18. Cahaya Dan Bayangannya
Mark pingsan.
Doyoung dengan sigap membantu Taeyong membawanya ke kamar terdekat. Jaemin mengikuti, wajahnya cemas, sementara Sejeong mengambil kotak obat di dapur dalam hitungan detik.
Tangan Sejeong bekerja melonggarkan pakaian Mark, dengan hati-hati melepas perban darurat yang dibuat Taeyong. "AK-47?"
Doyoung mengangguk, terlalu tegang untuk menjawab. Ya, dia pernah menembak seseorang, tapi melihat orang yang ia kenal tertembak adalah hal yang baru baginya. Beruntung, luka Mark tidak terlalu parah. Tembakan di organ vital, misalnya di dada, dapat membuat pernapasan terganggu dan berpotensi lebih besar menyebabkan kematian.
Doyoung tiba-tiba tersentak.
Apakah Rim sebenarnya mengincar dada Mark?
Dia mencoba mengingat-ingat. Saat Rim menembak, Doyoung refleks mengikuti arah peluru, tidak lagi melihat mantan atasannya tersebut. Tapi mungkin ... mungkin saja Rim waktu itu terpeleset akar pohon atau semacamnya sehingga tembakannya meleset.
Ini masuk akal, apalagi menurut Taeyong Rim membenci Mark. Jika ingin membunuhnya, seharusnya dia tidak mengincar bahu, melainkan dada, yang akan membuat kematian datang dengan lambat dan menyakitkan.
Doyoung mengacak rambutnya frustrasi. Meski tak ada gunanya, ia tetap saja berpikir apa yang akan terjadi seandainya ia berani menembak Rim. Apakah keadaan Mark akan berbeda? Matanya memandang anak itu. Gelombang rasa bersalah menerpanya.
Lagi-lagi ia melakukan kesalahan. Apanya yang termasuk agen terbaik?
"Tidak apa-apa." Sejeong menenangkan semua orang. "Tidak ada kerusakan tulang. Syukurlah."
Taeyong menghembuskan napas lega. Senjata militer seperti AK-47 biasanya menyebabkan kerusakan tulang yang dapat berakibat pada cacat permanen, terlebih bila ditembakkan dari jarak dekat.
"Apa dia akan baik-baik saja?" Tanya Jaemin, yang membuat Doyoung mengangkat sebelah alisnya. Ternyata dia masih peduli.
Sejeong mengangguk. "Kurasa begitu. Dia memang kehilangan banyak darah, tapi asal lukanya tidak infeksi, bukan masalah besar."
Merasa iba, Doyoung yang menengok Mark menggigil bergerak ke lemari untuk mengambil sebuah selimut. Tapi lemari itu kosong. Rumah ini belum banyak memiliki perabotan dan barang-barang. Jadi dia pun pergi untuk mencarinya di kamar lain.
Saat kembali, ia melihat Jaemin yang berjalan keluar dengan kepala tertunduk, sama sekali tidak meliriknya. "Mau kemana dia?
Taeyong, yang sedang merapikan senjata mereka, mengangkat bahu. "Entah."
"Susul dia," ucap Sejeong tanpa menoleh. "Aku khawatir padanya."
Doyoung yang merasa dirinya tidak diperlukan menurut saja. Dia turut keluar, mengikuti Jaemin dari belakang yang asal berjalan. Tahu-tahu berhenti di dekat kolam yang berada tidak jauh dari rumah. Kolam berukuran cukup luas yang akan membeku ketika musim dingin, sehingga anak-anak di sekitar situ bisa meluncur di atasnya.
Jaemin duduk, Doyoung kurang lebih 3 jengkal darinya. Menemani tapi tidak saling bicara, rasanya agak ganjil karena diamnya mereka terasa nyaman.
Hingga Jaemin tergugah untuk merangkai topik pembicaraan sambil mengalihkan tatapan ke atas. "Langitnya bagus kan?"
Doyoung mengangguk, merebahkan tubuhnya di tanah, agar bisa melihat objek yang dimaksud Jaemin dengan lebih jelas. Langitnya memang bagus. Bulan menjadi penerangan yang dominan, berdampingan dengan bintang yang berkelap-kelip cantik, menawarkan pemandangan yang indah.
"Aku suka melihat langit," sambung Jaemin. "Membuatku merasa bebas."
Doyoung membisu, hanya memperhatikan rambut Jaemin yang bergerak tertiup angin, serta sinar bulan yang jatuh dengan lembut di wajahnya. Meski Han bilang dia sudah berumur 19 tahun, Doyoung melihatnya seperti laki-laki yang belum sepenuhnya dewasa; ada getaran anak-anak dalam dirinya.
