23. Reuni

Dihadapkan pada pertanyaan itu, Doyoung kembali tertawa. Apa yang ia inginkan sebetulnya sederhana, tapi orang lain menyebutnya masalah dan mempersulit dirinya. "Tergantung sikapmu."

Seon berjalan menghampirinya一tanpa senjata. Di tangan Seon, hanya ada sebuah ponsel yang di layarnya tertulis nama 'Taeyong' dan dari ponsel itu, suara Taeyong bergema seperti siaran radio yang terputus-putus, meski Doyoung masih bisa menangkap beberapa kata yang dia ucapkan. "Kau ... lepaskan mereka! Jangan halangi ... tahu sendiri Doyoung itu一"

Klik. Sambungan diputus.

"Aku sudah dengar." Seon berkata. "Bahwa ada pesta di Yangpyeong, tapi aku tidak tahu kalau pesta itu berakhir kacau."

"Pesta?" Dalam hati Doyoung meralat, lebih cocok disebut pesta darah. "Yah, sayang kau tidak ikut. Seru sekali tadi."

Seon menoleh ke belakang, pada orang-orang gelisah yang memakai seragam yang sama dengannya. Beberapa Doyoung kenal, namun tak satupun menyapanya. Bisa dimaklumi. "Dan Rim hyung meninggal?"

Jawaban Doyoung hanya anggukan, ia enggan menjelaskan detailnya. Renjun di sebelahnya tampak terkejut, tapi kalaupun dia senang, dia tidak menunjukkannya dengan jelas.

"Bagaimana bisa? Siapa pelakunya?"

"Aku tidak tahu." Doyoung berdusta, disertai efek tambahan membelalakkan matanya. "Dan aku harus pergi sekarang, ada seseorang yang menungguku."

"Dengan dia?" Tatapan Seon berpindah pada Renjun, yang tidak melakukan apa-apa, tapi membuat semua orang waspada. Doyoung sangat memahami sikapnya. "Kau tahu kan  dia tidak boleh keluar dari tempat ini?"

"Itu sebabnya aku akan meminta izin padamu."

"Meminta izin atau memaksakan izin?" Seon mendengus, melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku tidak bisa membiarkanmu, Doyoung. Peraturan tetaplah peraturan, dan dia harus tinggal."

Doyoung menggaruk dahinya dengan jari telunjuk, berpikir, dia sudah membuang terlalu banyak waktu. Sejeong pasti sangat mengkhawatirkannya. Dan bila itu belum cukup dijadikan motivasi, seluruh tubuhnya juga terasa sakit dan lelah. Dia butuh istirahat. Secepatnya. "Kau sudah dengar penjelasan dari Taeyong?"

Seperti yang bisa diharapkan dari seorang agen khusus yang dipilih dari mereka yang terbaik, Seon tidak mudah digoyahkan. "Biarpun Rim benar-benar meninggal, Taeyong belum bisa memberi perintah一

"Jadi kau lebih memilih mematuhi perintah dari mayat, ya?"

Seon mengerucutkan bibirnya, menghembuskan napas dengan jengkel.

"Kau tidak akan terkena masalah karena hal ini, hyung." Doyoung memenangkannya, mengulang apa yang ia katakan pada Renjun. "Jangan khawatir."

Seon meringis. "Sebenarnya bukan itu yang kukhawtirkan, tapi Han. Dia akan marah bila kehilangan 2 anak dalam waktu singkat."

1 nama itu seketika memperburuk suasana hati Doyoung yang sejak awal sudah tidak bagus. Han. Lee Han. 1 nama itu akan selalu mengingatkan Doyoung akan kesalahan terbesarnya; memberi ampun pada orang yang salah.

Doyoung mencengkeram Armatix-nya hingga tangannya gemetar. "Akan kubunuh bedebah itu kalau sampai berani muncul dihadapanku. Karena dia, Jaemin hampir saja mati."

"Jaemin? Apa yang terjadi padanya?" Tanya Renjun, bersamaan dengan Seon yang bertanya, "Siapa Jaemin?"

Doyoung berpaling pada Renjun dengan ekspresi sendu. Sebagai teman, dia sadar Renjun berhak tahu一seperti halnya dia yang pasti ingin tahu jika Taeyong terluka一tapi ia tidak sanggup memberitahunya. Lidahnya kelu, diganjal oleh rasa malu karena gagal melindungi seseorang yang telah menyelamatkannya.

Jadi dia hanya mendorong Seon ke samping, dan mengajak Renjun berjalan lagi.

Hanya saja, hidup pada dasarnya jarang memberi kemudahan.

