22. Trouble Maker

Doyoung mengenali Ha Seon.

Selain dari catatan daftar nama yang ditulis Jaemin, dia mengenalnya secara pribadi sebab Seon seumuran dengan Young Shin dan kerap bersama pria itu. Karena faktor inilah, dan kesadaran bahwa ia sudah begitu dekat dengan Renjun, ia tersenyum. "Aku ingin bertemu seseorang."

Tapi senyumnya tidak mendapat balasan dari Seon. Pria yang lebih tua 2 tahun darinya itu justru mengetukkan jarinya ke AK-47, mengintimidasi. "Entah darimana kau tahu tentang tempat ini, tapi kau tidak boleh masuk. Pergilah, dan berikan remote itu padaku."

Doyoung tertawa geli, tidak menanggapi Seon dengan serius. "Siapa yang membuat peraturan itu?"

"Rim hyung. Tanpa izinnya, kau一"

"Dia sudah meninggal." Satu kalimat dari Doyoung sukses membuat Seon bungkam, mengubah ekspresi garangnya menjadi kaget dan tidak percaya. "Pemimpin baru proyek ini adalah Taeyong dan dia mengizinkanku masuk. Jadi sebaiknya kau minggir."

"Berhenti." Seon menolak dengan gampang disingkirkan. Dia mendorong Doyoung sebelum bisa masuk lebih jauh. "Apa yang sedang kau bicarakan? Jelaskan dulu."

"Sayangnya aku tidak punya waktu." Doyoung tersenyum. Dengan tenang menurunkan tangan Seon dan menunjuk ke belakang menggunakan jempolnya. "Lagipula ada yang harus kau kerjakan."

"Apa?" Seon menatapnya curiga. Reputasi Doyoung sebagai pembuat onar sudah sebegitu tenarnya sehingga melihat seringai nakalnya membuatnya gugup. Tapi apapun yang Seon duga, pastilah bukan kebakaran di brankas Rim, adanya api yang melalap berkas-berkas di sana yang sebagian sudah menghitam dan menjadi abu. "Doyoung, kau??"

"Oh, maaf." Doyoung mengangkat kedua tangannya ke udara, berakting sebagai pria polos yang manis. "Aku tidak sengaja." Ia terbahak keras menyaksikan 2 penjaga itu lari terbirit-birit mencari alat pemadam kebakaran. "Kalau kau penasaran, tanyakan saja pada Taeyong."

Dan dengan sebuah lambaian tangan, dia pergi, masuk lebih dalam ke lab, melewati sepasang pintu baja yang cukup tinggi. Matanya menelisik tempat itu dengan seksama, yang lebih luas dari perkiraannya. Lantai, langit-langit, serta sebagian besar benda yang ada di sana berwarna putih.

Yang meski punya arti baik, Doyoung tetap tidak suka. Menurutnya warna putih itu  terlalu biasa, terlalu terang, pokoknya sangat tidak keren. Bergidik ngeri, ia tidak bisa membayangkan dirinya terkurung di sini walaupun "diperlakukan dengan baik" seperti pengakuan Taeyong. Bukan tidak mungkin ia akan depresi dalam kurun waktu 2 hari.

Rasa bersalah yang berusaha Doyoung abaikan kini muncul lagi, menyadari ia sudah sangat jahat pada Jaemin. Bisa-bisanya ia berusaha mengembalikan anak itu ke tempat ini setelah Jaemin susah payah melarikan diri?

Kakinya berjalan lagi, menyusuri lorong panjang yang setiap beberapa meter terdapat cctv dan alarm. Semua pintu yang ada harus dibuka dengan key card atau retinal scan.

Suasana lab agak mirip rumah sakit一begitu pula baunya一apalagi dengan banyaknya dokter yang berseliweran, sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Beberapa bergerak terburu-buru, namun ada juga yang memperhatikannya secara terang-terangan.

"Hei, kau." Doyoung menggerakkan tangannya pada salah satu dokter yang ia lihat, memintanya mendekat. "Antarkan aku pada Renjun. Kim Renjun."

Pria itu menggeleng. "Aku tidak pernah dengar nama itu."

Untuk kedua kalinya dalam waktu singkat, Doyoung berharap ia membawa ponselnya. Akan lebih mudah kalau ia langsung menunjukkan foto Renjun, meski yang ia miliki hanya foto lamanya, tapi tak lama, ia teringat sesuatu. "233. Kau tahu dia?"

Si dokter mengiyakan. "Oh, dia. Tentu saja aku tahu, tapi kau tak bisa sembarangan menemuinya. Perlu izin khusus."