"Kenapa kau dan Noona tidak pernah bertanya bagaimana caraku keluar dari sana?"
Pertanyaan kedua Jaemin direspon Doyoung dengan gelengan kepala. "Aku sudah bisa menebaknya."
Jaemin tersenyum. Sehelai daun kering yang mengambang di kolam terangkat, melayang beberapa detik di udara sebelum jatuh ke tanah. "Apa kau takut padaku, hyung?"
Dengusan. "Mana mungkin? Kau lupa aku melemparimu dengan papan catur waktu itu?" Doyoung menjawab dengan lancar dan cepat, tapi itu bohong.
Orang di sebelahnya, orang yang sama sekali tidak terlihat berbahaya ini, tertawa. "Kau jahat sekali."
Doyoung nyengir. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman membahas hal ini, tapi ada sesuatu yang harus ia ketahui. "Soal Renjun ... apa dia sama sepertimu? Maksudku soal ... kau tahu kan? Bakat?"
Tawa Jaemin kontan menghilang. Dia menjadi lebih serius. "Tidak. Bakatnya Aerokinesis."
Doyoung hanya bengong; sebagai seseorang yang tidak menyukai cerita atau film fantasi, dia tidak tahu apa arti kata itu.
"Renjun bisa mengendalikan udara atau angin." Jelas Jaemin.
Tapi Doyoung salah mengartikannya. "Kau mau berkata dia bisa membuat semacam badai atau angin puting beliung??"
Jaemin terkekeh. "Tidak sampai seekstrim itu."
"Baguslah." Doyoung kembali tenteram. Ia tidak ingin memiliki adik ipar yang bisa menyebabkan bencana. "Apa kau tahu bagaimana dia bisa berakhir di sana?"
"Ayahnya..." Jaemin menoleh ke belakang sejenak untuk memastikan Sejeong tidak ada. "Ada banyak agen khusus yang bertugas untuk mencari anak-anak seperti kami, dan mereka menemukannya. Ayah Renjun berkata akan menyerahkan dia asal ... asal mereka memberinya uang."
"Dia menjual anaknya sendiri?"
Dengan berat hati Jaemin mengangguk.
Doyoung mengumpat. Sejak dulu ia tahu bahwa Sejeong memiliki keluarga yang berantakan, tapi ia tak menyangka ayahnya sampai tega melakukan itu. Dirinya yang dibesarkan di rumah yang penuh cinta memang tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia selalu bersimpati pada mereka yang keluarganya tidak harmonis, pada Sejeong. "Jangan katakan ini pada Sejeong, kau mengerti? Kalau dia bertanya, bilang saja kau tidak tahu."
Jaemin mengiyakan, dan keheningan lagi-lagi melingkupi mereka. Jauh di atas kepala mereka, awan gelap perlahan menutupi bulan, mengancam menurunkan hujan di malam yang tenang ini, tapi keduanya tidak beranjak untuk berputar balik ke rumah.
Sebaliknya, Jaemin untuk kedua kalinya mengawali percakapan. "Hyung, kau pernah naik hoverboard?"
"Aku一apa?" Doyoung terbahak-bahak. "Kenapa tiba-tiba membahas itu?"
"Hanya penasaran." Jaemin mengelus tengkuknya "Aku pernah melihatnya di TV."
"Dan kau menginginkannya?"
Dengan senyum malu, pemuda marga Na itu menganggukkan kepalanya.
Doyoung tertawa lagi. Di benaknya, seketika terbayang bentuk papan skuter modern itu. Ia pernah beberapa kali menonton remaja atau bahkan anak-anak yang memainkan hoverboard di taman rumahnya di Seoul. "Akan kubelikan kalau kau bisa mengalahkanku bermain catur."
Mata Jaemin tampak berbinar. "Sungguh?"
"Ya. Aku janji." Doyoung tersenyum, dan serta-merta menyesalinya. Ia bukanlah tipe orang yang suka mengumbar janji seperti itu. Ia tidak suka. Dulu, Dong Hyun juga berjanji akan pulang dengan selamat, tapi tak bisa menepatinya.
Dari Dong Hyun, Doyoung belajar untuk tidak sembarangan mengobral janji apapun, pada siapapun. Tapi dia sudah terlanjur mengucapkannya tadi...
"Di sini kalian rupanya." Sebuah suara mengakibatkan Doyoung dan Jaemin menoleh. Pelakunya Sejeong. "Aku mencari kalian kemana-mana."
Doyoung bangkit duduk. "Mark oke?"
"Kondisinya cukup stabil." Masih tanpa senyum, Sejeong berpaling pada Jaemin dan menunjuk rumah dengan jempolnya. "Kembalilah. Kau belum makan kan?"