Belasan moncong AK-47 langsung terarah pada mereka begitu mereka mengambil langkah pertama. Doyoung dengan sigap balas mengangkat Armatix dan secara naluriah melindungi Renjun dengan tubuhnya, meski ia tahu itu takkan berguna jika mereka benar-benar menembak.

Suasana berubah hening.

Hanya terdengar suara deru angin yang berhembus entah dari mana.

Doyoung tersenyum.

"Kau tidak akan berhenti ya kan?" Seon menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pasti membuat masalah adalah bakat terbaikmu."

"Terimakasih," jawab Doyoung sopan.

"Itu bukan pujian!"

"Tidak apa-apa, aku akan menganggapnya pujian."

Belum genap 10 menit bicara dengan Doyoung tapi sudah merasa frustrasi, Seon mengacak-acak rambutnya. "Apa yang harus kukatakan pada Han?"

"Suruh dia menemuiku. Aku akan dengan senang hati bicara dengannya."

"Begitukah, agen khusus Kim Doyoung? Jadi kau mau pergi tanpa menjelaskan apapun padaku?"

"Tepat sekali!" Doyoung menjentikkan jarinya dengan riang, tidak menangkap rasa bingung yang melintas di wajah Renjun karena dia sama sekali tidak terlihat panik. "Kau memang sangat memahamiku!"

Kecuali mata yang terpicing, minim sekali tanggapan dari Seon. Dia memandang Doyoung dan Renjun bolak-balik, barangkali memperhitungkan peluangnya bila nekat memaksakan adanya keributan.

Di sisi lain, ada Taeyong, yang ia klaim (secara sepihak) merupakan pemimpin proyek yang baru. Tapi tanpa adanya bukti bahwa Rim benar-benar sudah tamat, haruskah Seon menuruti perintahnya untuk melepaskan mereka?

Doyoung jadi kasihan. Bahkan bagi dirinya, situasi ini tidak sekedar rumit tapi luar biasa rumit, apalagi bagi Seon yang diharuskan mengambil keputusan.

"Tenang saja, aku tidak akan membawanya kabur. Itu yang kau takutkan bukan?" Dengan lagak bersahabat, Doyoung menepuk-nepuk pundak Renjun. "Kalau terjadi sesuatu, cari saja kami di rumahku atau rumah sakit di Sinwol-dong. Tahu kan? Rumah sakit besar di Yangpyeong itu."

"Mudah mengatakannya," sahut Seon. "Siapa yang tahu jalan pikiranmu?"

Lama-lama Doyoung jadi kesal. Mengapa ketika ia berkata jujur, orang-orang justru mengira ia berbohong? Sungguh menyebalkan. "Kalau begitu tempatkan penjaga di sana. Apakah itu cukup adil?"

Terjadi keheningan yang cukup lama saat Seon kembali berpikir. Ia berkali-kali melirik Doyoung, Renjun, lalu teman-temannya. Kemudian menggumamkan sesuatu yang terlalu pelan untuk didengar. Doyoung sampai bosan, tapi tidak menginterupsi, karena ia tahu, menentukan pilihan bukanlah perkara yang remeh.

"Jadi." Seon akhirnya bicara. "Kau mengizinkan kami mengawasimu. Apa itu benar?"

Walaupun tidak suka, hanya itulah solusi yang bisa Doyoung pikirkan saat ini. "Tapi dari jauh. Dan hanya sampai Taeyong secara resmi jadi pemimpin."

"Ya, cukup adil. Aku setuju."

Ucapan Seon disambut protes oleh rekan-rekannya, namun 1 kalimat tegas darinya ampuh membuat mereka terdiam. "Aku yang membuat keputusan di sini, dan akan bertanggung jawab untuk itu, jadi sebaiknya kalian tutup mulut!"

"Menyenangkan sekali, ya?" Doyoung tersenyum, bermain lempar tangkap kunci mobil dengan kedua tangannya, bergantian.

Renjun hanya mengerutkan kening, tidak sependapat. Keduanya kini sudah keluar dari lab, dan sedang berjalan ke mobil diikuti Seon dan ketiga temannya一yang telah berganti pakaian dan pistol yang mudah diselipkan di balik pakaian santai. "Menyenangkan apanya? Kemana kita akan pergi setelah ini?"

"Entahlah." Doyoung pura-pura berpikir, seakan menelusuri peta di otaknya. "Ada tempat yang ingin kau datangi?"

Renjun dengan cepat mengangguk. "Rumahku. Aku ingin bertemu kakak perempuanku, sudah lama sekali aku tidak melihatnya."

Alis Doyoung terangkat. "Kau punya kakak perempuan? Apakah dia cantik?"

