17. Who Dares Wins

Mereka hanya ingin berbelanja. Beberapa datang karena ingin, yang lain karena memang harus. Tak ada satupun dari mereka yang menyangka akan bertemu dengan seorang pria yang membawa-bawa Desert Eagle.

Sejak Doyoung muncul, mereka yang tadinya ingin keluar mengurungkan niat, sementara yang sudah di luar bergegas pergi. Memang tak semuanya mengenali Desert Eagle一yang sering ditampilkan di film adalah Glock一tapi segala jenis pistol mampu membuat orang-orang ketakutan, apalagi jika yang memegangnya tidak ragu untuk menggunakannya.

Begitu Sejeong dan Jaemin pergi, Doyoung  berlindung di balik sebuah mobil. Posisinya begini; Taeyong paling depan, yang terdekat dengan para agen (beresiko memang, tapi dengan begitu ia mendapat sudut tembak yang lebih baik), sedangkan Mark berjarak 2 mobil darinya.

Saat ini, hanya ada 6 orang saja yang harus mereka hadapi karena van pertama belum tiba. Ini kesempatan yang bagus. Dengan hati-hati, Doyoung mengeluarkan sedikit kepalanya, membidik sasaran. Pilihannya jatuh pada seorang agen yang berlindung di dekat pintu pengemudi van. Ia melepaskan 2 tembakan sekaligus, yang menyasar lutut agen itu. 1 hanya mengenai van, tapi yang lain bersarang di betis si agen, membuatnya berteriak kesakitan.

"Rasakan!" Doyoung tersenyum, lain dengan orang-orang di minimarket mengeluarkan seruan terkejut, tapi ada beberapa yang malah merekam.

Nasib kurang menyenangkan dialami Taeyong. Agen-agen itu tahu siapa siapa dia dan menjadikannya prioritas. Rentetan tembakan menghujam ke arah mobil yang menjadi tameng bagi pria itu, memaksa dia tiarap dan melindungi kepala dari pecahan kaca jendela. Mark berusaha membantu, tapi salah satu agen yang dia incar balik menyerangnya, membuat Mark tak berdaya.

Beruntung, magasin mereka hanya berkapasitas 20 butir.

Sewaktu mereka kehabisan peluru, Taeyong keluar dari tempat persembunyiannya, menembak 2 kali yang langsung mengenai 2 agen yang tengah mengisi ulang pistol mereka. Darah menyembur ke udara, bersama serpihan tulang tengkorak. 1 peluru, 1 orang roboh. Sehebat itulah Taeyong.

Mark menghabisi agen ke-4, memanfaatkan keterkejutan agen itu atas aksi kakaknya. Sedangkan agen ke-5 tidak melakukan apa-apa. Tidak bisa. Doyoung sudah membereskannya.

Tinggal 1 orang lagi. Dia sulit dihabisi karena terlindungi dengan baik

Doyoung mengusap setetes keringat di dahinya, lalu memaki pelan. Belum 5 menit berlalu, tapi rasanya sudah sangat lama. Dia kemudian mengangkat Desert Eagle-nya, berniat menembak lagi, tapi gerakannya terhenti di udara saat melihat sebuah van yang mendekat.

Rim telah tiba.

Tinggi Rim sejatinya hanya 173 senti, tapi dia selalu berdiri tegap, sehingga menimbulkan kesan lebih tinggi dari yang sebenarnya. Di usianya yang menjelang paruh baya, dia sudah kenyang mendapat berbagai macam penghargaan berkat kepemimpinannya yang bagus. Seperti Taeyong, dia adalah salah satu yang terbaik.

Melihatnya berdiri sebagai musuh saat ini membuat Doyoung gelisah. Bukan karena ia takut一baiklah, ia mungkin memang sedikit takut一tapi lebih dari itu, ia tak sanggup. Lebih baik melawan banyak agen asing, daripada melawannnya. Tapi dalam situasi ini, Doyoung sadar ia tak bisa memilih.

Taeyong (atau mungkin Mark?) menembak, membuat para agen yang tersisa一jumlahnya 6 orang一panik mencari-cari tempat berlindung. 1 tumbang, tinggal 5. Yang lain membalas.