Jaemin menoleh bolak-balik pada pasangan itu, merasa ada yang aneh, tapi dia tidak membantah dan menuruti Sejeong. Dia berdiri, hendak pergi.
"Jaemin?"
Langkahnya terhenti.
"Berterimakasihlah pada Mark dan Taeyong."
Sesaat, Doyoung mengira Jaemin akan menolak karena dia diam lama sekali, tapi prediksinya salah sebab usai berdebat dengan dirinya sendiri, Jaemin berkata, "Itulah yang ingin kulakukan."
Dia pun melanjutkan langkahnya lagi.
Sejeong duduk di tempat yang Jaemin tinggalkan. Pandangannya terarah ke kolam, menghindari mata Doyoung. Jelas-jelas ada yang salah dengannya, tapi dia tidak mau segera mengungkapkan. Sifat khas wanita yang ini selalu membuat Doyoung bingung.
"Ada apa?" Ia bertanya, membuat suaranya terdengar selembut mungkin.
"Taeyong menceritakan semuanya padaku tadi."
Tubuh Doyoung menegang. Ia langsung berharap semoga Taeyong tidak benar-benar menceritakan semuanya. "Lalu?"
Sejeong berpura-pura sibuk mencabuti rumput yang tidak bersalah. "Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kita sama-sama tidak menyangka bahwa Rim oppa ternyata sangat berbeda dari yang kita kenal."
"Yah..." ujar Doyoung dan terdiam. Ia tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk situasi ini.
"Padahal kalian sangat dekat, ya? Nyaris seperti saudara." Sejeong memaksakan segaris senyum. "Maafkan aku, Doyoung. Maaf sudah menyeretmu dalam masalah ini..."
"Kebenaran memang payah." Doyoung tertawa kecil, teringat pertemuannya dengan Jaemin. Kehadiran anak itu memberitahunya bagaimana sifat asli Rim, sekaligus status Renjun yang rupanya masih hidup. Jaemin memperjelas banyak hal meski dengan harga yang mahal.
Apakah dia menyesal? Tidak.
Tapi ada bagian dari dirinya yang berharap semua yang berkaitan dengan Jaemin hanya mimpi. Ia ingin hidup tenangnya kembali.
"Kau bisa pergi kalau kau mau. Aku tidak akan mencegahmu."
Doyoung tertegun. "Itu yang kau inginkan?"
"Tidak." Sejeong, yang sebenarnya bukan gadis yang cengeng, kini berusaha keras menahan air matanya. "Aku ingin kau tetap di sini. Tapi kau ... berhak pergi. Kau punya pilihan, Doyoung. Aku yakin Rim oppa akan memaafkanmu."
"Mungkin saja. Aku tidak peduli." Doyoung beringsut merapat, meraih gadisnya ke dalam pelukannya. "Karena aku sudah memilih."
Sejeong mendongak.
"Aku memilih bersamamu. Bukankah itu sudah jelas?" Doyoung tersenyum, tidak memiliki keraguan atas kata-katanya. Benar bahwa Rim penyelamatnya, tapi gadis ini, Sejeong-nya, adalah orang yang paling berharga baginya. Dia sudah memiliki hati Doyoung sejak 2 tahun yang lalu. Dia memberi warna-warna cerah di hidupnya yang gelap, sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain. Mana mungkin Doyoung meninggalkannya?
Perlahan, Doyoung mendekatkan wajahnya pada Sejeong. Semakin dekat, hingga menutup jarak di antara mereka. Bibir keduanya bersentuhan, saling memagut dengan lembut. Mata mereka terpejam terhanyut oleh ciuman yang semakin dalam. Rasanya nikmat, membuat waktu seolah berjalan lambat.
Sejeong selalu terasa seperti rumah. Begitu pas. Begitu nyaman. Ciuman mereka jadi semakin intens, menciptakan bunyi decapan pelan yang mengisi heningnya malam.
Air kolam terlihat berkilau. Bintang-bintang bersinar amat terang. Bagi keduanya, Yangpyeong tak pernah terlihat seindah ini. Untuk sesaat semuanya terasa sempurna.
"Terimakasih." Sejeong menarik diri, tersenyum sehangat mentari. "Terimakasih sudah mau tinggal, Kim Doyoung."
Doyoung mengangguk, mengecup pipi gadis itu yang basah karena air mata. "Aku mencintaimu, Kim Sejeong."
Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah sakit khusus yang biasa menangani para agen yang terluka, Lee Han duduk di atas tempat tidurnya dengan satu kaki yang di gips.
Ya, dia selamat.
