemin dari Han yang tampak sangat marah, sementara ia membalasnya dengan senyum mengejek.

Jaemin berhasil.

Semuanya belum berakhir.

Senyum Jaemin lenyap. Ia meringis sambil menyentuh kepalanya yang sakit. Begitu sakit hingga berdiri saja sulit. Tangannya harus berpegangan pada pintu karena kakinya gemetar. Menahan peluru dan pintu baja sekaligus benar-benar menguras tenaganya.

Sayang, tak ada waktu untuk istirahat.

Dari sisi lain, ruangan Rim terlihat seperti ruangan biasa. Tapi sebenarnya ada bagian dindingnya yang bisa dibuka dengan sebuah remote khusus, yang akan langsung membawa Rim ke lab.

Pintu yang ini hanya digunakan oleh Rim dan kadang-kadang Han, itu sebabnya hanya dijaga oleh 2 orang. Bukan masalah besar.

Jaemin tak memberi keduanya waktu untuk menembak一tak yakin masih bisa menahan peluru一dan dengan cepat membunuh mereka menggunakan pisaunya.

Bagus. Sekarang tinggal membuka dinding itu.

Ia kembali berkonsentrasi, membayangkan一

Dindingnya terbuka?

Kening Jaemin berkerut. Benar. Dindingnya memang terbuka. Gang Rim berdiri di sana dengan sebuah remote di tangan kanannya. Wajahnya santai, tanda bahwa kekacauan yang Jaemin sebabkan belum sampai ke telinganya.

Mula-mula, ia terkejut mendapati seorang penjaga yang dadanya tertusuk pisau, kemudian pandangannya bergeser pada Jaemin yang berdiri dengan pakaian berlumuran darah dan napas yang tersengal-sengal.

Mereka bertatapan.

Hanya sebentar, karena selanjutnya Jaemin berlari melewati Rim, menabrak bahunya sampai pria itu menjatuhkan remote yang ia genggam dan kabur dari sana.

Ia bertemu beberapa agen di gedung itu, tapi tak ada yang menghentikannya karena mereka heran melihat seorang remaja laki-laki keluar dari ruangan sang big boss.

Jadi saat Rim berkata, "Tangkap dia!" itu sudah terlambat.

Jaemin telah pergi.

Tanpa tujuan yang pasti, stasiun terdekat menjadi persinggahan yang masuk akal. Tempat itu ideal karena ia bisa berbaur dengan kerumunan orang-orang.

Dalam hati, dia bertanya-tanya, apakah menginginkan kebebasan merupakan sesuatu yang berlebihan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top