Doyoung tiarap ketika 2 agen mengarahkan tembakan padanya. Sebutir peluru melintas cukup dekat dari telinganya, membuatnya kaget. Dan kesal. Namun dari posisinya itu, dia bisa melihat kaki-kaki para agen yang berlindung di balik van mereka. Ini jalan raya; tidak banyak tempat persembunyian yang bisa dipakai, dan mereka semua berlindung di balik van.

Hal itu seketika memberinya ide.

Ia menembak. Desert Eagle memuntahkan 3 peluru secara beruntun. Tembakan yang tidak akurat, sebab sulit menembak dari kolong mobil dengan senjata berukuran besar, berbeda dengan Glock 36 Taeyong yang ringan dan kecil. Tapi, itu sudah membuat para agen kalang kabut.

Salah satu dari mereka tanpa sengaja keluar dari perlindungan van, dan Doyoung mengambil peluang itu untuk menembak 2 kali, mengenai bahu dan punggungnya. 1 tembakan saja tidak cukup, kecuali mengenai organ vital. Sayangnya pada saat itu, kunci silinder pistolnya terbuka, menandakan peluru habis.

Faktanya, jika pistol sudah dalam keadaan kosong, maka kunci silindernya akan terbuka, bukannya mengeluarkan bunyi 'click' seperti dalam film.

Doyoung secepatnya meraup magasin cadangan, lalu mengisinya. Ini salah satu kekurangan Desert Eagle; kapasitas magasinnya sedikit. Senjata itu juga termasuk berat一mencapai 1,65 kg, tapi Doyoung menyukainya karena daya kerusakannya yang luar biasa.

Selama dia mengisi peluru, Taeyong juga menembak. Peluru terakhirnya bersarang di leher agen lain yang kurang sigap, menjadikan pertarungan seimbang; 3 lawan 3.

Posisi mereka jelas di atas angin sekarang. 2 agen yang bersama Rim bukan penembak jitu, meski Doyoung ragu dia akan mundur karena pria itu keras kepala. Dia juga tipe orang yang menjunjung tinggi harga dirinya. Kemungkinan besar, Rim akan menelpon bantuan. Ataukah sudah? Doyoung tidak melihat pergerakannya sejak tadi.

Mark tampaknya memikirkan hal yang sama karena selanjutnya dia melakukan tindakan yang bodoh sekaligus berani; dia maju.

Taeyong dengan panik berkata, "Mark, jangan!"

Mark tidak mendengarkan. Pantang mundur, dia menghujani tempat persembunyian Rim dengan peluru. Jika sudah seperti ini, Rim tidak punya pilihan lain selain menghindar dan akhirnya keluar dari bagian belakang van, memberi Taeyong kesempatan yang dibutuhkannya.

Atau, Rim bisa balik melawan. Dengan perhitungan, dia unggul sebab memakai rompi anti peluru.

Yang manapun, sama-sama beresiko untuk Mark. Doyoung yang tadi melihat wajahnya sekilas jadi tertegun.

'Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan.'

Ia mengerti bila Mark marah. Rim adalah orang yang membuat hidupnya一dan teman-temannya一menderita, tapi melakukan tindakan gegabah yang berpotensi merenggut nyawa bukanlah solusinya. Dia tidak berniat bunuh diri sungguhan kan...?

"Dasar gila!" Doyoung bergumam sebal, sebelum berlari dan melemparkan dirinya ke arah Mark一yang hampir sampai ke van一hingga keduanya jatuh dengan keras menabrak aspal. Salah satu agen Rim muncul, hendak menembak mereka.

Doyoung meraba-raba sekitar, mencari Desert Eagle-nya, dan baru sadar kalau dia dengan bodohnya telah meninggalkan senjata itu di tempatnya tadi. "Taeyong!" Dia berteriak, memanggil bantuan terdekat.

Taeyong yang juga sempat berpikir akan menghentikan Mark, mundur kembali. Tangannya mengambil magasin di saku,  mengisi pistolnya dalam kecepatan yang mengagumkan, dan menembak agen itu sebelum dia sempat mengangkat senjata. Peluru ke-2 memecahkan jendela van dan terus meluncur ke agen lain.

