25. A Man Named Doyoung

Fujian, China, 4 bulan kemudian.

Namanya Doyoung.

Setidaknya itulah yang dia bilang.

Qian Kun tidak tahu apakah itu nama asli atau bukan, apa marganya, atau darimana dia berasal. Doyoung muncul di suatu malam, masuk ke barnya dan memesan tequila. Dia duduk tenang di meja pojok, memisahkan diri dari keramaian.

Pakaian yang ia kenakan cukup bagus一sama sekali tidak terlihat seperti pemabuk sinting yang seringkali pulangnya harus diusir. Ransel yang dibawanya tidak mengundang kecurigaan. Dan bahasa Mandarin tanpa aksennya sempurna一sehingga kalau bukan karena nama, Kun tidak akan tahu dia orang Korea. Sekilas lihat, Doyoung seperti mahasiswa biasa yang ingin beristirahat sejenak dari penatnya hidup dengan bantuan minuman keras.

Pria itu menatap semua orang dengan lagak seorang raja sedangkan yang lain sebatas rakyat jelata. Angkuh. Sombong. Sinis. Doyoung punya jenis tatapan yang mudah disalahartikan. Cewek-cewek boleh saja menganggap tatapan semacam itu keren一yang sebenarnya tidak salah一namun Kun dan orang-orang yang berpikiran waras lebih tahu; itu tanda bahwa kau sebaiknya tidak cari masalah dengannya.

Tapi untunglah, Doyoung tidak melakukan hal-hal aneh. Dia sekedar duduk dan menikmati minumannya. Bahkan saat ada perkelahian一yang hampir menyerupai rutinitas bagi Kun一dia tetap santai. Kun malah melihatnya tersenyum, seakan dia menikmati keributan.

Sampai salah satu dari 2 orang mabuk itu  menyenggol meja Doyoung, membuatnya terbalik, menumpahkan minumannya...

Doyoung tidak marah一kelihatannya begitu. Senyumnya tidak tergoyahkan. Namun saat ia bangkit perlahan dan meregangkan jari-jarinya, Kun tahu akan terjadi sesuatu yang buruk. Anggap saja itu firasat atau insting, yang jelas, bertahun-tahun bekerja sebagai pemilik bar membuatnya bisa mengenali para pembuat onar.

Dan benar saja.

Dengan satu gerakan yang tangkas, Doyoung menarik pria yang terkapar itu berdiri, menghadiahinya pukulan kuat ke dada yang membuat Kun meringis dan ... khawatir.

Orang kedua tidak bernasib lebih baik. Dia berusaha melawan dan Doyoung tidak senang. Doyoung menahan pukulannya dengan mudah一seolah tubuh tinggi dan kekar pria itu tidak berarti apa-apa一dan membalikkan keadaan. Dengan teramat mudah, ia menyambar tangan si pria, lantas memuntirnya ke belakang hingga patah.

Saat itu, Kun tercengang sekaligus terpesona. Aksi Doyoung menunjukkan dengan jelas bahwa ia terlatih, bukan cuma orang yang mempelajari bela diri dari jalanan. Dia tahu harus memukul di titik yang mana untuk memperoleh rasa sakit yang maksimal. Dia bukan orang yang satu-dua kali berkelahi. Dia berpengalaman.

Ketika Kun bertanya apakah dia pernah mendapatkan pelatihan militer, Doyoung hanya tertawa. Begitupun dengan caranya lolos dari polisi, jawabannya menjadi rahasia.

Keesokan harinya, Doyoung datang lagi, entah sudah lupa bahwa kemarin ia membuat Kun harus menelepon ambulans atau hanya tidak peduli. Pengunjung lain memperhatikannya saat ia masuk, sebagian dengan tatapan kagum, yang lain penasaran. Fujian adalah kota kecil, gosip cepat sekali menyebar di sini.

Namun Doyoung mengabaikan mereka, acuh pada semua perhatian yang ia terima dan mendekati Kun yang tengah bermain game di ponselnya. Dengan sopan, ia bertanya apakah bisa meminjam benda itu, karena ponselnya sendiri jatuh di kamar mandi dan ia harus menghubungi seseorang.

Kun mengizinkan, dan sejak itu mereka berteman.

"Kemana saja kemarin?" Tanya Kun, seraya mengeluarkan 2 botol soju yang dipesan khusus oleh Doyoung. "Berpetualang lagi?"

Doyoung nyengir, menuang soju ke dalam gelas dan meneguknya sebelum menjawab. "Main-main sebentar."

Selalu saja seperti itu. Kun menghela napas. Sia-sia berharap Doyoung memberi jawaban yang bebas teka-teki. Pelanggan setianya ini memang sering kemari, tapi terkadang dia akan absen berhari-hari, mengurus urusan misterius yang selalu ia sembunyikan. Barangkali ada hubungannya dengan beberapa orang mencurigakan yang pernah Kun pergoki bersamanya. "Ada yang mecarimu."