"Izin ini, izin itu." Doyoung memutar bola matanya, lantas mengeluarkan Armatix dan menembak salah satu cctv yang sejak tadi membuatnya terganggu. "Tahu tidak, aku bosan dengan permainan ini. Sekarang, kau mau mengubah jawabanmu?"

"Jadi ini, ya?" Doyoung bergumam pada dirinya sendiri sembari memperhatikan sebuah pintu baja yang menjadi akses keluar-masuk sebuah kamar. Sekilas, keberadaan pintu tersebut dan pintu-pintu serupa membuat tempat ini mirip asrama. Dan yang mengkhawatirkan, jumlahnya cukup banyak.

Satu pertanyaan terbit di dalam benak Doyoung, ada berapa anak yang terjebak di sini?

"Buka."

Si pria berkacamata yang gusar karena Doyoung masih menodongkan pistol ke punggungnya menurut, menarik sebuah key card dari sakunya, dan menempelkannya ke alat pendeteksi di pintu hingga terdengar bunyi 'pip' samar.

Pintu pun terbuka seolah dalam gerak lambat.

Hal pertama yang Doyoung lihat adalah kepala seorang anak yang menunduk, dan mendongak pelan-pelan dipengaruhi rasa penasaran. Seraut wajah yang sudah sering ia lihat menatapnya secara langsung, tidak lagi lewat foto atau video.

Matanya berkedip, mengamati penampilan Doyoung. Alisnya sedikit berkerut. Namun selepas itu dia kembali menunduk, seolah Doyoung tidak menarik baginya.

Tapi Doyoung hanya tersenyum, senang dan takjub memandang penampilan Renjun; bahunya yang lebar, tungkai-tungkainya yang panjang, dan garis wajahnya yang telah mengalami perubahan.

Dia sudah dewasa.

"Renjun?" Doyoung menyapa, mengabaikan dokter yang bersamanya dan masuk. Dia menutup pintu rapat-rapat.

Bagian dalam kamar itu tidak terlalu luas, perabotannya juga sedikit dan standar, tapi setidaknya masih dalam kategori layak. Doyoung senang mengetahui Taeyong ternyata tidak berbohong.

Renjun tidak menjawab, fokus pada apapun yang tengah ia kerjakan di buku gambarnya. Tangan kirinya memegang sebuah pensil berwarna biru, dan ini membuat Doyoung heran, karena setahunya, Renjun tidak kidal.

Namun setelah duduk di kursi yang Doyoung geser agar dekat dengan anak itu, barulah ia paham. Tangan kanan Renjun dipasangi perban dan bidai一alat dari kayu atau bahan lain yang sejenis yang digunakan untuk menjaga tulang yang patah agar tidak bergerak. "Tanganmu kenapa?"

Lagi-lagi Doyoung diabaikan.

Renjun tidak menoleh, bersikap seakan tidak mendengar pertanyaannya. Seperti Jaemin saja. Atau jangan-jangan mereka merencanakannya? Doyoung mendengus, berusaha tetap bersikap ramah dan tidak melontarkan komentar-komentar tajamnya. Tidak mungkin kan ia menjewer telinga Renjun di pertemuan pertama mereka seraya berkata, 'jawab pertanyaanku, dasar anak nakal'?

Meski sejujurnya itulah yang ingin ia lakukan.

"Apa kau lapar?" Doyoung mengajukan pertanyaan asal demi membuat Renjun bicara. Apa saja, asal dia bersedia bersuara. Tapi usahanya sia-sia. Dia bahkan tidak membiarkan Doyoung mengintip apa yang dia gambar.

Astaga. Sejeong tidak pernah berkata kalau adiknya punya bakat membuat orang lain naik darah.

Doyoung tersenyum kecut. Jika Renjun menginginkan kontes diam, maka mari kita lihat siapa yang akan menang.

Sudah hampir 10 menit sekarang.

Renjun secara sembunyi-sembunyi melirik pria itu一pria tampan dengan penampilan berantakan yang baru kali ini datang. Sepatu kets yang dikenakannya tampak usang, talinya di ikat sembarangan. Celananya kotor, dan kancing kemeja pertamanya keliru dimasukkan ke lubang kancing kedua. Belum lagi tubuhnya yang dihiasi beberapa luka. Renjun tidak akan terkejut kalau pria itu mengaku sebagai maling yang baru dipukuli massa.

Benar-benar aneh.