Tinggal Rim seorang diri sekarang.

Taeyong menggertakkan gigi, mencari-cari sasaran, tapi sulit, karena Rim berpindah posisi ke balik pohon yang batangnya tebal dan lebar. Rupanya ia memanfaatkan 2 agen tadi sebagai umpan. Taeyong mengerti. Bajingan sepertimu memang sulit dibunuh ya? Ia tertawa di sela-sela kekesalan yang memuncak.

"Cari mobil!" Doyoung memberi perintah. "Kita mundur sekarang!"

Taeyong mengangguk, lalu menghampiri sebuah Skyline berwarna biru metalik dan membukanya. Sang pemilik tadi ketakutan melihat Doyoung dan memutuskan kembali ke dalam, meninggalkan mobilnya dalam keadaan setengah terbuka, dengan kunci yang tergeletak di kursi pengemudi.

"Bangun," Doyoung menarik Mark berdiri. "Saatnya pergi."

Mark memberontak. "Dia belum mati! Kau seharusnya tidak menghentikanku!"

"Tutup mulut." Doyoung yang sudah kesal dan badannya pegal menghempaskan Mark ke Skyline, lantas berlari ke mobil yang sudah menolongnya untuk mengambil Desert Eagle beserta tas berisi magasin. Barang-barang itu terlalu berharga untuk ditinggal.

"Kalian berdua, cepat!" Ujar Taeyong dari dalam mobil, dengan kaki yang berada di pedal gas, siap mengebut.

Doyoung tak perlu disuruh 2 kali. Setelah mendapatkan tas, dia bergegas ke mobil, tapi baru beberapa langkah, kakinya berhenti ketika mendengar suara senjata yang dikokang.

Rim.

Doyoung menoleh pada pria itu. Mereka berhadapan; 2 orang yang dulu pernah sedekat saudara. Dan kini justru saling mengacungkan senjata. Jarak mereka tidak terlalu jauh. Jika Doyoung menembak, ia tidak mungkin meleset. Masalahnya adalah, ia tak bisa memutuskan karena banjir kenangan yang tiba-tiba menyerbunya.

"Ayo ikutlah."

"Kerja bagus, Doyoung! Aku bangga padamu."

"Mau main catur bersama?"

Seburuk apapun Rim, ia pernah menjadi keluarganya. Dan kalau mau jujur, Doyoung tidak sepenuhnya berpihak pada Jaemin. Alasan terbesarnya menolong anak itu adalah Sejeong, dan 1 orang lagi yang ia harap bisa ia temui; Renjun...

Tangan Doyoung perlahan turun. Bahunya terkulai lunglai.

"Doyoung!"

Doyoung terdiam di tempatnya, seolah tuli. Ia penasaran apakah di situasi seperti ini Rim masih menganggapnya sebagai adik. Apakah tahun-tahun yang mereka lewatkan bersama cukup untuk membuat Rim memaafkannya? Ia ingin tahu.

Rim mengerjap, memutus kontak mata mereka, dan secara mengejutkan menembakkan 1 peluru kepada...










Mark.

Mark, yang sama sekali tidak menduga serangan itu tidak sempat menghindar. Dia terhuyung, jatuh sebelum mencapai Skyline. Tangannya refleks memegangi bahunya yang mengucurkan darah.

Taeyong yang melihat itu mengeluarkan Glock-nya dari jendela, dan menembak, tapi terlambat; Rim sudah kembali berlindung. Sadar tindakannya sia-sia, dia memundurkan mobil, dan Mark langsung masuk. Mundur lebih jauh lagi, menyeret Doyoung yang masih mematung.

Pintu tertutup beberapa detik kemudian, Skyline melaju kencang meninggalkan minimarket.

"Kalian berdua sudah gila?!" Taeyong membentak. "Kalau ingin bunuh diri, katakan saja padaku, berengsek! Jangan minta bantuan pada bajingan itu!"

Doyoung tidak menjawab, dia masih menoleh kebelakang, pada Rim, dengan tatapan terluka.