"Sangat cantik, tapi kau bukan tipenya kalau itu maksudmu."

Doyoung tertawa terbahak-bahak, tanpa sengaja memukul bahu Renjun一kebiasaan yang kadang membuat orang lain kesal. "Ey, kau kan tidak akan pernah tahu! Mungkin saja nanti kakakmu jatuh cinta padaku di pandangan一"

Kalimat Doyoung terputus. Sebuah mobil Fastback berwana merah terang yang norak berhenti sembarangan, nyaris menabrak mobil pinjaman tidak resminya. Dari pintu penumpang Fastback itu, keluarlah Lee Han, yang berjalan dibantu kruk, bersama Sina yang kelihatan sangat marah.

Gosip ibarat hama yang gampang menyebar. Antara anak buah Jungwoo atau Seon, pasti ada salah satu dari mereka yang terlalu banyak bicara dan jadi musuh dalam selimut.

Yang mana sajalah. Doyoung tidak peduli. Ia senang sekali bertemu Han di sini tanpa harus mencarinya.

"Apa kabar, Lee? Bagaimana keadaan kakimu? Sudah lebih baik?"

Han mengabaikannya, dan berjalan tertatih-tatih mendekati Seon. "Apa ini?! Kau membiarkan mereka bebas? Tidak bisakah kau membuat dirimu berguna??"

Seon mengangkat kedua tangannya; isyarat tidak tahu, dan sebagai gantinya menunjuk Doyoung.

"Kenapa?" Tantang Doyoung. "Mau mengajakku berkelahi?"

Sina yang normalnya selalu santai menggeram murka. "Kau tidak berhak membawa anak itu keluar!"

Renjun mundur selangkah, terkejut oleh luapan kemarahan itu. Tapi berkebalikan dengannya, senyum lebar Doyoung sama sekali tidak luntur. "Kalian juga tidak berhak menahannya di kubangan sampah ini."

Seon hampir tertawa mendengarnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Doyoung memiliki lidah yang tajam. Dia tak segan mengatakan apapun pada siapapun, bahkan pada orang yang memiliki posisi lebih tinggi. Han dan Sina bukan pengecualian.

"Jangan mengacaukannya proyek ini lebih jauh lagi." Ancam Han tegas. "Dia harus kembali ke tempatnya." Tangannya terulur, berniat meraih lengan Renjun, tapi Doyoung menepisnya sebelum niatnya terlaksana, dan membalas dengan sebuah pukulan yang tidak bisa Han hindari hingga dia terjatuh.

"Merasa deja vu?" Doyoung menggerakkan lehernya ke kiri dan ke kanan, kemudian meregangkan jari-jarinya. "Terlalu lambat, terlalu lemah. Seharusnya kau jadi psikiater saja. Itu pekerjaan yang cocok untukmu."

Berperan sebagai teman yang baik, Sina yang sekali ini tidak bermanis-manis pada Doyoung membantu Han berdiri.

"Atau," lanjut Doyoung, meletakkan tangannya di pinggang, merasakan lekuk pistol yang berada di sana. "Kau bisa menyusul Rim hyung. Mana yang kau pilih?"

"Apa yang kau lakukan padanya?" Wajah Han memucat. Rasa takut dan khawatir bercampur menjadi satu, dan terlihat jelas di matanya yang biasanya menampilkan sorot percaya diri.

"Di mana Rim?" Sergah Sina tajam. "Kau apakan dia?"

"Dia mati, dan kalian akan menyusulnya." Dengan perlahan, Doyoung menarik pistolnya. Dia berniat menuntaskan semua akar permasalahan ini. Termasuk Sina juga, jika terpaksa. Tiada ampun lagi. Han harus merasakan apa yang Jaemin rasakan.

Dengan begitu baru adil kan?

Mata dibalas mata.
Gigi dibalas gigi.
Darah dibalas一

Sebelum pistol itu sepenuhnya tersingkap dari kemejanya, Seon tiba-tiba bergerak dan menahan lengannya. "Kau sudah gila? Apa masalahmu dengan mereka?!"

"Jangan一" Menggunakan siku, Doyoung mendorong Seon menjauh. "一ikut campur!"

"Aku juga tidak mau!" Sahut Seon tidak terima. "Tapi jangan gunakan mainan itu. Lihat ke sana, bodoh!"

Doyoung menoleh. Telunjuk Seon rupanya mengarah pada sekelompok orang yang telah membentuk kerumunan kecil beberapa meter darinya. Ada yang saling berbisik, sementara yang lain menunjuk-nunjuk. Ada pula yang tersenyum, seolah sedang menonton acara TV yang menarik.