Sebenarnya siapa pria ini? Dokter? Jelas bukan. Semua dokter yang bekerja di sini berpakaian rapi. Penjaga? Mungkin saja, bila dilihat dari gerak-geriknya yang sekarang asyik membongkar pasang pistolnya, seperti anak-anak yang asyik bermain puzzle.

Tapi para penjaga biasanya tidak mau repot-repot meluangkan waktu untuk menengok apalagi memperhatikannya. Jadi tebakan itu sepertinya tidak benar.

Menyerah pada rasa penasarannya, Renjun memutuskan membuka mulut. "Siapa kau?"

Bibir pria itu berkedut. Dia terkekeh, yang kemudian disamarkan menjadi batuk-batuk ringan. "Ibu perimu."

Renjun menatapnya dengan wajah datar. "Tidak lucu."

"Ah, selera humormu payah sekali! Aku Doyoung, Kim Doyoung."

"Apa maumu, Doyoung?"

Kerutan muncul di dahi pria itu. "Aku 4 tahun lebih tua darimu. Panggil aku 'hyung'. Kalau tidak, aku tidak akan bicara."

Renjun memberengut, risih pada Doyoung yang menurutnya sok akrab. Selama ini ia tak pernah bersikap sopan pada siapapun yang ada di lab, dan ingin terus begitu, tapi lagi-lagi ia menyerah. Terlalu penasaran. "Apa maumu, hyung?" Ulangnya, dengan penekanan ekstra di kata terakhirnya.

Puas usai memperoleh apa yang ia inginkan, senyum Doyoung kian mengembang. "Aku ingin mengajukan sebuah kesepakatan."

Gerakan tangan Renjun yang menutup buku gambarnya memberitahu Doyoung kalau dia tertarik, tapi sorot matanya tetap waspada. "Kesepakatan apa?"

"Kau ingin keluar dari sini? Memiliki hidup normal dan bebas? Aku bisa mengabulkannya."

Bukan kalimat penuh semangat atau mata berbinar-binar yang Doyoung dapat, melainkan tawa一respon yang sama sekali tidak ia duga "Mana mungkin itu terjadi."

Realistis atau putus asa? Doyoung bingung memilah Renjun ke golongan yang mana. Ini bukan lagi anak jahil ceria seperti yang sering Sejeong ceritakan, dan Doyoung merasa sedih karena tempat ini sudah mengambil hal itu darinya. "Kenapa bicara begitu? Apa kau ingin tinggal di sini terus?"

"Tentu saja tidak." Gagasan itu pasti tidak ada bedanya dengan hukuman mati bagi Renjun. "Tapi itu seperti berharap mendapat nilai ujian yang bagus tanpa belajar. Sulit."

"Bisa saja kalau kau mencontek." Cengiran lebar Doyoung dengan cepat berubah menjadi tawa. Dan meski lelucon itu tidak begitu lucu, butuh hampir 3 menit baginya untuk kembali bersikap normal. "Ehem. Bercanda, aku hanya bercanda. Seperti yang kubilang tadi, aku bisa mengeluarkanmu dari sini, tapi dengan beberapa syarat."

"Syarat apa?" Tanya Renjun, menatapnya dengan tatapan kesal, yang lucunya sangat mirip dengan Sejeong.

"Pertama." Doyoung mengangkat jari telunjuknya, menghitung. "Kau tidak boleh memberitahukan apapun yang terjadi di sini pada orang lain. Apa yang menjadi rahasia, harus tetap menjadi rahasia. Yang kedua." Kali ini jari tengahnya terangkat. "Kau harus datang kemari setiap kali diperlukan dan一" Doyoung berhenti ketika melihat Renjun mengernyit. "Kenapa?"

"Aku tidak suka syarat yang kedua."

"Sayangnya harus begitu, kau harus mau bekerja sama." Doyoung tersenyum, menyadari anak di depannya ini takut, tapi enggan menunjukannya. Ia memakai topeng tangguh dengan sangat baik. "Kau tenang saja, tidak akan ada lagi percobaan yang berbahaya."

Renjun tidak serta-merta percaya.

"Dengar." Doyoung bergeser lebih dekat. "Aku juga tidak menyetujui percobaan pada manusia, tapi ini harus dilakukan. Kadang-kadang kita harus mengorbankan sesuatu demi mencapai tujuan yang lebih besar, tapi aku janji, aku janji semuanya akan berbeda sekarang. Percayalah padaku."

"Memangnya kau siapa hingga aku harus mempercayaimu?"