Memasuki perbatasan Yangpyeong, Taeyong menghentikan mobil untuk bertukar posisi dengan Doyoung dan pindah ke belakang, menemani Mark. Sejak tadi adiknya tidak bersuara, hanya menyandarkan kepala dan menekan lukanya. Matanya yang terpejam dan keringat yang mengalir deras di dahinya membuat Taeyong khawatir.

"Kau punya morfin atau semacamnya?"

Doyoung memeriksa tasnya lebih dulu, barulah menggeleng; hanya ada magasin dan pisau di sana. Diberikannya pisau itu pada Taeyong.

Taeyong lantas merobek sebagian kemejanya, mengikatkan kain itu ke sekeliling luka Mark. "Apa tempatnya jauh?"

"Tidak." Doyoung lanjut menjalankan mobil. Tidak secepat tadi, tapi cukup untuk membuat polisi menilangnya. "Tahan sebentar, Mark."

Mark mengangguk walaupun wajahnya memucat. "Maaf, hyung," katanya pelan.

Taeyong menghela napas. Secara fisik, dia  tidak terluka, tapi dia merasa lelah. Sangat. "Aku paham mengapa kau melakukannya, tapi aku tidak bisa membenarkan itu." Dia gantian melirik Doyoung, menusuknya dengan tatapan tajam. "Dan aku tidak mengerti kenapa kau tidak membunuh Rim ketika punya kesempatan tadi. Kesempatan yang sangat bagus, malah."

Doyoung menggigit bibir bawahnya.

"Jangan pura-pura tuli."

"Peluruku habis." Hanya itu yang bisa ia katakan.

"Benarkah?" Taeyong jelas-jelas tidak percaya. Penembak yang handal biasanya menghitung peluru mereka sehingga tahu kapan peluru itu akan habis. Dan Doyoung termasuk dalam kategori itu.

Doyoung mengangguk saja, terus mengemudi. Ia tahu tak bisa membuang-buang waktu, jadi dia enggan memikirkan akibat tindakannya tadi, atau apakah ia akan menyesalinya nanti.

Yang terpenting sekarang adalah Mark. Luka Mark tergolong kategori berat. Peluru AK-47 dengan mudah menembus bahunya, menghancurkan jaringan otot. Dia harus cepat diobati sebelum mengalami hypovolemic shock.

Tak lama mereka pun sampai. Skyline berhenti di depan sebuah rumah sederhana berlantai 2 yang terbuat dari kayu. Pintunya tertutup rapat, dan tak ada mobil lain di sana. Suasananya juga sepi, karena jarak tiap rumahnya jauh.

"Ini tempatnya?" Tanya Taeyong, sambil memapah Mark keluar dari mobil.

Doyoung membenarkan. Matanya memicing, mengamati jendela yang muram tanpa sentuhan cahaya.

"Kau yakin?"

Doyoung masih tidak bersuara. Dia melangkah mendahului Taeyong, ke arah rumah yang baru ia kunjungi beberapa kali. Ia dan Sejeong sudah membayar seseorang untuk membersihkannya secara rutin, sehingga rumah itu selalu siap dihuni, tapi kesunyian ini membuatnya tidak nyaman.

Tangannya meraih kenop pintu, ragu-ragu. Taeyong yang paham menyerahkan Glock-nya, beserta 1 klip magasin.

Doyoung menghembuskan napas panjang,  menghitung dalam hati,

1

2

3

Pintu terbuka.

Gelap. Semuanya gelap. Mata Doyoung mengerjap. Sejenak, ia tak bisa melihat apapun, namun ia bisa merasakan moncong sebuah pistol yang menempel di dahinya, membuatnya refleks mengangkat tangan.

"Jangan bergerak," ujar sebuah suara.

Ketegangan Doyoung langsung sirna. "Ini aku."

"Doyoung?"

Lampu menyala.

Sejeong menjatuhkan FN 57-nya dan memukul dada Doyoung. "Sialan! Kau membuatku takut!"

"Sejeong?" Panggil Taeyong. "Bisakah kau menolong Mark?"

Jaemin, orang yang menyalakan lampu, bertanya dengan suara yang diwarnai kepanikan. "Apa yang terjadi padanya?"

"Dia一" Kalimat Taeyong terhenti saat tubuh Mark mendadak melemas, dan hampir jatuh dari pegangannya; dia pingsan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top