Sejak kapan mereka ada di situ? Kening Doyoung berkerut, merasa amat marah. Jika ini adalah dunia anime, asap pasti sudah keluar dari telinganya sekarang.

"Apa lihat-lihat?!" Ia membentak. "Kalian pikir aku sedang melakukan atraksi, ya? Pergi sana, dasar kutu monyet!"

Kerumunan itu bergegas pergi, tapi tidak sebelum membangkitkan lebih banyak amarah Doyoung dengan membalas ejekannya dan memberikan jempol terbalik. Sejenak, ia tergoda menembakkan pistolnya untuk menyaksikan mereka lari pontang-panting ... itu pasti akan sangat menyenangkan.

Tapi seakan membaca pikirannya, Seon menggeleng. "Kau sebaiknya segera pergi. Buatlah masalah di tempat lain."

"Keparat itu一"

"Tidak, Doyoung, tidak." Dengan gerakan yang tidak bisa dibilang lembut, Seon mendorong Doyoung dan Renjun ke mobil, memaksa keduanya masuk seperti mengusir nyamuk yang bandel. "Jangan buat aku berubah pikiran dan menahan kalian di sini."

Merasa tak punya pilihan lain, Doyoung terpaksa merelakan peluang keduanya menghabisi Han一beruntungnya dia!一tapi itu tidak menghentikannya untuk memberi tatapan membunuh pada pria itu一yang sialnya tengah menelepon dengan ponsel Sina sehingga tidak melihat. "Jauhkan dia dari lab. Dan jangan lakukan apapun pada anak-anak lainnya, kau mengerti?"

Seon mengangguk dengan wajah malas. "Kau ini sangat merepotkan."

Menjelang sore, keadaan rumah sakit masih cukup ramai. Kelihatannya tidak ada istirahat bagi para petugas medis karena bahkan saat keluarga pasien mengajak sanak saudara mereka yang sakit jalan-jalan di taman, mereka masih saja sibuk mondar-mandir.

Di luar, langit tampak cerah, yang Doyoung anggap sebagai pertanda bagus. Dia keluar dari mobil dan memberi sinyal pada Renjun agar mengikutinya. "Ayo."

3 orang yang ditugaskan Seon untuk mengawasinya turut turun dari kendaraan mereka dan mengekor. Doyoung mengabaikannya.

"Mau apa kita ke sini?" Renjun masih belum menyerah berusaha menemukan jawaban.

"Menemui seseorang yang kau rindukan." Tanpa meminta izin, Doyoung mengambil alih semua buku gambar yang dipegang Renjun, dan berjalan lebih cepat.

Renjun terdiam sebentar. Berhasil lolos dari Sina dan Han hanya mengangkat sebagian bebannya. Doyoung bisa melihat bahwa dia khawatir一tapi kekhawatiran itu bukan tertuju pada dirinya sendiri. "Jaemin, ya? Apa dia baik-baik saja?"

"Anggap saja begitu." Tiba di lift, Doyoung menekan angka 9, dan bersandar dengan mata terpejam. Sempat meminta satu bantuan lagi pada Taeil berupa pinjaman ponsel, membuatnya tahu di mana lokasi pasti Sejeong dan Taeyong, serta Mark. "Kau  akan sangat senang sebentar lagi."

Dari raut wajahnya, Renjun kelihatan tidak berharap banyak. "Kau siapanya Jaemin? Aku tidak ingat dia pernah bercerita punya teman sepertimu."

Orang yang menabrak Jaemin di suatu malam? Orang yang ditolong Jaemin dari Rim berkali-kali? Doyoung memilih jawaban yang menurutnya paling tidak kontroversial. "Kami teman baru."

Ting!

Lift terbuka. Kaki-kaki mereka menapaki lantai 9 yang lebih sepi, hanya sesekali dilintasi oleh perawat yang membawa obat-obatan. Doyoung memimpin Renjun ke kamar ke-4 dari ujung. "Bukalah."

"Kenapa bukan kau saja?"

Kali ini Doyoung tidak tahan untuk tidak menjewer telinga Renjun hingga memerah, membuatnya mengaduh kesakitan. "Kau ini cerewet sekali, ya. Cepat buka sana!"

Renjun memberengut, menggosok-gosok telinganya sejenak sebelum meletakkan tangannya di gagang pintu yang terasa dingin, lantas menekannya ke bawah.

Pintu pun terayun ke dalam, disertai suara deritan pelan. "Jaemin一"

Dia tertegun.

Yang ada di kamar itu bukanlah Jaemin.

Susah nyari picnya yg keliatan kaget, dapetnya ini. Yg penting kiyowo lah ya. Anakku gitu loch 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top