Setelah Doyoung dan Taeyong meninggalkannya dalam keadaan berdarah-darah di jalanan, Han merangkak memungut ponselnya yang masih berfungsi, lalu menelpon bantuan. Dia menunggu dengan bersandar di bangkai mobilnya yang hancur. Kemarahan menjadi-jadi dalam dirinya. Seiring dengan rasa sakit yang kian kuat terasa, Han bersumpah akan membalas dendam.
Sejak dulu ia tak menyukai mereka berdua. Doyoung yang cerdas, dan Taeyong yang memiliki bakat alami menembak selalu berdiri di bawah lampu sorot, sementara dia tersembunyi dalam kurungan bayang-bayang, padahal ia tidak kalah hebat. Kini, rasa tidak suka itu berubah menjadi benci.
Tapi tak masalah. Han adalah orang yang sabar. Dia percaya, waktu yang tepat akan datang. Diliriknya kaki kanannya, lantas tersenyum. Butuh waktu berbulan-bulan untuk sembuh, tapi bukan berarti ia tak bisa melakukan apa-apa.
Mereka salah karena meremehkannya. Salah besar.
Suara ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Rim masuk dan duduk di sampingnya. Rompi anti pelurunya sudah tidak ada, diganti dengan setelan formal yang membuatnya tampak seperti pebisnis yang sukses.
Melihat rauh wajah atasannya, Han langsung menebak, "Gagal?"
Rim menggelengkan kepalanya. Dia lelah, tapi kemarahanlah yang paling dominan ia rasakan. "Kalau ingin mengalahkan mereka bertiga, kita butuh rencana yang bagus."
"Apa yang terjadi?" Han menegakkan tubuh, penasaran. Ia telah mendengar kalau Rim terlibat dalam aksi tembak-menembak yang membuat publik panik, tapi belum memperoleh informasi detailnya.
"Sejeong sudah tahu soal adiknya dan menggunakan Jaemin sebagai tameng untuk keluar dari rumah. Aku tak bisa mengambil resiko karena dia satu-satunya pengendali pikiran yang kita miliki."
Han menatapnya tidak percaya. "Sejeong?"
"Ya." Rim mengetuk-ngetukan jari-jarinya di pahanya. "Dia mengancam akan membunuh anak itu kalau aku tidak mengembalikan si 233."
"Tidak mungkin. Meski aku tidak begitu mengerti apa yang terjadi, Sejeong jelas-jelas memihak padanya."
"Tapi waktu itu dia bahkan melukainya..."
"Berarti itu bohong." Cetus Han mantap, sangat yakin dengan asumsinya. "Mereka semua menipumu. Sejeong justru adalah orang yang menghalangi Doyoung menyerahkan anak itu."
"Taeyong..."
"Benar, pasti dia."
Ketukan jari Rim terhenti dan tangan yang sama mengepal erat sampai memutih. Rim kembali membayangkan peristiwa itu dan satu-persatu, pertanyaannya terjawab dengan sendirinya. Pantas saja. Pantas saja Jaemin tidak berbuat apa-apa, rupanya itu karena dia tahu Sejeong tidak serius dengan ancamannya. Kabut misterinya tersingkap sekarang; mereka bekerja sama.
Tidak terkecuali Doyoung.
Rim tertawa, tidak menyangka Doyoung akan mengkhianatinya. Anak yang dulu ia selamatkan, yang ia kira akan setia padanya, kini berbalik menjadi musuhnya. Benar-benar kejutan yang tidak menyenangkan. "Akan kubunuh mereka semua..."
"Mungkin aku bisa membantu." Han membuka laci di samping tempat tidurnya, meraih ponselnya yang layarnya retak, lalu menyerahkan benda itu pada Rim.
"Kau...?"
"Ya. Aku menyelipkan alat pelacak, dan alat itu masih aktif sampai sekarang. Mereka belum menemukannya."
Yang Han bicarakan adalah alat pelacak berukuran mini yang menggunakan teknologi satelit dan terkoneksi dengan ponselnya. Memakai alat tersebut, dia bisa mengetahui lokasi seseorang meski berada bermil-mil jauhnya.
Waktu itu, Han sebenarnya tidak berniat untuk merebut ponselnya kembali. Ia hanya ingin mendekati Taeyong一sebab menilai Doyoung terlalu beresiko一dan menyelipkan alat pelacak itu di saku belakang celana jins Taeyong.
Pelajaran mencopet yang ia terima dulu sangat bermanfaat. Rencananya berhasil, walaupun ia harus menerima pukulan dari Doyoung. Itu sepadan.
Han menyeringai lebar. Kena kalian semua.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top