"Siapa ya?" Doyoung menggaruk dagunya, tergelak. Terpikir olehnya untuk berkata 'calon kakak iparmu' namun ia tak ingin memberi petunjuk tentang Sejeong pada Renjun, agar pertemuan mereka menjadi kejutan. "Kurasa tidak penting siapa aku."

Renjun diam saja saat ia memikirkan semuanya. Kepalanya mendongak ke langit-langit一satu gestur yang mengingatkannya pada Jaemin. "Bagaimana dengan teman-temanku?"

Diam-diam, jauh dalam hatinya, Doyoung merasa kagum, karena di saat seperti ini, Renjun masih memikirkan orang lain. "Mereka akan mendapat penawaran yang sama, jangan khawatir."

"Kau yakin?"

Anggukan.

"Apakah ada syarat lain?"

"Tidak," jawab Doyoung, lalu cepat-cepat meralatnya. "Mungkin ada. Entahlah. Aku harus mendiskusikan itu dengan Taeyong dulu."

Mata Renjun menyipit merespon nama itu. "Taeyong?"

"Jangan mencurigainya seperti itu. Dia sebenarnya orang baik walaupun sedikit menyebalkan." Doyoung mengakui dengan sekelumit hinaan. "Jadi, apa kau setuju?"

"Aku一"

"Bagus! Ayo pergi kalau begitu!"

Renjun mengerjap, bingung karena Doyoung memotong ucapannya dan langsung berjalan ke pintu, padahal ia belum memberi jawaban. "Sekarang?"

"Kalau kau tidak mau, aku akan pergi sendiri."

1 kalimat itu berhasil membuat Renjun segera bangkit. Dengan tangan kirinya yang sehat, ia menyambar tumpukan buku gambar di meja一mainan yang sangat sederhana. "Apa teman-temanku juga bisa keluar sekarang?"

"Tidak, maafkan aku. Ada beberapa hal yang harus di urus, aku tak bisa mengeluarkan mereka sekaligus," sahut Doyoung, dengan senyum menyesal. Tangannya sudah ada di gagang pintu, tapi ia belum membukanya. "Satu lagi, jika keadaan menjadi kacau, bisakah kau membantuku?"

"Membantu bagaimana?" Selalu hati-hati sepanjang waktu, dia sungguh-sungguh adik Sejeong.

"Yah, misalnya seperti..." Doyoung melirik wajah Renjun yang tegang, lalu main-main, memukul pundaknya. "Sudah, sudah. Aku cuma bercanda lagi!"

Padahal tidak.

Ia sebisa mungkin tidak ingin melibatkan Renjun, tapi bila keadaan memaksa, mau bagaimana lagi? Sisa peluru Armatix yang ia bawa tinggal sedikit, dan Doyoung ragu mereka bisa keluar hanya dengan berbekal itu.

Sulit, seperti kata Renjun.

Untungnya Doyoung sudah menyiapkan beberapa rencana yang mungkin berguna. Salah satunya adalah mereka ulang ide Taeyong...

Perlahan, Doyoung membuka pintu. Dia melangkah lebih dulu ke koridor yang ... sepi. Tak ada siapapun yang menunggu mereka di koridor serba putih itu, tapi Doyoung tidak akan tertipu. "Ayo."

Renjun berjalan lebih lambat di belakang Doyoung. Sesekali menoleh ke salah satu pintu yang ada di dekat kamarnya, sebelum Doyoung menariknya agar bergegas sembari berdecak. "Angkat kepalamu. Jangan tunjukkan wajah takut pada mereka!"

Mulut Renjun terbuka, sepertinya hendak mengeluarkan bantahan, tapi mengerti bahwa Doyoung adalah tiketnya untuk keluar dan bukan tindakan yang benar membuat Doyoung sebal, dia berubah pikiran dan mengangguk. Punggungnya ditegakkan, bahunya lebih tegap.

Doyoung tersenyum.

Baik dokter atau peneliti tidak ada yang berani memprotes terlebih mengkonfrontasi dirinya karena membawa Renjun jalan-jalan tanpa pengawalan berkat Armatix yang ia pamerkan.

Bersama, keduanya terus berjalan hingga sampailah di dekat ruangan Rim. Di sana, Doyoung seketika mengerti mengapa tak ada satu pun penjaga yang menghadangnya. Mereka semua rupanya berkumpul di sini, dengan Seon sebagai pusatnya. Wajah mereka kelihatan kalut dan bingung.

Begitu melihatnya, Seon menghela napas. "Masalah apa lagi yang akan kau perbuat sekarang?"

Doyoung kembali tertawa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top