Sebelah alis Doyoung terangkat. "Siapa?"

"Mana kutahu? Dia perempuan, cantik, dan bilang akan menghajarmu kalau kau tidak menemuinya di pantai saat jam..." Tatapan Kun melesat ke arloji di tangan kirinya. "Kira-kira 20 menit lagi."

"Bahasa Korea atau Mandarin?"

"Mandarin."

Kembali santai, Doyoung menyandarkan tubuhnya ke kursi, dengan mata tertuju ke TV yang saat ini menayangkan film action. "Sepertinya itu Yiyang, aku berjanji akan mentraktirnya makan sebelum pergi."

"Pergi?" Kun mengulang, meletakkan gelas yang sedang ia bersihkan. "Mau kemana?"

"Tidak tahu. Belum memutuskan," sahut Doyoung, sembari meluruskan kakinya di kursi yang akan dipakai orang lain. Tapi tak ada yang meminta. Lebih tepatnya, tak ada yang berani. "Aku sudah bilang tidak akan tinggal di sini lebih dari sebulan."

"Kenapa? Rindu kampung halaman?"

Doyoung terbahak, meminum lebih banyak soju hingga tersisa setengah botol. "Aku tak punya keberanian kembali ke sana. Dulu, aku melakukan kesalahan yang kusesali sampai sekarang."

"Semua orang juga begitu," jawab Kun, yang hanya sebulan lebih tua dari Doyoung tapi kerap memberinya macam-macam nasehat. "Jangan lari dari masalah, kau harus minta maaf dan menghadapinya. Anak kecil saja tahu itu. Masa tidak berani?"

"Seandainya saja semudah itu..." Sesaat, perasaan Doyoung yang sejati terekspos dan melenyapkan senyum konyol yang sering ia pamerkan. Doyoung sedih. Apapun masalah yang membuat ia tidak bisa pulang, pastilah bukan masalah yang gampang diselesaikan. Hanya saja percuma bertanya. Apalagi karena menit berikutnya ia sudah kembali ceria dan menunjuk layar dalam usahanya mengalihkan topik pembicaraan. "Lihat. Itu namanya Sig Sauer, sepertinya kaliber .45. Itu pistol yang bagus."

"Darimana kau tahu?" Kun memiringkan kepala, heran. Ini bukan kali pertama Doyoung mengejutkannya dengan pengetahuannya yang beragam. Ia sering mengoceh tentang pistol, senjata, dan mengkritik film yang menurutnya tidak sesuai kenyataan. Jika kata-kata itu keluar dari mulut seorang tentara, wajar saja. Tapi Doyoung bahkan tidak bekerja.

"Google," jawab Doyoung, mengeluarkan kebohongan lain sambil tertawa.

"Aish, dasar kau ini!" Kun mengangkat gelas, berpura-pura akan memukulnya. "Pergi sana, gadis itu pasti sudah menunggumu."

"Masih ada waktu kok." Kilah Doyoung, menghabiskan isi botol pertama dalam sekali tegukan. "Tapi baiklah, aku pergi sekarang. Ini." Ia mengeluarkan uang dari dompetnya yang lusuh dan membayar. Tampak di salah satu sisi dompet hitam itu, terdapat fotonya yang sedang merangkul seorang gadis berambut sebahu.

Kun mengembalikannya, menggeleng. "Kali ini gratis."

"Woah, terimakasih Kun-ge! Kau memang yang terbaik! Aku sangat sangat mencin一"

"Ah, sudah, hentikan! Tidak usah memelukku. Cepat pergi, bodoh!"

Kun bergidik, mendorong Doyoung yang lagi-lagi tertawa seperti orang yang sama sekali tidak punya beban keluar dari bar. Ia menyaksikan pria itu berlalu dengan lambaian tangan berlebihan, kemudian menghilang.

Barulah setelah itu Kun berbalik.

Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, tapi ia lupa mengenai apa tepatnya. Sesuatu tentang Doyoung, tentang pertemuannya. Apa, ya? Kun memijat dahinya dan berusaha keras mengingat-ingat.

Sesuatu...

Sesuatu...

Orang yang mencarinya ... Oh!

Kun memukul kepalanya sendiri. Ia baru ingat bahwa gadis yang mencari Doyoung kemarin sangat mirip dengan gadis yang dirangkul Doyoung di foto dompetnya.

Langit.

Objek favorit Jaemin.

Doyoung menatapnya sambil tersenyum, bertanya-tanya apa yang dilakukan anak itu sekarang. Apakah dia mengawasinya dari atas sana? Apakah dia bahagia?

Ya, pasti begitu. Ia percaya orang sebaik Jaemin akan menemukan kebahagiaannya, walaupun tidak di dunia ini.

Berbulan-bulan sudah berlalu sejak kejadian itu. Tapi Doyoung masih belum bisa menerima atau melupakannya. Dia pergi, menghindari Sejeong sebisa mungkin dan melakukan apapun untuk mempersulit pelacakan. Semua kontak dengan teman-temannya di Seoul terputus dan ia menghukum dirinya dengan kesendirian.

Bukan berarti Doyoung tidak merindukan mereka, tapi一seperti katanya tadi一ia hanya tak punya keberanian untuk kembali.
Rasa bersalahnya bagai bola besi yang mengikat kakinya tanpa bisa di lepas. Bahkan beberapa hari pertama setelah melarikan diri, ia terus bermimpi buruk tentang halaman rumah penuh darah hingga tidur menjadi kegiatan yang sulit baginya.

Mereka bilang, waktu adalah obat yang paling mujarab, dan ya, Doyoung (yang mulanya skeptis) akhirnya mencoba metode penyembuhan ala sang waktu dengan cara jauh-jauh dari apapun yang mengingatkan dia pada masa lalu.

Semuanya sedikit membaik sekarang, tapi tidak sepenuhnya.

Di Fujian, Doyoung berusaha hidup senormal mungkin一yang tidak terlalu berhasil. Ia berpura-pura sedang menjalani cuti yang layak ia dapatkan, liburan singkat dari kenyataan dan pekerjaan yang berat.

Meski terkadang, ia harus melakukan pekerjaan kotor untuk orang-orang yang juga tidak seutuhnya bersih. Tapi kalau di pikir-pikir, ia sudah menahan diri dengan sangat baik, sehingga jarang menyebabkan masalah.

Sejeong pasti bangga.

Membayangkan gadisnya membuat Doyoung mengukir senyum. Ia melangkah ke pantai sambil bersenandung pelan.

Yiyang sendiri merupakan salah satu teman baru yang ia dapat. Anak yang manis, Yiyang itu. Keduanya, ditambah pantai yang akan ia datangi adalah 3 serangkai yang membuat dia begitu betah tinggal di Fujian.

Padahal awalnya, alasan Doyoung pindah ke kota ini sejujurnya murni adalah skenario semesta yang acak, sebab ia hanya asal memilih tempat yang dari namanya kedengarannya menarik.

Namun pilihannya tidak keliru; Fujian memang menarik.

Pantai sedang sepi saat ia sampai. Tak ada siapapun. Sayang sekali, sebab panorama alam ketika laut dan langit senja seolah melebur jadi satu adalah pemandangan yang terlampau indah untuk dilewatkan.
Tapi Doyoung tak keberatan. Sejak dulu, ia termasuk orang-orang yang mencintai ketenangan.

Selagi menunggu, ia membaringkan tubuh di atas pasir, menyingkirkan beberapa ranting yang terbawa hempasan ombak kemari. Ini salah satu kegiatan favoritnya akhir-akhir ini; tinggal di pantai sampai malam tiba. Suara angin yang berhembus adalah pengusir insomnia terbaik versinya.

Tapi hari ini dingin sekali. Anginnya terlalu kencang untuk ukuran musim semi yang seharusnya hangat.

Alam sungguh tidak bisa ditebak.

Terserahlah. Doyoung melipat tangannya di bawah kepala, bersiap memejamkan mata, dan mencuri waktu tidur sebelum Yiyang datang.

Berbalik ke samping, tiba-tiba kantuk lenyap dari matanya dan ia melotot.

Ranting yang ia singkirkan tadi melayang di udara.

Doyoung terduduk kaget, kepalanya sedikit pusing karena bangkit terlalu cepat. Ia menepuk-nepuk pipinya, mengira sedang bermimpi. Rasanya sakit. Berarti bukan. Tangannya beralih menggosok-gosok mata, berharap ia salah lihat. Tapi si ranting tetap saja melayang. Berarti...

"Apa aku sudah mulai gila?" Doyoung bermonolog lirih, ngeri dengan tebakannya sendiri. Itu bukannya tidak mungkin terjadi kan? Stres dan lama tidak bertugas bisa saja membuat otaknya kacau dan menyebabkan ia mengalami halusinasi.

Masalahnya, ia merasa sangat normal saat ini. Bisakah orang gila merasakan saat ia gila?

Doyoung benar-benar bingung.

Lebih bingung lagi saat mendengar suara tawa seorang gadis. "Tentu saja tidak. Kau sudah gila sejak dulu."

Mulut Doyoung menganga lebar.

Sejeong yang mengenakan gaun yang serasi dengan pasir putih bermotif garis-garis, tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. "Apa kabar, agen Kim?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top